Selasa, 25 November 2014

Guru dan Pahlawan Memerdekakan

GURU DAN PAHLAWAN MEMERDEKAKAN
Oleh: Umar Ahmad Darwis
Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Semarak hari guru tanggal 25 November tiap tahunnya dan hari pahlawan 10 November 2014 beberapa hari yang lalu masih terasa hangatnya, kedua hari itu merupakan moment sangat tepat dalam membangun paradigma yang lebih mencerahkan bagi para guru. Jika momentum sejarah 10 November disebut sebagai hari para pahlawan bangsa Indonesia dimana sejarahnya menorehkan gagasan dan terobosan yang dijadikan refleksi dan memerlukan adanya metomorfosis dinamis kearah yang lebih futuristik. Para pahlawan masa lalu cukup berandil dalam perebutan kemerdekaan, mereka adalah patriot sejati dengan nasionalisme yang tinggi tak pelak jiwa dan raga sebagai konsekuensi dari perjuangan itu demi tegaknya tiang kemerdekaan negeri ini. Lalu siapakah yang bisa disebut pahlawan dimasa sekarang?
Dialah guru, guru adalah pahlawan. Sebuah kalimat klasik yang tidak asing ditangkap indera pendengar kita, “Pahlawan tanpa tanda jasa”. Demikianlah ungkapan masa lalu sering terdengar hingga sekarang sebagai bentuk penghargaan lisan akan pengabdian guru dalam mencetak pahlawan-pahlawan di negeri ini. Seperti halnya ungkapan satiris dalam nyanyian seorang Iwan Fals “Guru Oemar Bakri” sosoknya yang asketisis dalam pengabdian yang tulus tanpa pamrih. Dalam imajinasi kolektif kita pahlawan selama ini dikenal ialah orang-orang pilihan yang hanya diberikan penghargaan kepahlawanan membela Negara melawan penjajah dalam merebut kemerdekaan. Dalam konteks kekinian pahlawan tak hanya disematkan kepada pejuang kemerdekaan itu, tetapi pahlawan sebetulnya tidak lekang oleh waktu never ending process ialah guru-guru. Ia menghasilkan rambahan intelektual pada generasi penerus sejarah dan pelanjut pembangun bangsa (national building) dimasa sekarang dan akan datang.
Ungkapan “pahlawan tanpa tanda jasa” yang disematkan pada guru adalah bukti kehebatannya, walau dimasa kini kenyataan kepahlawanannya kian tergaransi. Bahkan dimana Nabi Muhammad SAW pun sangat menghargai peranan dan tugasnya yang mulia dengan menyandingkan derajat kenabiannya dengan derajat guru. Secara etimologi bahasa Inggris “guru” disebut teacher, disebut pula trainer, instruktur, dalam bahasa Arabnya disebut al-muallim, al-murabbi, al-mudarris. Demikian beberapa padanan kata yang dapat disimpulkan sebagai pelopor dan agen pembelajar,  menandakan luas cakupan edukatif dan peranan guru sebagai pahlawan.

Guru dan Gagasan Pembangunan
Meneropong sejarah dimana pidato Bung Karno pada tahun 1963 menyatakan tiga pilar (Trisakti) pembangunan yakni “Indonesia berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadaian secara sosial-budaya” (Kompas 10/5/2014). Slogan “Revolusi Mental” pemerintahan terpilih Jokowi-Jk bukanlah sekedar frase biasa melainkan cita-cita luhur dan dijadikan agenda pembangunan serta gerakan nasional yang berasas konsep pada pilar Trisakti Bung Karno tersebut. Sebelumnya pemerintah telah mencanangkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPMJ) dan program Generasi Indonesia Emas 2045 yang bermuara pada kecerdasan kehidupan bangsa, adil dan sejahtera.
Mewujudkan gagasan itu menuntut peranan masyarakat berkesadaran kolektif (conscious collective). Pembangunan bidang pendidikan, bidang kesehatan adalah agenda prioritas dengan peningkatan kualitas pendidikan melalui program Indonesia Pintar, Indonesia Sehat yang bermuara pada Indonesia sejahtera. Sebagai bagian dari konsep tersebut maka gurulah yang dimandatkan dan pemegang amanah meletakkan gagasan-gagasan dasar, pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (skill) sebagai asas pembangunan.
Guru mengambil bagian akselerator dalam pembangunan bangsa yang maju dengan rujukan historisnya, kita tidak heran jika Kaisar Hirohito mempertanyakan seberapa jumlah guru yang masih tersisa atau hidup usai pengeboman tentara sekutu terhadap kota Herosima dan Nagasaki di Jepang. Sikap ekspresif dan semangat juang sang kaisar yang tak minder patriotisme itu adalah peran kesadaran yang super power meniti awal pembangunan sumber daya dan kemajuan bangsanya. Dia menginspirasi bagi many people power dimana pun untuk berjiwa patriotis. Dalam perspektif inilah membangun kultur kemajuan oleh guru ialah melalui dogma kepahlawanan yang benar dan meneguhkan konsepsi kemandirian.

Tantangan Kepahlawanan Guru
Tugas guru memberikan pengetahuan (cognitive), sikap dan nilai (afektif) dan keterampilan (psikomotorik) kepada anak didiknya (Idris,1982:70). Pengertian spesifik dalam pembelajaran, Undang-Undang Guru dan Dosen menyebutkan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Profesionalisme guru sangat dikaitkan dengan kompetensi yang dimiliki yakni kompetensi paedagogik, kepribadian, professional dan sosial.
Sebagai entitas kepeloporan dan kepahlawanan guru dikenal memiliki pengetahuan,  kecakapan luas yang berbeda dengan orang pada umumnya. Ia mempunyai peran yang sangat penting sebagai rule model, sebagai pendidik, dan sebagai agen pembelajaran. Bertolak dari peran mulianya itu, guru dihadapkan pada berbagai konsekuensi logis dimana tanggung jawabnya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa itu terus diuji semangat nasionalisme dan patriotisnya dihadapan pergeseran tata nilai (karakter) generasi bangsa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.
Realita dilematis tengah terjadi pada generasi yang kehilangan semangat juang, berkiblat pada modernitas atas nama pembaratan ditengah terjangan globalisasi. Betapa tidak generasi bangsa kian dimanjakan budaya tekhnologi yang mengikis rasa nasionalisme dan patriotisme bahkan kehilangan pemahaman sejarah dan pahlawannya, sejarah pahlawan dianggap hanya sebagai kesan masa lalu dan tak ada hubungannya dengan trend modernitas. Cara pandang generasi bangsa yang demikian serba instan dan kerap tidak ingin hidup sulit adalah peristiwa nyata kehilangan jati diri sifat kepejuangan dan kepahlawanan.

