Pemikiran
Politik Islam Era Kenabian, Sahabat dan Sekte-Sekte Islam:
Sebuah Sketsa
Historisitas
Oleh; Achmad Darwiz
A.
PENDAHULUAN
Beragam
metodologi digunakan sebagai pendekatan dalam pengkajian Islam, setiap
pendekatan memiliki starting point tersendiri. Salah satu pendekatan yang
digunakan dalam pengkajian ini adalah pendekatan (politik[1])−“Politik
Islam”,[2]
hal ini penting menjadi bahan kajian akademisi dalam studi orientasi pendidikan
khususnya pendidikan Islam. Selain metodologi, tradisi historis-empirisme, dan
filsafat mendapat porsi dalam melakukan pengkajian ini.
Perdebatan
saat ini tentang kebangkitan umat Islam telah menyebabkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan hakikat, karakteristik, serta ruang lingkup suatu negara Islam
dan system politik Islam yang khas, mendapat sorotan tajam. Banyak penerbitan
mengenai masalah itu yang implikasi-implikasi ideologis dan posisi teoritisnya
yang beragam. Tetapi kebanyakan hanya menyajikan peristiwa-peristiwa politik
mutakhir di dunia Islam kontemporer tanpa ada upaya untuk membahas aspek-aspek
teori politik yang benar-benar dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut.
Bahkan uraian mereka tentang dunia politik masa kini tetap dangkal dan tidak
bertalian dengan ketegangan-ketegangan antara perlunya kesinambungan dan
tuntutan akan perubahan di dunia Islam.[3]
Oleh karena itu pentingnya melirik sejarah politik−teori politik Islam sejak
era kenabian Muhammad SAW sebagai starting point dalam melakukan perbandingan
perpolitikan masa kini.
Islam
sebagai agama yang fundamental didalamnya tidak hanya termuat system yang
mengatur hubungan antara seseorang dengan rabb-Nya, urusan-urusan yang
dinamakan keduniaan (materi), peperangan, harta dan lain-lain. Agama, khususnya
Islam di dalamnya pun termuat system yang dinamakan system politik. Politik
Islam yang telah ada dan dipraktekkan Rasulullah dan khulafa al-rasyidin,
hingga para intelektual muslim masa kini perlu dilakukan pengkajian secara
orientasi dan teoritis. Kelahiran teori-teori politik yang telah digagas oleh
Rasulullah SAW telah membawa dampak kehidupan yang lebih bermakna dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam
tinjauan historis lahirnya teori politik Islam dimana Rasullullah SAW sebagai
seorang pencetus yang bijaksana sekaligus negarawan. fase kehidupan Rasulullah
SAW terbagi atas dua fase yaitu, Pertama, pada fase Mekkah, dimana awal
mula lahir dan tumbuhnya ajaran Islam. Kedua, yakni fase Madinah. Pada
fase Madinah, perkembangan Islam mengalami kemajuan ditandai dengan berdirinya
negara Madinah yang solid. Teori politik Islam telah menorehkan tintah sejarah
yang telah banyak dijadikan rujukan politik dunia barat hingga kini. Meskipun
ditiap negara memiliki system politik yang berbeda, Islam sebagai agama yang
lahir membawa perubahan sosial yang cukup dalam tiap dimensi kehidupan
masyarakat, baik dari segi politik hal ini menyebabkan karena aturan politik
Islam pada dasarnya membawa negara dan masyarakatnya adil dan sejahtera.
Meskipun dalam kitab suci Al-Qur’an tidak dijelaskan aturan politik, tetapi era
kenabian (zaman Rasulullah SAW) telah menjadi bukti sejarah terutama pada fase
Madinah, betapa adilnya sebuah pemerintahan dibawa politik Islam hal ini
dikarenakan masyarakat komitmen menjalankan syariat Islam.
Islam
dan politik, potret perkembangan suatu negera Islam tidak lepas dari Islam dan
politik, selalu menjadi topik pembahasan sepanjang sejarah Islam hingga era
kontemporer masa kini. Kaitan ini Montgomery Watt memberikan
tinjauan bahwa secara keseluruhan, dalam batas-batas perkembangan sejarah
dunia, terlihat bahwa agama mempunyai keterkaitan yang erat dengan politik.
Alasan untuk itu tidak perlu terlalu jauh dicari. Apabila politik telah menjadi
sesuatu yang serius, yang menyebabkan seseorang bersedia mati untuk membelanya,
tentu ada tenaga pendorong yang melandasi perilaku kehidupan yang demikian.
Biasanya tenaga seperti itu hanya bisa ditimbulkan oleh agama, atau oleh suatu
ideology yang memiliki beberapa fungsi agama (misalnya, menjadikan seseorang
sadar kepada siapa kehidupannya digantungkan).[4]
Berangkat
dari pandangan diatas pada makalah ini dibahas historisitas tentang lahirnya pemikiran
politik atau teori-teori politik ketika era kenabian, era pemerintahan sahabat
dan beberapa teori politik dari sekte-sekte Islam. Pembahasan ini memunculkan
dua perumusan masalah pokok yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya
pembahasan makalah ini, yaitu; (1) Bagaimana proses pembentukan negara Islam
ketika era kenabian?, (2) Seperti apa
teori-teori Islam yang ini lahir?. Pembahasan ini mengemukakan tinjauan
historisitas umum, namun tentunya penulisan ini diharapkan memberikan informasi
dalam khazanah keilmuan.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pembentukan Negara Islam dan Era Kenabian
Era
kenabian merupakan era dimana ketika Nabi Muhammad SAW hidup yang membawa
ajaran Islam dan memulai dakwah kepada manusia untuk menyembah Allah SWT hingga
wafat. Kesempurnaan era kenabian tersebut merupakan ciri utama yang nampak dan
membawa perubahan sosial pada masyarakat Arab umumnya. Era kenabian tersebut
tercatat dalam literatur-literatur sejarah terbagi menjadi dua fase yaitu pada
periode Mekah (sebagai tempat awal munculnya Islam) dan periode Madinah
(sebagai kota pusat pemerintahan dan penyebaran Islam).
Dalam
sejarah Nabi Muhammad SAW sejak awal penyebaran Islam di kota Mekah dengan
melakukan penyebaran Islam yang secara sembunyi-sembunyi hingga secara
terang-terangan yang mengalami tekanan, intimidasi dan konspirasi dari kalangan
kafir Quraisy hingga melakukan hijrah ke kota Madinah. Penduduk Yastrib
(Madinah) menerima Nabi dengan resmi dan menjadikannya sebagai pemimpin bagi
penduduk tersebut. Disinilah babak baru dalam sejarah Islam dimulai dengan
didirikannya negara Islam pertama dan pusat pemerintahan yang unggul, satu-satunya
kepemimpinan dalam Islam sepanjang sejarah dengan system politik Islam yang
tunggal dengan syariat Islam dan tak ada persamaan kepemimpinan manapun.
Di
kota Madina, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan
dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad SAW
mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala negara, dengan kata lain dalam
diri Nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi.
Kedudukan sebagai Rasul secara otomatis merupakan sebagai kepala negara. Dalam
rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, ia segera meletakkan dasar-dasar
kehidupan bermasyarakat yaitu[5];
dasar pertama yaitu pembangunan masjid, selain tempat shalat, juga
sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa
mereka, disamping sebagai tempat bermusyawarah juga berfungsi sebagai pusat
pemerintahan. Dasar kedua, adalah ukhuwwah islamiyah,
persaudaraan sesama muslim. Nabi mempersaudarakan antara golongan Muhajirin
(orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah) dan Anshar, penduduk
Madinah yang telah masuk Islam dan ikut membantu kaum Muhajirin tersebut. Dasar
ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak
beragama Islam. Di Madinah, disamping orang Arab Islam, juga terdapat golongan
masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang
mereka.
