KEBIJAKAN PENGEMBANGAN MADRASAH;
Sebuah Wacana Strategi Reposisi
Oleh: Achmad Darwiz
Abstrak
Pada historisnya lembaga pendidikan
Islam di Indoensia mengalami dinamika sekaligus polemik yang sangat panjang sejak
pra kemerdekaan hingga era pasca reformasi saat ini. Problematika yang dihadapi
lembaga pendidikan Islam khususnya lembaga pendidikan Islam madrasah dinilai
sangat terkait dengan kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada pola
pengembangan madrasah itu sendiri yang cenderung eksklusif dibanding dengan
system pendidikan pada umumnya sehingga berimplikasi pada out put yang
dihasilkan belum menempati posisi yang setaraf dengan yang lainnya, pada hal
pendidikan Islam madrasah di era globalisasi ini penting melakukan reposisi
secara sistemik, empiris-paradigmatik. Reposisi ini dapat dilakukan dengan melihat
bentuk-bentuk kebijakan dan sistemnya sekaligus diarahkan pada pola
pengembangan yang lebih kompetitif di era global, inklusif, dan substansif
dalam peranan sosialnya.
Kata
Kunci:
Kebijakan, Pengembangan Madrasah, Strategi Reposisi.
Pendahuluan
Di
Indonesia salah satu institusi pendidikan formal yang bercirikan Islam adalah
madrasah. Madrasah yang lahir dari rahim pesantren dan telah berkembang hingga
saat ini. Sedangkan pesantren merupakan system pendidikan yang telah hadir dan
tertua jauh sebelum Indonesia merdeka. Dalam konteks sejarah pendidikan bangsa
Indonesia hingga kini peran pesantren dan madrasah sangat memberikan kontribusi
yang besar bagi pembangunan manusia Indonesia yang utuh. System pendidikan yang
bercirikan Islam seperti halnya madrasah merupakan salah satu dambaan
masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam disamping system
pendidikan umum.
Kemunculan
madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi perkembangan positif
kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana
terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju, adalah cerminan dari
keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural. Maka dari itu, timbul
kebanggaan terhadap madrasah, karena lembaga ini mempunyai citra “ekslusif”
dalam penilaian masyarakat. Akan tetapi kini eksistensi madrasah di tanah air
nampaknya jauh berbeda dengan prestasi gemilang sejarah madrasah dimasa lalu
tersebut.
Potensi
madrasah dalam pembangunan manusia Indonesia yang utuh sangat besar dan selalu
diperhitungkan oleh masyarakat modern, system pendidikan ini merupakan bentuk
kemajuan dari tradisi pesantren yang tetap
perlu pengembangan seiring dengan kemajuan zaman dan tuntutan globalisasi, hal
ini disebabkan karena madrasah pun memiliki kompleksitas dan dinamika problem
yang dihadapi. Disisi lain perhatian pemerintah terhadap institusi dan system
pendidikan di Indonesia seolah hanya sepihak pada pendidikan umum jika
dibanding dengan lembaga pendidikan keilmuan yang berbasiskan keislaman seperti
madrasah.
Telah
diketahui bahwa eksistensi madrasah hingga kini tetap seiring dengan
pembangunan dan pendidikan nasional. Sebagai bagian dari system pendidikan
nasional yang dikelolah oleh Kementerian Agama juga tetap berada pada tatanan
fungsinya yang mencerdaskan anak bangsa. Hal ini tetap relevan dengan tujuan
dan cita-cita pendidikan nasional kini. Pada pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikemukakan fungsi pendidikan nasional
yaitu :
“Mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Dengan
demikian kebijakan penyelenggaraan pendidikan madrasah ini untuk pengembangan
mutu pendidikan berpijak pada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang diantaranya
adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan keputusan
Menteri Agama RI diantaranya adalah nomor 369 tahun 1993 tentang Madrasah
Tsanawiayah, nomor 370 Tahun 1993 tentang madrasah Aliyah.
