Rabu, 23 Januari 2013

HAKIKAT PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM ISLAM


A.    Pendahuluan                                         
Pendidikan adalah suatu bentuk interaksi manusia.[1] Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagaman, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2] Dalam pendidikan menuntut terwujudnya manusia Indonesia yang berkualitas, cerdas, beriman, beriptek dan berakhlakul karimah sebagai tujuan dari pendidikan, maka perlu pengamatan dari segi aktualisasinya bahwa pendidikan merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan dari sebuah proses pendidikan.
Pendidik dan peserta adalah dua entitas yang tak dapat terpisahkan dalam menggerakkan dimensi pendidikan terutama pendidikan Islam. Kedunya mempunyai interaksi secara kontinyu yang dapat menghasilkan perambahan intelektual, namun tidak dapat dipungkiri dalam praktek pendidikan terkadang mengalami degradasi dan dekadensi bagi kalangan pendidik dengan mengesampingkan tradisi-tradisi humanis yang seharusnya diberlakukan dalam dimensi-dimensi peserta didik. Hal ini penting menjadi sebuah otokritik yang  produktif dalam membangun tradisi pendidikan dengan mensejajarkan peserta didik tanpa adanya bentuk diskriminasi.
Pendidik, peserta didik dan tujuan utama pendidikan merupakan komponen utama dalam pendidikan, ketiga komponen tersebut merupakan komponen yang satu jika hilang salah satu dari komponen tersebut maka hilang pula hakikat pendidikan tersebut. Hakikat pendidik dan peserta didik inilah yang perlu menjadi bahan pengetahuan sebagai landasan untuk melakukan kegiatan transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik yang merupakan sebagai obyek dalam penanaman nilai moral, sosial, intelektual, keterampilan dan spiritual. Pendidik merupakan pelaku utama dalam tujuan dan sasaran pendidikan yaitu membentuk manusia yang berkepribadian dan dewasa. Disamping sebagai tujuan pendidikan Islam secara umum diorientasikan untuk membentuk insan kamil, insan kaffah, dan mampu menjadi khalifah Allah swt.[3]
Melihat perkembangan pendidikan yang semakin maju seiring dengan perkembangan zaman, maka hal yang terpenting dan salah satu faktornya adalah mempersiapkan pendidik yang benar-benar dapat menjadi teladan dan memahami hakikat pendidik maupun peserta didik. Demikian pula perlu pemahaman yang mendasar tentang peserta didik  yang kompleks. Hal inilah yang menyebabkan kajian tentang hakikat pendidik dan peserta didik masih menarik dan dianggap perlu dilakukan. Perlu dipahami bahwa Guru−pendidik dan anak didik (peserta didik) adalah padanan frase yang serasi, seimbang dan harmonis. Hubungan keduanya berada dalam relasi kejiwaan yang saling membutuhkan. Dalam perpisahan raga, jiwa mereka bersatu sebagai “dwitunggal”. Guru mengajar dan anak didik belajar dalam proses interaksi edukatif yang menyatukan langkah mereka kesatu tujuan yaitu “kebaikan”. Dengan kemuliaannya guru meluruskan pribadi anak didik yang dinamis agar tidak membelok dari kebaikan.[4]
Berangkat dari uraian latarbelakang di atas maka muncul beberapa rumusan permasalahan yang perlu dieksplorasi dalam makalah ini yaitu, (1) Seperti  apa pengertian pendidik dan perbedaannya dengan pengajar dalam Islam?, (2) Bagaimana hakekat pendidik dalam Islam?, (3) Apa tugas dan peran pendidik sebagai kontribusi bagi penguatan sumber daya manusia?, (4) Apa kode etik yang mengatur hubungan kemanusiaan (hubungan relationship) antara pendidik dan peserta didik?, (5) Kompetensi apa yang harus dimiliki oleh pendidik sebagai salah satu komponen dalam pendidikan terutama dalam pendidikan Islam?.
Dari permasalahan tersebut makalah ini disamping bertujuan sebagai media menemukan informasi pengetahuan bagi kalangan yang berperan dalam dimensi pendidikan tentang pentingnya memahami subtansi dan hakekatnya terutama pendidik dan peserta didik, demikian pula memberikan pemahaman sebagai bagian dari bentuk otokritik dan sedikit produktif dalam mengambil peran disela-sela ruang polemiknya pendidikan. Peranan pendidik sebagai basis perubahan dalam skala dimensi kehidupan masyarakat tertutama dalam basis lembaga pendidikan menuntut kesadaran akan pentingnya memahami hakikatnya sebagai komponen utama dalam proses pendidikan (pendidikan Islam) menuju terciptanya perubahan sosial.