Dalam
rangka mewujudkan kestabilan masyarakat dan pemerintahan Nabi mengadakan
perjanjian dengan seluruh penduduk Madinah yang melahirkan “Piagam Madinah”
yaitu suatu perjanjian yang memberikan jaminan kebebasan beragama ditiap
komunitas, dan memiliki hak tertentu dalam politik dan keagamaan. Sebagai kepala
pemerintahan diberikan wewenang dan otoritas mutlak dalam menjalankan
kepemimpinannya. Kepemimpinan yang diembangnya dengan misi masyarakat madani
pun terwujud hanya dalam beberapa tahun. Hal ini membuktikan bahwa era
kepemimpinan Rasul dengan politik yang diterapkannya merupakan ciri
pemerintahan yang penuh dengan kearifan.
Dalam
bidang sosial, Nabi juga meletakkan dasar persamaan antar sesama manusia.
Perjanjian ini, dalam pandangan ketatanegaraan sekarang, sering disebut dengan Konstitusi
Madinah. Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam makin bertambah kuat,
perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekah dan musuh-musuh
Islam lainnya menjadi risau. Kerisauan ini mendorong orang-orang Quraisy
berbuat apa saja. Sebagai kepala pemerintahan dan untuk menghadapi kemungkinan
gangguan musuh, maka Nabi mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Ada
dua alasan umat Islam diizinkan berperang yaitu, pertama, untuk
mempertahankan diri dan melindungi hak-haknya, kedua menjaga keselamatan
dan penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang
menghalanginya.[6]
Menurut Husaini yang dikutip oleh Abdul Karim, negara dan pemerintahan Madinah
adalah bercorak teokrasi yang dikepalai oleh seorang Rasul yakni Muhammad dan
ia adalah pemimpin agama. Ia membuat undang-undang atas dasar Al-Qur’an.
Walaupun nabi adalah kepala pemerintahan, namun kedaulatan ada di tangan Allah.[7]
Selama
kira-kira sepuluh tahun di Madinah (622-32), Muhammad mengkonsolidasikan kontrol
beliau atas masyarakat kota yang beragama, dan beliau memperluas kekuasaan dan
pengaruh Madinah di Arab.[8] Maka
puncak keemasan Islam telah mewarnai kehidupan bangsa Arab pada masanya. Jika
periode Madinah terdapat negara Islam, maka periode Mekah telah menanamkan
keyakinan atau akidah yang menjadi dasar atau asas suatu negara.[9] Suatu
kepastian pada masa yang panjang ini merupakan masa pembelajaran iman,
melunakkan kekerasan, sabar, kegigihan, dan pengorbanan yang diasuh langsung
oleh pemimpin Islam. Eksistensi nilai-nilai inilah yang harus dipertahankan
dalam sebuah negara.[10]
Sebuah
awal yang berbeda sekali dengan lazimnya awal sebuah system politik manapun.
Pada umumnya, sebuah system politik selalu diawali penguasa dengan mencari
massa dengan cara-cara propogandis dan intimidasi, kebimbangan dan kegelisahan
rakyat dan pengusaha berusaha menjelek-jelekkan lawan politiknya. Bahkan
berusaha menghancurkannya dengan sikap hipokritnya. Hal seperti ini tidak
ditemukan dalam negara Madinah. Dan sebagai gantinya justru rakyatlah yang
dengan sukarela menyerahkan kekuasaan itu pada pemimpinya dan mereka mewajibkan
dirinya sendiri untuk menaatinya.[11]
2.
Islam dan Politik
Islam
dan politik adalah dua rangkaian kata yang memiliki pengertian yang berbeda,
jika dikaitkan keduanya maka pengertian yang melekat dalam konteks kemoderenan
adalah politik Islam. Jika merujuk pada kata dasarnya, Islam; adalah suatu
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang membawa kemaslahatan umat dan
keselamatan dunia dan akhirat. Sedangkan politik
berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa Yunani politicos, artinya
(sesuatu yang) berhubungan dengan warga negara atau warga kota. Kedua kata itu
berasal dari kata polis maknanya kota. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia[12], kata politik berarti
mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan pemerintahan, dasar pemerintahan. Dari
pengertian di atas maka dalam konteks ini dapat dipahami bahwa Islam
politik−politik Islam adalah suatu alat atau strategi yang digunakan untuk
mencapai tujuan inti dalam suatu pemerintahan dalam kenegaraan yang berasaskan
nilai-nilai transedental dan syariah Islam.
Jika kembali pada fakta sejarah, peta politik yang telah
digambarkan dan dipraktekkan Rasulullah SAW yang berlandaskan syariah Islam,
sehingga pemerintahan dalam negara Madinah mencapai keadilan dan kemakmuran
maka dengan demikian inilah yang dinamakan politik Islam. Muhammad Dhiauddin Rais mengemukakan bahwa Sistem yang dibangun
oleh Rasulullah SAW, dan kaum mukminim yang hidup bersama beliau di
Madinah−jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variable-variabel
politik era modern−tidak disanksikan lagi dapat dikatakan bahwa system itu
adalah system politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak
menghalangi untuk dikatakan bahwa system itu adalah system religius, jika
dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya dan fundamental maknawi tempat
system itu berpijak.[13]
Islam
sebagai agama yang sempurna tak hanya merangkum urusan kehidupan manusia
terkait perbuatan baik dan buruk, halal dan haram, keselamatan dunia akhirat,
materi dan ruhani. Namun kesempurnaanya memuat pula metode−strategi (baca:politik)
yang diperlukan manusia untuk mempermudah orientasi kehidupannya, sebagaimana
yang telah dicontohkan Nabi dan sahabatnya ketika masa hidupnya. Karenanya
Islam dan politik merupakan suatu kesatuan yang tak terpisah dan solid, politik
Islam yang telah menjadi fakta sejarah sebagai suatu strategi yang dipergunakan
dalam pemerintahan Islam dan penyebaran Islam masa lalu. Kendati topik umumnya “teori
politik” yang oleh pakar-pakar intelektual politik barat−orientalisme tidak
banyak yang mengakui khususnya teori-teori politik Islam, namun dapat dikatakan
bahwa politik Islam inilah yang banyak dijadikan rujukan dari abad pertengahan hingga
sekarang baik kalangan muslim itu sendiri maupun intelektual politik barat.
Dalam
politik Islam beberapa fakta sejarah yang tidak dapat diperselisihkan dalam
bangunan masyarakat politik atau negara yang memulai kehidupan aktifnya,
menjalankan tugas-tugasnya, dan mengubah prinsip-prinsip teoretis menuju
dataran praktis telah tersempurnakannya kebebasan dan kedaulatan, yang pertama,
setelah pembacaan Baiat Aqabah I dan II yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
dengan utusan dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah, pada
faktanya kedua baiat ini tidak diragukan oleh seorang pun tentang
keberlansungannya−merupakan suatu titik transformasi dalam Islam.[14]
Maka tindakan ini dapat dikatakan sebagai tindakan politik, karena negara Islam
merupakan negara yang baru tumbuh. Kedua, hak berijtihad, ijtihad telah
diakui sebagai salah satu sumber hukum Islam.[15] Ketiga,
pemberian wewenang kepada umat untuk menentukan segala hal yang berkaitan
dengan detail-detail system pemerintahan Islam atau penentuan formatnya.[16]
3.