Refleksi ke Pro Aksi dan Pro Nilai
Selain guru penting mengenalkan identitas pahlawan sebagaimana tertulis dalam manuskrip-manuskrip, guru diperlukan lebih membelajarkan arti kepahlawanan yang memerdekakan, membelajarkan nilai-nilai kepahlawanan yang sesungguhnya, maka dengan itu guru telah merefleksikan dirinya sebagai again of change yang lebih memerdekakan. Dialah sosok dalam transfer of values dan pembangun nilai, Nilai dalam konteks kepahlawanan dapat mencakup profesionalitas, semangat juang (spirit struggle), kegigihan (tenacity), kedisiplinan (discipline) dan kepekaan (sensitivity).
Demikian diharapkan heroisme guru yang pro aksi dan pro nilai (baca: karakter). Pro aksi lebih menekankan pada kesadaran dan keaktifan membangun literasi pembelajaran, sedangkan pro nilai cenderung kaitannya memenuhi esensi nilai dalam basis edukatif. Sebagaimana wacana pendidikan budaya dan karakter bangsa maka substansi peranan guru sebagai pendidik dan rujukan model yang baik adalah sebuah keharusan untuk selalu dibumikan. Slogan revolusi mental dan jargon politik yang dicanangkan  pemerintahan Jokowi-JK, didalamnya termasuk konteks reposisi paradigma guru dan kultur pendidikan yang harus lebih pro aktif membelajarkan, mencerahkan dan memerdekakan bangsa. Perubahan paradigma itu sangat penting men-drive tugas pro aksi dan pro nilai dalam peran heroik guru. Guru berotoritas mengintegrasikan kedua perannya itu sebagai kekuatan kepahlawanan sehingga tumbuh kesadaran generasi bangsa membangun kemajuan dengan kekuatan nilai-nilai kepahlawanan tanpa kekaburan pemahaman akar historisnya.
Transformasi yang lebih pro aktif dan pro nilai adalah konsep yang lebih menginternalisasikan substansi pendidikan yang lebih memerdekakan sehingga tumbuh kesadaran social sensitivity dan social responsibility. Oleh karena itu ditengah krisis nilai dizaman edan dan jebakan pop cultural ini maka reorientasi kepahlawanan guru mutlak diperlukan. Idealnya guru ialah suri teladan bagi siapa pun, ia pencipta pahlawan disemua bidang kehidupan dengan transformasi nilai kemanusiaan dan nilai ketuhanan, maka sifat kepahlawanannya itu dimanifestasikan oleh pahlawan-pahlawan baru yakni generasi bangsa dimasa sekarang dan yang akan datang. Dari transformasi itu maka wajar jika guru sebagai pahlawan yang tak mengenal lelah dalam interaksi edukatifnya, Arifuddin menyebut “Pahlawan Tanpa Batas” ia yang dapat menembus batas teritorial dan primordial, pahlawan yang didasari oleh hari nurani dialah pahlawan sesungguhnya, (Tribun Opini, 11/11/2014).
Demikian dapat disepadankan guru yang dapat memenuhi panggilan jiwa kemanusiaan yang memanusiakan manusia menjadi pahlawan sejati. Walaupun bias pemahaman kita bahwa pahlawan diidentikkan pada seseorang yang membebaskan orang lain dari penderitaan, tetapi bukankah dalam konteks profesi yang mulia dan jangka panjang, maka gurulah adanya?, maka sangat pentinglah posisi guru yang  membebaskan itu. Rasulullah SAW bahkan menyarankan saat menentukan profesi “jadilah kamu seorang guru atau murid yang baik”. Dari sanalah tunas dan paradigma guru dapat  tumbuh sebagai pahlawan yang memerdekakan. Wallahu a’lam bisshawaab.

Referensi:

Arifuddin, Pahlawan Tanpa Batas, Harian Tribun (Opini), Edisi 11 Nov. 2014.
Idris Zahara, Dasar-Dasar Kependidikan, Bandung: Angkasa, 1982.
Joko Widodo, Revolusi Mental, Harian Kompas (Opini), Edisi 10 Mei 2014.
Undang-Undang Guru dan Dosen.


Artikel ini juga telah dimuat di http://edukasi.kompasiana.com/2014/11/26/guru-dan-pahlawan-memerdekakan-693512.html




Selasa, 11 November 2014

PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP BERBASIS PENDIDIKAN ISLAM SEBUAH PARADIGMA INTEGRATIF


Tulisan ini telah diterbitkan oleh
Jurnal Studi Islam An-Nuur  
Vol. V No. 1 Juni 2013 STIQ An-Nuur Yogyakarta
Cat: Jika dicopy mohon sertakan sumbernya.


PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP BERBASIS PENDIDIKAN ISLAM
SEBUAH PARADIGMA INTEGRATIF

Oemar Achmad Darwis 
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstract
The environmental issue which happens in this era is so bad, fluctuative, and continuity, so the affect is to human’s life system. The environmental issue of global ecology is about moral degradation. Environmental education at least has a great constribution in the efford to impede the decline of the environmental quality through an integrative Islamic education. Islam has already defined the constraints and concepts of education based on environment. Thus, two main strategies should be wholly integrated i.e environmental education and Islamic education. Integrative education can be able people either individual or in group realize the exixtence of the importance of maintaining the environment by promoting solutions in Islamic principles.
Key words: Environmental Education, Islam, Integrative.
                                                                                        
Abstrak
Persoalan lingkungan hidup yang tengah terjadi begitu buruk, fluktuatif, dan berkepanjangan dalam era globalisasi, sehingga sangat berpengaruh terhadap system kehidupan manusia (human life system). Persoalan lingkungan (ekologi secara global) merupakan persoalan moral secara global, pendidikan lingkungan hidup setidaknya cukup  mengambil porsi dalam upaya membendung tingkat laju penurunan kualitas lingkungan melalui integratif pendidikan Islam. Agama Islam telah memberikan batasan-batasan dan konsep transformasi pendidikan yang berbasis lingkungan hidup, oleh karenanya disini perlu melibatkan dua strategi pokok yaitu dengan mengintegratifkan pendidikan lingkungan dan pendidikan Islam secara menyeluruh. Pendidikan integratif ini dapat membawa kecenderungan terhadap individu atau kelompok yang dapat memberikan efek kesadaran lingkungan sehingga turut mengedepankan langkah solutif melalui prinsip-prinsip Islam.
Kata Kunci: Pendidikan Lingkungan, Agama Islam, Integratif.

A.    Pendahuluan
Manusia yang hidup di atas planet bumi ini berada dilingkungan yang tidak ada batasnya, lingkungan ini berbeda satu sama lainnya dalam beberapa hal. Yaitu letak geografisnya, dataran, iklim, proses geologi dan tanahnya, sumber daya alam, serta flora dan faunanya. Unsur-unsur itu semuanya bisa mempengaruhi lingkungan manusia sebagaimana manusia itu sendiri pada saat yang sama mampu mempengaruhi unsur-unsur tersebut.[1]
Manusia dan lingkungan adalah dua unsur yang saling terkait dan tak dapat terpisahkan. Manusia dinilai sebagai aktor utama dalam kerusakan lingkungan yang diasumsikan memiliki akar keserakahan, ketidakpuasan, dan tidak bertanggungjawab, menjadikan alam lingkungan sebagai obyek nilai, ekonomi dan kebutuhan hidup pragmatis. Potret kerusakan ekologi ini melalui eksploitasi alam yang serampangan, hingga menyebabkan terbatasnya sumber daya alam, global warming (pemanasan global), bencana alam, kepunahan  ekosistem baik darat dan laut, menurunnya kualitas lingkungan hingga menjadi sebuah ancaman pada system kehidupan (life system) manusia itu sendiri. Disisi lain pengaruh dan paham materialisme dan kapitalisme global serta pemanfaatan tekhnologi yang tidak tepat guna dan ramah lingkungan turut menyumbang kerusakan lingkungan masa kini.
Pendidikan Islam membawa misi mencerdaskan kehidupan manusia melalui asas-asas spiritual dengan bersumber pada Al-Qur’an dan hadis. Islam telah menetapkan bahwa pendidikan tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia yang kegiatannya mewajibkan baik laki-laki maupun perempuan dengan tanpa memandang usia. Pendidikan sebagai sebuah kebutuhan hidup menuntut perubahan-perubahan yang terjadi yang didasarkan pada tujuan hakiki baik secara konseptual dan operasionalnya sehingga posisi yang diharapkan memperoleh kemampuan problem solving dalam berbagai tantangan, termasuk tantangan kerusakan ekologi−lingkungan.
Tujuan yang ingin diicapai oleh Al-Qur’an adalah membina manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahnya. Manusia yang dibina oleh makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan  inmaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwa menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaniahnya menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan dunia dan akhirat, ilmu dan iman.[2]
Dalam falsafah negara Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 33 ayat 3 menegaskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”. Makna sebenarnya yang terkandung bahwa negara diberikan hak penuh mengelolah sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dengan tanpa melakukan tekanan-tekanan yang melebihi batas kebutuhannya sehingga mengalami perubahan struktur kualitas ekologis. Namun seiring dengan perkembangan global, tuntutan kebutuhan pragmatis yang dipengaruhi oleh paham liberal dan kapitalisme menjauhkan makna-makna pesan yang seharusnya pro ekologi.
Persoalan tersebut semestinya dihadapi oleh aspek keagamaan melalui citra pendidikan yang berbasis pendidikan Islam dengan orientasinya membawa pada arah keadilan dan kesejahteraan manusia sebagai entitas yang hidup disekitar lingkungan. Pendidikan lingkungan hidup sebagai salah satu strategi memerlukan stimulus lingkungan sosial sehingga pencapaian dalam pengurangan resiko dari kualitas alam lingkungan dapat berdampak nyata melalui upaya pendidikan tersebut. Oleh karena itu persoalan-persoalan lingkungan yang diarahkan pada wilayah pendidikan Islam sangat urgen dalam kajian-kajian guna memperoleh pola solutif karena pendidikan lingkungan dan pendidikan Islam memiliki signifikansi keterkaitan.
Tulisan ini mencoba mengemukakan model pendidikan lingkungan dalam khazanah pendidikan Islam sebagai salah satu pandangan solutif terhadap masalah ekologi−lingkungan. Oleh karena itu dalam mengeksplorasi integratif hal tersebut maka diketengahkan tiga rumusan masalah pokok yaitu: (1) Bagaimana paradigma pendidikan Islam dan etika lingkungan?, (2) Bagaimana tinjauan problematika lingkungan?, (3) Bagaimana model pendidikan lingkungan yang berbasis pendidikan Islam?. Dari hasil eksplorasi tersebut tentunya diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman terhadap berbagai pihak khususnya dalam etika-etika lingkungan, sekali gus mengambil peran otokritik dan solutif serta menempatkan diri di sela-sela kekosongan ruang dalam dinamika dan polemiknya lingkungan hidup masa kini.

