A.
Pendahuluan
Pendidikan adalah suatu bentuk
interaksi manusia.[1]
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagaman, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2] Dalam
pendidikan menuntut terwujudnya manusia Indonesia yang berkualitas, cerdas,
beriman, beriptek dan berakhlakul karimah sebagai tujuan dari pendidikan, maka
perlu pengamatan dari segi aktualisasinya bahwa pendidikan merupakan proses
interaksi antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan dari sebuah
proses pendidikan.
Pendidik dan peserta adalah dua
entitas yang tak dapat terpisahkan dalam menggerakkan dimensi pendidikan
terutama pendidikan Islam. Kedunya mempunyai interaksi secara kontinyu yang
dapat menghasilkan perambahan intelektual, namun tidak dapat dipungkiri dalam
praktek pendidikan terkadang mengalami degradasi dan dekadensi bagi kalangan
pendidik dengan mengesampingkan tradisi-tradisi humanis yang seharusnya
diberlakukan dalam dimensi-dimensi peserta didik. Hal ini penting menjadi
sebuah otokritik yang produktif dalam
membangun tradisi pendidikan dengan mensejajarkan peserta didik tanpa adanya
bentuk diskriminasi.
Pendidik, peserta didik dan tujuan
utama pendidikan merupakan komponen utama dalam pendidikan, ketiga komponen
tersebut merupakan komponen yang satu jika hilang salah satu dari komponen
tersebut maka hilang pula hakikat pendidikan tersebut. Hakikat pendidik dan
peserta didik inilah yang perlu menjadi bahan pengetahuan sebagai landasan
untuk melakukan kegiatan transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik yang
merupakan sebagai obyek dalam penanaman nilai moral, sosial, intelektual,
keterampilan dan spiritual. Pendidik merupakan pelaku utama dalam tujuan dan
sasaran pendidikan yaitu membentuk manusia yang berkepribadian dan dewasa.
Disamping sebagai tujuan pendidikan Islam secara umum diorientasikan untuk
membentuk insan kamil, insan kaffah, dan mampu menjadi khalifah Allah
swt.[3]
Melihat perkembangan pendidikan yang
semakin maju seiring dengan perkembangan zaman, maka hal yang terpenting dan salah
satu faktornya adalah mempersiapkan pendidik yang benar-benar dapat menjadi
teladan dan memahami hakikat pendidik maupun peserta didik. Demikian pula perlu
pemahaman yang mendasar tentang peserta didik yang kompleks. Hal inilah yang menyebabkan kajian tentang hakikat pendidik
dan peserta didik masih menarik dan dianggap perlu dilakukan. Perlu dipahami
bahwa Guru−pendidik dan anak didik (peserta didik) adalah padanan frase yang
serasi, seimbang dan harmonis. Hubungan keduanya berada dalam relasi kejiwaan
yang saling membutuhkan. Dalam perpisahan raga, jiwa mereka bersatu sebagai
“dwitunggal”. Guru mengajar dan anak didik belajar dalam proses interaksi
edukatif yang menyatukan langkah mereka kesatu tujuan yaitu “kebaikan”. Dengan
kemuliaannya guru meluruskan pribadi anak didik yang dinamis agar tidak
membelok dari kebaikan.[4]
Berangkat dari uraian latarbelakang
di atas maka muncul beberapa rumusan permasalahan yang perlu dieksplorasi dalam
makalah ini yaitu, (1) Seperti apa
pengertian pendidik dan perbedaannya dengan pengajar dalam Islam?, (2)
Bagaimana hakekat pendidik dalam Islam?, (3) Apa tugas dan peran pendidik sebagai
kontribusi bagi penguatan sumber daya manusia?, (4) Apa kode etik yang mengatur
hubungan kemanusiaan (hubungan relationship) antara pendidik dan peserta
didik?, (5) Kompetensi apa yang harus dimiliki oleh pendidik sebagai salah satu
komponen dalam pendidikan terutama dalam pendidikan Islam?.
Dari permasalahan tersebut makalah
ini disamping bertujuan sebagai media menemukan informasi pengetahuan bagi
kalangan yang berperan dalam dimensi pendidikan tentang pentingnya memahami
subtansi dan hakekatnya terutama pendidik dan peserta didik, demikian pula
memberikan pemahaman sebagai bagian dari bentuk otokritik dan sedikit produktif
dalam mengambil peran disela-sela ruang polemiknya pendidikan. Peranan pendidik
sebagai basis perubahan dalam skala dimensi kehidupan masyarakat tertutama
dalam basis lembaga pendidikan menuntut kesadaran akan pentingnya memahami
hakikatnya sebagai komponen utama dalam proses pendidikan (pendidikan Islam) menuju
terciptanya perubahan sosial.
B.
Pengertian Pendidik dan Perbedaannya dengan Pengajar dalam
Islam.
Kata
pendidik berasal dari didik, artinya memelihara, merawat dan memberi latihan
agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang sopan
santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya) selanjutnya dengan menambahkan
awalan pe- hingga menjadi pendidik, artinya orang yang mendidik. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, pendidik artinya orang yang mendidik.[5] Secara
etimologi dalam bahasa Inggris ada beberapa kata yang berdekatan arti pendidik
seperti kata teacher artinya pengajar dan tutor yang berarti guru
pribadi, dipusat-pusat pelatihan disebut sebagai trainer atau instruktur.
Demikian pula dalam bahasa Arab seperti kata al-mualim (guru), murabbi
(mendidik), mudarris (pengajar) dan uztadz. Secara terminology beberapa pakar pendidikan
berpendapat, Menurut Ahmad Tafsir, bahwa pendidik dalam Islam adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan upaya
mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa),
kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).[6] Sedangkan
Abdul Mujib mengemukakan bahwa pendidik adalah bapak rohani (spiritual
father) bagi peserta didik, yang memberikan
santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan
prilakunya yang buruk.[7] Pendidik
dapat pula berarti orang bertanggung jawab terhadap perkembangan dan kematangan
aspek rohani dan jasmani anak.[8] Secara
umum dijelaskan pula oleh Prof. Dr. Maragustam Siregar, yakni orang yang
memberikan ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan lain-lain baik di
lingkungan keluarga, masyarakat maupun di sekolah.[9]
Dari
beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa pendidik dalam Islam
adalah orang yang mempunyai tanggung jawab dan mempengaruhi jiwa serta rohani
seseorang yakni dari segi pertumbuhan jasmaniah, pengetahuan, keterampilan,
serta aspek spiritual dalam upaya perkembangan seluruh potensi yang dimiliki
oleh seseorang tersebut sesuai dengan prinsip dan nilai ajaran Islam sehingga
menjadi insan yang berakhlakul karimah.