Terbentuknya Sistem Kekhalifahan
Nabi
wafat pada 12 Rabi’ al-awal 10 H bertepatan dengan 8 Juni 632 M di Madinah,[17]
menjelang wafat, maka kaum muslimin akan segera merasa kehilangan dan
kekosongan pemimpin dan melihat dihadapan mereka terbentang masalah-masalah dan
tangggung jawab yang besar akibat dari kekosongan itu. Mereka mendapati bahwa
mereka mendapatkan warisan negara atau system politik. Setiap individu diberi
hak berpikir dan mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan institusi
negara itu. Mereka tidak dikekang oleh ikatan-ikatan tertentu untuk menggunakan
hak mereka itu dan mencapai tujuannya, maka sejak mereka mereka mulai mengolah
pikiran tentang masalah itu, mulailah bermunculan beragam pendapat dan
kecenderungan dalam melihat masalah. Fenomena ini tampak pertama kali dalam
sejarah Islam dalam pertemuan Saqifah.[18]
Dengan
diadakannya pertemuan di Balai Saqifat (Nadi al-Qaum) tersebut yang
dihadiri oleh para tokoh Islam, baik dari kalangan Anshar dan Muhajirin namun
ada beberapa tokoh besar Islam yang tidak sempat hadir seperti Ali bin Abi
Thalib. Pertemuan di Saqifah tersebut adalah salah satu pertemuan sejarah
terpenting dalam seluruh sejarah Islam, beberapa pakar sejarah menyebutnya
pertemuan tersebut seperti pertemuan nasional atau mukhtamar luar biasa pada
masa kini. Kendati pertemuan tersebut berlangsung dalam suasana duka ummat
Islam dengan wafatnya Nabi, namun hal tersebut teramat penting untuk membahas
nasib dan kelansungan kepemimpinan (imamah) Islam selanjutnya.[19]
Pemerintah (khalifah/imamah) ini berfungsi sebagai pengganti kedudukan
nabi dalam tugas memelihara agama dan mengatur dunia.[20]
Menurut
Muhammad Dhiauddin Rais, beberapa teori pemikiran terpenting yang dilontarkan
dalam pertemuan Saqifah tersebut adalah: pertama, teori membela kaum
anshar yang mengklaim diri mereka sebagai pihak yang berhak untuk memegang
jabatan kekhalifahan, dengan alasan mereka membela Islam, menjaga dengan jiwa
dan harta mereka dan memberikan tempat dan pertolongan, dan merekalah penduduk
asli Madinah.[21]
Kedua, teori kedua merupakan bantahan atas teori pertama tadi, berupa
pembelaan atas hak kaum Muhajirin atas jabatan kekhalifahan, dan membuktikan
bahwa mereka lebih berhak atas jabatan kekhalifahan dibandingkan dengan yang
lain.[22]
Dengan
membuktikannya kaum Muhajirin sebagai pemegang jabatan kekhalifahan, dengan di-baiat[23]-nya
Abu Bakar As-Shiddiq oleh kaum muslimin secara bersama-sama sebagai khalifah
pertama, maka kepemimpinan politik, pemerintahan dan kekuasaan mutlak secara
sah berada di tangah Abu Bakar As-Shiddiq. Alasan terpilihnya Abu Bakar
As-Shiddiq dikarenakan beberapa pandangan para sahabat bahwa dia adalah lebih
baik dan lebih berhak melanjutkan pemerintahan, dia sebagai asisten Nabi ketika
masih hidup, dan setia mendampinginya dalam hal apapun. Namun dipihak lain desas-desus dan
kemungkinan akan klaim jabatan kekhalifahan dari Ali bin Abi Thalib−golongan
Syi’ah (golongan yang membela Ali Bin Abi Thalib) merasa bahwa hanya Ali
yang lebih berhak menduduki jabatan kekhalifahan tersebut.
Ketika
Abu Bakar As-Shiddiq terpilih sebagai pengganti pertama Nabi, dengan jelas
mendefinisikan batas-batas peranan dan kekuasaannya sebagai kepala negara Islam
menyatakan, sebagaimana Mumtaz Ahmad mengutip Abul A’la Maududi, bahwa:
“Saya
telah diangkat sebagai penguasa kalian, meskipun saya bukanlah yang terbaik
diantara kalian. Bantulah saya bila saya benar, koreksi saya bila berbuat
kesalahan. Orang yang lemah diantara kalian akan menjadi kuat dihadapan saya
sehingga saya memberikan haknya, apabila Allah menghendaki, dan orang yang kuat
diantara kalian akan menjadi lemah di hadapan saya sehingga saya membuatnya
melakukan kewajiban, apabila Allah menghendaki. Patuhlah kepadaku selama aku
taat kepada Allah dan Rasul-Nya; apabila aku tidak taat kepada mereka, maka
kamu tidak perlu patuh kepadaku”.[24]
Dsinilah
terlihatkan salah satu potret perpolitikan yang telah dipraktekkan para sahabat
Nabi dengan teori politi Islam dengan asas-asas ketauhidan. System, teori
politik dan demokrasi tidak hanya dipotretkan dalam pembentukan system
pembentukan kekhalifahan sebagaimana awalnya Abu Bakar menjadi khalifah pertama,
namun pada kelangsungan kekhalifahan setelahnya banyak mengalami polemik dan dinamika
system politik Islam.
4.
Lahirnya Sekte-Sekte dan Sebab Kemunculan Teori-Teori Islam
Dalam catatan sejarah perkembangan
Islam terutama pemerintahan dari generasi ke generasi yaitu dari zaman
Rasulullah hingga kekhalifahan−terutama tahun-tahun terakhir kekhalifahan
Utsman, dari awal kemajuan dan perkembangan dalam konsekwensi kehidupan masyarakat nampak dikekhalifahan
ini menurun langkahnya. Jika ditinjau dari sudut perpolitikannya walaupun
memiliki keistimewaan dan kebijakan serta sebagai pemimpin yang tegas, namun
situasi masyarakat Islam yang telah berbeda ketika masa Nabi dan khalifah
sebelumnya telah membawa perubahan kepemimpinan dan perpolitikan, efek-efek
yang ditimbulkan menjadi luar biasa sehingga dapat dikenal sebagai masa kritis
dan transisi pada perjalanan sejarah ini. Ketidakstabilan politik dan
permasalahan dalam dunia Islam yang tak dapat dihindarkan menjadikannya
khalifah Utsman terseret dalam situasi pemerintahan yang serba kritis hingga
persoalan-persoalan itu pun berakhir dengan tragis.
Kegoncangan yang dialami oleh kaum
muslimin dengan situasi politik pasca kematian khalifah Utsman atas tragedi
pembunuhan yang dilakukan oleh Saudan membawa perubahan yang sangat mencekam
dikalangan umat Islam. Sepeninggal Utsman tiada pilihan lain untuk dijadikan
khalifah penerus Utsman kecuali Ali bin Abi Thalib. Ali dibaiat oleh dewan
formatur bentukan Umar yang masih ada secara aklamasi kemudian diikuti secara
umum oleh umat Islam di Masjid Nabawi.[25]
Fuad Muhammad Fachruddin menjelaskan, baiat pada saat itu tidak meletakkan
batas tindak yang layak bagi pemberontakan hingga timbul api yang dapat memakan
fitnah. Pada dasarnya keadaan ini telah menimbulkan kelompok yang masing-masing
mempunyai benteng pertahanan yang besar yaitu, (1) Kelompok yang menyokong Ali
ra dan, (2) Kelompok yang berpihak kepada Mua’wiyah.[26]
Timbulnya kelompok-kelompok tersebut
tidak lain adanya kepentingan politik yang semata politik seseorang untuk
menjadi kepala negara. Perjalanan kekhalifahaan Ali bin Abi Thalib yang diwarnai
pula dengan pergulatan dan goncangan politik hingga membawa sejarah terulang
dengan kematian yang dialami pula oleh Ali bin Abi Thalib pasca perang Shiffin.
Dari sejarah kekhalifahaan tersebut membawa pada kondisi dan situasi yang
berbeda-beda, namun yang paling mencolok adalah timbulnya gerakan-gerakan
reformis yang akan membawa pada revolusi yang disebabkan faktor ekonomi,
politik dan pemikiran. Disinilah terjadi perubahan mendasar yang membentuk
masyarakat dan kian berubah. Perubahan generasi lama yang berpola pemerintahan
dan politik seperti yang dicontohkan Rasul, drastis tergantikan dengan pola
generasi baru.