B.     Definisi Pendidikan dan Lingkungan Hidup
Pendidikan lingkungan adalah dua suku kata yang memiki makna yang berbeda, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha atau kegiatan yang meliputi bimbingan, pembinaan, pengajaran sehingga seseorang atau individu dapat mengetahui dan memahami sesuatu serta mempraktekkannya dalam kehidupannya secara nyata. Sedangkan lingkungan hidup beberapa pakar mendefinisikan seperti Harun M. Husein mengemukakan bahwa tempat, wadah, atau ruang yang ditempati oleh makhluk hidup yang berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain, baik antara makhluk-makhluk itu dengan alam sekitarnya.[3] Lingkungan hidup adalah jumlah semua benda yang hidup dan yang tidak hidup serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati.[4] Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 dijelaskan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan  semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.[5]
Dari beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwa lingkungan hidup adalah tempat atau ruang yang memuat suatu kesatuan yang di dalamnya meliputi berbagai jenis makhluk hidup baik tumbuhan, hewan dan manusia, dan atau merupakan tempat dimana manusia dan sesama manusia demikian pula makhluk hidup lainnya saling berinteraksi. Lingkungan hidup yang di dalamnya terstruktur komponen yaitu manusia, tanah, air,  hewan dan tumbuhan merupakan benda dari satuan yang ada disamping udara dan api.
Pendidikan lingkungan hidup dapat dipahami sebagai suatu kegiatan yang dilakukan untuk memberikan dorongan, bimbingan kepada seseorang atau kelompok dalam upaya penyadaran dan tanggung jawab etis terhadap pelestarian dan kelansungan lingkungan hidupnya. Dengan melalui pendidikan lingkungan hidup maka seseorang dapat lebih memahami eksistensinya sebagai manusia yang membutuhkan lingkungan dan sumber serta sandaran hidupnya sehingga dapat mengambil peranan upaya pencegahan dan mengkomunikasikan secara koheren kepada entitas individu atau kelompok lainnya.

C.    Paradigma Pendidikan Islam dan Etika Lingkungan
Istilah education, dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Latin educere berarti memasukkan sesuatu, barangkali memasukkan ilmu ke kepala seseorang. Jadi disini ada tiga hal yang terlibat; ilmu, proses memasukkan dan kepala orang, kalaulah ilmu itu memang masuk di kepala. Dalam bahasa Arab digunakan beberapa istilah dalam pendidikan Islam, seperti ta’alim, tarbiyah, dan ta’dib. Ketiga istilah dipergunakan untuk pengertian yang sama, namun ada beberapa ahli yang berpendapat seperti al-Attas yang dikutip oleh Hasan Langggulung, bahwa ta’lim hanya berarti pengajaran, jadi lebih sempit dari pendidikan. Dengan kata lain ta’lim hanyalah sebahagian dari pendidikan. Sedangkan kata tarbiyah, yang lebih luas digunakan sekarang di negara-negara Arab, terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk binatang dan tumbuhan dengan pengertian memeliharan, membela, menternak dan lain-lain lagi. Sedangkan pendidikan yang diambil dari education itu hanya untuk manusia saja. Ta’dib, lebih tepat sebab tidak terlalu sempit sekedar mengajar saja, dan tidak meliputi makhluk-makhluk lain selain dari manusia. Jadi ta’dib sudah meliputi kata ta’lim dan tarbiyah.[6]
Ramayulis dan Syamsul Nizar berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah suatu system yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia  akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakininya.[7]
Pendidikan Islam dirancang tidak hanya dalam menentukan corak hitam atau putih kehidupan seseorang, namun mengarahkan pula dalam bingkai kesadaran baik kesadaran bertauhid, berkesadaran bahwa seseorang memiliki hubungan vertikal kepada khaliknya, berkesadaran dalam memelihara hubungannya dengan sesama manusia sebagai insan yang sama dihadapan Tuhan, demikian pula berkesadaran dalam berinteraksi dan memeliharan makluk lainnya−atau alam lingkungannya. Arah pendidikan Islam yang memasyarakatkan kesadaran manusia terhadap lingkungannya adalah aspek yang banyak dipraktekkan baik dalam forum-forum mimbar keislaman, forum seminar ilmiah hingga sosialisasi publik hal ini mengindikasikan betapa pentingnya dituntut kesadaran manusia dalam memeliharan hubungannya dengan kosmos. Jika dikaitkan dengan pendidikan keseharian maka alam lingkungan sangat berperan dan memberikan corak pendidikan terhadap seseorang, lingkungan sebagai salah satu media pendidikan memberikan pengaruh luar biasa terhadap perkembangan kehidupan seseorang, disisi lain dapat meningkatkan keimanannya melalui penelahaan terhadap tanda kebesaran Tuhan (Allah SWT) melalui tanda-tanda kosmos. Sebagaimana Nabi-nabi dan rasul terdahulu alam memberikan warna terhadap pola kehidupan dengan memahami kebesaran Tuhannya. 
Firman Allah yang bersifat qauliyah yakni Al-qur’an dan hadis shaih sebagai landasan sekali gus sumber pokok pendidikan Islam, demikian pula firman Allah yang bersifat qauniyah yan terkait ciptaannya sebagai tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya, ini membawa pada pengertian bahwa kehidupan manusia yang salah satunya berorientasi pada aspek pendidikan dan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut mengacu pada sumber pokok keduanya, demikian halnya pada sifat qauniyah-Nya.
Pendidikan Islam yang memiliki prinsip integral tak hanya membicarakan persoalan metafisik, tetapi meliputi skala makro yaitu alam semesta−kosmologi. Oleh karena itu dalam pandangan Islam terhadap jagad raya ini segala fenomena alam ini adalah hasil ciptaan Allah dan tunduk pada hukum-hukum mekenismen-Nya sebagai sunnatullah, untuk itu manusia harus dididik agar mampu menghayati dan mengamalkan nilai-nilai dalam hukum Allah tersebut. Manusia harus mampu mengorientasikan hidupnya kepada ketaatan dan kekuasaan yang berada di balik penciptaan alam raya serta mengaktualisasikan melalui tingkah laku dan memfungsionalkan dengan perbuatan.[8] Hakikat pendidikan adalah penyerapan informasi pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan pengkajian yang mendalam serta uji coba dan penerapannya dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Pendidikan Islam harus dikembangkan kearah penguasaan pengajaran yang berhubungan dengan fisika, kimia, biologi, astronomi, zologi, vulkanologi, tentang kelautan, ilmu bumi, agrobisnis, perbankan dan sebagainya. Pendidikan yang berkaitan dengan semua itu diseimbangkan dengan pendidikan akidah akhlak, yaitu tentang keimanan, dan ketauhidan, ikhtiar dan tawakkal, silaturrahmi antar sesama  manusia atau publik relation, komunikasi massa, perpajakan, infaq, sedekah, hibah, kewarisan dalam Islam dan sebagainya.[9]
Oleh karena itu pendidikan Islam yang berkembang adalah bermaksud memanusiakan manusia atau dengan kata lain memuliakan manusia. Dalam konteks ini manusia yang mulia tentunya pula memiliki pandangan yang tidak terbatas untuk kemuliaan dirinya tetapi orientasi kemuliaannya adalah memuliakan manusia lainnya, memuliakan makhluk hidup, serta memuliakan lingkungan sumber daya alam (memuliakan alam−kosmos) dimana sebagai basis kehidupannya.  Pendidikan merupakan kendaraan menuju terciptanya keimanan dan kesadaran ilmiah sehingga proses yang dilalui oleh menusia bersifat dinamis dengan system yang utuh sehingga tekad implementasi membawa pada perwujudan pendidikan melalui basis tujuan pendidikan.
Studi ekologi manusia dalam konteks pendidikan tidak lepas dari peranan manusia dan ekosistemnya yang melibatkan unsur, subjek, audien, materi, proses, media, tujuan dan efek. Manusia merupakan ciptaan Allah yang terbesar dan teristimewa diantara makhluk lainnya, sehingga ia mampu mewujudkan perbuatan yang paling tinggi pula.[10] Manusia sebagai unsur kosmos dilengkapi dengan indra dan instrument untuk memahami hakikat keberlangsungan dan kelestarian lingkungan sebagai obyek mengekspresikan system kehidupannya.
Pandangan Islam tentang alam dapat dilihat friman Allah dalam  Surat Al-Jatsiyah [45]:13 yang artinya yaitu:
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (QS.Al-Jatsiyah[45]:13.[11]