Era
globalisasi sekarang ini turut berpengaruh pada semua bidang kehidupan manusia
demikian pula halnya pendidikan sebagai basis transformasi nilai maupun (Science
and Knowledge), didalamnya terdapat komponen yang tidak perlu vakum dalam
satu situasi (ruang dan waktu) tetapi memerlukan pembaharuan seiring dengan
tuntutan globalisasi. Pengembangan madrasah dalam era globalisasi ini bukanlah sesuatu yang sederhana. Aturan yang lahir sebagai kebijakan yang
normatif tentunya menuntut pula pengembangan system madrasah yang tak hanya
pada aspek eksistensi keislaman yang menjadi ciri khasnya. Banyaknya aspek
dalam pendidikan Islam (madrasah) perlu mendapat perhatian dari berbagai
kalangan khususnya pemerintah, praktisi dan akademisi pendidikan guna
mengembangkan system pendidikan terutama madrasah yang terkait persoalan
terbengkalainya mutu (meskipun pengakuan telah ada dari berbagai kalangan akan mutunya),
belum lagi persoalan yang diasumsikan oleh masyarakat kita bahwa lembaga dan
system pendidikan madrasah belum bisa menyaingi pendidikan umum. Hasan
Langgulung berpendapat bahwa satu hal yang perlu diingat disini bahwa dalam
mengupas mengenai pendidikan Islam disini tidak dibatasi pada persekolahan
saja, walaupun tradisi sekolah (madrasah) itu adalah salah satu ciri utama
sejarah pendidikan Islam.
Berangkat
dari uraian tersebut di atas, maka dapat ditelaah rumusan permasalahan yang
tentunya perlu dilakukan eksplorasi lebih mendalam melalui pendekatan ideologis
dan historis. Adapun rumusan masalah tersebut yaitu, (1) Seperti apa sejarah kemunculan
madrasah?, (2) Bagaimana tinjauan historis dan perkembangan madrasah di
Indonesia?, (3) Bagaimana kebijakan pemerintah dan problematika madrasah di
Indonesia?, (4) Bagaimana Langkah-Langkah Pengembangan Madrasah dalam Dinamika
Globalisasi?.
Dari hasil eksplorasi permasalahan
tersebut maka hal ini bertujuan untuk memberikan informasi dan pemahaman bagi
pemegang kebijakan pendidikan dan unsur-unsur yang terkait dalam pengelolaan
dan pengembangan pendidikan khususnya pengembangan madrasah dalam skala makro
sekaligus sifatnya otokritik plus produktif dengan mengambil peran menempatkan
diri disela-sela kekosongan ruang terhadap polemik dan dinamika pendidikan di
Indonesia. Tidak dapat dipungkiri persoalan kebijakan dalam pendidikan maupun
pengembangan sistem pendidikan adalah persoalan politik.
Sejarah Kemunculan Madrasah
Maksum mengutip Al-Maqrizi
dalam karyanya Itti’adz al-Hunafa bi
Akhbar al Aimmah al-Fatimiyyin al-Khulafa, mengemukakan bahwa madrasah merupakan prestasi abad kelima hijriyah.
Madrasah-madrasah yang timbul dalam Islam, tidak dikenal pada masa-masa sahabat
dan tabi’in, melainkan sesuatu yang baru setelah 400 tahun sesudah hijriyah,
demikian pula mengutip Umar Rida Kahhalah dalam Jaula fi Rubu’ al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, mengemukakan bahwa madrasah pertama yang didirikan pada abad kelima
Hijriyah (ke-11 Masehi) itu ialah Nizamiyah yang didirikan pada tahun 457 H
oleh Nizam al-Mulkdi Baghdad.
Dilain hal penulis kontemporer
menyatakan bahwa kata “madrasah” belum dijumpai pada sumber-sumber
sejarah hingga kira-kira abad ke-4 masehi. Akan tetapi banyak bukti yang
singnifikan jurstu menunjukkan bahwa madrasah telah berdiri sejak abad ke empat
hijriyah dan dihubungkan dengan penduduk Naisabur.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata “madrasah” adalah sekolah atau
perguruan (biasanya yang berdasarkan agama Islam),
di Indonesia kata “madrasah” digunakan sebagai nama sebuah sistem
pendidikan Islam yang sudah menggunakan metode klasikal dan berada dibawah
naungan Kementerian Agama. Diluar mata pelajaran agama,
sistem pendidikan di madrasah hampir sama dengan sistem pendidikan umum. Dalam
sistem pendidikan madrasah ini dikenal Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan
Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah setingkat dengan Sekolah Menengah pertama,
Madrasah Aliyah setingkat dengan SMU (Sekolah Menengah Umum).