Kurangnya kualitas yang dimiliki
oleh generasi belakang jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya−masa Rasul,
khalifah pertama dan kedua baik dari segi hukum pemerintahan dan substansi
aqidah masyarakat, ditambah dengan negara yang dipimpin oleh khalifah
belakangan kian luas dengan adanya hasil ekspansi besar-besaran telah
memunculkan fanatisme dan ketamakan hingga sulitnya ditemukan pemimpin yang
unggul dan menginspirasi. Dalam pandangan Muhammad Dhiauddin Rais, kepemimpinan
yang unggul, mengarahkan dan menginspirasi yaitu pemimpin yang memiliki
sifat-sifat dan karakteristik yang unggul, yang tidak sembarang dimiliki oleh
semua orang, seperti kebijaksanaan, kecakapan, keluasan cakrawala, keluasan
pandangan dan niat suci.[27]
Sepanjang situasi politik pada
kekhalifahan belakangan telah melahirkan firqah-firqah (sekte-sekte)
baru atau munculnya mazhab teologi Islam membawa keretakan persatuan umat Islam
yang bertentangan dengan era terdahulu, muncul konflik-konflik dan perselisihan
hingga membawa dendam yang berkepanjangan. Muhammad Dhiauddin Rais menjelaskan
proses pencarian, saling curiga, dan tidak ada rasa aman yang stabil inilah
membuat kelompok-kelompok membentuk opini masing-masing, berpikir dan
merumuskan teori-teori. Bahkan setiap kelompok memobilisasi kekuatan diri dan
membentuk kubu-kubu dalam rangka menwujudkan teori-teori tersebut dan
mengaplikasikannya secara nyata dalam kehidupan realita.[28]
Dari tinjauan munculnya sekte-sekte
tersebut, penulis dapat menyimpulkan alasan dan yang mempengaruhinya yaitu, Pertama,
ketidakpuasan sebagian (kelompok) umat Islam dengan cara-cara politik dan
pemerintahan yang dilakukan oleh khalifah belakangan dan gubernurnya. Kedua,
ragamnya bentuk propaganda yang dilancarkan oleh kelompok tertentu untuk
mendapatkan dukungan politik praktis. Ketiga, keinginan yang besar untuk
menunjukkan kepada ummat Islam atas klaim kebenarannya. Keempat,
keinginan mewujudkan teori politik dan prinsip-prinsipnya untuk dijadikan
pedoman pemerintahan dan sekaligus syariat. Kelima, sikap fanatisme dan
kekuasaan oleh pemuka-pemuka Islam dan cenderung berwatak revolusi kepada
pemimpin yang sah.
5.
Teori-Teori yang Muncul
Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya terkait alasan munculnya sekte-sekte (timbulnya perpecahan) yakni
mewujudkan teori politik sekali gus sebagai pedoman pemerintahan, maka ada
beberapa teori yang muncul pada era kekhalifahan semasa Utsman, Ali maupun
Mua’wiyah ini dapat dijadikan sebagai sebuah perkembangan pemikiran.
Muhammad Dhiauddin Rais menjelaskan
beberapa teori tersebut adalah:[29]
Pertama, Pemecatan Wali (Gubernur). Beberapa kelompok Islam semasa
kekhalifahan Utsman bin Affan meresolusikan teori bahwa wali atau gubernur
sebuah wilayah yang berfungsi sebagai wakil khalifah wajib dipecat apabila
orang-orang yang diperintah (rakyat)
tidak merestui system politik dan tingkah lakunya.[30] Teori
politik ini pun berkembang hingga kepemerintah pusat (posisi khalifah Utsman), Alasan
kecenderungan politik ini dikarenakan khalifah Utsman melakukan beberapa
pelanggaran dalam pemerintahannya baik memberikan jabatan-jabatan penting khusus
anggota keluarganya yang berasal dari Bani Umaiyah, hingga berujung pada sebuah
revolusi.
Kedua, Klaim Quraisy. Pemikiran dan opini politik yang muncul pada
periode ini adalah adanya penolakan terhadap klaim atau pernyataan Quraisy
dalam hal keistimewaannya atas seluruh bangsa Arab dan hak mereka menduduki
kekhalifahan dan pemerintahan serta menguasai sektor-sektor luas.
Ketiga, Pendapat Abdullah bi Saba’. Teori ini pada gilirannya akan
memiliki gaung yang cukup besar dikemudian hari, yang mulai dirumuskan oleh
Abdullah bin Saba’, diantara beberapa pendapatnya yaitu “Setiap nabi mempunyai
pewaris dan Ali dalah pewaris Muhammad: maka siapa yang zalim dari orang-orang
yang tidak membolehkan wasiat atau peninggalan Rasulullah?, disinilah awal
mulanya teori wishayah (wasiat atau pemberian mandat), kemudian pendapatnya,
“Utsman telah mengambil wasiat tersebut tanpa hak, maka bangkitlah kalian dari
urusan ini dan mulailah mendiskreditkan para pemimpin wilayahmu, perlihatkanlah
amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini diperkuat oleh Fuad Mohd. Fachruddin[31] yang
mengemukakan bahwa pendapat ini sangat mempengaruhi tekad kepercayaan “Golongan
Syi’ah” dikemudian hari.
Keempat, Teori Abu Dzar dalam Masalah Harta.[32] Abu
Dzar telah menyerukan suatu teori yang memiliki signifikansi secara social dan
politik, yang didasarkan atas ijtihad dan pemahamannya terhadapt ruh agama
Islam, dan untuk mengantisipasi kondisi faktual yang kini dialami oleh
masyarakat Islam pascafutuhat (penaklukan). Dia telah membantah perkataan
Mua’wiyah gubernur Syam yang mengatakan, “Semua harta dan milik Allah”, Abu
Dzar mengatakan “seakan-akan dia ingin menguasai harta tersebut tanpa
melibatkan kaum muslimin−seorang muslimin tidak pantas baginya memiliki lebih
dari kebutuhan pokoknya sehari semalam atau sesuatu yang disumbangkan dijalan
Allah, atau dia persiapkan untuk orang yang terhormat.
6.
Munculnya Partai-Partai
Kemunculan
partai-partai berawal dari era kekhalifahan−khalifah Ali bin Abi Thalib.
Pembaiatan Ali ketika di Madinah yang didukung oleh kaum Muslimin untuk
menggantikan khalifah Utsman menorehkan cacatan sejarah Islam yang sangat
besar, meskipun pembaiatan Ali sebagai pemimpin untuk melanjutkan tugas
kenegaraan dan memberantas bentuk-bentuk ketidakadilan namun tetap saja ada
beberapa kelompok Islam yang tidak menyetujuinya. Kekhalifahan ini memunculkan
polemik dua kelompok besar yang berbeda karakter misi. Yang pertama adalah
kelompok pendukung Ali dan kedua adalah kelompok Mua’wiyah.
Dalam
catatan sejarah munculnya partai-partai ini berawal dari peristiwa Tahkim[33]
yang menguntungkan pihak Mua’wiyah dengan kelicikan Amr bin Al-Ash atas Abu Musa
al-Asy’ari sebagai wakil dari kelompok Ali. Akhir perang Shiffin dan terjadinya
peristiwa tahkim melahirkan dua kubu yakni kubu Syi’ah yang bertahan sebagai
pengikut Ali, dan kubu yang keluar dari pengikuti Ali sebagai kubu Khawarij.
Khairuddin Yujah Sawiy[34]
mengemukakan bahwa ketika suku-suku pendukung Ali terpecah menjadi dua kelompok
saat menggapai tawaran perdamaian kelompok Mua’wiyah pada perang Shiffin, maka
akan jelas diketahui kalau kedua kelompok tersebut berada dalam posisi yang
sangat dilematis. Pada akhirnya kejadian ini memunculkan semangat
primordialisme yang tinggi dan menjadi boomerang bagi pemerintahan Ali.