Istilah
yang lain kadang digunakan untuk pendidik adalah sebutan guru. Pendidik dalam
lembaga persekolahan disebut dengan
guru, yang meliputi guru madrasah atau sekolah sejak dari taman kanak-kanak,
sekolah menengah dan sampai pada dosen-dosen diperguruan tinggi, kiyai di
pondok pesantren dan lain sebagainya.[10] Guru adalah orang yang pekerjaannya mendidik
peserta didik baik di lingkungan formal (kelas atau sekolah) ataupun nonformal.
Dengan demikian peserta didik peranannya merupakan obyek transformasi ilmu
tersebut. Demikian pula pada perkembangannya guru disebut pula sebagai
pengajar (intruksional), posisi
pengajar dalam manusia modern sama sekali berbeda dari tempat yang diberikan
kepadanya dalam Islam.[11] Jadi paradigma pendidik tidak hanya bertugas sebagai guru atau pengajar,
yang mendoktrin peserta didiknya untuk menguasai seperangkat ilmu pengetahuan
dan skill tertentu.
Pendidik hanya bertugas sebagai motivtor dan fasilitator dalam
proses belajar mengajar[12] karena
hakekatnya pendidikan adalah suatu proses pembentukan kepribadian, moral serta
intelektual yang baik.
Hal
ini jelas dapat dikatakan bahwa pendidik dan pengajar mempunyai hakikat dan
merupakan pekerjaan yang sangat mulia dalam pandangan Islam, pergeseran makna
dan paradigma itulah yang terkadang disalahtafsirkan dari hakikat tersebut,
yakni makna tentang sikap mental yang baik dan sifat dalam artian penguasaan
sesuatu (keterampilan). Maka dalam konteks ini dapat dikatakan mendidik bobotnya adalah pembentukan
sikap mental atau kepribadian anak didik sehingga memiliki akhlak (karakter)
yang terpuji, sedangkan mengajar bobotnya adalah penguasaan suatu pengetahuan,
keterampilan dan keahlian tertentu yang berlangsung bagi semua manusia pada
semua usia. Hal inilah yang membedakan pendidikan dalam Islam dan pendidikan
non Islam−pendidikan umum dalam artian pendidikan di dunia Barat, pendidikan
Islam adalah pendidikan yang menekankan pada aspek akhlak yang terpuji dan amal
saleh yang semata-mata untuk dunia dan akhirat, sedangkan pendidikan umum
sebagaimana yang dilakukan di Barat hanya pada menekankan pada penguasaan
bidang ilmu tertentu dan semata-mata untuk kebutuhan duniawi saja, atau dengan
kata lain hanya bersifat sementara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hakekat pendidik sebagai manusia yang memahami ilmu pengetahuan
sudah barang tentu dan menjadi sebuah kewajiban baginya untuk mentransferkan
ilmu itu kepada orang lain demi kemaslahatan ummat. Hakekat pendidik−guru
ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Alaq ayat 1-5 yaitu:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Artinya:“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (QS.Al-Alaq
[96]:1-5).[13]
Dalam Al-Qur’an hakekat guru adalah Allah SWT, namun tidak berarti
manusia di dunia ini tidak mempunyai tugas sebagai khalifah dimuka bumi ini,
tugas manusia salah satunya adalah mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya
kepada orang lain, dengan kata lain dia sebagai seorang guru.[14]
Jika
ditinjau secara umum pendidik dalam pendidikan Islam kaitannya lebih luas dari
pada pendidik dalam pendidikan non-Islam, adapun pendidik dalam pendidikan
Islam yaitu :
1.
Allah
SWT.
Dari
berbagai ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang kedudukan Allah sebagai
pendidik dapat dipahami dalam firman-firman yang diturunkannya kepada Nabi
Muhammad SAW. Beberapa firman Allah seperti :
a.
Surah Qur’an
Surah Al-Fatihah ayat 1,
ßôJysø9$#
¬!
Å_Uu
úüÏJn=»yèø9$#
ÇËÈ
b.
Dalam
surah Qur’an Surah An-Nahl dijelasklan pula,
$uZø9¨tRur
øn=tã
|=»tGÅ3ø9$#
$YZ»uö;Ï?
Èe@ä3Ïj9
&äóÓx«
Yèdur
ZpyJômuur
3uô³ç0ur
tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9
ÇÑÒÈ
Artinya:“Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri”.(QS.An-Nahl [16]: 89)[16]
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah SWT sebagai
pendidik bagi manusia. Ramayulis dan
Syamsul Nizar
mengutip al-Razi, yang membuat perbandingan antara Allah SWT sebagai pendidik
dan manusia sebagai pendidik sangatlah berbeda, Allah SWT sebagai pendidik
mengetahui segala kebutuhan orang yang dididiknya sebab Dia adalah Zat
Pencipta. Perhatian Allah SWT tidak terbatas hanya terhadap kelompok manusia
saja, tetapi memperhatikan dan mendidik seluruh alam.[17]
Allah SWT sebagai pendidik untuk alam yang di dalamnya ada unsur manusia dan
makhluk lainnya meliputi aspek yang maha luas sebagai bentuk kekuasaanya,
kendati manusia dididik secara tidak lansung maka seyogyanyalah manusia sebagai
makhluk yang mempunyai akal memaknai dan mengambil pelajaran terhadap
tanda-tanda alam sebagai ciptaan dan kekuasaan Allah SWT, ilmu yang diajarkan
oleh Allah SWT kepada manusia berupa kitab suci yang yang diwahyukan kepada
Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW yang membawa kitab suci Al-Qur’an merupakan
tiada bandingan untuk mengukur kemampuan manusia dalam menciptakan sesuatu
sebagai hasil karyanya, karena disisi lain Al-Qur’an
berfungsi memberi petunjuk jalan yang paling lurus (Q.S.Al-Isra’[17]:9)[18]
2.
Rasulullah
SAW.
Kedudukan
Rasulullah SAW sebagai pendidik ditunjuk langsung oleh Allah SWT, sebagai
teladan bagi ummat dan rahmat bagi seluruh alam. Dalam
haditsnya yang diriwayatkan oleh Ahmad yang berbunyi:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ (رواه أحمد)
Artinya: “Dari Abu Hurairah R.A, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
saya diutus (kepada manusia hanyalah) untuk menyempurnakan akhlak.”. (HR.