Madrasah tidak serta merta dipahami sebagai sekolah melainkan diberi konotasi
yang lebih spesifik yaitu “sekolah agama” tempat dimana anak-anak didik
menempauh pembelajaran hal-ikhwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (Islam).
Pemaknaan kata “madrasah” untuk menyebut sekolah Islam dilatari
munculnya gagasan modernisasi pendidikan Islam oleh beberapa organisasi
“modernis”, seperti Jami’at Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah dan lain-lain dengan
mengadopsi sistem pendidikan kolonial Belanda.
Kelahiran lembaga pendidikan
(madrasah) memberikan corak yang mewarnai eksistensi Islam dimasa kejayaannya
hingga sekarang, dimana peranannya yang sangat vital dalam pengembangan ilmu
pengetahuan yang berbasiskan keislaman maupun bidang ilmu lainnya. Abdullah Idi
dan Toto Suharto mengemukakan bahwa bahwa
kelahiran madrasah menjadi lambang kebangkitan sistem pendidikan Islam.
Tinjauan Umum Historis Madrasah dan Perkembangannya di
Indonesia.
Perkembangan pendidikan Islam
(madrasah) di Indonesia melalui 4 masa yaitu,
1. Madrasah Pada Masa Pra-Kemerdekaan
Abdurrachman Mas’ud , mengutip
Malik Fadjar mengemukakan bahwa Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di
Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren. Ia lahir pada abad ke-20
dengan munculnya Madrasah Mamba’ul Ulum Kerajaan Surakarta pada tahun 1905 dan
sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat
pada tahun 1909.
Terlepas
dari kenyataan historisnya, eksistensi madrasah dalam tradisi pendidikan Islam
di Indonesia tergolong fenomena modern yaitu mulai sekitar awal abad ke-20.
Kehadirannya di Indonesia merupakan tahapan pembaharuan dan pengembangan
lembaga pendidikan yang tak hanya terpusat pada tradisi pengajaran ilmu-ilmu
Islam. Gerakan pembaharuan lembaga pendidikan Islam ini yang diawali oleh para
tokoh intelektual Islam yang sebagian besar disambut baik oleh masyarakat Islam
nusantara. Madrasah sebagai system pendidikan Islam yang identitasnya telah
diterapkan hingga sekarang, tetap bertahan kendati beragam tantangan dan
kendala sekaligus intervensi yang dihadapi terutama pada masa-masa penjajahan
kolonial Belanda.
Hal yang melatarbelakangi kehadirannya sebagai lembaga
pendidikan Islam madrasah disatu sisi pendidikan Islam tradisional pesantren
masih dirasakan kurang memenuhi kebutuhan masyarakat terkait lembaga pendidikan
keislaman dan kemampuan pragmatis lainnya. Disisi lain
kekhawatiran para tokoh pendidikan Islam dan masyarakat terkait perkembangan
pendidikan barat (system pendidikan
Belanda) yang mengarah pada pendidikan sekuler guna menyeimbangkan
pemikiran sekularisme. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap
pendidikan Islam (madrasah) sangat menekan dan terlalu mengintervensi
pendidikan Islam sehingga tidak dapat berkembang, hal ini disebabkan
kekhawatiran pemerintah Belanda mendapat persaingan dari pendidikan Islam
dengan system pendidikan sekuler yang diterapkan, kekhawatiran lain yakni
bangkitnya militansi Islam terpelajar dari madrasah tersebut, sehingga system
pendidikan Islam madrasah mendapat pengawasan dan pengendalian dari pemerintah
kolonial Belanda, hal ini menjadi potret realitas sejarah ketika pra
kemerdekaan.
Kemunculan
madrasah merupakan realisasi upaya pembaharuan system pendidikan Islam yang
telah ada. Pembaharuan tersebut meliputi tiga hal yaitu: (1) upaya penyempurnaan
system pesantren, (2) penyesuaian terhadap system Barat, (3) menjembatani
antara system pendidikan tradisional Pesantren dan system pendidikan modern
barat.