Dengan jelas ayat tersebut menginginkan manusia untuk merenungi ciptaan Allah yang berupa alam semesta. Memperlakukan alam lingkungan untuk pemanfataan sumber daya alamnya dengan cara-cara yang adil dengan tetap mengedepankan prinsip melindungi tanpa berbuat kerusakan. Disamping itu manusia sebagai khalifah (sebagai pemimpin di muka bumi) memiliki tugas dan tanggung jawab mengurusi bumi dalam artian menjaga kestabilan alam lingkungan dengan mengedepankan kemakmuran. Perintah untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi ini firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf menjelaskan yang artinya:
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-A’raf [7]:56[12]

Dalam ayat lain manusia dilarang membuat kerusakan dimuka bumi (QS. Al-Qashash [28]:77, larangan terhadap manusia melakukan perusakan terhadap tumbuhan, manusia dan lingkungan (QS.Al-Baqarah [20]:205, pentingnya menjaga keseimbangan (lingkungan atau kosmos) (QS.Ar-Rahman [55]:6-9.
Quraysh Shihab mengemukakan bahwa dalam pandangan agama, manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang tumbuh dan terhadap apa saja yang ada. Etika agama terhadap alam mengantarkan manusia untuk bertangggung jawab sehingga ia tidak melakukan perusakan atau dengan kata lain “setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri. Hal ini tidak sejalan dengan sikap sementara tekhnoratis yang memandang alam semata-mata sebagai alat untuk mencapai tujuan konsumtif manusia.[13]
Manusia sebagai bagian dari ekologi tidak dapat melepaskan diri dari kajian-kajian lingkungan sebab manusia merupakan unsur yang membawa pengaruh terbesar pada aspek kualitas lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, menghubungkan agama sebagai dimensi etik dengan persoalan ekologi dalam upaya mengambil pelajaran dari krisis ekologi yang terjadi, menjadi sangat urgen karena agama seringkali dipandang sebagai ajaran yang hanya memberikan petunjuk-petunjuk kehidupan yang realistis dan normatif.

D.    Tinjauan Problematika Lingkungan
Al-Qur’an telah menjelaskan tentang kerusakan alam yang diperbuat oleh manusia, dan sebagai bagian dari kerusakan tersebut diperlihatkan pada mereka agar mereka dapat mengintrospeksi diri, dalam Surat Ar-Ruum: 41 yang artinya:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Ruum [30] : 41).[14]

Manusia dan alam adalah dua entitas yang entah ungkapan apa yang cocok untuk mengintegratifkan kedua ciptaan Tuhan tersebut. Paradigma tersebut tidak dapat diingkari bahwa bumi mekanis dan alam bukan suatu produk inmateri yang tak semestinya dieksploitasi begitu saja. Problematika lingkungan banyak menuai simpati masyarakat dunia, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya digalakkan kegiatan-kegiatan upaya pencegahan dan meminimalisir bentuk kerusakan lingkungan. Fokus-fokus perhatian tersebut menandakan betapa rumit dan kompleksnya permasalahan lingkungan hidup yang cukup mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia, ditambah banyaknya kepentingan pihak-pihak terutama negara-negara maju yang terus mengembangkan kepentingan industrinya ditengah diterjangan arus globalisasi masa kini.
Tingkat keparahan lingkungan mencapai titik drastis ketika manusia memasuki babak baru kehidupan yang bernama era “modern”. Manusia telah memiliki kemampuan akal untuk mengelolah alam melalui tekhnologi canggih, melakukan eksploitasi tanpa batas demi memanfaatkan sumber daya alam hanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Paradigma manusia modernis yang telah mengalami pergeseran, alam yang menaklukkan manusia, kini manusia yang menaklukkan alam mengakibatkan manusia melakukan kerusakan lingkungan yang besar-besaran tanpa ada pertimbangan hari esok akna bagaimana.
Menurut Nadjamuddin Ramly, paling tidak ada empat hal penting yang menjadi problem bersama yang harus segera diselesaikan dalam waktu sesegera mungkin. Keempat permasalahan tersebut yaitu: Pertama, maraknya illegal loging di Indonesia dan beberapa negara lain, telah menunjukkan kian kritisnya permsalahan ini. Penggundulan hutan secara serampangan dan tidak mengindahkan norma-norma hukum maupun moral dan agama, telah menjadi sumber petaka yang amat mengerikan. Kedua, lemahnya penegak hukum yang membuat para cukong kayu dan koruptor lingkungan dengan lihai dan mudah ‘membabat’ hutan dan mencuri kekayaan alam kita. Ketiga, masalah global waming atau pemanasan bumi secara global, merupakan masalah lain dari lingkungan hidup yang cukup mendatangkan keprihatinan dari banyak pihak, terutama dari kaum environmentalis. Persoalannya justru disebabkan oleh pelaku manusia. Keempat, lemahnya pemahaman terhadap masalah lingkungan hidup.[15]
Menurut World Bank (2010), sumber permasalahan lingkungan utama di Indonesia dapat terangkum sebagai berikut: (1). Pemanasan global dan perubahan Iklim; (2). Pengelolaan hutan dan aliran air; (3). Penanggulangan bencana; (4). Kebijakan, lembaga, dan penyelenggaraan; (5). Sumber daya pesisir dan ekosistem terumbu karang.[16]
Mujiono Abdillah mengutip M.T. Zen.ed mengemukakan bahwa masa kontemporer modern ini lingkungan sudah menjadi masalah besar, problem lingkungan sudah setua umur dunia memang sangat kompleks, akan tetapi jika diteliti secara seksama sebenarnya bersumber pada 5 aspek yaitu: Aspek dinamika kependudukan, eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan, pertumbuhan ekonomi, perkembangan sains dan tekhnologi, dan benturan terhadap lingkungan.[17]