Ahmad).
Rasulullah SAW dari potret sejarahnya dikenal sebagai manusia yang
paling berakhlak dan dipatuhi sehingga dalam masa kehidupannya sukses mendidik
generasi-generasi Islam. Sebagai seorang pendidik ummat manusia yang
mengajarkan agama Islam dan ketauhidan serta etika berkehidupan, Rasulullah SAW
memiliki kepribadian dan akhlak yang sangat mulia, yang pantas dijadikan
teladan bagi seluruh ummat manusia, hal tersebut senantiasa tercermin dalam
kehidupannya.
3.
Orang
Tua.
Selain
pendidik (guru), yang paling berperan penting yaitu orang tua. Orang tua
sebagai pembimbing dalam lingkungan keluarga disebabkan karena secara alami
anak-anak pada masa awal kehidupannya berada ditengah-tengah ayah dan ibunya.[19]
Menurut Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, tanggung jawab terbesar pendidikan
Islam menurut ajaran Islam dipikul oleh orang tua anak, karena orang tualah
yang menentukan pola pembinaan pertama bagi anak.[20] Menurut
J.I.G.M Drost, orang tualah yang pertama-tama mengajarkan kepada anak
pengetahuan akan Allah, pengalaman tentang pergaulan manusiawi, dan kewajiban memperkembangkan
tanggung jawab terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.[21] Orang tua yang merupakan titik dan pemeran
awal dalam membimbing, mengasuh, memberikan perhatian, kasih sayang, dan
memotivasi sehingga anak didik dapat
mencapai kesuksesan dalam belajar. Kesuksesan seorang anak kandung adalah
merupakan cerminan atas kesuksesan orang tua. Kendati orang tua memiliki
peranan dan tanggung jawab utama dalam proses pengembangan potensi anak didik,
namun memiliki waktu yang terbatas hal ini disebabkan misalnya dengan kesibukan
kerja, tingkat efektivitas dan efeisiensi pendidikan tidak akan baik jika hanya
dikelolah secara alamiah.[22]
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa dalam mencapai tujuan pendidikan yang efektif dan
efisien maka diperlukan mitra yang mendasar antara orang tua dan pendidik.
Orang tua yang merupakan penanggung jawab dalam perkembangan anak karena adanya
hubungan pertalian darah secara langsung sehingga mempunyai tanggung jawab
terhadap masa depan anaknya demikian pula pendidik yaitu orang yang berkompeten
untuk melaksanakan tugas mendidik, memberi pengajaran dan pendidikan kepada
anak sesuai dengan kurikulum. Kerja sama yang terjalin bagus akan memberikan
kemudahan untuk mencari solusi dan menyamakan langkah dalam membimbing anak
didik.
4.
Guru
Seperti yang telah disinggung
sebelumnya bahwa salah satu pendidik yang memiliki peranan yang sangat penting
yaitu guru setelah orang tua. Dalam Undang-Undang tentang Guru dan Dosen pasal
1 ayat 1 disebutkan guru adalah pendidik professional.[23]
Sedangkan dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 1 ayat 6 disebut sebagai pendidik adalah tenaga kependidikan.[24] Guru
adalah suri teladan kedua setelah orang tua.[25] Menurut
Saiful Bahri Djamarah bahwa guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan
kepada anak didik.[26] Guru sejatinya
adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu[27]
serta mampu mentransferkan kebiasaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara
yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik. Guru yang bekerja sebagai tenaga pengajar adalah elemen yang
terpenting dan ikut bertanggung jawab
dalam proses pendewasaan bagi anak didik tersebut.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat
dikatakan bahwa guru dapat diartikan sebagai sosok yang mempunyai kewenangan
dan bertanggung jawab sepenuhnya di kelas atau di sekolah untuk mengembangkan
segenap potensi peserta didik yang dimiliki sehingga mampu mandiri dan
mengembangkan nilai kepribadian sesuai ajaran Islam, dengan demikian tujuan
akhirnya adalah kedewasaan dan kesadaran untuk melaksanakan tugasnya sebagai
khalifah dan hamba Allah SWT. Oleh karena itu, setiap guru hendaknya mempunyai
kepribadian yang akan dicontoh dan diteladani oleh anak didik, baik secara
sengaja maupun tidak. Sudah barang tentu, pekerjaan sebagai guru tidak sama dengan
pekerjaan apapun, diluar itu pengetahuan
dan keterampilan yang akan diajarkan.[28] Keahlian
sebagai guru atau pendidik dalam Islam tidak hanya sekedar memiliki kemampuan
mentransfer pengetahuan kepada peserta didik sebagaimana yang terjadi pada
umumnya, namun diperlukan syarat dan kepribadian yang ketat serta memadai untuk
menjadi seorang guru atau pendidik dalam Islam.
Menurut Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, yang mengutip
al-Abrasyi bahwa syarat menjadi guru ialah zuhud (tidak terlalu suka
kehidupan dunia), suci, ikhlas dalam bekerja, lemah lembut, tenang, sopan dan
suka pemaaf, menjadi bapak sebelum dia menjadi guru, mengerti tabiat,
kecenderungan, kebiasaan, perasaan dan pikiran peserta didiknya agar tidak
salah arah dalam peserta didikan, bersih fisik dan jiwa dari dosa besar dan
kesalahan, jauh dari sifat mencari nama, dengki, permusuhan, dan sifat-sifat
tercelah lainnya.[29] Jika
menjelaskan pendidik dalam prinsip keguruan, guru ini selalu dikaitkan dengan
bidang tugas dan pekerjaan, maka variabel yang melekat adalah lembaga
pendidikan−sekolah. Dan ini juga menunjukkan bahwa pendidik merupakan profesi
atau keahlian tertentu yang melekat dan sebagai gelar pada diri seseorang yang
tugasnya adalah mendidik atau memberikan pendidikan.
C.
Tugas dan Peran Pendidik
Keutamaan
pendidik terletak pada tugas yang diembangnya yakni mendidik, mengajarkan
sesuatu untuk diketahui oleh peserta didik. Demikian pula membentuk kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif,
beramal saleh dan bermoral tinggi, guna memperoleh keselamatan dunia dan
akhirat. Sejalan dengan itu secara umum Ramayulis dan Syamsul Nizar mengutip Abd.