B.     Pengertian Pendidik dan Perbedaannya dengan Pengajar  dalam  Islam.
Kata pendidik berasal dari didik, artinya memelihara, merawat dan memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang sopan santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya) selanjutnya dengan menambahkan awalan pe- hingga menjadi pendidik, artinya orang yang mendidik. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, pendidik artinya orang yang mendidik.[5] Secara etimologi dalam bahasa Inggris ada beberapa kata yang berdekatan arti pendidik seperti kata teacher artinya pengajar dan tutor yang berarti guru pribadi, dipusat-pusat pelatihan disebut sebagai trainer atau instruktur. Demikian pula dalam bahasa Arab seperti kata al-mualim (guru), murabbi (mendidik), mudarris (pengajar) dan uztadz.  Secara terminology beberapa pakar pendidikan berpendapat, Menurut Ahmad Tafsir, bahwa pendidik dalam Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).[6] Sedangkan Abdul Mujib mengemukakan bahwa pendidik adalah bapak rohani (spiritual father) bagi peserta didik, yang memberikan  santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan prilakunya yang buruk.[7] Pendidik dapat pula berarti orang bertanggung jawab terhadap perkembangan dan kematangan aspek rohani dan jasmani anak.[8] Secara umum dijelaskan pula oleh Prof. Dr. Maragustam Siregar, yakni orang yang memberikan ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan lain-lain baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun di sekolah.[9]
Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa pendidik dalam Islam adalah orang yang mempunyai tanggung jawab dan mempengaruhi jiwa serta rohani seseorang yakni dari segi pertumbuhan jasmaniah, pengetahuan, keterampilan, serta aspek spiritual dalam upaya perkembangan seluruh potensi yang dimiliki oleh seseorang tersebut sesuai dengan prinsip dan nilai ajaran Islam sehingga menjadi insan yang berakhlakul karimah.
Istilah yang lain kadang digunakan untuk pendidik adalah sebutan guru. Pendidik dalam lembaga persekolahan  disebut dengan guru, yang meliputi guru madrasah atau sekolah sejak dari taman kanak-kanak, sekolah menengah dan sampai pada dosen-dosen diperguruan tinggi, kiyai di pondok pesantren dan lain sebagainya.[10]  Guru adalah orang yang pekerjaannya mendidik peserta didik baik di lingkungan formal (kelas atau sekolah) ataupun nonformal. Dengan demikian peserta didik peranannya merupakan obyek transformasi ilmu tersebut. Demikian pula pada perkembangannya guru disebut pula sebagai pengajar  (intruksional), posisi pengajar dalam manusia modern sama sekali berbeda dari tempat yang diberikan kepadanya dalam Islam.[11]  Jadi paradigma pendidik tidak  hanya bertugas sebagai guru atau pengajar, yang mendoktrin peserta didiknya untuk menguasai seperangkat ilmu pengetahuan dan skill tertentu. Pendidik hanya bertugas sebagai motivtor dan fasilitator dalam proses belajar mengajar[12] karena hakekatnya pendidikan adalah suatu proses pembentukan kepribadian, moral serta intelektual yang baik.
Hal ini jelas dapat dikatakan bahwa pendidik dan pengajar mempunyai hakikat dan merupakan pekerjaan yang sangat mulia dalam pandangan Islam, pergeseran makna dan paradigma itulah yang terkadang disalahtafsirkan dari hakikat tersebut, yakni makna tentang sikap mental yang baik dan sifat dalam artian penguasaan sesuatu (keterampilan). Maka dalam konteks ini dapat dikatakan mendidik bobotnya adalah pembentukan sikap mental atau kepribadian anak didik sehingga memiliki akhlak (karakter) yang terpuji, sedangkan mengajar bobotnya adalah penguasaan suatu pengetahuan, keterampilan dan keahlian tertentu yang berlangsung bagi semua manusia pada semua usia. Hal inilah yang membedakan pendidikan dalam Islam dan pendidikan non Islam−pendidikan umum dalam artian pendidikan di dunia Barat, pendidikan Islam adalah pendidikan yang menekankan pada aspek akhlak yang terpuji dan amal saleh yang semata-mata untuk dunia dan akhirat, sedangkan pendidikan umum sebagaimana yang dilakukan di Barat hanya pada menekankan pada penguasaan bidang ilmu tertentu dan semata-mata untuk kebutuhan duniawi saja, atau dengan kata lain hanya bersifat sementara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hakekat pendidik  sebagai manusia yang memahami ilmu pengetahuan sudah barang tentu dan menjadi sebuah kewajiban baginya untuk mentransferkan ilmu itu kepada orang lain demi kemaslahatan ummat. Hakekat pendidik−guru ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Alaq ayat 1-5 yaitu:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ  ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  
Artinya:“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS.Al-Alaq [96]:1-5).[13]

Dalam Al-Qur’an hakekat guru adalah Allah SWT, namun tidak berarti manusia di dunia ini tidak mempunyai tugas sebagai khalifah dimuka bumi ini, tugas manusia salah satunya adalah mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya kepada orang lain, dengan kata lain dia sebagai seorang guru.[14]
Jika ditinjau secara umum pendidik dalam pendidikan Islam kaitannya lebih luas dari pada pendidik dalam pendidikan non-Islam, adapun pendidik dalam pendidikan Islam yaitu :
1.      Allah SWT.
Dari berbagai ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang kedudukan Allah sebagai pendidik dapat dipahami dalam firman-firman yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Beberapa firman Allah seperti :
a.       Surah Qur’an Surah Al-Fatihah ayat 1,
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ  
Artinya: “Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam”. (QS. Al-Fatihah [1]:1)[15]

b.      Dalam surah Qur’an Surah An-Nahl dijelasklan pula,
$uZø9¨tRur šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uŽô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ  
Artinya:“Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.(QS.An-Nahl [16]: 89)[16]

Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah SWT sebagai pendidik bagi manusia. Ramayulis dan Syamsul Nizar mengutip al-Razi, yang membuat perbandingan antara Allah SWT sebagai pendidik dan manusia sebagai pendidik sangatlah berbeda, Allah SWT sebagai pendidik mengetahui segala kebutuhan orang yang dididiknya sebab Dia adalah Zat Pencipta. Perhatian Allah SWT tidak terbatas hanya terhadap kelompok manusia saja, tetapi memperhatikan dan mendidik seluruh alam.[17] Allah SWT sebagai pendidik untuk alam yang di dalamnya ada unsur manusia dan makhluk lainnya meliputi aspek yang maha luas sebagai bentuk kekuasaanya, kendati manusia dididik secara tidak lansung maka seyogyanyalah manusia sebagai makhluk yang mempunyai akal memaknai dan mengambil pelajaran terhadap tanda-tanda alam sebagai ciptaan dan kekuasaan Allah SWT, ilmu yang diajarkan oleh Allah SWT kepada manusia berupa kitab suci yang yang diwahyukan kepada Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW yang membawa kitab suci Al-Qur’an merupakan tiada bandingan untuk mengukur kemampuan manusia dalam menciptakan sesuatu sebagai hasil karyanya, karena disisi lain Al-Qur’an berfungsi memberi petunjuk jalan yang paling lurus (Q.S.Al-Isra’[17]:9)[18]  
2.      Rasulullah SAW.
Kedudukan Rasulullah SAW sebagai pendidik ditunjuk langsung oleh Allah SWT, sebagai teladan bagi ummat dan rahmat bagi seluruh alam. Dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Ahmad yang berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ  (رواه أحمد)
Artinya: “Dari Abu Hurairah R.A, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya saya diutus (kepada manusia hanyalah) untuk menyempurnakan akhlak.”. (HR. Ahmad).
Rasulullah SAW dari potret sejarahnya dikenal sebagai manusia yang paling berakhlak dan dipatuhi sehingga dalam masa kehidupannya sukses mendidik generasi-generasi Islam. Sebagai seorang pendidik ummat manusia yang mengajarkan agama Islam dan ketauhidan serta etika berkehidupan, Rasulullah SAW memiliki kepribadian dan akhlak yang sangat mulia, yang pantas dijadikan teladan bagi seluruh ummat manusia, hal tersebut senantiasa tercermin dalam kehidupannya.
3.      Orang Tua.
Selain pendidik (guru), yang paling berperan penting yaitu orang tua. Orang tua sebagai pembimbing dalam lingkungan keluarga disebabkan karena secara alami anak-anak pada masa awal kehidupannya berada ditengah-tengah ayah dan ibunya.[19] Menurut Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani, tanggung jawab terbesar pendidikan Islam menurut ajaran Islam dipikul oleh orang tua anak, karena orang tualah yang menentukan pola pembinaan pertama bagi anak.[20] Menurut J.I.G.M Drost, orang tualah yang pertama-tama mengajarkan kepada anak pengetahuan akan Allah, pengalaman tentang pergaulan manusiawi, dan kewajiban memperkembangkan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.[21]  Orang tua yang merupakan titik dan pemeran awal dalam membimbing, mengasuh, memberikan perhatian, kasih sayang, dan memotivasi  sehingga anak didik dapat mencapai kesuksesan dalam belajar. Kesuksesan seorang anak kandung adalah merupakan cerminan atas kesuksesan orang tua. Kendati orang tua memiliki peranan dan tanggung jawab utama dalam proses pengembangan potensi anak didik, namun memiliki waktu yang terbatas hal ini disebabkan misalnya dengan kesibukan kerja, tingkat efektivitas dan efeisiensi pendidikan tidak akan baik jika hanya dikelolah secara alamiah.[22]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam mencapai tujuan pendidikan yang efektif dan efisien maka diperlukan mitra yang mendasar antara orang tua dan pendidik. Orang tua yang merupakan penanggung jawab dalam perkembangan anak karena adanya hubungan pertalian darah secara langsung sehingga mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan anaknya demikian pula pendidik yaitu orang yang berkompeten untuk melaksanakan tugas mendidik, memberi pengajaran dan pendidikan kepada anak sesuai dengan kurikulum. Kerja sama yang terjalin bagus akan memberikan kemudahan untuk mencari solusi dan menyamakan langkah dalam membimbing anak didik.
4.      Guru
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa salah satu pendidik yang memiliki peranan yang sangat penting yaitu guru setelah orang tua. Dalam Undang-Undang tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 1 disebutkan guru adalah pendidik professional.[23] Sedangkan dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 6 disebut sebagai pendidik adalah tenaga kependidikan.[24] Guru adalah suri teladan kedua setelah orang tua.[25] Menurut Saiful Bahri Djamarah bahwa guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik.[26] Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu[27] serta mampu mentransferkan kebiasaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik. Guru yang bekerja sebagai tenaga pengajar adalah elemen yang terpenting dan ikut bertanggung  jawab dalam proses pendewasaan bagi anak didik tersebut.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa guru dapat diartikan sebagai sosok yang mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab sepenuhnya di kelas atau di sekolah untuk mengembangkan segenap potensi peserta didik yang dimiliki sehingga mampu mandiri dan mengembangkan nilai kepribadian sesuai ajaran Islam, dengan demikian tujuan akhirnya adalah kedewasaan dan kesadaran untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah dan hamba Allah SWT. Oleh karena itu, setiap guru hendaknya mempunyai kepribadian yang akan dicontoh dan diteladani oleh anak didik, baik secara sengaja maupun tidak. Sudah barang tentu, pekerjaan sebagai guru tidak sama dengan pekerjaan apapun, diluar  itu pengetahuan dan keterampilan yang akan diajarkan.[28] Keahlian sebagai guru atau pendidik dalam Islam tidak hanya sekedar memiliki kemampuan mentransfer pengetahuan kepada peserta didik sebagaimana yang terjadi pada umumnya, namun diperlukan syarat dan kepribadian yang ketat serta memadai untuk menjadi seorang guru atau pendidik dalam Islam.
Menurut Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, yang mengutip al-Abrasyi bahwa syarat menjadi guru ialah zuhud (tidak terlalu suka kehidupan dunia), suci, ikhlas dalam bekerja, lemah lembut, tenang, sopan dan suka pemaaf, menjadi bapak sebelum dia menjadi guru, mengerti tabiat, kecenderungan, kebiasaan, perasaan dan pikiran peserta didiknya agar tidak salah arah dalam peserta didikan, bersih fisik dan jiwa dari dosa besar dan kesalahan, jauh dari sifat mencari nama, dengki, permusuhan, dan sifat-sifat tercelah lainnya.[29] Jika menjelaskan pendidik dalam prinsip keguruan, guru ini selalu dikaitkan dengan bidang tugas dan pekerjaan, maka variabel yang melekat adalah lembaga pendidikan−sekolah. Dan ini juga menunjukkan bahwa pendidik merupakan profesi atau keahlian tertentu yang melekat dan sebagai gelar pada diri seseorang yang tugasnya adalah mendidik atau memberikan pendidikan.