E.     Pendidikan Islam Sebagai Basis Pendidikan Lingkungan
1.      Agama Islam sebagai Pendekatan Kesadaran Lingkungan
Salah satu pendekatan yang dianggap penting dalam upaya menciptakan kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan adalah pendekatan agama Islam. Kesadaran lingkungan (environment awareness) adalah bentuk sikap stabil yang didukung oleh perasaan jiwa yang kuat sehingga seseorang atau kelompok masyarakat (komunitas), bangsa memiliki perhatian terhadap lingkungannya melalui bentuk-bentuk kegiatan yang bersifat konservatif pada sumber daya alamnya. Oleh karena itu lingkungan sumber daya alam, lingkungan dan manusia memiliki arti penting dan merupakan satu rangkaian yang saling mempengaruhi. Peranan manusia sebagai fungsional ekologis membawa kecenderungan pada dua aspek yaitu: Pertama, aspek potensi eksploitatif yang berujung pada mencemari dan bahkan memusnahkan lingkungan. Kedua, aspek konservatif sebagai bentuk dan tingkat kesadaran manusia terhadap lingkungannya.
Menurut Mujiono Abdillah, kesadaran lingkungan nampaknya terdapat beberapa tingkat. Dimulai dari tingkat kesadaran ilmiah ekolologis yang bersifat individual, kesadaran komunal sosial, kesadaran politik pendidikan dan hukum, kesadaran kultural dan kesadaran spiritual. Kesadaran spiritual merupakan kesadaran puncak tertinggi. Pengembangan kesadaran lingkungan dengan pendekatan agama Islam dapat dilakukan setidaknya dengan dua dimensi, yaitu dimensi teologi (aqidah) dan dimensi syari’ah. Dimensi teologi menfokuskan kajiannya pada system keyakinan Islam berkaitan dengan lingkungan Islam. Adapun dimensi syari’ah melahirkan fikih lingkungan dengan titik berat perumusan panduan operasional hidup berwawasan lingkungan dengan bingkai norma hukum wajib, haram, mubah, makruh dan sunnah.[18]
Konsep teologis Islam sebagai konsep dasar pembangunan yang utuh dan menyeluruh, mewujudkan optimalisasi pembangunan yang berwawasan lingkungan. Pembangunan sebagai salah satu aspek yang mempengaruhi keseimbangan ekosistem, pada dasarnya perlu ditempatkan pada nilai-nilai fundamental agama khususnya Islam, karena pembangunan pada umumnya didasarkan pada pertimbangan ekonomi dan ekologi. Dalam pembangunan, sumber daya alam dan lingkungan sebagai basis ekonomi dan aspek kebutuhan manusia, maka ekologi penting sebagai dasar pertimbangan manusia. Aktivitas manusia dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan melalui eksploitasi berlebihan mengarahkan kondisi lingkungan pada kerusakan yang bahkan akan membawa ancaman pada system kehidupan manusia (human life system).
Agama Islam sebagai rahmatan lilalamin, memberikan tinjauan dan spirit melalui nash Al-Qur’an. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa ekploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang dilakukan oleh generasi tempo dulu benar-benar menjadi penyebab terjadinya kerusakan lingkungan. Dengan ungkapan lain, kerusakan, pencemaran, dan pemusnahan lingkungan merupakan fenomena antropogenik bukan teogenik. Maksudnya, penyebab dominan timbulnya permasalahan lingkungan adalah akumulasi dari serangkaian prilaku manusia yang menentang sunnah lingkungan atau kontra ekologis.[19] Hal ini terdapat dalam Surat Ar-Rum ayat 9 yang artinya:  
Dan apakah mereka tidak Mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebihkuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak Berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang Berlaku zalim kepada diri sendiri. (QS. Ar-Ruum [30] : 9).[20]

Dalam dimensi syari’ah dalam hal ini fiqih pelestarian lingkungan, Islam memberikan panduan yang cukup jelas bahwa sumber daya alam dan lingkungan merupakan daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Sebab fakta spiritual menunjukkan bahwa Allah SWT telah memberikan fasilitas daya dukung lingkungan  bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu secara yuridis fiqhiyah berpeluang menyatakan bahwa dalam perspektif hukum Islam status hukum pelestarian lingkungan hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dua pendekatan yakni pendekatan ekologis dan pendekatan spiritual fiqhiyah Islamiyah. Secara ekologis pelestarian lingkungan merupakan keniscayaan ekologis yang tidak dapat ditawar oleh siapa pun dan kapan pun, oleh karena itu, pelestarian lingkungan tidak boleh tidak harus dilakukan oleh manusia. Sedangkan secara spiritual fiqhiyah Islamiyah Allah SWT, ternyata memiliki kepedulian ekologis yang paripurna.[21]
Berangkat dari uraian pendekatan kesadaran lingkungan tersebut, maka dalam mewujudkan gerakan lingkungan dapat ditelaah beberapa prospek langkah yaitu:
Pertama, Kecenderungan manusia yang modernisme memandang lingkungan−alam (kosmos) tidak lagi bernilai melainkan hanya untuk kemanfaatan kehidupan ekonomis yang bermaterialis, maka pentingnya kesadaran masyarakat manusia dalam beragama dan memaknai kandungan nilai-nilai spiritual lingkungan−alam (kosmos) sebagai  hal yang mendasari terciptanya kesadaran lingkungan. Sayyed Hossein Nasr, dalam “The Ecounter of Man Nature” sebagaimana dikutip oleh Nur Kholis Setiawan, berpendapat bahwa membangun etika lingkungan tanpa wawasan spiritual terhadap kosmos adalah tidak mungkin sekaligus tidak berdaya guna.
Kedua, kutipan yang sama dari Gary Gardner berpendapat bahwa para pemerhati dan aktivis lingkungan perlu menjalin kerjasama dengan kaum agamawan yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat. Ia berharap agar manusia modern tidak lagi meminggirkan agama dalam kehidupan global, dan memulai visi dan sikap baru dengan menggandeng kaum agamawan dalam menyelamatkan bumi.[22]
Ketiga, para pemimpin (penguasa) penting mengarahkan dan memberikan ruang bagi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, lingkungan yang berbasis ekologis konservatif dengan mengedepankan standar kebutuhan dan berasaskan pada nilai-nilai spiritualitas Islam.
Keempat, bagi pendidik dalam Islam penting menekankan aspek-aspek budaya dan kesadaran lingkungan hidup melalui pembinaan yang bersifat integratif dengan topik-topik problem sosial. Pentingnya diintegratifkan ini membawa pada aspek individu atau kelompok yang tidak hanya fokus pada satu topik solutif dalam problem-problem social, tetapi lebih pada upaya solutif yang secara berkesinambungan.
Kelima, Untuk menanggulangi agar kerusakan alam tidak semakin merajalela. Harus ada upaya mengganti pandangan antroposentris dengan pandangan kosmologis. Nadjamuddin Ramly bahwasanya manusia sebagai bagian dari alam. Oleh karena itu, visi antropocosmik ini harus dikedepankan untuk menggeser visi antroposentrisme, oleh karena itu, dalam antropocosmic manusia tidak dapat bertindak semaunya terhadap alam dan tidak dapat menggunakan segala yang ada di alam dengan seenaknya untuk kepentingan ekonomisnya. Manusia saat ini perlu mengembangkan sebuah teologi lingkungan hidup yang menjadikan alam sebagai  sahabat dan media untuk mengabdi pada Tuhan.[23]
Tanggung jawab melalui prinsip-prinsip agama dalam melestarikan lingkungan perlu diterjemahkan kedalam etika kehidupan secara universal. Bahwa merusak fungsi ekosistem tertentu adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab, tidak saja secara vertical kepada sang pencipta tetapi juga secara horizontal kepada alam, manusia dan makhluk hidup lainnya harus menjadi landasan bagi semua  untuk mempertahankan kehidupan.[24]

2.      Konsep Pengelolaan Lingkungan dalam Islam
Pandangan manusia tentang ekologi lingkungan sebagai basis eksploitasi yang kecederungannya memiliki asumsi pragmatis eksploitatif, menuntut para ahli merumuskan kerangka paradigma tentang eksploitatif terhadap lingkungan yang lebih berasas pada tradisi Islam. Paradigma dan gerakan muncul dari keinginan untuk survive dari kehancuran  lingkungan. Paradigma yang terbentuk tentunya akan menjabarkan misi pelestarian lingkungan, tuntutan yang demikian tidak hanya mengarah pada aspek individu namun lebih pula pada aspek kolektif manusia.
J. Sundriyanto mengemukakan secara umum terdapat empat macam paradigma tentang etika ekologi yaitu:
a.       Etika egosentris. etika lingungan ini memberikan memberikan penekanan pada kepentingan individu. Apa yang baik bagi individu adalah baik bagi masyarakat. Etika ini mendapat pijakan filosofisnya filsafat politik Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya bersifat kompetitif. Dalam logika egosentris, alam diberikan kepada semua orang dan setiap orang harus bersaing untuk mendapatkan sumber-sumber alam tersebut. Di sini manusia sebagai pelaku rasional memperlakukan alam menurut insting-insting natural.
b.      Etika homosentris. Etika ini menggaris bawahi model-model kepentingan sosial dan pendekatan pelaku-pelaku lingkungan yang melindungi kesejahteraan masyarakat. Sebuah masyarakat harus bertindak untuk kesejahteraan semua orang. Relasi manusia dengan alam didasarkan pada sejauh mana dapat mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi manusia. Alam maupun masyarakat digambarkan dalam pengertian organis-mekanistik. Oleh karena sifatnya yang utilitarian, etika homosentris ini juga mengarah kepada pengurasan sumber daya alam, dengan dalih kebaikan dan kepentingan masyarakat.
c.       Etika ekosentris. Etika model ini mendasarkan diri pada kosmos, menurut etika ini, lingkungan secara keseluruhan dipandang bernilai pada dirinya sendiri. Hal yang terpenting adalah tetap bertahannya semua yang hidup dan non-hidup sebagai komponen ekosisten yang sehat. Seperti halnya manusia, semua benda dalam kosmos mempunyai tanggung jawab moralnya sendiri. Etika ekosentris ini bersifat holistic lebih dari mekanistik dan metafisik. Salah satu yang mendasari perspektif holistik ini adalah manusia dan non-manusia adalah satu. Dalam perspektif ini tidak ada dualisme, tetapi manusia dan alam merupakan bagian dari system organik yang sama.[25]
d.      Etika ekofeminis. Etika model ini mendasarkan diri pada kasih sayang, kepedulian, kesetaraan, dan tanggung jawab terhadap kehidupan lain dalam suatu relasi setara dan harmonis dalam komunitas ekologi.[26]