Hal senada dengan yang dikemukakan oleh Maksum, bahwa latar belakang
pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi yaitu
adanya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan adanya respon pendidikan
Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda.
Seiring dengan perkembangan dan
menjawab kebutuhan masyarakat akan pentingnya lembaga pendidikan khususnya
lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya terfokus pada pendidikan keislaman
semata, maka lembaga pendidikan pesantren secara perlahan dikonversi baik
metode maupun sistemnya menjadi pendidikan madrasah. Dengan demikian visi
pesantren tetap menjadi bagian dari visi yang ada pada pendidikan madrasah.
Karel A. Steenbrink mengemukakan bahwa lembaga agama itu memang berkembang ke
arah yang memang mirip dengan sistem
sekolah. Namun iya berbeda karena lebih menekankan pengajaran agama. Sistem
pendidikan seperti ini disebut dengan sistem pendidikan madrasah, karena
pengajaran Qur’an dan kitab yang sudah memakai sistem kelas ini di Indonesia
pada umumnya disebut madrasah baik yang sudah ditambah pelajaran umum
maupun yang 100 persen agama.
2.
Madrasah Pada Masa Orde Lama
Seperti yang penulis kemukakan diawal tulisan ini
bahwa lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang lebih tua yaitu pesantren yang
telah ada jauh sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia, namun tidak dapat
dipungkiri sejarah bahwa lembaga pendidikan madrasah sebagai embrio dari
pesantren pun telah hadir sejak itu. Madrasah di Indonesia bisa dianggap
sebagai perkembangan lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren
dan surau. Berselang waktu pasca kemerdekaan−pemerintahan Orde Lama peranan
madrasah juga menyesuaikan kelembagaannya dengan kebutuhan masyarakat. Namun lembaga
pendidikan Islam madrasah ini belum begitu berkembang baik kebijakan yang
berpihak untuk pengembangan maupun jumlahnya diwilayah tanah air.
Selama 20 tahun pemerintahan Orde Lama praksis
bergelut pada persoalan politik dan kelembagaan
negara serta mengabaikan banyak aspek kehidupan lainnya, termasuk dalam hal
pendidikan, Walaupun demikian ada sisi yang
menarik terkait dengan pendidikan Islam di era tersebut yaitu dengan berdirinya
Sekolah Tinggi Islam di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1946 oleh Badan Pengurus
Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kemudian hari ketika itu pemerintahan pindah ke
Yogyakarta, STI juga pindah dan dikenal dengan nama Universitas Islam Indonesia
(UII). Kendati demikian bangsa
Indonesia tetap menilai hal ini menandai bahwa pemerintah ketika itu sama
sekali belum terfokus pada sektor pendidikan bagi anak-anak bangsa. Pada tahap selanjutnya
menjelang pemerintahan Orde Baru telah muncul tanda peningkatan yang signifikan
dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam diberbagai wilayah di
Nusantara.
Disisi lain menurut Ara Hidayat dan Imam Machali
mengutip Zuhairini mengemukakan bahwa
perkembangan pendidikan Islam pada masa Orde Lama erat kaitannya dengan peran
Departemen Agama yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam.
Orientasi Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam berdasarkan aspirasi
umat Islam adalah agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah disamping
pengembangan madrasah itu sendiri. Kebijakan pendidikan Islam semakin
signifikan sejak Departemen Agama mendapat tanggung jawab membina dan
pengembangan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan.
Sistem madrasah dan pengajaran
agama yang diberikan dengan sistem sekolah termasuk wewenang Departemen Agama.
Tujuan utama dari kebijaksanaan Departemen Agama ini adalah untuk menghapuskan
perbedaan antara sistem sekolah dan madrasah. Departemen Agama tidak
begitu campur tangan dalam sistem pesantren dan beberapa bentuk pengajian
Al-Qur’an. Ia hanya menganjurkan untuk mengadakan modernisasi dan mengambil
alih sistem madrasah. Hal ini berarti disatu pihak memberikan kebijaksanaan
memasukkan sebanyak mungkin pengajaran agama dalam sistem sekolah, sedang
dipihak lain berarti memberikan perhatian kepada vak umum dalam sistem
madrasah.