Akhir
dan kegagalan dari peristiwa tahkim yang berbuah dengan pembaiatan Mua’wiyah
sebagai khalifah, maka partai politik pertama terbentuk dalam sejarah Islam,
dan tokoh-tokohnya tampil diatas panggung peristiwa-peristiwa, memiliki system
aturan dan diantara ciri khas kehidupannya adalah kehendak untuk mempertahankan
kontinuitas pemerintahan. Dalam riwayat lain tentang keputusan kedua utusan
dalam tahkim (arbitrase) seperti yang dikemukakan oleh Abu al-Hasan
al-Mas’udi yang dikutip oleh Muhammad Dhiauddin Rais mengemukakan bahwa
kedua-duanya sepakat untuk mencopot Ali dan Mua’wiyah, dan setelah itu
dilimpahkan persoalannya kepada syura’ yang didalamnya umat akan memilih yang
pantas baginya. Jadi ini adalah pendapat mereka, dan ini adalah hasil akhir
dari at-Tahkim: keduanya telah melimpahkan persoalan kepada umat.[35]
Tidak lama kemudian pasca Tahkim yang menguntungkan pihak Mua’wiyah dan
masa pemerintahan selanjutnya, seperti yang diungkap oleh para sejarawan Islam
bahwa sistema kekhalifahan berubah menjadi system kerajaan “monarki
absolute” hingga pada pemerintahan putra mahkotanya Yazid sehingga dengan
inilah dapat dianggap bahwa Mua’wiyah adalah peletak dasar system kerajaan
dalam Islam.
7.
Khawarij dan Pemikirannya
Peristiwa
perang Shiffin ketika kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang telah melahirkan
kelompok Khawarij sebagai kelompok yang keluar dari pasukan Ali setelah
memprotes terhadap tahkim. Kelompok ini keluar dari barisan pasukan Ali
sehingga diberi gelar Khawarij (orang-orang yang keluar). Dalam
pandangan Khawarij, mereka keluar dari pendukung Ali yang semula sama-sama
menentang Mua’wiyah yang memberontak terhadap kekhalifahan Ali.
Dengan
terjadi peristiwa tahkim beberapa alasan sehingga membentuk kelompok
tersendiri (Khawarij) ini dengan menentang khalifah Ali bin Thalib dan
Mua’wiyah sekaligus bentuk ketidakpuasannya diantaranya yaitu; Pertama,
keputusan peristiwa tahkim yang diambil oleh kedua belah pihak (Ali dan
Mua’wiyah) tidak berdasar pada hukum Allah SWT. Kedua, Ali bin Abi
Thalib dan Mua’wiyah sejak pemerintahannya telah menyalahgunakan harta rakyat. Ketiga,
kepemimpinan Mua’wiyah tidak mengakui Ali sebagai khalifah. Keempat,
Ali dan Mua’wiyah dalam kepemimpinannya telah meniru pola hidup kaisar Romawi
yang terlalu hedonis. Kelima, Pacsa peristiwa tahkim, mereka menilai Ali
dan Mua’wiyah kedua-duanya telah kafir.
Walaupun
pada awalnya kelompok ini dapat di damaikan oleh khalifah Ali, namun berselang
waktu terutama pasca peristiwa perang Shiffin kelompok ini pun makin tumbuh dan
melakukan teror dan pemberontakan walaupun pada akhirnya dapat dimusnahkan.
Namun khalifah Ali pun terbunuh oleh seorang komplotan Khawarij yang bernama
Abdurrahman bin Muljan.
Dasar
gerakan meraka adalah laa hukma illaa lillaah, sebuah ungkapan yang
artinya “tidak ada hukum kecuali hukum Allah”. Slogan ini dijawab oleh Ali
dengan ungkapan, kalimat al-haqqi, urida biha al-bathil yang artinya
kalimat haq yang diucapkan untuk tujuan kebatilan. Slogan ini akhirnya
ditafsirkan bahwa setiap keputusan politik, harus berdasar Al-Qur’an. Bagi
golongan Khawarij, siapa pun umat Islam yang diluar golongannya adalah kafir.
Pemikiran politik mereka antara lain;[36] Pertama,
pemilihan khalifah tidak berlaku kecuali dengan pemilihan bebas dan benar oleh
seluruh umat Islam, bukan oleh satu golongan saja. Kedua, seorang
khalifah tidak dibatasi waktu pemerintahannya selama masih menegakkan keadilan.
Ketiga, jika tidak adil maka wajib dipecat atau dibunuh. Keempat,
jabatan khalifah terbuka untuk tiap laki-laki muslim, merdeka, Arab tanpa
pandang suku. Kelima, pengangkatan imam bukan merupakan kewajiban agama.
Keenam, mengakui pemerintahan Abu Bakar dan Umar, enam tahun pertama
pemerintahan Utsman dan pemerintahan Ali sebelum tahkim.
8.
Teori Syi’ah
Muchotob
Hamzah mengutip Zahrah mengemukakan pokok-pokok pikiran politik Syi’ah yaitu[37], Pertama, imam seharusnya dari keturunan
Fatimah, tapi menurut Syi’ah Zaidiyah boleh juga dari kelompok yang lain asal
memenuhi syarat. Kedua, Abu Bakar dan Umar sah menjadi khalifah meskipun
Ali lebih utama (Syi’ah Zaidiyah), sementara Syi’ah Imamiyah menganggap Abu
Bakar dan Umar tidak sah. Ketiga, Imam tidak maksum (terbebas dari dosa)
Syi’ah Zaidiyah, sementara Syi’ah Imamiyah menganggapnya sebagai maksum. Keempat,
tidak ada imam yang tersebut (syi’ah zaidiyah), sementara Syi’ah Imamiyah Itsna
‘Asyriah menganggap imam kedua belas telah menghilang dan akan muncul diakhir
zaman, Kelima, kedudukan Ali menurut Imamiyah itsna ‘Asyriah setingkat
lebih tinggi dari pada umumnya manusia, Keenam, menurut Syi’ah Zaidiyah,
diperbolehkan membaiat dua imam pada dua daerah, asal memenuhi syarat dan
disepakati, dengan pilihan bebas oleh majelis atau ditempat ia merebut
kekuasan.
Kaum
Syi’ah akhirnya menetapkan bahwa penguasa adalah kekuatan illegal yang merampas
kekuasaan dari ahlul bait, mereka menguasai ummat dengan kaidah mereka.
Penguasa-penguasa itu mengharamkan kaum muslimin dan ummat manusia untuk
menggunakan hukum ilahi, karena kecintaan mereka terhadap jabatan dan kekuasaan
serta ketamakan mereka terhadap dunia atas kecintaannya terhadap akhirat.[38] Tujuan
utama orang-orang Syi’ah adalah bersatunya ummat Islam dibawah pimpinan Imam ahlul
bait, yang akan memimpin dalam memberikan penjelasan tentang hukum-hukum
aqidah ilahi dan penerapannya dalam kehidupan nyata.[39]
9.
Lahirnya Mu’tazilah dan Pokok Pikiran Politik
Sebenarnya
Mu’zilah sebagai gerakan dan sikap politik, lahir di Madinah oleh Abdullah bin
Umar bin Khattab yang tidak ikut campur dalam perselisihan politik di antara
sahabat. Ia memusatkan perhatiannya pada sunnah Nabi SAW. Yang kelak akhirnya
disebut sebagai ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Adapun Mu’tazilah yang
sampai kini masih hidup, adalah sebutan untuk kelompok yang punya paham aqidah
dan sikap politik yang dipelopori oleh Washil bin ‘Atha’ yang memisahkan diri
(i’tazala) dari gurunya, Hasan Basri. Berbeda dengan i’tizalnya Abdullah
bin Umar bin Khattab yang kurang menyetujui pembaiatan Ali Bin Abi Thalib, kaum
Mu’tazilahnya Washil bin ‘Atha’ ini lebih condong kepada kekhalifahan keturunan
Ali Bin Abi Thalib, r.a. Pokok-pokok pikiran politik Mu’tazilah, antara lain;[40] Pertama,
mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Kedua, tidak tegas
sikapnya terhadap pemerintah khalifah Utsman dan pemberontak yang membunuhnya. Ketiga,
menganggap Ali lebih berhak menduduki jabatan khalifah dari pada Usman. Keempat,
soal imamah adalah merupakan pilihan rakyat. Kelima, khalifah tidak
harus dari suku Quraisy. Keenam, khalifah tidak harus mukmin muslim,
adil tanpa pandang suku. Mengangkat imam bukan merupaka kewajiban agama,
manakala keadilan sudah merata.