Al Rahman al-Nahlawi menyebutkan tugas
pendidik, meliputi : Pertama, tugas penyucikan, yakni berfungsi sebagai
pembersih, pemelihara dan pengembang fitrah manusia. Kedua, tugas
pengajaran yakni mentransformasikan pengetahuan dan menginternalisasikan
nilai-nilai agama kepada manusia.[30]
Disisi
lain beberapa pandangan tentang tugas-tugas pendidik adalah sebagai berikut:
1.
Membimbing peserta didik, dalam artian mencari
pengenalan terhadap anak didik mengenai kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat
dan sebagainya.
2.
Menciptakan
situasi untuk pendidikan, yaitu: suatu keadaan dimana tindakan-tindakan
pendidik dapat berlansung dengan baik dan hasil yang memuaskan.
3.
Seorang pendidik harus memiliki pengetahuan
yang diperlukan, seperti pengetahuan keagamaan, dan lain sebagainya. Seperti yang
dikemukakan oleh al-Ghazali, bahwa tugas pendidik adalah menyempurnakan,
membersihkan, menyempurnakan serta membawa hati manusia untuk Taqarrub kepada
Allah SWT.[31]
Pendapat
Abdul Mujib mengutip Roestiyah dalam bukunya “Masalah-Masalah Keguruan”,
menyimpulkan tugas pendidik dalam pendidikan Islam menjadi tiga bagian, yaitu:[32]
a.
Sebagai
pengajar (Intruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran
dan melaksanakan program yang disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan
penilaian setelah program dilakukan.
b.
Sebagai
pendidik (Educator), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat
kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT.
menciptakannya.
c.
Sebagai
pemimpin (Managerial), yang memimpin, mengendalikan kepada diri-sendiri,
peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang
menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan
partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.
Demikian
pula dikemukakan oleh Khoiron Rosyadi, bahwa tugas pendidik yakni harus:
1)
Mengetahui
karakter murid,
2)
Guru
harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang
diajarkannya maupun dalam cara mengajarkannya.
3)
Guru
harus mengamalkan ilmunya, jangan berbuat berlawanan dengan ilmu yang
diajarkannya.[33]
Pendidik
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan, karena
pendidik adalah pihak yang bersentuhan langsung dengan unsur-unsur yang ada dalam
sebuah aktivitas pendidikan, terutama anak didik. Sebagai wujud dari kedudukan
yang sangat penting tersebut, tugas pendidik adalah berupaya untuk
mengembangkan segenap potensi anak didiknya, agar memiliki kesiapan dalam
menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya.[34] Untuk
melaksanakan tugas sebagai pendidik hendaknya bertolak pada prinsip amar ma’ruf
nahi mungkar karena pendidik sebagai panutan bagi peserta didiknya.
Dari
beberapa pandangan tersebut di atas maka dapat dipahami bahwa tugas utama
pendidik pada umunya adalah mentransfer ilmu pengetahuan dan mentransformasikan
nilai dan norma kepada peserta didik sehingga terbentuk kepribadian yang soleh.
Tugas pendidik tersebut merupakan tugas mulia dan melebihi tanggung jawab moral
yang diembangnya, karena dengan demikian pendidik akan mempertanggung jawabkan
kepada Allah SWT atas segala tugas yang dilaksakannya.
Dalam dunia
pendidikan, dikatakan pula bahwa peranan pendidik atau guru cukup besar untuk
menciptakan manusia-manusia yang unggul, berkepribadian yang luhur dan memiliki
spiritualitas yang tinggi.[35]
Hingga kini guru atau pendidik merupakan satu-satunya sumber belajar yang
sangat berarti bagi peserta didik, oleh karena itu cukup beralasan adanya upaya
peningkatan kualitas pendidik akan sangat berpengaruh terhadap kualitas
pendidikan. Salah satunya yang perlu dipahami oleh pendidik ialah peranan
pendidik itu sendiri. Dalam kaitannya dengan tugas pengelolaan kelas, menurut
Binti Maunah mengemukakan tiga peran guru yang harus dilakukakan yaitu: peran
sebagai pengajar/Intruksional, peran sebagai pendidik/educational, peran
sebagai pemimpin/manajerial.[36]
Sesungguhnya peranan guru tidak hanya terbatas
pada empat dinding kelas, ia mempunyai tugas dikelas, di dalam dan di luar
sekolah serta di masyarakat.[37] Secara
umum Ahmad Farid mengutip Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan
dalam bukunya “Kemampuan Dasar Guru
Dalam Proses Belajar Mengajar”, menjelaskan beberapa peranan pendidik
tersebut adalah sebagai berikut:
a)
Guru sebagai pengajar dan pendidik
b)
Guru sebagai anggota masyarakat
c)
Guru sebagai pemimpin
d)
Guru sebagai pelaksana administrasi
e)
Guru sebagai pengelola proses belajar mengajar.[38]
Dari sudut
pandang psikologi, peran guru adalah, Pertama, pakar psikologi belajar
atau psikologi pendidikan dan mampu mengaplikasikannya dalam melaksanakan tugas
sebagai guru dan pendidik. Kedua, Seniman dalam hubungan antar manusia. Ketiga,
sebagai pembentuk kelompok, yang menciptakan suatu pembaharuan dengan membuat
sesuatu yang lebih baik. Keempat, innovator, yaitu sebagai orang yang
mampu menciptakan inovasi yang lebih baik. Kelima, petugas kesehatan,
artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para siswa.[39] Disamping
yang paling utama peran guru Pendidikan Agama Islam ialah membentuk akhlak yang
mulia dalam diri setiap peserta didik, sehingga bisa diterapkannya dalam
kehidupan sehari-hari.[40]
Beberapa
peranan tersebut diatas berlaku untuk semua guru, termasuk didalamnya guru
agama. Dari tinjuan tersebut secara umum maka guru memiliki peranan yang sangat
besar yang tidak hanya berorientasi pada aspek tenaga kependidikan di lembaga
pendidikan namun mempunyai pula peranan yang sangat diperhitungkan di tengah-tengah
masyarakat yang multikompleks.
D.
Kode Etik Pendidik dan Peserta Didik
1.
Kode
Etik Pendidik
Kode etik
Pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (hubungan
relationship) antara pendidik dan peserta didik, orang tua peserta didik,
koleganya, serta dengan atasannya.[41] Dengan
demikian norma tersebut akan menjadi acuan utama dan perlu dipahami oleh setiap
pendidik.
Menurut Abdul
Aziz mengutip Al-Abrasyi menentukan kode etik pendidik sebagai berikut yaitu:[42]
a.
Mempunyai
watak kebapakan sebelum menjadi pendidik sehingga ia menyayangi anak didiknya
seperti menyanyangi anaknya sendiri.
b.