Islam mempuyai konsep yang sangat jelas tentang pentingnya konservasi, penyelamatan, dan pelestarian lingkungan. Konsep Islam tentang lingkungan ini ternyata sebagian telah diadopsi dan menjadi prinsip ekologis yang dikembangkan oleh para ilmuan lingkungan. Prinsip-prinsip ekologi ini telah pula dituangkan dalam bentuk beberapa kesepakatan dan konvensi dunia yang berkaitan dengan lingkungan, akan tetapi konsep Islam yang sangat jelas tersebut belum dimanfaatkan secara nyata dan optimal.[27] Konsep-konsep Islam disini sebagai prinsip etika lingkungan dalam Islam akan mengarahkan materi kajiannya terhadap lingkungan yang berpijak pada sumber dan nilai ajaran agama Islam. Konsep etika lingkungan dalam Islam, setidaknya didasarkan pada lima prinsip yaitu:Tawhid, khilafah, amanah, halal dan haram. Hal ini dapat dijabarkan:
1)      Tawhid
Tawhid adalah poros dimana segala aktivitas kehidupan harus berpusat padanya. Islam memandang bahwa alam (lingkungan hidup) bersifat menyatu  (holistik) dan saling berhubungan yang komponennya adalah Sang Pencipta alam dan makhluk hidup (termasuk manusia). Hal ini artinya konsep yang berkaitan dengan penyelamatan dan konservasi lingkungan (alam) itu menyatu dan tidak terpisahkan dengan konsep keesaan Tuhan (tawhid), syariah, dan akhlak. setiap tindakan atau prilaku manusia yang berhubungan dengan orang lain atau makhluk lain atau lingkungan hidupnya harus dilandasi keyakinan tentang keesaan dan kekuasaan Allah SWT yang mutlak[28]
Orientasi pendidikan tauhid disini diarahkan manusia (kelompok atau individu) pada kesadaran lingkungan dengan asas keyakinan bahwa alam lingkungan dan manusia adalah ciptaan Tuhan yang sama, terstruktur dalam system yang saling mempengaruhi. Upaya pendidikan lingkungan dengan konsep kesadaran tauhid dapat menjadikan individu memaknai alam lingkungan yang patut diperhatikan dan dilestarikan, disini tidak hanya bisa dipraktekkan dalam lingkungan pendidikan secara formal tetapi terlebih melalui dakwah informal. Pendidikan lingkungan melalui konsep ketauhidan sangat penting karena persoalan ekologi yang global adalah persoalan moral yang menggelobal.
2)      Khilafah (Khalifah) dan Amanah
Dalam konsep khilafah, manusia tidaklah bebas begitu saja dari Tuhan, tetapi harus bertanggung jawab kepada Tuhan atas segala aktivitasnya. Bumi beserta isinya adalah amanah dari Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara. Manusia dapat menggunakan amanah ini untuk kepentingannya, tetapi tidak memiliki hak mutlak terhadap segalanya. Amanah harus dijaga dan kemudian dikembalikan kepada pemiliknya. Manusia bertanggung jawab atas segala penyimpangan dan penyalahgunaan terhadap amanah tersebut, dan jika ini terjadi, maka ia harus menerima resiko baik di dunia maupun di akhirat.[29]
Khilafah adalah kepemimpinan manusia di muka bumi (khalifatullah fil ardy) (QS.Al-Baqarah [2]:30). Tugas kepemimpinan manusia adalah sebagai pemegang amanah (menjaga hukum-hukum Tuhan). Hal ini dapat disebut sebagai prinsip kepemilikan, manusia diperuntukkan mengurusi bumi atau dengan kata lain bumi diperuntukkan untuk manusia. Kepemilikan dalam artian bahwa bumi adalah kepunyaan Allah SAW yang diperuntukkan bagi hidup manusia dan tentunya dimensi kesadaran manusia dalam menggunakan tetap menjadi prioritas utama. Hal ini didasarkan pada ayat Al-qur’an yang artinya, “Dialah Allah yang menciptakan untuk kamu segala apa yang ada di bumi. (QS. Al-Baqarah [2]: 29). Disisi lain prinsip tanggung jawab manusia terhadap kerusakan lingkungan adalah sebuah dimensi keharusan yang memuat kesadaran yang cinta akan lingkungan.
Kekhalifahann ini mempunyai tiga unsur yang saling kait berkait, kemudian ditambah unsur keempat yang berada di luar, namun amat sangat menentukan kekhalifahan dalam pandangan Al-Qur’an. Ketiga unsur pertama yaitu; Pertama, manusia yang dalam hal ini dinamai khalifahKedua, Alam raya, yang ditunjuk oleh ayat ke-21 Surah Al-Baqarah sebagai bumi. Ketiga, Hubungan antara manusia dengan alam dengan segala isinya, termasuk dengan manusia (istiklaf atau tugas-tugas kekhalifahan). Itulah ketiga unsur yang saling kait berkait, sedangkan unsur keempat yang berada diluar adalah yang memberi penugasan itu yakni Allah SWT. Dalam hal ini yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya.[30]
3)      Halal dan Haram
Halal dan haram merupakan konsep dua sisi yang berbeda, ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan, hal ini sebagai suatu pembatas yang kuat yang mempengaruhi tindakan manusia untuk tidak melakukan perusakan terhadap tatanan ekosisten dan kehidupan manusia yang teratur. Pendidikan lingkungan hidup dengan menekankan konsep halal dan haram dapat membawa manusia pada kesadaran bertindak terhadap alam lingkungannya.
Dalam pendangan Nur Kholis Setiawan, lingkungan alam ini dikontrol oleh dua instrument, yakni halal dan haram. Halal bermakna segala sesuatu yang baik, menguntungkan, menentramkan hati, atau yang berakibat baik bagi seseorang, masyarakat atau lingkungannya. Sebaliknya, segala sesuatu yang jelek, membahayakan atau merusak seseorang, masyarakat dan lingkungannya adalah haram. Jika konsep tawhid, khilafah, amanah, halal dan haram ini digabungkan dengan konsep keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan kemaslahatan, maka terbangunlah kerangka yang lengkap dan komperehansif tentang etika lingkungan dalam perspektif Islam.[31]