10. Ahlul Hadis dan Sunnah
Fuad
Mohd. Fachruddin mengemukakan bahwa golongan “Ahli Sunnah wal Jamaah” ini salah
satu golongan yang mengikuti jejak Qur’an dan Sunnah. Dan tempat kedudukan
mereka adalah Madinah el-Munawwarah. Yang dimaksud dengan “Sunnah” ialah ucapan,
perbuatan, dan penerimaan Rasulullah SAW atas perbuatan yang dibenarkan beliau.
Maka dengan demikian yang dikatakan “ahlul hadits” adalah mereka yang berpegang
kepada ucapan Rasulullah SAW.[41]
Ahlul
Sunnah, mereka memilih jalan damai dengan penguasa dan ikut kepada mereka,
karena ditangan mereka akan tercapai persatuan ummat. Tahun dimana Mu’awiyah
dapat mengalahkan Ali dinamakan dengan ‘Aam Jama’ah (tahun persatuan)
dan orang-orang yang mengikuti Mua’wiyah disebut dengan Ahlus-Sunnah. Kelompok
ini terbagi dalam beberapa kelompok yang berbeda-beda kesetiaanya kepada
penguasa. Perbedaan itu disebabkan rasa sayang mereka terhadap ahlul bait dan
keinginan untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi mayoritas mereka berkeyakinan
bahwa semua orang yang menjadi penguasa ketika itu adalah sahabat nabi.
Mengenai kepemimpinan daulah, kelompok ini berpendapat bahwa mereka akan
mengikuti kelompok yang menang, meski bagaimanapun caranya memperoleh
kemenangan itu. Hujjah yang mereka pergunakan sebagai dalih adalah perkataan
Abdullah bin Umar pada hari “Hirrah”, “Kami bersama kelompok yang
unggul”, perkataan ini akhirnya menjadi satu kaidah syariat.[42] Adapun
pokok-pokok pikiran politiknya antara lain;[43] Pertama,
mengakui keempat khulafa Al-Rasyidin. Kedua, mengangkat imam dan
khalifah merupakan kewajiban agama. Ketiga, imam hendaknya dari suku
Quraisy tetapi syarat ini kemudian diperlonggar. Keempat, terjadinya
imam dapat melalui mubaya’ah, istiklaf taghallub yang kemudian diikuti dengan
baiat. Kelima, imam dipilih oleh rakyat dengan jalan musyawarah,
syarat-syarat anggota majelis antara lain syura antara lain, menguasai kitab
Allah dan sunnah Rasulullah, mengamalkan kitab Allah SWT, Adil dan jujur,
baligh dan dewasa.
11. Firqah Murjiah
Kelahiran
Firqah Murjiah tidak begitu jelas, tetapi dapat dibatasi waktu munculnya, yaitu
pada dekade-dekade terakhir dari abad pertama. Firqah ini lahir sebagai efek
antithesis atau reaksi terhadap kehiperbolisan Khawarij dalam aqidah mereka
dari segi pengafiran dan kekerasan bahwa amal adalah bagian yang tak
terpisahkan dari iman. Menurut Khawarij, pelaku dosa besar bukanlah seorang
mukmin. Orang-orang Murjiah mengatakan pendapat yang sebaliknya, “Iman adalah
ma’rifatullah (mengenai Allah), tunduk, dan cinta kepada-Nya dengan hati.
Murjiah diambil dari al-irja, yaitu menunda, menangguhkan, mengakhirkan:
mungkin karena mereka mengakhirkan tingkatan amal dari iman. Hakikat terakhir
yang pantas untuk diketahui tentang mazhab ini adalah bahwa ia adalah mazhab
agamis filosofis. Objeknya membahas hakikat iman dan hubungan amal dengannya,
dari segi teoritis semata, sama seperti mazhab Muktazilah dalam periode
lahirnya.[44]
Aliran
teologi al-Murji’ah sebagaimana juga al-Khawarij, pada mulanya juga ditimbulkan
oleh kasus politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan
dikalangan umat Islam setelah Utsman bin Affan mati terbunuh.[45]
Golongan Murji’ah merupakan golongan memiliki sikap netral dan memiliki
pandangan bahwa setiap persoalan yang dilakukan oleh umat Islam atau
golongan-golongan lainnya−lebih baik menundanya penyelesaian sampai persoalan
mereka kepada Tuhan di akhirat nanti.
Dalam
pandangan Murjiah pada bidang teologi, pemikiran mereka cenderung mengacu kepada
permasalahan iman, kufur, dosa besar, dosa ringan, tauhid, tafsir Al-Qur’an,
eskatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman nabi, ada yang kafir di
generasi awal islam, tobat, hakekat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta
ketentuan tuhan. Murji’ah memiliki empat ajaran pokok, yaitu: (1), Menunda
hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang
terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat
kelak. (2), Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa
besar. (3), Meletakkan (pentingnya) iman dari amal. (4), Memberikan pengharapan
kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari
Allah. Inti faham atau doktrin-doktrin Murji’ah adalah sebagai
berikut :
a.
Iman ialah mengenal Allah dan Rasulnya,
barangsiapa yang tidak mengenal bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad sebagai Rasul-Nya”, ia mukmin sekalipun melakukan dosa.
b.
Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman,
sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar, tidaklah akan
menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan hukumnya[46]
12. Survei Analisis Evolusi Pemikiran
Teori Politik Islam dari Era Kenabian, Sahabat Hingga Sekte-Sekte Islam
Dari
sketsa historisitas kelahiran teori-teori politik Islam sejak era kenabian
hingga mengalami evolusi pada masa sahabat−kekhalifahan para khulafa
Al-Rasyidun dan melahirkan partai-partai (sekte-sekte) dan membawa
kecenderungan memiliki pemikiran politik yang berbeda. Dari sepanjang sejarah
itu hingga seperti yang kita kenal pada masa kini dunia Islam dengan ragam
corak pemikiran kelompok-kelompok Islam yang ada dan bahkan seolah memuncukan
teori politik baru adalah sebuah implikasi dari historis teori politik Islam
masa lalu, hal ini tidak dapat disangksikan sebagai sebuah evolusi dari teori
poltik Islam.
Evolisi
pemikiran teori politik Islam tersebut, menurut analisa penulis secara umum hal
ini dilatarbelakangi dan berimplikasi pada berbagai hal yaitu; Pertama,
pada era kenabian aspek penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Nabi SAW
masih sangat labil ditengah pengaruh dan tantangan intimidasi kaum Kafir
Quraisy. Kedua, Langkah perpolitikan yang diterapkan oleh Nabi
SAW pasca hijrahnya ke kota Madinah Al-Munawarah memberikan nuangsa demokratis
bagi umat Islam dan umat agama lain. Ketiga, Madinah dalam potret
sejarah dengan kehadiran agama Islam menampilkan corak negara Islam pertama
dengan politik Islam di dalamnya membawa pada sebuah eksperimen tunggal yang
sulit terulang pada masa kini. Keempat, teori-teori Islam yang
ditularkan Nabi kepada para sahabat membawa inspirasi dalam mengembang amanah
penyebaran Islam sebagai rahmatan lilalamin, Kelima, dalam
masa pemerintahan para khalifah Al-Rasyidun memiliki tantangan dari beberapa
kelompok masyarakat Islam yang memiliki kecenderungan kontra pemerintah dan
memunculkan ketidakpuasan suatu golongan terhadap khalifah. Keenam,
perbedaan kemampuan para pemimpin Islam dalam memimpin negara atau suatu
daerah dan ummat Islam yang tersebar luas sehingga melahirkan potensi kelompok
tertentu untuk membesarkan dan mengembangkan ideology dan politiknya. Ketujuh,
cita-cita pemimpin Islam melalui penyebaran agama Islam (ekspansi) ke berbagai wilayah
di dunia membawa pengaruh pada kelompok tertentu untuk merumuskan teori-teori
politik.