Adanya
komunikasi yang aktif antara pendidik dan anak didik. Pola komunikasi dalam
interaksi dapat diterapkan ketika terjadi proses belajar mengajar.
c.
Memperhatikan
kemampuan dan kondisi anak didiknya. Pemberian materi pelajaran harus diukur
dengan kadar kemampuannya.
d.
Mengetahui
kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian anak didik, misalnya hanya
memprioritaskan pada anak didik yang ber-IQ tinggi.
e.
Mempunyai
kompetensi keadilan, kesucian dan kesempurnaan.
f.
Ikhlas
dalam menjalankan aktifitasnya, tidak banyak menuntut hal yang diluar hak dan
kewajibannya.
g.
Dalam
mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan materi lainnya (menggunakan pola integrated
curriculum).
h.
Memberi
bekal anak didik dengan ilmu yang mengacu pada futuristik, karena ia tercipta
berbeda dengan zaman yang dialami oleh pendidik.
i.
Sehat
jasmanin dan rohani serta memiliki kepribadian yang kuat, tanggungjawab dan
mampu mengatasi problem anak didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk
menatap masa depan yang dilakukan dengan sunggu-sungguh.
Berangkat dari
konsep norma (kode etik) tersebut dapat dikatakan bahwa suatu jabatan
yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik. Demikian pula pendidik,
seorang pendidik dalam Islam wajib menaatinya agar pendidikan dapat berlangsung
sesuai harapan dan akan tercermin pada tujuan akhir dari pendidikan itu.
Menurut Westy Soemanto dan Hendiyat Soetopo yang dikutip oleh Abdul Mujib bahwa
pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas
pendidik.[43]
2.
Kode
Etik Peserta Didik
Sebelum dikemukakan tentang kode etik peserta didik, terlebih
dahulu perlu dipahami definisi peserta didik dalam pendidikan Islam. Selain
pendidik, komponen lainnya yang melakukan proses pendidikan adalah peserta
didik. Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang
belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar (fitrah) yang perlu
dikembangkan.[44]
Peserta didik merupakan “Raw Material” (bahan mentah) dalam proses
transformasi dalam pendidikan.[45] Peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis
pendidikan tertentu.[46] Peserta
didik sebagai komponen yang tidak dapat terlepas dari sistem pendidikan
sehingga dapat dikatakan bahwa peserta
didik merupakan obyek pendidikan tersebut.[47]
Secara sederhana pendidik dapat
didefinisikan sebagai anak yang belum memiliki kedewasaan dan memerlukan orang
lain untuk mendidiknya sehingga menjadi individu yang dewasa, memiliki jiwa
spiritual, aktifitas dan kreatifitas sendiri.
Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan Islam pendidik hendaknya
memahami potensi, dimensi dan kebutuhan peserta didik. Demikian pula peserta
didik hendaknya dituntut memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam
diri dan kepribadiannya. Imam al-Gazali merumuskan sebelas kode etik yang harus
dimiliki oleh peserta didik yaitu:
a.
Belajar
dengan nilai ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT. Sehingga
dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya
dari akhlak yang rendah dan watak yang tercelah dan mengisi dengan akhlak yang
terpuji.
b.
Mengurangi
kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi. Artinya belajar tak
semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi belajar ingin berjihad melawan
kebodohan demi tercapainya derajat kemanusiaan yang tinggi baik dihadapan
manusia dan Allah SWT.
c.
Bersikap
tawadhu (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk
kepentingan pendidikannya sekalipun ia cerdas.
d.
Menjaga
pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus
dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
e.
Mempelajari
ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun ilmu agama
f.
Belajar
dengan bertahap dan berjenjang.
g.
Belajar
ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya.
h.
Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang
dipelajari.
i.
Memprioritaskan
ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
j.
Mengenal
nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu yang dapat
membahagiakan serta memberi keselamatan dunia akhirat.
k.
Harus
tunduk dan patuh pada nasehat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit
terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode mazhab yang dianjurkan
pendidik pada umumnya.[48]
Uraian kode etik peserta didik tersebut adalah bertujuan
sebagai standar tingkah laku yang dapat dijadikan pedoman bagi peserta didik dalam belajar,
disisi lain berkaitan pula dengan etika peserta didik dalam hubungannya dengan
sesama peserta didik.
Dari kode
etik pendidik dan peserta didik tersebut di atas keterkaitannya yaitu bahwa anak
didik merupakan individu yang akan dipenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan, sikap dan tingkah lakunya,
sedangkan pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan tadi, akan
tetapi dalam proses kehidupan dan pendidikan secara umum, batas antara keduanya
sangat sulit ditentukan, karena adanya saling mengisi dan saling membantu,
saling meniru dan ditiru, saling memberi dan menerima informasi yang
dihasilkan, akibat dari komunikasi yang dimulai dari kepekaan indra, pikiran,
daya apresiasi dan keterampilan untuk melakukan sesuatu yang mendorong
internaslisasi dan individualisasi pada diri individu sendiri.[49]
E.
Kompetensi Pendidik (Profesional, Pedagogik, Kepribadian/Personal, Sosial,
Kepemimpinan)
Salah satu komponen dalam pendidikan (pendidikan Islam)
adalah kompetensi pendidik. Kompetensi guru (pendidik) adalah salah satu faktor
yang mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran dan pendidikan di sekolah,
namun kompetensi guru tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh faktor
latarbelakang pendidikan, pengalaman mengajar, dan lamanya mengajar.[50]
Prof. Maragustam juga menegaskan bahwa kompetensi adalah seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan
dikuasai oleh pendidik/guru atau dosen dalam melakukan tugas keprofesionalan.[51]
Demikian pula yang dikemukakan oleh Drs. Akmal Hawi bahwa kompetensi merupakan
kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.[52]
Kompetensi tersebut dapat dinilai dan sangat penting dalam hubungannnya dengan
kegiatan belajar-mengajar dan hasil belajar siswa, demikian pula dapat
digunakan sebagai pedoman dalam rangka pembinaan dan pengembangan tenaga
pendidik.
Untuk menjadi pendidik yang profesional tentunya harus
memiliki kompetensi keguruan. Dari uraian tersebut, maka menurut Dr.Hamruni,
pendidik yang profesional harus memiliki kompetensi-kompetensi sebagai berikut:[53]
1.
Penguasaan materi al-Islam yang komperehensif serta wawasan
dan bahan pengayaan, terutama pada bidang-bidang tugasnya.