C.    Tugas dan Peran Pendidik
Keutamaan pendidik terletak pada tugas yang diembangnya yakni mendidik, mengajarkan sesuatu untuk diketahui oleh peserta didik. Demikian pula membentuk  kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal saleh dan bermoral tinggi, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Sejalan dengan itu secara umum Ramayulis dan Syamsul Nizar mengutip Abd. Al Rahman al-Nahlawi  menyebutkan tugas pendidik, meliputi : Pertama, tugas penyucikan, yakni berfungsi sebagai pembersih, pemelihara dan pengembang fitrah manusia. Kedua, tugas pengajaran yakni mentransformasikan pengetahuan dan menginternalisasikan nilai-nilai agama kepada manusia.[30]
Disisi lain beberapa pandangan tentang tugas-tugas pendidik adalah sebagai berikut:
1.      Membimbing peserta didik, dalam artian mencari pengenalan terhadap anak didik mengenai kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya.
2.      Menciptakan situasi untuk pendidikan, yaitu: suatu keadaan dimana tindakan-tindakan pendidik dapat berlansung dengan baik dan hasil yang memuaskan.
3.      Seorang pendidik harus memiliki pengetahuan yang diperlukan, seperti pengetahuan keagamaan, dan lain sebagainya. Seperti yang dikemukakan oleh al-Ghazali, bahwa tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, menyempurnakan serta membawa hati manusia untuk Taqarrub kepada Allah SWT.[31]
Pendapat Abdul Mujib mengutip Roestiyah dalam bukunya “Masalah-Masalah Keguruan”, menyimpulkan tugas pendidik dalam pendidikan Islam menjadi tiga bagian, yaitu:[32]
a.       Sebagai pengajar (Intruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.
b.      Sebagai pendidik (Educator), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT. menciptakannya.
c.       Sebagai pemimpin (Managerial), yang memimpin, mengendalikan kepada diri-sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.
Demikian pula dikemukakan oleh Khoiron Rosyadi, bahwa tugas pendidik yakni harus:
1)      Mengetahui karakter murid,
2)      Guru harus selalu berusaha meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang diajarkannya maupun dalam cara mengajarkannya.
3)      Guru harus mengamalkan ilmunya, jangan berbuat berlawanan dengan ilmu yang diajarkannya.[33]
Pendidik memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan, karena pendidik adalah pihak yang bersentuhan langsung dengan unsur-unsur yang ada dalam sebuah aktivitas pendidikan, terutama anak didik. Sebagai wujud dari kedudukan yang sangat penting tersebut, tugas pendidik adalah berupaya untuk mengembangkan segenap potensi anak didiknya, agar memiliki kesiapan dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya.[34] Untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik hendaknya bertolak pada prinsip amar ma’ruf nahi mungkar karena pendidik sebagai panutan bagi peserta didiknya.
Dari beberapa pandangan tersebut di atas maka dapat dipahami bahwa tugas utama pendidik pada umunya adalah mentransfer ilmu pengetahuan dan mentransformasikan nilai dan norma kepada peserta didik sehingga terbentuk kepribadian yang soleh. Tugas pendidik tersebut merupakan tugas mulia dan melebihi tanggung jawab moral yang diembangnya, karena dengan demikian pendidik akan mempertanggung jawabkan kepada Allah SWT atas segala tugas yang dilaksakannya.
Dalam dunia pendidikan, dikatakan pula bahwa peranan pendidik atau guru cukup besar untuk menciptakan manusia-manusia yang unggul, berkepribadian yang luhur dan memiliki spiritualitas yang tinggi.[35] Hingga kini guru atau pendidik merupakan satu-satunya sumber belajar yang sangat berarti bagi peserta didik, oleh karena itu cukup beralasan adanya upaya peningkatan kualitas pendidik akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Salah satunya yang perlu dipahami oleh pendidik ialah peranan pendidik itu sendiri. Dalam kaitannya dengan tugas pengelolaan kelas, menurut Binti Maunah mengemukakan tiga peran guru yang harus dilakukakan yaitu: peran sebagai pengajar/Intruksional, peran sebagai pendidik/educational, peran sebagai pemimpin/manajerial.[36]
Sesungguhnya peranan guru tidak hanya terbatas pada empat dinding kelas, ia mempunyai tugas dikelas, di dalam dan di luar sekolah serta di masyarakat.[37] Secara umum Ahmad Farid mengutip Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan dalam bukunya  “Kemampuan Dasar Guru Dalam Proses Belajar Mengajar”, menjelaskan beberapa peranan pendidik tersebut adalah sebagai berikut:
a)      Guru sebagai pengajar dan pendidik
b)      Guru sebagai anggota masyarakat
c)      Guru sebagai pemimpin
d)     Guru sebagai pelaksana administrasi
e)      Guru sebagai pengelola proses belajar mengajar.[38]
Dari sudut pandang psikologi, peran guru adalah, Pertama, pakar psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan mampu mengaplikasikannya dalam melaksanakan tugas sebagai guru dan pendidik. Kedua, Seniman dalam hubungan antar manusia. Ketiga, sebagai pembentuk kelompok, yang menciptakan suatu pembaharuan dengan membuat sesuatu yang lebih baik. Keempat, innovator, yaitu sebagai orang yang mampu menciptakan inovasi yang lebih baik. Kelima, petugas kesehatan, artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para siswa.[39] Disamping yang paling utama peran guru Pendidikan Agama Islam ialah membentuk akhlak yang mulia dalam diri setiap peserta didik, sehingga bisa diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari.[40]
Beberapa peranan tersebut diatas berlaku untuk semua guru, termasuk didalamnya guru agama. Dari tinjuan tersebut secara umum maka guru memiliki peranan yang sangat besar yang tidak hanya berorientasi pada aspek tenaga kependidikan di lembaga pendidikan namun mempunyai pula peranan yang sangat diperhitungkan di tengah-tengah masyarakat yang multikompleks.