Jika ditinjau dari dari beberapa aspek
historisnya ketika orde lama, hal ini boleh dikatakan bahwa pendidikan Islam
(madrasah) khususnya dibeberapa daerah terutama di pulau Jawa memang perhatian
telah ada namun masih sebatas pengembangan politik pendidikan Islam,
pengembangan ini belum menunjukkan pemerataan yang signifikan ke berbagai
wilayah di tanah air, yang mendominasi hanyalah pendidikan Islam pesantren
namun lambat laun pendidikan madrasah ini pun dikenal oleh masyarakat Indonesia
menjelang pemerintahan orde baru.
3. Madrasah Pada Masa Orde Baru
Memasuki masa Orde Baru kebijakan penguasa dalam
segala sektor turut mempengaruhi perkembangan pendidikan, terutama pada lembaga
pendidikan Islam. Madrasah pun
dinilai berkembang dan tetap menyandang indentitas sebagai lembaga pendidikan
Islam. Kebijakan
pemerintah terhadap madrasah dalam hal ini adalah adanya Surat Keputusan
Bersama (SKB) 3 Menteri, yaitu Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No. 037/U/1975,
Menteri Agama No. 6 Tahun 1975, dan Menteri
dalam Negeri No. 36 Tahun 1975
tentang
“Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah” dan
SK Bersama Dua Menteri, yaitu: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0299/U/1984
dan Menteri Agama No. 45 Tahun 1984 “Tentang Peraturan Pembakuan Kurikulum
Sekolah Umum dan
Madrasah”. Namun sebelum
dikeluarkannya SKB 3 Menteri tersebut diatas madrasah mengalami perubahan nama
dan struktur menjadi madrasah negeri terutama Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan
Madrasah Aliyah (MA) pada awal pemerintahan Orde Baru.
Adanya keputusan
bersama tersebut dinilai sebagai strategi dan lengkah positif terhadap
peningkatan mutu pendidikan madrasah dalam hal status, persamaan ijazah dengan
sekolah umum maupun dari segi kurikulumnya. Di dalam salah satu diktum
pertimbangan SKB tiga menteri tersebut disebutkan perlunya diambil
langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan
dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Menurut Maksum SKB tiga Menteri ini dapat dipandang sebagai pengakuan yang
lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah
strategis menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional
yang tuntas. Dengan SKB tersebut, madrasah memperoleh
definisinya yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan
sekolah sekalipun pengelolaannya tetap berada pada Departemen Agama. Dalam hal
ini madrasah tidak lagi hanya dipandang lembaga pendidikan keagaaman yang
penyelenggara wajib belajar tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan yang
menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang
sekurang-kurangnya 30 %, disamping mata pelajaran umum.
Dengan diberlakukannya SKB 3 menteri tersebut, konsep penyetaraan pendidikan
madrasah dengan sekolah umum pada akhirnya menimbulkan konsekwensi mengenai
pendidikan agama yang proporsinya hanya 30 % dan pendidikan umum 70 % yang
sebelumnya pendidikan agama adalah 60 % dan pendidikan umum sebanyak 40 %. Langkah
tersebut sebagai salah satu bentuk memodernisasi madrasah, hal ini banyak yang
mengindikasikan bahwa penentuan proporsi yang agak berlebihan menimbulkan
kekhawatiran akan adanya tendensi kearah pendidikan yang bercirikan pendidikan sekuler
modern hingga berpotensi mengarahkan lembaga madrasah yang lepas dari ciri
khasnya yaitu nilai-nilai keislaman.
4. Pada Masa Reformasi Hingga Sekarang
Pada era orde reformasi, kebijakan pemerintah yang sangat berpengaruh
terhadap pendidikan di Indonesia, yakni dengan pergantian Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 2 tahun 1989 menjadi
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang pengesahannya
pada tanggal 8 Juli 2003, hal ini telah memberikan peluang yang sama kepada lembaga
pendidikan Islam (madrasah) selain sekolah umum berciri khas Islam untuk
mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak didiskriminasi di dunia pendidikan. Meskipun
disahkannya Undang-Undang ini mendapat respon, baik yang pro maupun yang kontra
dari berbagai pihak.