2.
Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode dan teknik)
pendidikan Islam, termasuk kemampuan evaluasinya.
3.
Penguasaan ilmu dan wawasan kependidikan.
4.
Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian
pendidikan pada umumnya guna keperluan pengembangan pendidikan Islam.
5.
Memiliki kepekaan terhadap informasi secara langsung atau
tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya.
Disisi lain secara umum guru yang memiliki kompetensi, akan
menjadi sosok yang berkarakter, dengan kata lain kompetensi itu akan manjadi
salah satu karakter dalam diri guru. Dalam pasal pasal 28 ayat 3 PP RI No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, pendidik sebagai agen pembelajaran harus memiliki empat jenis
kompetensi yaitu kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
professional dan kompetensi sosial.[54]
Namun dalam pendidikan Islam (Kemenag) mendapat tambahan yaitu kompetensi
kepemimpinan. Adapun penjelasan kompetensi guru tersebut sebagai agen
pembelajaran yaitu meliputi:
a. Kompetensi paedagogik.
Kompetensi paedagogik adalah
pemahaman guru terhadap anak didik, perencanaan, pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi hasil belajar, dan pengembangan anak didik untuk mengaktualisasikan
sebagai potensi yang dimilikinya.
b. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi Kepribadian, berupa
kepribadian yang mantap dan stabil, dewasa arif, berwibawa dan berakhlak mulia,
sehingga dapat menjadi teladan. Bagi seorang guru hal ini merupakan modal dasar
untuk menjalankan tugasnya secara professional.
c. Kompetensi Profesional
Kompetensi Profesional, menurut ahli
pendidikan, sebuah pekerjaan dikatakan profesi jika dilakukan untuk mencari
nafkah, sekaligus dilakukan dengan tingkat keahlian yang tinggi. [55]
Dalam konteks profesionalisme
mengajar, menurut J.B. Situmorang dan
Winarno mengemukakan secara umum seorang guru dikatakan professional paling
tidak harus menguasai dua hal yaitu:[56]
Pertama, menguasai materi dan
ilmu pengetahuan yang diajarkan atau yang menjadi tanggung jawabnya. Kedua,
menguasai cara mengajar dengan baik.
d. Kompetensi sosial.
Kompetensi sosial adalah kemampuan
guru untuk berkomunikasi, menjalin kerjasama dan berinteraksi secara efektif
dan efisien, baik itu dengan anak didik, sesama pendidik, orang tua/wali,
maupun dengan masyarakat sekitar.[57]
e. Kompetensi kepemimpinan.
Menurut Prof. Maragustam, Kompetensi
kepemimpinan memuat kemampuan seorang guru dalam membuat perencanaan, mengorganisasikan
potensi unsur sekolah, kemampuan menjadi innovator, pembimbing dan konselor,
serta kemampuan menjaga dan mengendalikan pengamalan ajaran agama dalam
komunitas sekolah.[58]
Dari kelima kompetensi yang telah
diuraikan tersebut, tentunya pendidik akan berhasil menjalankan tugasnya apabila
memiliki kompetensi tersebut dan akan menciptakan kualitas yang baik.
Kompetensi tersebut masih mencerminkan standar kompetensi guru yang masih
bersifat umum dan perlu dikemas untuk menempatkan manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang beriman dan bertakwa dan sebagai warga negara
Indonesia yang memiliki kesadaran akan pentingnya memperkuat identitas dan
semangat kebangsaan, sikap demokratis dan tanggung jawab.[59]
Dalam pendidikan Islam kompetensi guru PAI, diharapkan benar-benar
teraplikasikan dalam proses belajar mengajar, baik itu bagi peserta didiknya
maupun tenaga pendidik itu sendiri sehingga tercapai tujuan dari pendidikan itu
yaitu menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa.[60]
Kompetensi guru PAI yang memuat nilai-nilai religius tentunya harus
mencerminkan pola sikap yang akan dicontoh oleh peserta didik, hal ini sebagai
instrumen yang utama perlu dimiliki oleh pendidik dalam pendidikan Islam.
F. Penutup
Dari pembahasan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa hakikat seorang pendidik kaitannya dalam pendidikan
Islam adalah mendidik dan sekaligus di dalamnya mengajar sesuai dengan
keilmuwan yang dimilikinya. Secara umumnya pendidik adalah orang yang memiliki
tanggungjawab mendidik. Bila dipersempit pengertian pendidik adalah guru yang
dalam hal ini di suatu lembaga sekolah. Sedangkan pengajar adalah pendidik yang
baik. Adapun hakekat pendidik adalah Allah SWT yang mengajarkan ilmu kepada
manusia dan manusia pula yang mempunyai sebuah kewajiban baginya untuk
mentransferkan ilmu itu kepada orang lain demi kemaslahatan ummat, hakekat peserta
didik merupakan individu yang akan
dipenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan,
sikap dan tingkah lakunya, karena peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran.
Tugas dan peran
pendidik sangat berkaitan dan tak tidak dapat dipisahkan, tugas pendidik adalah
membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap diri dan berbagai
tantangan kehidupannya, sedangkan peran
pendidik adalah sebagai pemimpin dan pelaksana pendidikan dalam suatu
masyarakat dan sekaligus sebagai anggota masyarakat, sehingga dengan demikian
dituntut guru atau pendidik dalam meningkatkan tugas dan perannya.
Hal yang terpenting dari seorang pendidik adalah sikap
keteladanan terpuji yang semestinya dimiliki pada semua guru (pendidik). Maka dengan
demikian, setiap individu guru akan menjadi model untuk menginspirasi dan mendorong
pembentukan sikap terpuji peserta didiknya. Sikap keteladanan adalah mutlak
dilakukan oleh seorang pendidik sehingga peserta didik dapat menjadi insan
kamil yang memiliki karakter yang terpuji.
Kode etik
pendidik dan peserta didik adalah norma atau kaidah yang mengatur hubungan dan
interaksi pendidik dan peserta didik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat
sehingga pendidik dan peserta didik dapat memahami posisinya secara benar. Kode
etik tersebut merupakan aturan yang semestinya dipatuhi oleh kedua unsur dalam
pendidikan yaitu pendidik dan peserta didik sehingga proses pembelajaran untuk
mencapai tujuan pembelajaran dan tujuan pendidikan dapat tercapai maksimal.
Dimensi-dimensi
kompetensi pendidik yaitu meliputi, Kompetensi Paedagogik, Kompetensi Kepribadian,
Kompetensi Profesional, Kompetensi Sosial dan Kompetensi Kepemimpinan.