D.    Kode Etik Pendidik dan Peserta Didik
1.      Kode Etik Pendidik
Kode etik Pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (hubungan relationship) antara pendidik dan peserta didik, orang tua peserta didik, koleganya, serta dengan atasannya.[41] Dengan demikian norma tersebut akan menjadi acuan utama dan perlu dipahami oleh setiap pendidik.
Menurut Abdul Aziz mengutip Al-Abrasyi menentukan kode etik pendidik sebagai berikut yaitu:[42]
a.       Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi pendidik sehingga ia menyayangi anak didiknya seperti menyanyangi anaknya sendiri.
b.      Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan anak didik. Pola komunikasi dalam interaksi dapat diterapkan ketika terjadi proses belajar mengajar.
c.       Memperhatikan kemampuan dan kondisi anak didiknya. Pemberian materi pelajaran harus diukur dengan kadar kemampuannya.
d.      Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian anak didik, misalnya hanya memprioritaskan pada anak didik yang ber-IQ tinggi.
e.       Mempunyai kompetensi keadilan, kesucian dan kesempurnaan.
f.       Ikhlas dalam menjalankan aktifitasnya, tidak banyak menuntut hal yang diluar hak dan kewajibannya.
g.      Dalam mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan materi lainnya (menggunakan pola integrated curriculum).
h.      Memberi bekal anak didik dengan ilmu yang mengacu pada futuristik, karena ia tercipta berbeda dengan zaman yang dialami oleh pendidik.
i.        Sehat jasmanin dan rohani serta memiliki kepribadian yang kuat, tanggungjawab dan mampu mengatasi problem anak didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan sunggu-sungguh.
Berangkat dari konsep norma (kode etik) tersebut dapat dikatakan bahwa suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik. Demikian pula pendidik, seorang pendidik dalam Islam wajib menaatinya agar pendidikan dapat berlangsung sesuai harapan dan akan tercermin pada tujuan akhir dari pendidikan itu. Menurut Westy Soemanto dan Hendiyat Soetopo yang dikutip oleh Abdul Mujib bahwa pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik.[43]
2.      Kode Etik Peserta Didik
Sebelum dikemukakan tentang kode etik peserta didik, terlebih dahulu perlu dipahami definisi peserta didik dalam pendidikan Islam. Selain pendidik, komponen lainnya yang melakukan proses pendidikan adalah peserta didik. Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan.[44] Peserta didik merupakan “Raw Material” (bahan mentah) dalam proses transformasi dalam pendidikan.[45] Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.[46] Peserta didik sebagai komponen yang tidak dapat terlepas dari sistem pendidikan sehingga dapat dikatakan  bahwa peserta didik merupakan obyek pendidikan tersebut.[47] Secara sederhana  pendidik dapat didefinisikan sebagai anak yang belum memiliki kedewasaan dan memerlukan orang lain untuk mendidiknya sehingga menjadi individu yang dewasa, memiliki jiwa spiritual, aktifitas dan kreatifitas sendiri.
Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan Islam pendidik hendaknya memahami potensi, dimensi dan kebutuhan peserta didik. Demikian pula peserta didik hendaknya dituntut memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam diri dan kepribadiannya. Imam al-Gazali merumuskan sebelas kode etik yang harus dimiliki oleh peserta didik yaitu:
a.       Belajar dengan nilai ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercelah dan mengisi dengan akhlak yang terpuji.
b.      Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi. Artinya belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi tercapainya derajat kemanusiaan yang tinggi baik dihadapan manusia dan Allah SWT.
c.       Bersikap tawadhu (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya sekalipun ia cerdas.
d.      Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
e.       Mempelajari ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun ilmu agama
f.       Belajar dengan bertahap dan berjenjang.
g.      Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya.
h.      Memahami  nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i.        Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
j.        Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu yang dapat membahagiakan serta memberi keselamatan dunia akhirat.
k.      Harus tunduk dan patuh pada nasehat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode mazhab yang dianjurkan pendidik pada umumnya.[48]
Uraian kode etik peserta didik tersebut adalah bertujuan sebagai standar tingkah laku yang dapat dijadikan  pedoman bagi peserta didik dalam belajar, disisi lain berkaitan pula dengan etika peserta didik dalam hubungannya dengan sesama peserta didik.   
Dari kode etik pendidik dan peserta didik tersebut di atas keterkaitannya yaitu bahwa anak didik merupakan individu yang akan dipenuhi kebutuhan  ilmu pengetahuan, sikap dan tingkah lakunya, sedangkan pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan tadi, akan tetapi dalam proses kehidupan dan pendidikan secara umum, batas antara keduanya sangat sulit ditentukan, karena adanya saling mengisi dan saling membantu, saling meniru dan ditiru, saling memberi dan menerima informasi yang dihasilkan, akibat dari komunikasi yang dimulai dari kepekaan indra, pikiran, daya apresiasi dan keterampilan untuk melakukan sesuatu yang mendorong internaslisasi dan individualisasi pada diri individu sendiri.[49]