Imam Machali mengutip Ali Masykur diantaranya
dalam tulisannya menjelaskan bahwa Undang-undang terbaru ini (UUSPN nomor 20
Tahun 2003) sudah cukup akomodatif dan representatif bila dibandingkan dengan
UU No. 12 tahun 1989, sebab selama ini ada pandangan dan reaksi masyarakat yang
menyoroti dasar filsafat pendidikan, tujuan pendidikan yang dianggap tidak
mencerdaskan, campur tangan pemerintah, aturan yang tidak demokratis dan
memihak agama tertentu.
Dengan diberlakukannya UUSPN nomor 20 Tahun 2003
menjadikan pendidikan Islam (madrasah) semakin diakui dan turut berperan dalam
peningkatan kualitas generasi bangsa, selain itu pertumbuhan dan perkembangan
pendidikan Islam (madrasah) akan lebih baik dibandingkan dengan
kebijakan-kebijakan sebelumnya. Dengan diperkuat oleh
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang “otonomi daerah”, hal ini telah
memberikan ruang terbuka yang lebih luas untuk proses pengembangan pendidikan
Islam madrasah kearah yang lebih maju seiring tantangan globalisasi.
Pada pasca reformasi,
amanah yang telah tertuang dalam Undang-Undang yang terkait kebijakan
pengembangan pendidikan belumlah dapat dimaksimalkan pemerintah sesuai harapan
dan cita-cita bangsa khususnya umat Islam dalam pengembangan pendidikan Islam
(madrasah). Perhatian pemerintah dalam hal ini masih belum memuaskan semua
pihak, adanya perbedaan pemahaman tentang pendidikan Islam dikalangan
pemerintah sehingga kebijakan yang muncul hanya berdasarkan cara pandang
masing-masing. Tataran praktis ini pun kian menimbulkan ketidakadilan yang
belum berujung. Kebijakan yang tidak adil dan kecenderungan diskriminatif dalam
pengelolaan, penganggaran dan pembiayaan terhadap pendidikan bagi generasi
bangsa yang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah
sebagai bagian dari pendidikan nasional masih menimbulkan pertanyaan yang
serius diberbagai kalangan.
Belum maksimalnya keberpihakan
kebijakan pemerintah terhadap pendidikan madrasah yang dirasakan hingga hari
ini, kendati telah dikenal adanya otonomi daerah dan otonomi sekolah sebagai desentralisasi
pendidikan yang konsepnya memberikan ruang terbuka pengembangan pendidikan yang
lebih berkualitas, namun system otonomi tersebut seolah sebatas wacana. Sebagai
potret sederhana “kurikulum tetap keputusan dan milik pemerintah pusat”,−cukup
dinamis sebab dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir terjadi tiga pergantian
kurikulum, berikut aturan-aturan lainnya. Ragam serta pergantian kurikulum yang
diberlakukan dalam skala waktu tertentu dari Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) belum pula menunjukkan
capaian yang serius, menyusul kurikulum 2013 yang akan diberlakukan seolah
tergesa-gesa yang masih dalam tahap uji publik hingga menimbulkan ragam
pertanyaan baik penggunaan maupun substansinya. Hal ini tentunya kebijakan
dimasa-masa yang akan datang diindikasikan akan memiliki pengaruh yang luar
biasa entah keberpihakan atau pun malah menyempitkan ruang terhadap lembaga
pendidikan Islam (madrasah) nantinya.
Dari
Kebijakan Pemerintah Hingga Problematika Madrasah di Indonesia Masa Kini.
Sejak
kehadiran madrasah di bumi Nusantara di Indonesia hingga era tekhnologi modern sekarang
ini, kebijakan pemerintah terhadap eksistensi madrasah masih dinilai belum
berpihak maksimal terhadap pengembangan Sumber Daya Manusia yang berbasiskan
Islam yang notabene negara Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim
terbesar. sejak kemerdekaan hingga pasca reformasi madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam tetap memberikan peran yang maksimal terhadap perkembangan dan
kemajuan bangsa Indonesia, namun benar adanya penilaian dari berbagai pihak
bahwa peranan dan jasa yang besar terhadap kemajuan bangsa Indonesia dengan
kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam (pesantren dan madrasah)
dirasakan tidaklah sebanding.