Kompetensi-kompetensi tersebut sebagai bentuk keterampilan, pengetahuan yang
utuh dan sebagai pendidik atau guru melaksanakannya tugas tersebut secara
bertanggungjawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Mujib, Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian
Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinyat), ttp, Trigenda
Karya,1993.
Aziz, Abdul, Filsafat Pendidikan Islam, (Sebuah Gagasan
Membangun Pendidikan Islam).Yogyakarta, Teras: 2009.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan TerjemahNya,. Bandung:
PT. Sygma Examedia Arkamlema,2009.
Djamarah, Bahri, Saiful, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi
Edukatif. Jakarta, Rineka Cipta: 2000.
Drost, J.I.G.M, Sekolah: Mengajar atau Mendidik?, Yogyakarta:
Kanisius, 2008.
Farid Ahmad, H, Etika Guru dalam Pendidikan Islam, Telaah
Terhadap Hadits Larangan Menerima Upah Bagi Guru. Yogyakarta: Tesis UIN
Sunan Kalijaga, 2004.
Hamruni H, M.Sc, Dr., Konsep Edutainment dalam Pendidikan Islam. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan
Kalijaga, 2008.
Hawi, Akmal, M.Ag, Drs., Kompetensi
Guru PAI, Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2005.
Hifza, Pendidik dan Kepribadiannya dalam Al-Qur’an,
Yogyakarta: Tesisi Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
Http://Edukasi.Kompasiana.Com
/2012/07/18/. Peran dan Fungsi Guru.
Lagulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam,
Jakarta:PT. Al-Husna Zikra, 2000.
Maulida, Hadya, Imam al-Gazali “Kode Etik Peserta Didik dalam
Belajar”.dalam Website http://hadyamaulida.blogspot.com
Maunah Binti, Hj. M.Pd.I, Dr., Methodologi Pengajaran Agama
Islam, (Metode Penyusunan dan Desain Pembelajaran), Yogyakarta: Teras,
2009.
Mujib, Abdul, M.Ag, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media: 2006.
Nuryanto, Agus, M., “Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam (Perspektif Paedagogik
Kritis)” dalam HERMENEIA Jurnal
Kajian Islam Interdisipliner, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Volume
9, Nomor 2 Desember 2010.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 4496.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1991.
Ramayulis dan Nizar Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah
Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia,2010.
Rosyadi, Khoiron, Pendidikan
Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Saebani, Ahmad, Beni, M.Si, Drs, dan
Basri, Hasan, M.Ag, Drs., Ilmu
Pendidikan Islam (Jilid II), Bandung: Pustaka setia, 2010.
Siregar, Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Sunan Kalijaga, 2010.
_________, Hand Out Filsafat Pendidikan Islam, FPI S2 2012 (dalam
power point),
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
2011.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1992.
Tohirin, M.S., Psikologi Pembelajaran Pendidikan agama Islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Undang-Undang ini
diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
dalam pdf, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586).
Wibowo Agus dan Hamrin, M., Menjadi Guru Berkarakter, (Strategi
Membangun Kompetensi dan Karakter Guru), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Winarno, Situmorang, J.B., Pendidikan Profesi dan Sertifikasi
Pendidik (Kompetensi Paedagogik, Kepribadian, Profesional dan Sosial.
Klaten: Saka Mitra Kompetensi, 2009.
Zanuraini, Hakikat Pendidik dan Peserta Didik, dalam Website
http://zanuraini rental.
blogspot.com
Zuhdi, Ahmad, Profil Guru dalam Pendidikan Islam Menurut K.H.
Hasyim Asy’ari, (Telaah Kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim, Yogyakarta:
Tesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004.
[1]Ia adalah suatu
tindakan sosial yang memungkinkan berlakunya melalui suatu jaringan
hubungan-hubungan kemanusiaan. Jaringan-jaringan inilah bersama dengan
hubungan-hubungan dan peranan-peranan individu di dalamnyalah yang menentukan
watak pendidikan di suatu masyarakat. Hasan Lagulung, Asas-Asas Pendidikan
Islam, (Jakarta:PT. Al-Husna Zikra, 2000), hlm. 18.
[2]Undang-Undang
RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2003), hlm. 3.
[3]M.Agus Nuryanto,
“Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam (Perspektif Paedagogik Kritis)” dalam HERMENEIA Jurnal Kajian Islam Interdisipliner,
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Volume 9, Nomor 2 Desember 2010,
hlm. 213.
[4]Syaiful Bahri
Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2000), hlm.iv.
[5]W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), hlm.250.
[6]Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm,74-75.
[7]Abdul Mujib. Ilmu
Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana Prenada Media,2006), hlm.88.
[8]Ramayulis dan
Syamsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya. (Jakarta: Kalam Mulia,2010), hlm.139.
[9] Maragustam, Filsafat
Pendidikan Islam.(Yogyakarta: Sunan Kalijaga, 2010). hlm.169.
[10]Ramayulis dan
Syamsul Nizar. Filsafat, hlm.148.
[11]Pengajar
sekarang hanya dipandang sebagai petugas semata yang mendapatkan gaji dari
negara atau dari organisasi swasta dan mempunyai tanggung jawab tertentu yang
harus dilaksanakannya. Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.173.
[12]Abdul Mujib. Ilmu,
hlm.90.
[13]Departemen
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkamlema,
2009), hlm. 597.
[14]Ahmad Zuhdi,
Profil Guru dalam Pendidikan Islam Menurut K.H. Hasyim Asy’ari, (Telaah Kitab
Adab al-Alim wa al-Muta’allim, (Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 19.
[15]Departemen
Agama RI. Al-Qur’an., hlm.1.
[16] Ibid.,
hlm.277.
[17]Perbedaan ini juga dapat dilihat dari aspek proses pengajaran.
Allah SWT memberikan bimbingan kepada manusia secara tidak langsung. Allah SWT
mendidik manusia melalui wahyu yang disampaikan kepada manusia dengan
perantaraan malaikat Jibril menyampaikan pula kepada Nabi SAW, dan Nabi
membimbing umatnya dengan perantaraan wahyu. Ramayulis dan Syamsul Nizar. Filsafat,
hlm.145.
[18]Departemen
Agama RI. Al-Qur’an., hlm. 283.
[19]Ramayulis dan
Syamsul Nizar. Filsafat, hlm.148.
[20]Hasan Basri dan
Beni Ahmad Saebani. Ilmu Pendidikan Islam (Jilid II), (Bandung: Pustaka
setia, 2010), hlm. 84.