3.      Integratif  Pendidikan Lingkungan Hidup dalam Pendidikan Islam
Alam lingkungan merupakan media belajar bagi manusia, karenanya, guna mengintegatifkan pendidikan lingkungan dalam pendidikan Islam, maka dapat diuraikan beberapa teknik integratif yaitu melalui teknik-teknik pendidikan. Muhammad Quthb[32] mengemukakan tekhnik pendidikan ini menjadi enam bagian yang dapat digunakan dalam pendidikan lingkungan hidup yaitu, “tekhnik pendidikan melalui keteladanan, melalui nasehat, melalui hukuman, melalui cerita-cerita, dan melalui pembiasaan”.
Dalam mengintegratifkan pendidikan lingkungan dalam teknik pendidikan ini terhadap individu atau suatu kelompok masyarakat maka dapat dicapai pemahaman terhadap bentuk-bentuk peristiwa dan problem lingkungan yang terjadi sehingga dapat tercipta kesadaran lingkungan dan menemukan langkah-langkah positif pencegahan dan pelestarian lingkungan secara berkesinambungan. Berikut dapat dijabarkan teknik pendidikan tersebut:
a.      Pendidikan Melalui Teladan atau Keteladanan (Education Through Modeling)
Salah satu teknik pendidikan yang dianggap efektif dalam pendidikan Islam adalah pendidikan keteladanan. Teknik pendidikan ini dinilai sebagai teknik yang mudah dilakukan namun didalamnya menuntut seseorang (individu) untuk mewujudkan unsur komitmen dan tanggung jawab penuh secara ikhlas.
Suri teladan adalah tekhnik yang paling baik, dan oleh karena itu mendasarkan pendidikan di atas dasar demikian. Seorang anak seorang anak harus memperoleh teladan dari keluarga dan orang tua agar semenjak kecil sudah menerima norma-norma Islam yang berjalan berdasarkan konsepsi yang tinggi. manusia harus memperoleh suri teladan yang dari dalam masyarakat untuk membina mereka dengan sifat dan adat-istiadat yang dikehendaki Islam.[33]
Dalam pendidikan lingkungan hidup teknik pendidikan melalui keteladanan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk langkah praktis terhadap individu tertentu atau komunitas masyarakat. Keteladanan dan kesadaran terhadap pelestarian lingkungan hidup dituntut kepada setiap orang baik pemimpin maupun anggota dalam masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, hingga instansi pemerintahan. Pendekatan dalam keteladanan dapat melalui upaya personalitas, hingga anjuran atau ajakan dalam melakukan pelestarian suatu lingkungan hendaknya dimulai dari yang mengajurkan sehingga turut mempengaruhi individu dalam kalangan komunitasnya.
b.      Pendidikan Melalui Nasehat (Education Through Advice)
Di dalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh kata-kata yang di dengar. Pembawaan itu biasanya tidak tetap, dan oleh karena itu kata-kata harus diulang-ulangi. Nasehat yang berpengaruh, membuka jalannya kedalam jiwa secara langsung melalui perasaan. Ia menggerakkannya dan menggoncangkan isinya selama waktu tertentu. oleh karena itu dalam pendidikan, nasehat saja tidaklah cukup bila tidak dibarengi dengan teladan dan perantara yang memungkinkan teladan itu diikuti dan diteladani. Nasehat yang jelas dan dapat dipegang adalah nasehat yang dapat menggantungkan perasaan dan tidak membiarkan perasaan itu jatuh ke dasar bawah dan mati tak bergerak. Suatu keteladanan yang baik, maka nasehat akan sangat berpengaruh di dalam jiwa dan tidak akan menjadi sesuatu yang sangat besar dalam pendidikan rohani. Seterusnya teladan itu dari segi lain mutlak diperlukan, hal itu karena di dalam jiwa itu terdapat berbagai dorongan yang asasi dan terus menerus memerlukan pengarahan dan pembinaan. Ini memerlukan adanya nasehat. Kadang-kadang ada orang yang bisa langsung mengerti nasehat yang baik, tetapi ada pula yang cepat mengerti kalau hanya nasehat saja.[34]
c.       Pendidikan Melalui Hukuman (Education Through Punishment)
Bila teladan tidak mampu dan begitu juga nasehat, maka waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan di tempat yang benar. Tindakan tegas itu adalah hukuman, kecenderungan-kecenderungan pendidikan modern sekarang memandang tabu hukuman itu, memandang tidak layak disebut-sebut. Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan. Ada orang-orang yang baginya teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi dihukum dalam hidupnya, tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya diantara mereka ada yang perlu dikerasi sekali-sekali. Namun pendidikan dengan hukuman harus diimbangi dan disempurnakan dengan pendidikan yang berbentuk ajaran-ajaran.[35]
Integratif pendidikan lingkungan hidup dalam konsep pendidikan seperti ini hampir sama dengan model pendidikan pada umumnya, yaitu pendidikan melalui hukuman yang pada dasarnya tidak diperbolehkan, karena masih memiliki implikasi terhadap nasehat dan keteladanan sebagai alternatif, hal ini sangat cenderung berlaku dalam lembaga pendidikan baik formal, non formal dan lembaga pendidikan informal. Namun dalam kondisi dan realitas tertentu hukuman dapat diwujudkan terhadap seseorang atau kelompok yang dalam artian ini yang melakukan praktek terhadap perusakan lingkungan sehingga kestabilan dan kualitas lingkungan mengalami penurunan.
d.      Pendidikan Melalui Cerita (Education Through Stories)
Cerita mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Apa daya tarik itu dan bagaimana pengaruhnya terhadap jiwa, belum ada seorang pun yang mengetahui secara pasti. Pembaca atau pendengar sebuah cerita tidak dapat tidak bersikap kerjasama dengan jalan cerita dan orang-orang yang terdapat di dalamnya. Sadar atau tidak, ia telah menggiring dirinya untuk mengikuti jalan cerita, menghayalkan bahwa ia berada dipihak ini dan itu, dan sudah menimbang-nimbang posisinya dengan posisi tokoh cerita, yang mengakibatkan ia senang, benci atau merasa kagum. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita itu dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan.[36]
Teknik pendidikan melalui cerita dalam pendidikan lingkungan hidup dapat dilakukan dengan mengeksplorasi terhadap muatan-muatan peristiwa dan problematika lingkungan yang terjadi baik pada masa lampau dan masa kini yang dapat membawa pada aspek kerugian manusia (bencana alam). Upaya pendidikan seperti ini efektif digunakan dalam lembaga pendidikan ditingkat dasar, dalam wadah masyarakat pada umumnya melalui mimbar khutbah, ceramah, dan majelis taklim. Teknik pendidikan ini dapat pula melalui sosialisasi pencegahan kerusakan lingkungan, dan sosialisasi gerakan hijau lingkungan.
e.       Pendidikan Melalui Kebiasaan (Education Through Customs)
Kebiasaan, kedudukannya sangat istimewa dalam kehidupan manusia. Ia menghemat−banyak sekali kekuatan manusia−karena sudah menjadi kebiasaan yang sudah melekat dan spontan−agar kekuatan itu dapat dipergunakan buat kegiatan-kegiatan dilapangan lain seperti untuk bekerja, memproduksi dan mencipta. Bila pemberian seperti itu tidak diberikan Tuhan kepada manusia, maka tentu mereka−sebagaimana sudah kita katakan−akan menghabiskan hidup mereka untuk belajar berjalan, berbicara dan berhitung. Islam mempergunakan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menaikkan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan.[37]
Pembiasaan merupakan strategi yang tepat pula dalam pendidikan, pendidikan lingkungan lingkungan hidup melalui kebiasaan−pembiasaan akan melahirkan individu beraktivitas lingkungan yang menghormati asas-asas lingkungan secara rutin dan berkelanjutan. Pendidikan lingkungan hidup hendaknya dapat dibiasakan sejak dini dengan menekankan prinsip-prinsip pembiasaan positif, baik secara indvidu, kelompok, bergotong royong melalui gerakan terpadu seperti pencegahan erosi (reboisasi), membiasakan diri dan orang lain menciptakan kondisi lingkungan yang tetap stabil.