Kehadiran
SKB 3 menteri memberikan nilai positif dengan menjadikan status madrasah yang
sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dengan kata lain, siswa lulusan dari
madrasah memiliki kesempatan yang sama dengan para lulusan sekolah umum untuk
mengisi dan memainkan peran yang ada di tengah masyarakat. Sisi positif lainnya
adalah telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu
jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktekkan ummat Islam.
Selain itu, kebijakan itu dipandang sebagai sebagai pengakuan yang lebih nyata
terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis menuju
tahapan integrasi madrasah ke dalam system pendidikan nasional yang tuntas. Madrasah
dalam keberadaan dan perkembangannya tentu tanpa tidak mengalami persoalan,
sepanjang sejarah sejak kehadiran institusi madrasah sebagai lembaga pendidikan
Islam di Indonesia persoalan-persoalan yang muncul menantikan sentuhan-sentuhan
pemikiran dan solutif tepat sesuai perkembangan dan kompetisi global saat ini.
Persoalan utama yang dihadapi oleh madrasah selalu menjadi topik perbincangan
diberbagai kalangan adalah umumnya pada persoalan mutu yang dimiliki terutama
pada madrasah-madrasah yang berstatus swasta.
Problematika
pendidikan madrasah di Indonesia pada umumnya, sebagaimana yang dikemukakan
Yusuf Hansyim mengutip Philip H. Coombs
dalam bukunya “What is Educational Planning?”, paling tidak ada 4
tahapan permasalahan yang dilewati dunia pendidikan, yaitu;
1. Tahap
rekonstruksi, pendidikan dihadapkan pada permasalahan pengkondisian otoritas
pendidikan, desentralisasi pendidikan, serta perencanaan fasilitas pendidikan,
2. Tahap
Ketenagakerjaan/Penyiapan SDM, pendidikan dihadapkan pada penyiapan tenaga
kerja yang terampil dan cakap (tenaga ahli),
3. Tahap
Perluasan/Pengembangan pendidikan meliputi pengembangan kurikulum, metode,
pengujian, demokrasi pendidikan, serta adaptasi sistem pendidikan dan ekonomi,
4. Tahap
Inovasi, berhubungan dengan perencanaan pendidikan dan strategi-strategi
pengembangan.
Pada
sisi lain dengan adanya kebijakan SKB 3 Menteri seperti yang tersebut di awal
memunculkan pula polemik yang dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit.
yaitu, pertama, disatu sisi ia harus tetap mempertahankan mutu
pendidikan agama yang menjadi ciri khasnya; kedua, disisi lain dituntut
untuk mampu menyelenggarakan pendidikan umum yang secara baik dan berkualitas
supaya sejajar dengan sekolah umum. Kegagalan madrasah dalam memikul tersebut
hanya akan memperkuat anggapan orang bahwa madrasah adalah semacam “sekolah
serba tanggung”. Azyumardi
Azra mengemukakan bahwa tugas yang dipikul madrasah pada akhirnya, adalah
mewujukan anak didik yang memiliki pengetahuan keislaman dan ilmu-ilmu lain;
dan sekaligus dapat mengamalkan pengetahuan yang mereka miliki. Dengan begitu,
mereka selanjutnya dapat tumbuh menjadi anggota masyarakat Muslim Indonesia
yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Selain
dituntut mampu mengembangkan tugas pendidikan, dituntut pula untuk menunaikan
tugas utamanya dalam pendidikan keagamaan. Belum lagi tugas utama tadi
dijalankan dengan baik tugas pendidikan keagamaan yang dulu melatarbelakangi
kelahiran madrasah pun belakangan ini kian senter disorot, seiring memperihatinkannya
gejala dekadensi moral generasi muda.