E.     Kompetensi Pendidik (Profesional, Pedagogik, Kepribadian/Personal, Sosial, Kepemimpinan)
Salah satu komponen dalam pendidikan (pendidikan Islam) adalah kompetensi pendidik. Kompetensi guru (pendidik) adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran dan pendidikan di sekolah, namun kompetensi guru tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh faktor latarbelakang pendidikan, pengalaman mengajar, dan lamanya mengajar.[50] Prof. Maragustam juga menegaskan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pendidik/guru atau dosen dalam melakukan tugas keprofesionalan.[51] Demikian pula yang dikemukakan oleh Drs. Akmal Hawi bahwa kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.[52] Kompetensi tersebut dapat dinilai dan sangat penting dalam hubungannnya dengan kegiatan belajar-mengajar dan hasil belajar siswa, demikian pula dapat digunakan sebagai pedoman dalam rangka pembinaan dan pengembangan tenaga pendidik.
Untuk menjadi pendidik yang profesional tentunya harus memiliki kompetensi keguruan. Dari uraian tersebut, maka menurut Dr.Hamruni, pendidik yang profesional harus memiliki kompetensi-kompetensi sebagai berikut:[53]
1.      Penguasaan materi al-Islam yang komperehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang-bidang tugasnya.
2.      Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode dan teknik) pendidikan Islam, termasuk kemampuan evaluasinya.
3.      Penguasaan ilmu dan wawasan kependidikan.
4.      Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan pada umumnya guna keperluan pengembangan pendidikan Islam.
5.      Memiliki kepekaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya.
Disisi lain secara umum guru yang memiliki kompetensi, akan menjadi sosok yang berkarakter, dengan kata lain kompetensi itu akan manjadi salah satu karakter dalam diri guru. Dalam pasal pasal 28 ayat 3 PP RI  No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pendidik sebagai agen pembelajaran harus memiliki empat jenis kompetensi yaitu kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi professional dan kompetensi sosial.[54] Namun dalam pendidikan Islam (Kemenag) mendapat tambahan yaitu kompetensi kepemimpinan. Adapun penjelasan kompetensi guru tersebut sebagai agen pembelajaran yaitu meliputi:
a.       Kompetensi paedagogik.
Kompetensi paedagogik adalah pemahaman guru terhadap anak didik, perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan anak didik untuk mengaktualisasikan sebagai potensi yang dimilikinya.
b.      Kompetensi Kepribadian
Kompetensi Kepribadian, berupa kepribadian yang mantap dan stabil, dewasa arif, berwibawa dan berakhlak mulia, sehingga dapat menjadi teladan. Bagi seorang guru hal ini merupakan modal dasar untuk menjalankan tugasnya secara professional.
c.       Kompetensi Profesional
Kompetensi Profesional, menurut ahli pendidikan, sebuah pekerjaan dikatakan profesi jika dilakukan untuk mencari nafkah, sekaligus dilakukan dengan tingkat keahlian yang tinggi. [55]
Dalam konteks profesionalisme mengajar, menurut  J.B. Situmorang dan Winarno mengemukakan secara umum seorang guru dikatakan professional paling tidak harus menguasai dua hal yaitu:[56]  Pertama, menguasai materi dan ilmu pengetahuan yang diajarkan atau yang menjadi tanggung jawabnya. Kedua, menguasai cara mengajar dengan baik.
d.      Kompetensi sosial.
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi, menjalin kerjasama dan berinteraksi secara efektif dan efisien, baik itu dengan anak didik, sesama pendidik, orang tua/wali, maupun dengan masyarakat sekitar.[57]
e.       Kompetensi kepemimpinan.
Menurut Prof. Maragustam, Kompetensi kepemimpinan memuat kemampuan seorang guru dalam membuat perencanaan, mengorganisasikan potensi unsur sekolah, kemampuan menjadi innovator, pembimbing dan konselor, serta kemampuan menjaga dan mengendalikan pengamalan ajaran agama dalam komunitas sekolah.[58]
Dari kelima kompetensi yang telah diuraikan tersebut, tentunya pendidik akan berhasil menjalankan tugasnya apabila memiliki kompetensi tersebut dan akan menciptakan kualitas yang baik. Kompetensi tersebut masih mencerminkan standar kompetensi guru yang masih bersifat umum dan perlu dikemas untuk menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang beriman dan bertakwa dan sebagai warga negara Indonesia yang memiliki kesadaran akan pentingnya memperkuat identitas dan semangat kebangsaan, sikap demokratis dan tanggung jawab.[59] Dalam pendidikan Islam kompetensi guru PAI, diharapkan benar-benar teraplikasikan dalam proses belajar mengajar, baik itu bagi peserta didiknya maupun tenaga pendidik itu sendiri sehingga tercapai tujuan dari pendidikan itu yaitu menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa.[60] Kompetensi guru PAI yang memuat nilai-nilai religius tentunya harus mencerminkan pola sikap yang akan dicontoh oleh peserta didik, hal ini sebagai instrumen yang utama perlu dimiliki oleh pendidik dalam pendidikan Islam.

F.     Penutup
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hakikat seorang pendidik kaitannya dalam pendidikan Islam adalah mendidik dan sekaligus di dalamnya mengajar sesuai dengan keilmuwan yang dimilikinya. Secara umumnya pendidik adalah orang yang memiliki tanggungjawab mendidik. Bila dipersempit pengertian pendidik adalah guru yang dalam hal ini di suatu lembaga sekolah. Sedangkan pengajar adalah pendidik yang baik. Adapun hakekat pendidik adalah Allah SWT yang mengajarkan ilmu kepada manusia dan manusia pula yang mempunyai sebuah kewajiban baginya untuk mentransferkan ilmu itu kepada orang lain demi kemaslahatan ummat, hakekat peserta didik merupakan individu yang akan dipenuhi kebutuhan  ilmu pengetahuan, sikap dan tingkah lakunya, karena peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran.
Tugas dan peran pendidik sangat berkaitan dan tak tidak dapat dipisahkan, tugas pendidik adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap diri dan berbagai tantangan kehidupannya, sedangkan  peran pendidik adalah sebagai pemimpin dan pelaksana pendidikan dalam suatu masyarakat dan sekaligus sebagai anggota masyarakat, sehingga dengan demikian dituntut guru atau pendidik dalam meningkatkan tugas dan perannya.
Hal yang terpenting  dari seorang pendidik adalah sikap keteladanan terpuji yang semestinya dimiliki pada semua guru (pendidik). Maka dengan demikian, setiap individu guru akan menjadi model untuk menginspirasi dan mendorong pembentukan sikap terpuji peserta didiknya. Sikap keteladanan adalah mutlak dilakukan oleh seorang pendidik sehingga peserta didik dapat menjadi insan kamil yang memiliki karakter yang terpuji.
Kode etik pendidik dan peserta didik adalah norma atau kaidah yang mengatur hubungan dan interaksi pendidik dan peserta didik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat sehingga pendidik dan peserta didik dapat memahami posisinya secara benar. Kode etik tersebut merupakan aturan yang semestinya dipatuhi oleh kedua unsur dalam pendidikan yaitu pendidik dan peserta didik sehingga proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran dan tujuan pendidikan dapat tercapai maksimal.
Dimensi-dimensi kompetensi pendidik yaitu meliputi, Kompetensi Paedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Profesional, Kompetensi Sosial dan Kompetensi Kepemimpinan. Kompetensi-kompetensi tersebut sebagai bentuk keterampilan, pengetahuan yang utuh dan sebagai pendidik atau guru melaksanakannya tugas tersebut secara bertanggungjawab.