C.
Penutup
Kesimpulan
Kesempurnaan
era kenabian merupakan ciri utama yang nampak dan membawa perubahan sosial pada
masyarakat Arab umumnya. Dalam pembentukan negara Islam−negara Madinah, Nabi
SAW telah menerapkan politik Islami sehingga negara yang dipimpinnya mendapat
pengakuan dari musuh-musuh Islam (kaum Kafir Quraisy) bahkan dunia. System
pemerintahan demokratis negara Madinah merupakan sebuah eksperimen tunggal yang
belum pernah berulang pada pemerintahan hingga masa kini.
Politik Islam adalah suatu alat atau strategi yang digunakan untuk
mencapai tujuan inti dalam suatu pemerintahan dalam kenegaraan yang berasaskan
nilai-nilai transedental dan syariah Islam. System
terbentuknya kekhalifahan bermula dari penunjukan Abu Bakar menjadi khalifah
pada pertemuan Saqifah. Hasil pertemuan ini sebagai salah satu sejarah penting
dalam Islam sebagai kelanjutan kepemimpinan Rasulullah dalam pemerintahan
Islam.
Sejarah
kelahiran sekte-sekte dan teori-teori Islam bermula dari masa-masa akhir
kekhalifahan Utsman bin Affan, corak pemerintahannya yang banyak membawa polemik
internal Islam mulai melahirkan kelompok-kelompok gerakan yang anti
pemerintahan hingga hal ini berlanjut dan mencapai puncaknya masa kekhalifahan
Ali Bin Abi Thalib dengan melalui pertentangan Ali dan Mua’wiyah hingga menyebabkan kematian khlaifah Ali
pasca peristiwa tahkim, polemik dan perpecahan ummat Islam ini diperparah
dengan lahirnya sekte-sekte Islam seperti Syiah Khawarij, Mu’tazilah, Ahlu
Sunnah, Murjiah yang masing memiliki ideologi dan pemikiran politik yang sangat
berpengaruh pada perkembangan Islam pada tahap selanjutnya.
Masa
keemasan pemerintahan yang dicontohkan Nabi ketika di Madinah melalui praktek
politiknya yang Islami terus mengalami evolusi−politik baik dari kekhalifahan
pertama hingga khalifah terakhir dan bahkan mengalami puncak evoluisi politik
ini dengan lahirnya sekte-sekte Islam, hal ini dipengaruhi dan mempunyai
latarbelakang yang berbeda.
Dengan
pembaiatan Mua’wiyah sebagai khalifah akibat dari kegagalan peristiwa tahkim
yang merugikan pihak Ali merupakan partai politik pertama yang muncul dalam
sejarah ummat Islam. Pasca kekhalifahan para khulafa Al-Rasyidin (akhir
pemerintahan Ali bin Abi Thalib) memulai babak baru sejarah Islam yang
berbeda-beda dengan lahirnya sekte-sekte Islam. sekte-sekte Islam yang lahir
yaitu Khawarij, Syiah, Mu’tazilah, Ahlul Hadis dan Sunnah dan Murjiah.
Masing-masing sekte Islam ini memiliki peta pemikiran politik yang berbeda-beda
dan dipengaruhi oleh berbagai alasan yang kuat sehingga tidak heran jika perbedaan
pemikiran politik mereka menjadikan umat Islam tersekat dalam tradisi
perpecahan politik, teori-teori politik yang muncul sebagai evolusi kritisisme
yang membawa pengaruh luar biasa dalam sepanjang sejarah Islam hingga masa
sekarang ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Mumtaz, Masalah-Masalah Teori Politik Islam,
Bandung: Penerbit Mizan, 1996.
Albana, Jamal, Runtuhnya Negara Madinah (Islam Kemasyarakatan
versus Islam Kenegaraan), terj. Jamadi Sunardi dan Abdul Mufid, edt.
Khotimatul Husna, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Alyah, Hamiyatul, Sketsa Historis
Politik Islam Masa al-Khulafa al-Rasyidun, dalam Sejarah Politik Islam (Panggung
Pergulatan Politik Kekuasaan dari Timur Tengan Hingga Asia, Yogyakarta:
Nusantara Press, 2011.
Ana Retnoningsih, dan, Suharso, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Lux, Semarang: Widia Karya, 2011.
Asbahri, Alfajri, dkk, Teori Politik Islam,
dalam pdf. Tugas Makalah PAI, Bandung: Institut Tekhnologi Bandung, 2011.
Azra, Azyumardi, dkk, Artikulasi Islam Kultural (Dari Tahapan
Moral ke Periode Sejarah), Edt. Asep Gunawan, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
Esposito, L., John, Islam Kekuasaan Pemerintahan, Doktrin Iman
dan Realitas Sosial, terj. M.Khoirul Anam, Jakarta: Inisiasi Press, 2004.
Fachruddin, Mohd., Fuad, Pemikiran Politik Islam, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1998.
Karim, Abdul,
M., Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Bagaskara, 2012.
Hamzah, Muchotob, Menjadi Politisi Islami (Fikih Politik),
Yogyakarta: Gama Media, 2004.
Maryadi, eds, Telaah Kritis tentang Keadilan Para Sahabat dan
Referensi Politik dalam Islam, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2002.
Muhamamad, Ali, Rusjdi, Politik Islam, Sebuah Pengantar, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar kerja sama BDI PT. Arun BDI PIM dan Yasat, 2000.
Nurdin, Amin, M. dan Abbas, Fauzi, Afifi, Sejarah Pemikiran
Islam, Teologi-Ilmu Kalam, Jakarta: Amzah, 2011.
Rais, Dhiauddin, Muhammad, Teori Politik Islam, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Salim, Muin, Abdul, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik
dalam Al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Sawiy, Yujah, Khairuddin, Perebutan Kekuasaan Khalifah,
(Menyingkap Dinamika dan sejarah Politik Kaum Sunni), Yogyakarta: Safiria
Insania Press, 2005.
Syam,Irfan,
Pemikiran Khawarij dan Al-Murjiah, dalam Website, http://irfansyamd.blogspot.
com /2012/05/pemikiran-al-khawarij-dan-al-murjiah.html.
Watt, Montgomery, W. Politik Islam dalam Lintasan Sejarah,
terj. Helmy Ali, Muntaha Azhari, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren
dan Masyarakat (P3), 1988.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1998.
[1] Abdul Muin
Salim mengutip Deliar Noer mengemukakan bahwa politik adalah segala aktivitas
yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan
jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.
Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 37.
[2] Politik
Islam dalam bahasa agamanya disebut Fiqh Siyasah
dalam konteks terjemahan diartikan sebagai materi yang membahas mengenai
ketatanegaraan Islam (Politik Islam). Secara bahasa Fiqh adalah
mengetahui hukum-hukum Islam yang bersifat amali melalui dalil-dalil yang
terperinci. Sedangkan Siyasah adalah pemerintahan, pengambilan keputusan,
pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan. Alfajri Asbahri, dkk, Teori
Politik Islam, dalam pdf. Tugas Makalah PAI, (Bandung: Institut
Tekhnologi Bandung, 2011), hlm.11.
[3] Kegagalan
literatur masa kini yang berkaitan dengan Islam dan politik, yang secara teori
peduli dan peka terhadap masalah-masalah yang besar yang senantiasa timbul yang
mendasari basis normatif dan praktek pemerintah, sebagian besar disebabkan oleh
tidak memadainya disiplin itu sendiri. Ilmu politik modern telah mendefinisikan
sedemikian sempit sehingga kehilangan kaitannya dengan aspek-aspek lain dari
upaya-upaya kolektif kehidupan manusia. Mumtaz Ahmad, Masalah-Masalah Teori
Politik Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 13.