[21]J.I.G.M Drost, Sekolah:
Mengajar atau Mendidik?, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 32.
[22]Hal inilah yang
mendorong orang tua untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan-sekolah
karena sekolah memiliki metode dan mata pelajaran tertentu dan bermacam-macam
yang dapat mengembangkan pola pikir dan kognitif anak didik. Penyerahan peserta
didik ke sekolah bukan berarti melepaskan tanggung jawab orang tua sebagai
pendidik yang pertama dan utama, tetapi orang tua mempunyai saham yang besar
dalam membina dan mendidik anak kandungnya. Abdul Mujib. Ilmu, hlm. 88.
[23]Dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
dalam pdf, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586), hlm 2.
[24]Yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, koselor, pamong belajar, widyaiswara,
tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Undang-Undang
RI No. 20 Tahun 2003.,
[26]Saiful Bahri
Djamarah. Guru., hlm.31.
[27]Peran dan Fungsi Guru dalam website, http://edukasi.kompasiana.com
/2012/07/18/. Diakses, 22 September 2012.
[28]Ahmad Farid. Etika
Guru dalam Pendidikan Islam, Telaah Terhadap Hadits Larangan Menerima Upah Bagi
Guru. (Yogyakarta:Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm.15.
[29] Maragustam. Filsafat.,
[30] Ramayulis dan
Syamsul Nizar. Filsafat, hlm.157.
[31]Zanuraini,
“Hakikat Pendidik dan Peserta Didik”, dalam Website http://zanuraini rental. blogspot.com. 20
September 2012.
[32]Abdul Mujib. Ilmu,
hlm.91.
[33]Khoiron
Rosyadi. Pendidikan, hlm.180.
[34]Hifza, Pendidik
dan Kepribadiannya dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tesisi Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), hlm. 42.
[35]Peranan guru artinya keseluruhan tingkah laku
yang harus dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru. Tohirin, M.S, Psikologi
Pembelajaran Pendidikan agama Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005),
hlm.152.
[36]Binti Maunah, Methodologi
Pengajaran Agama Islam, (Metode Penyusunan dan Desain Pembelajaran),
(Yogyakarta: Teras,2009), hlm. 269-271.
[37]Akmal Hawi, Kompetensi
Guru PAI, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2005), hlm. 88.
[38]Dalam konteks kompetensi personal, guru sebagai
pendidik hendaknya memiliki kestabilan emosi, ingin menunjukkan siswa, bersikap
realisis, jujur dan terbuka, peka terhadap perkembangan terutama inovasi
pendidikan. Dalam konteks kompetensi professional, untuk mencapai keberhasilan
dalam melaksanakan tugas profesinya, guru harus memiliki dan menguasai teori
dan praktek kependidikan, menguasai kurikulum dan metodologi pengajaran serta
kemampuan mengevaluasi secara baik. Tuntutan lain dalam kedudukan sebagai
anggota masyarakat (kompetensi social), seorang guru hendaknya memiliki
kemampuan adaptasi sosial, memiliki pengetahuan tentang hubungan antar manusia.
Sebagai anggota masyarakat guru harus memiliki keterampilan membina kelompok,
keterampilan bekerja sama dalam kelompok, keterampilan menyelesaikan tugas
bersama kelompok. Guru sebagai pemimpin, dituntut untuk memimpin, untuk itu
guru perlu memiliki kepribadian, menguasai ilmu kepemimpinan, menguasai prinsip
antar manusia, teknik berkomunikasi serta menguasai berbagai aspek kegiatan
berorganisasi yang ada di sekolah. Sebagai pelaksana administrasi, guru akan dihadapkan pada
administrasi- administrasi yang harus dikerjakan di sekolah. Karena itu tenaga
kependidikan harus memiliki kepribadian jujur, teliti, rajin, menguasai tata
buku ringan, korespondensi, penyimpanan arsip dan ekspresi serta administrasi
pendidikan lainnya. Sebagai pengelolah kelas, guru harus menguasai berbagai
metode mengajar dan harus menguasai situasi belajar mengajar, baik di kelas
maupun di luar kelas. Ahmad Farid, Etik., hlm.17-18.
[39] Tohirin, M.S, Psikologi.,
hlm.154.
[40] Akmal Hawi, Kompetensi.,
hlm. 59.
[41]Abdul Aziz, Filsafat
Pendidikan Islam, (Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam). (Yogyakarta:
Teras,2009), hlm.183-184.
[42] Ibid., hlm.185-186,
[43]Abdul Mujib. Ilmu,
hlm.98.
[44]Toto Suharto,
Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2011), hlm. 119.
[45]Ramayulis dan
Syamsul Nizar. Filsafat. hlm.169.
[46]Pasal 1 ayat 4,
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[47]Peserta didik
merupakan individu yang belum dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam
keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah
peserta didik masyarakat sekitarnya dan ummat beragama menjadi peserta didik
ruhaniawan dalam suatu agama. Abdul Mujib. Ilmu, hlm.103.
[48]Hadya
Maulida. Imam al-Gazali “Kode Etik Peserta Didik dalam Belajar”.dalam
Website http://hadyamaulida.blogspot.com,
Diakses, 22 September 2012.
[49]Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran
Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya),
(ttp.Trigenda Karya,1993), hlm.181.
[50]Agus Wibowo dan
Hamrin,M. Menjadi Guru Berkarakter, (Strategi Membangun Kompetensi dan
Karakter Guru). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012), hlm.107.
[51]Maragustam
Siregar, Hand Out Filsafat
Pendidikan Islam, FPI S2 2012 (dalam power point), slide, 270.
[52] Akmal Hawi, Kompetensi.,
hlm. 4.
[53] Hamruni. Konsep
Edutainment dalam Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan
Kalijaga, 2008), hlm.79.
[54]Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4496, Hlm.15.
[55]Agus Wibowo dan
Hamrin,M. Menjadi, hlm.110-124.
[56]J.B.Situmorang
dan Winarno. Pendidikan Profesi dan Sertifikasi Pendidik (Kompetensi
Paedagogik, Kepribadian, Profesional dan Sosial. (Klaten: Saka Mitra
Kompetensi, 2009), hlm. 18.
[57]Agus Wibowo dan
Hamrin,M. Menjadi.
[58]Maragustam
Siregar, Hand Out., Slide, 283.
[59]J.B.Situmorang
dan Winarno. Pendidikan, hlm. 26.
[60]Akmal Hawi, Kompetensi.,
hlm. 10.