DAFTAR PUSTAKA


Abdul Mujib, Muhaimin,  Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinyat), ttp, Trigenda Karya,1993.

Aziz, Abdul, Filsafat Pendidikan Islam, (Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam).Yogyakarta, Teras: 2009.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan TerjemahNya,. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkamlema,2009.

Djamarah, Bahri, Saiful, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta, Rineka Cipta: 2000.

Drost, J.I.G.M, Sekolah: Mengajar atau Mendidik?, Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Farid Ahmad, H, Etika Guru dalam Pendidikan Islam, Telaah Terhadap Hadits Larangan Menerima Upah Bagi Guru. Yogyakarta: Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2004.

Hamruni H, M.Sc, Dr., Konsep Edutainment dalam Pendidikan Islam.  Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008.

Hawi, Akmal, M.Ag, Drs., Kompetensi Guru PAI, Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2005.

Hifza, Pendidik dan Kepribadiannya dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Tesisi Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.

Http://Edukasi.Kompasiana.Com /2012/07/18/. Peran dan Fungsi Guru.

Lagulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta:PT. Al-Husna Zikra, 2000.
Maulida, Hadya, Imam al-Gazali “Kode Etik Peserta Didik dalam Belajar”.dalam Website  http://hadyamaulida.blogspot.com
Maunah Binti, Hj. M.Pd.I, Dr., Methodologi Pengajaran Agama Islam, (Metode Penyusunan dan Desain Pembelajaran), Yogyakarta: Teras, 2009.
Mujib, Abdul, M.Ag, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media: 2006.

Nuryanto, Agus, M., “Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam (Perspektif Paedagogik Kritis)” dalam   HERMENEIA Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Volume 9, Nomor 2 Desember 2010.

Peraturan  Pemerintah Republik Indonesia  No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4496.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

Ramayulis dan Nizar Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia,2010.

Rosyadi, Khoiron,  Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Saebani, Ahmad, Beni, M.Si, Drs, dan Basri, Hasan, M.Ag, Drs.,  Ilmu Pendidikan Islam (Jilid II), Bandung: Pustaka setia, 2010.

Siregar, Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Sunan Kalijaga, 2010.

_________, Hand Out Filsafat  Pendidikan Islam, FPI S2 2012 (dalam power point),

Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2011.

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992.

Tohirin, M.S., Psikologi Pembelajaran Pendidikan agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Undang-Undang ini diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003.
Undang-Undang  No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. dalam pdf, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586).

Wibowo Agus dan Hamrin, M., Menjadi Guru Berkarakter, (Strategi Membangun Kompetensi dan Karakter Guru), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Winarno, Situmorang, J.B., Pendidikan Profesi dan Sertifikasi Pendidik (Kompetensi Paedagogik, Kepribadian, Profesional dan Sosial. Klaten: Saka Mitra Kompetensi, 2009.

Zanuraini, Hakikat Pendidik dan Peserta Didik, dalam Website  http://zanuraini rental. blogspot.com

Zuhdi, Ahmad, Profil Guru dalam Pendidikan Islam Menurut K.H. Hasyim Asy’ari, (Telaah Kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim, Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004.