[4] W.Montgomery
Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, terj. Helmy Ali, Muntaha
Azhari, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3),
1988), hlm. 1.
[5] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 25-26
[6] Badri Yatim, Sejarah.,
Ibid, hlm. 27.
[7] M. Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Bagaskara,
2012), hlm. 74.
[8]John L.
Esposito, Islam Kekuasaan Pemerintahan, Doktrin Iman dan Realitas Sosial,
terj. M.Khoirul Anam, (Jakarta: Inisiasi Press, 2004), hlm. 15.
[9]Jamal Albana, Runtuhnya
Negara Madinah (Islam Kemasyarakatan versus Islam Kenegaraan), terj. Jamadi
Sunardi dan Abdul Mufid, edt. Khotimatul Husna, (Yogyakarta: Pilar Media,
2005), hlm. 9.
[10] Jamal
Albana, Runtuhnya., Ibid., hlm. 7.
[11]Jamal Albana, Runtuhnya.,
Ibid, hlm. 27.
[12]Suharso dan Ana
Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, (Semarang: Widia
Karya, 2011), hlm. 386.
[13]Muhammad
Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 4.
[14] Muhammad
Dhiauddin Rais, Teori., Ibid, hlm. 7.
[15]Islam
telah menjamin keberadaan factor ini, saat ia mengakui keberadaan prinsip,
yaitu prinsip kebebasan berpikir bagi individu, atau dengan ungkapan lain,
terdapat pengakuan Islam akan hak individu untuk berpikir independen dan hak
individu untuk mengikuti hasil yang dicapai oleh pemikirannya itu, dan hanya
mengikuti kata hati. Inilah prinsip yang diakui dalam kitab-kitab fiqih dan
ushul fiqih dengan nama Ijtihad. Muhammad Dhiauddin Rais, Teori., Ibid, hlm. 8.
[16]Islam
tidak memberikan ikatan atau penghalang bagi usaha untuk mengkaji dan berpikir
dalam bidang kebebasan berpikir. Tidak ada sesuatu yang menghalangi timbulnya
hasil dari factor ini. Karena dalam bidang ini, Islam memilih untuk bersikap
diam. Muhammad
Dhiauddin Rais, Teori., Ibid, hlm. 9.
[17]Ia memang
membentuk suatu ummah (konfedarasi), akan tetapi untuk menjalankannya
Nabi tidak tinggalkan wasiat, pesan atau menunjuk siapa diantara sahabatnya
bakal menjadi khalifah. Pemikiran (persoalan politik) yang pertama muncul dalam
Islam setelah wafatnya Nabi bukan masalah teologi. M. Abdul Karim. Sejarah.,
hlm.79.
[18] Muhammad
Dhiauddin Rais, Teori., hlm. 10.
[19]Walaupun
pertemuan ini pada awalnya hanyalah golongan-golongan Anshar yang akan segera
memutuskan kepemimpinan Islam selanjutnya, namun dengan kehadiran Abu Bakar
As-Shiddiq dan sahabat-sahabat lainnya dari golongan Muhajirin maka
perbincangan politik yang tengah berlansung diambil alih oleh Abu Bakar
As-Shiddiq untuk memberikan keterangan-keterangan terkait pemutusan seorang
pemimpin yang memiliki kriteria kepemimpinan.
[20] Azyumardi
Azra, dkk, Artikulasi Islam Kultural (Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah),
Edt. Asep Gunawan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 57.
[21]Muhammad
Dhiauddin Rais, Teori., Ibid, hlm. 15. Walaupun Muhammad Dhiauddin Rais
mengemukakan bahwa teori membela kaum Anshar adalah teori pertama yang timbul
dalam sejarah pemikiran dan politik Islam, namun dengan analisis penulis jika
kembali pada era kenabian terutama pada pembentukan Negara Islam Madinah dan
pemerintahannya selama kurang lebih sepuluh tahun, disana telah terlihat
teori-teori politik Islam yang telah dipraktekkan Nabi semasa pemerintahannya,
baik dalam penyebaran Islam maupun dalam peperangan.
[22] Muhammad
Dhiauddin Rais, Teori., Ibid,
[23] Dalam
pengertian ini bai’at berarti persetujuan terhadap pencalonan seorang bakal
pemegang khalifah dan kesepakatan atas pencalonannya. Dalam hal ini pencalonan
(bai’at) terhadap Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah peristiwa bai’at politik pertama
sepanjang sejarah Islam. Rusjdi Ali Muhamamad, Politik Islam, Sebuah
Pengantar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar kerja sama BDI PT. Arun BDI PIM dan
Yasat, 2000), 45.
[24] Mumtaz Ahmad,
Masalah., hlm. 19.
[25] Hamiyatul
Alyah, Sketsa Historis Politik Islam Masa al-Khulafa al-Rasyidun, dalam Sejarah
Politik Islam (Panggung Pergulatan Politik Kekuasaan dari Timur Tengan Hingga
Asia, (Yogyakarta: Nusantara Press, 2011), hlm. 78.
[26] Fuad Mohd. Fachruddin, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1998), hlm. 86.
[27] Muhammad
Dhiauddin Rais, Teori., hlm. 22.
[28] Muhammad
Dhiauddin Rais, Teori., Ibid, hlm. 25.
[29] Muhammad
Dhiauddin Rais, Teori., Ibid, hlm. 26-30
[30] Seperti
penduduk Kuffah menuntut pemecatan wali yang waktu itu dijabat oleh al-Walid
bin Uqbah al-Umawi, saudara seibu Utsman dengan beberapa alasan diantaranya
mereka menuduhnya bahwa dia sering mengobrol dengan Abi Zubaid ath-Tha’I,
seorang pemuda penyair Nasrani dan mereka sama-sama mabuk, sebagian dari mereka
menjadi saksi. Muhammad Dhiauddin Rais, Teori., Ibid,
[32] Muhammad
Dhiauddin Rais, Teori., hlm. 30
[33] Peristiwa ini
terjadi ketika perang Shiffin (26 Juli 657 M), yang mempertemukan kekuatan
Mua’wiyah dan Ali, terjadi adu tekhnik kelicikan. Atas usulah Amr ibn al-Ash,
Mua’wiyah menawarkan perdamaian dengan mengangkat al-Qur’an, akhirnya perang
berhenti. Dua tahun kemudian di Dumatul Jandal bertemu antara pihak Ali dan
Mua’wiyah yang masing-masing berjumlah 400 orang yang akhirnya tahkim gagal
total akibat tipu muslihat dari Amr bin al-Ash. M. Abdul Karim. Sejarah.,
hlm.107.
[34]Khairuddin
Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah, (Menyingkap Dinamika dan sejarah
Politik Kaum Sunni), (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hlm. 7-8.
[35] Muhammad
Dhiauddin Rais, Teori., hlm. 34 & 35.
[36] Muchotob
Hamzah, Menjadi Politisi Islami (Fikih Politik), (Yogyakarta: Gama
Media, 2004), hlm. 34.
[37] Muchotob
Hamzah, Menjadi.,Ibid, hlm.32-33.
[38]Maryadi, eds, Telaah
Kritis tentang Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam,
(Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 531.
[39] Maryadi, eds, Telaah.,
Ibid, hlm. 530.
[44] Muhammad
Dhiauddin Rais, Teori., hlm. 54-55.
[45] M. Amin Nurdin
dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, Teologi-Ilmu Kalam,
(Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 23,
[46] Irfan
Syam, Pemikiran Khawarij dan Al-Murjiah, dalam Website, http://irfansyamd.blogspot.com
/2012/05/pemikiran-al-khawarij-dan-al-murjiah.html, di
Akses, 24 Maret 2013.