F.     Konsepsi Strategi Pendidikan dan Kebijakan Terhadap Lingkungan Hidup
Problematika lingkungan, tidak hanya dapat dipandang satu sisi melalui penyelesaiannya yang bersifat pemahaman namun tentunya pula penting diintegratifkan ke dalam upaya dukungan-dukungan kebijakan terhadap tindakan (gerakan lingkungan) yang tentunya ditopang oleh hukum Islam, adat maupun hukum nasional. Hal ini dapat pula diformulasikan sekaligus disimpulkan kedalam beberapa konsep strategis yang menunjang konsep-konsep sebelumnya yaitu:
1.      Konsep strategis mikro, adapun konsep tersebut yaitu:
a.       Penanaman nilai-nilai Islam (konsep-konsep Islam) pendidikan lingkungan hidup dalam kegiatan-kegiatan di lembaga-lembaga pendidikan, baik pada lembaga pendidikan formal, non formal, media massa, dan lembaga-lembaga sosial lainya.
b.      Pendidikan lingkungan hidup tepatnya diorientasikan pada masa kini terkhusus generasi usia dini dan usia sekolah dengan menekankan konsep ketauhidan.
c.       Dalam pendidikan formal, tidak hanya penting diintegratifkan materi muatan lokal dengan kurikulum pendidikan nasional tetapi lebih pada perumusan kurikulum tersendiri yang terkait upaya pendidikan dan pelestarian lingkungan hidup atau perumusan ilmu pelestarian lingkungan hidup yang terintegral dengan kajian ajaran Islam.
d.      Kegiatan-kegiatan yang bernuangsa ekstrakurikuler pada lembaga pendidikan penting lebih mengarah pada kegiatan yang berbasis pelestarian lingkungan dengan mengintegratifkan misi organisasi dengan aspek nilai-nilai Islam.
e.       Pentingnya penyusunan program kegiatan yang berbasis pelestarian lingkungan hidup di institusi pemerintahan formal dan swasta.
2.      Pendekatan strategis makro,
a.       Perlunya mengintensifkan penegakan hukum, dengan mengintegrasikan hukum nasional dengan hukum Islam. Upaya penyelamatan lingkungan melalui penegakan hukum terhadap aktor-aktor yang menyalahgunakan dan merusak tatanan lingkungan akan memberikan efek jerah, namun disini diperlukan komitmen pemerintah, penegak hukum dan masyarakat untuk mewujudkannya.
b.      Pentingnya dilakukan pengkajian ulang terhadap konsep-konsep pengelolaan sumber daya alam dengan cara mengubah pola pikir atau minsed paragdigm dengan menjadikan etika dan hukum Islam sebagai dasar pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis kelestarian lingkungan. Ali Yafie menambahkan bahwa perlu ada upaya sistematis untuk membangun kesadaran lingkungan hidup, mengubah kerangka pandangan yang akan berimplikasi pada perlakuan kita kepada alam. Alam adalah bagian dari kehidupan, dan alam itu sendiri hidup.[38]
c.       Gerakan-gerakan lingkungan akhir-akhir ini yang banyak dicetuskan oleh para aktivis lingkungan sangat marak dalam lembaga pendidikan dan masyarakat, yang terkadang dipandang sebelah mata. Gerakan-gerakan yang timbul dan banyak terorganisir semisal LSM pemerhati lingkungan penting kiranya mendapat bimbingan, perhatian dan dorongan dari berbagai pihak lapisan masyarakat dan khususnya pemerintah. Jika ditinjau dari aspek peranannya, sungguh sangat memiliki potensial dalam upaya pelestarian lingkungan sebab tidak sedikit diantaranya yang terjun lansung ke lapangan dalam berbagai penelitian, inventarisasi, maupun konservasi lingkungan.

G.    Simpulan
Alam merupakan produk inmateri yang tidak semestinya dieksploitasi semau manusia dengan semua hukumnya yang memiliki sifat yang relatif. Alam adalah kesatuan ekologi yang berada dalam rangkaian ekosistem, berada dalam keadaan yang seimbang. Keseimbangan inilah yang sangat urgen terjaga yang semestinya dipahami oleh manusia dalam pemanfaatan sumber daya alam lingkungan, sebab tatanan keseimbangan itu sekali terganggu akan memberi efek pengaruh yang luar biasa dalam system lingkungan dan manusia baik dalam keadaan yang disengaja maupun tidak disengaja. Jika ketidakseimbangan yang terjadi maka akan mengakibatkan bencana baik dalam keadaan skala kecil maupun yang skala besar.
Upaya untuk menggeser paradigma manusia yang pragmatis, maka pendidikan lingkungan yang berbasis pendidikan Islam adalah hal yang sangat strategis, pendidikan lingkungan harus diintergratifkan dalam pendidikan Islam secara holistis. Pendidikan Islam sangat urgen menempatkan posisinya dalam membingkai pola pemikiran dan tindakan manusia yang berciri gerakan lingkungan. Oleh karenanya dua hal yang sangat diperlukan dalam hal ini adalah pendidikan lingkungan dan pendidikan Islam (yang terintegratif).



Daftar Rujukan

Abdillah, Mujiono. Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, Jakarta; Paramadina, 2001.

_______, Mujiono. Fiqih Lingkungan Panduan Spiritual Hidup Berwawasan Lingkungan, Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2005.

Allam, Khalid, Akhmad dkk. Al-Qur’an dalam Keseimbangan Alam dan Kehidupan, terj. Abd. Rohim Mukti, Jakarta: Gema Insani, 2005.

Arifin, Syamsul, dkk. Spritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Malang: Sipress,1996.

Basri, Hasan dan Beni Ahmad Saebani. Ilmu Pendidikan Islam (Jilid II), (Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung; Sygma Media Arkalema, 2009.

Husein, M. Harun. Lingkungan Hidup, Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Langgulung,  Hasan.  Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000.

Lesmana, Felicia. Masalah Lingkungan Indonesia: Wicked Policy Dilemmas?, dalam website:http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/25/masalah-lingkungan-indonesia-wicked-policy-dilemmas-457409. html.

Mufid, Achmad, dan Thalhah, H.M. Fiqh Ekologi, Menjaga Bumi Memahami Makna Kitab Suci, Yogyakarta: Total Media, 2008.

Mufid, Anwar, Sofyan. Ekologi Manusia dalam Perspektif Sektor Kehidupan dan Ajaran Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.

ML, John Handol, dan Leo Nababan. Tragedi Bumi yang Terluka, Menuntut Tanggung Jawab Agama, Jakarta: El-Mission Communications, 2006.

Ramayulis dan Syamsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Quthb, Muhammad. Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, Bandung: PT. Alma’arif, 1993.

Ramly, Nadjamuddin, Islam Ramah Lingkungan, Konsep dan Strategi Islam dalam Pengelolaan,   Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan, Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu, 2007.

Sastrawijaya , A. Tresna. Pencemaran Lingkungan, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Setiawan M. Nur, Kholis. Pribumisasi Al-Qur’an Tafsir Berwawasan Keindonesiaan, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.

Sumantri, Arif.  Kesehatan Lingkungan dan Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2010.

Yafie, Ali, Merintis Fiqih Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Amanah dan Ufuk Press, 2006.




















[1]Akhmad Khalid Allam, dkk. Al-Qur’an dalam Keseimbangan Alam dan Kehidupan, terj. Abd.
Rohim Mukti, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 86.
[2]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 173.
[3] Harun M. Husein, Lingkungan Hidup, Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hlm. 6.
[4] A. Tresna Sastrawijaya, Pencemaran Lingkungan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 7
[5]Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (dalam pdf), diundangkan di Jakarta pada Tanggal 3 Oktober 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 140, hlm. 2
[6] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000), hlm.3
[7]Ramayulis dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 88.
[8] Ibid, hlm. 95-96.
[9] Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam (Jilid II), (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 30.
[10] Sofyan Anwar Mufid, Ekologi Manusia dalam Perspektif Sektor Kehidupan dan Ajaran Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 73
[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung; Sygma Media Arkalema, 2009), hlm. 499.
[12] Ibid., hlm. 157.
[13] M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an., hlm. 297.
[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., hlm. 408.
[15] Nadjamuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan, Konsep dan Strategi Islam dalam Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan, (Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), hlm. 9-10.[16]Felicia lesmana, Masalah Lingkungan Indonesia: Wicked Policy Dilemmas?, dalam website: http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/25/masalah-lingkungan-indonesia-wicked-policy-dilemmas-457409. html, diakses, 30 Maret 2013, pukul 00.40 WIB.
[17]Lihat lebih lanjut Mujiono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta; Paramadina, 2001), hlm. 23.
[18]Mujiono Abdillah, Fiqih Lingkungan Panduan Spiritual Hidup Berwawasan Lingkungan, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2005), hlm. 5-6.
[19] Ibid, hlm. 8.
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya., hlm. 405.
[21] Mujiono Abdillah, Fiqih., hlm. 11-12.
[22]M.Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi Al-Qur’an Tafsir Berwawasan Keindonesiaan, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012), hlm. 188.
[23] Nadjamuddin Ramly, Islam., 23-24.
[24]John Handol ML dan Leo Nababan, Tragedi Bumi yang Terluka, Menuntut Tanggung Jawab Agama, (Jakarta: El-Mission Communications, 2006), hlm. ii.
[25] M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi., hlm. 198-190.
[26] Ibid.                                                                            
[27] Arif Sumantri, Kesehatan Lingkungan dan Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 263
[28] M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi., hlm. 191
[29] Ibid,
[30]M.Quraish Shihab, Membumikan., hlm. 295.
[31] M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi., hlm. 192
[32] Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, (Bandung: PT. Alma’arif, 1993), hlm. 324.
[33] Ibid, hlm. 332-333.
[34] Ibid, hlm. 334.
[35] Ibid, hlm. 341.
[36] Ibid, hlm. 348.
[37] Ibid, hlm. 363.
[38] Ali Yafie, Merintis Fiqih Lingkungan Hidup (Jakarta: Yayaysan Amanah dan Ufuk Press,2006), hlm. 218.