[1]Ia adalah suatu tindakan sosial yang memungkinkan berlakunya melalui suatu jaringan hubungan-hubungan kemanusiaan. Jaringan-jaringan inilah bersama dengan hubungan-hubungan dan peranan-peranan individu di dalamnyalah yang menentukan watak pendidikan di suatu masyarakat. Hasan Lagulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta:PT. Al-Husna Zikra, 2000), hlm. 18.
[2]Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003), hlm. 3.
[3]M.Agus Nuryanto, “Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam (Perspektif Paedagogik Kritis)” dalam   HERMENEIA Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Volume 9, Nomor 2 Desember 2010, hlm. 213.
[4]Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm.iv.
[5]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm.250.
[6]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm,74-75.
[7]Abdul Mujib. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana Prenada Media,2006), hlm.88.
[8]Ramayulis dan Syamsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. (Jakarta: Kalam Mulia,2010), hlm.139.
[9] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam.(Yogyakarta: Sunan Kalijaga, 2010). hlm.169.
[10]Ramayulis dan Syamsul Nizar. Filsafat, hlm.148.
[11]Pengajar sekarang hanya dipandang sebagai petugas semata yang mendapatkan gaji dari negara atau dari organisasi swasta dan mempunyai tanggung jawab tertentu yang harus dilaksanakannya. Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.173.
[12]Abdul Mujib. Ilmu, hlm.90.
[13]Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkamlema, 2009), hlm. 597.
[14]Ahmad Zuhdi, Profil Guru dalam Pendidikan Islam Menurut K.H. Hasyim Asy’ari, (Telaah Kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim, (Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 19.
[15]Departemen Agama RI. Al-Qur’an., hlm.1.
[16] Ibid., hlm.277.
[17]Perbedaan ini juga dapat dilihat dari aspek proses pengajaran. Allah SWT memberikan bimbingan kepada manusia secara tidak langsung. Allah SWT mendidik manusia melalui wahyu yang disampaikan kepada manusia dengan perantaraan malaikat Jibril menyampaikan pula kepada Nabi SAW, dan Nabi membimbing umatnya dengan perantaraan wahyu. Ramayulis dan Syamsul Nizar. Filsafat, hlm.145.
[18]Departemen Agama RI. Al-Qur’an., hlm. 283.
[19]Ramayulis dan Syamsul Nizar. Filsafat, hlm.148.
[20]Hasan Basri dan Beni Ahmad Saebani. Ilmu Pendidikan Islam (Jilid II), (Bandung: Pustaka setia, 2010), hlm. 84.
[21]J.I.G.M Drost, Sekolah: Mengajar atau Mendidik?, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 32.
[22]Hal inilah yang mendorong orang tua untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan-sekolah karena sekolah memiliki metode dan mata pelajaran tertentu dan bermacam-macam yang dapat mengembangkan pola pikir dan kognitif anak didik. Penyerahan peserta didik ke sekolah bukan berarti melepaskan tanggung jawab orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama, tetapi orang tua mempunyai saham yang besar dalam membina dan mendidik anak kandungnya. Abdul Mujib. Ilmu, hlm. 88.
  [23]Dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Undang-Undang  No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dalam pdf, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586), hlm 2.
[24]Yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, koselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003.,
  [25]Maragustam, Filsafat, hlm.170.
[26]Saiful Bahri Djamarah. Guru., hlm.31.
[27]Peran dan Fungsi Guru dalam website, http://edukasi.kompasiana.com /2012/07/18/. Diakses, 22 September 2012.
[28]Ahmad Farid. Etika Guru dalam Pendidikan Islam, Telaah Terhadap Hadits Larangan Menerima Upah Bagi Guru. (Yogyakarta:Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm.15.
[29] Maragustam. Filsafat.,
[30] Ramayulis dan Syamsul Nizar. Filsafat, hlm.157.
[31]Zanuraini, “Hakikat Pendidik dan Peserta Didik”, dalam Website  http://zanuraini rental. blogspot.com. 20 September 2012.
[32]Abdul Mujib. Ilmu, hlm.91.
[33]Khoiron Rosyadi. Pendidikan, hlm.180.
[34]Hifza, Pendidik dan Kepribadiannya dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tesisi Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), hlm. 42.
[35]Peranan guru artinya keseluruhan tingkah laku yang harus dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru. Tohirin, M.S, Psikologi Pembelajaran Pendidikan agama Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005), hlm.152.
[36]Binti Maunah, Methodologi Pengajaran Agama Islam, (Metode Penyusunan dan Desain Pembelajaran), (Yogyakarta: Teras,2009), hlm. 269-271.
[37]Akmal Hawi, Kompetensi Guru PAI, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2005), hlm. 88.
[38]Dalam konteks kompetensi personal, guru sebagai pendidik hendaknya memiliki kestabilan emosi, ingin menunjukkan siswa, bersikap realisis, jujur dan terbuka, peka terhadap perkembangan terutama inovasi pendidikan. Dalam konteks kompetensi professional, untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas profesinya, guru harus memiliki dan menguasai teori dan praktek kependidikan, menguasai kurikulum dan metodologi pengajaran serta kemampuan mengevaluasi secara baik. Tuntutan lain dalam kedudukan sebagai anggota masyarakat (kompetensi social), seorang guru hendaknya memiliki kemampuan adaptasi sosial, memiliki pengetahuan tentang hubungan antar manusia. Sebagai anggota masyarakat guru harus memiliki keterampilan membina kelompok, keterampilan bekerja sama dalam kelompok, keterampilan menyelesaikan tugas bersama kelompok. Guru sebagai pemimpin, dituntut untuk memimpin, untuk itu guru perlu memiliki kepribadian, menguasai ilmu kepemimpinan, menguasai prinsip antar manusia, teknik berkomunikasi serta menguasai berbagai aspek kegiatan berorganisasi yang ada di sekolah. Sebagai pelaksana  administrasi, guru akan dihadapkan pada administrasi- administrasi yang harus dikerjakan di sekolah. Karena itu tenaga kependidikan harus memiliki kepribadian jujur, teliti, rajin, menguasai tata buku ringan, korespondensi, penyimpanan arsip dan ekspresi serta administrasi pendidikan lainnya. Sebagai pengelolah kelas, guru harus menguasai berbagai metode mengajar dan harus menguasai situasi belajar mengajar, baik di kelas maupun di luar kelas. Ahmad Farid, Etik., hlm.17-18.
[39] Tohirin, M.S, Psikologi., hlm.154.
[40] Akmal Hawi, Kompetensi., hlm. 59.
[41]Abdul Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, (Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam). (Yogyakarta: Teras,2009), hlm.183-184.
[42] Ibid., hlm.185-186,
[43]Abdul Mujib. Ilmu, hlm.98.
[44]Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2011), hlm. 119.
[45]Ramayulis dan Syamsul Nizar. Filsafat. hlm.169.
[46]Pasal 1 ayat 4, Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[47]Peserta didik merupakan individu yang belum dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat sekitarnya dan ummat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama. Abdul Mujib. Ilmu, hlm.103.
[48]Hadya Maulida. Imam al-Gazali “Kode Etik Peserta Didik dalam Belajar”.dalam Website  http://hadyamaulida.blogspot.com, Diakses, 22 September 2012.
[49]Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya), (ttp.Trigenda Karya,1993), hlm.181.
[50]Agus Wibowo dan Hamrin,M. Menjadi Guru Berkarakter, (Strategi Membangun Kompetensi dan Karakter Guru). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012), hlm.107.
[51]Maragustam Siregar, Hand Out Filsafat  Pendidikan Islam, FPI S2 2012 (dalam power point), slide, 270.
[52] Akmal Hawi, Kompetensi., hlm. 4.
[53] Hamruni. Konsep Edutainment dalam Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm.79.
[54]Peraturan Pemerintah Republik Indonesia  No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4496, Hlm.15.
[55]Agus Wibowo dan Hamrin,M. Menjadi, hlm.110-124.
[56]J.B.Situmorang dan Winarno. Pendidikan Profesi dan Sertifikasi Pendidik (Kompetensi Paedagogik, Kepribadian, Profesional dan Sosial. (Klaten: Saka Mitra Kompetensi, 2009), hlm. 18.
[57]Agus Wibowo dan Hamrin,M. Menjadi.
[58]Maragustam Siregar, Hand Out., Slide, 283.
[59]J.B.Situmorang dan Winarno. Pendidikan, hlm. 26.
[60]Akmal Hawi, Kompetensi., hlm. 10.