Pada
persoalan lain sesuai pandangan spesifik penulis, kesenjangan antara madrasah
swasta dan madrasah negeri yang masih menjadi masalah yang belum terselesaikan,
perhatian pemerintah terkait masalah ini masih seolah menjadi catatan yang
tersimpan rapi. Kesenjangan yang terjadi sebagai implikasi kebijakan seakan
memunculkan penilaian bagi masyarakat akan madrasah negeri yang mendapatkan
perhatian lebih dari pemerintah. Problematika yang dihadapi madrasah selama ini
semisal mutu pendidikan yang relatif kurang terjamin dibandingkan dengan mutu
sekolah umum lainnya, hal ini disebabkan karena ragamnya mata pelajaran yang
harus diajarkan dan sekaligus sebagai tuntutan kebijakan, tuntutan untuk
berkualitas pada pendidikan Islam yang diajarkan disatu sisi, dan disisi lain
pada mata pelajaran umum (pendidikan umum).
Hal lain kualitas tenaga guru (tenaga pendidik) yang kualitasnya rendah,
manajemen madrasah yang pengelolaannya kurang professional, dan sarana
pendidikan yang kurang memadai, kuantitas siswa pun sedikit yang mayoritas
latarbelakang ekonomi keluarga yang kurang mampu. Persoalan dalam hal lain yang
dihadapi oleh madrasah adalah terkait anggaran pendidikan dari pemerintah yang
seolah mengalami tendensi dikotomi jika dibandingkan dengan sekolah umum
lainnya.
Lembaga
pendidikan madrasah yang berada dibawah naungan Kementerian Agama ini
mayoritasnya adalah madrasah yang berstatus swasta, jika dibandingkan dengan
madrasah negeri pun mengalami dikotomi. Meskipun pada awalnya, mayoritasnya
madrasah pada semua jenjang adalah berstatus swasta, bahkan madrasah yang
berstatus negeri pada awalnya adalah madrasah swasta yang dikonversi menjadi
madrasah negeri.
Kerumitan yang terjadi pada system pendidikan Islam ini menyebabkan pendidikan
madrasah seolah hanya jalan ditempat. Disisi lain terjadi pula kerumitan dalam
pendidikan di Indonesia, yaitu lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan
Islam (madrasah) dengan kelembagaan pusat yang berbeda sejak era Orde Baru, pendidikan
kita mengalami system dualistik kelembagaan pusat sebagai payungnya. Sekolah
umum yang berada dibawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan
madrasah berada dibawah naungan Kementerian Agama.
Namun
demikian madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang hadir dan familiyar
ditengah-tengah masyarakat dan menjadi salah satu pilihan masyarakat, karena
madrasah yang murah dalam hal pembiayaan serta dapat dijangkau oleh banyak
kalangan, hal ini makin mampu beriringan dalam ranah global terlebih peranannya
dalam pemberantasan buta huruf dalam rangka upaya pencerdasan generasi bangsa. Di beberapa daerah di tanah air tidak dapat
dipungkiri bahwa eksistensi madrasah hingga hari ini dinilai telah dapat
menempati posisi yang setaraf dengan pendidikan formal lainnya terkait output
yang dihasilkan dalam hal kualitas baik dari segi ilmu-ilmu terapan terlebih
ilmu keislaman sebagai ciri khas yang dimiliki oleh madrasah tersebut.
Meskipun
banyak persoalan yang muncul dari penyelenggaraan pendidikan Islam di madrasah,
dewasa ini ada beberapa lembaga pendidikan madrasah yang ternyata dapat
dianggap unggul dan mampu bersaing
dengan lembaga sekolah maju lainnya, bahkan beberapa madrasah tersebut banyak
diminati atau dikonsumsi oleh masyarakat elit. Hal ini menunjukkan bahwa
lembaga pendidikan madrasah jelas memiliki sesuatu yang bisa dijual kepada
masyarakat.
Analisis
Pengembangan Madrasah dalam Dinamika Globalisasi; Sebuah Wacana Strategi
Reposisi.
Pengembangan madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam perlu menjadi perhatian serius bagi semua
kalangan guna tercapainya mutu pendidikan yang dicita-citakan sesuai tujuan
pendidikan nasional disamping tujuan pendidikan Islam. Menurut Imron Fauzi
mengutip Abuddin Nata dalam Ilmu Pendidikan Islam, berpendapat bahwa
pengembangan tersebut terkait dengan upaya memperbaiki, meningkatkan, dan
memajukan suatu kegiatan dari keadaan yang kurang maju kepada keadaan yang
lebih maju. dalam bidang pendidikan, pengembangan dapat dilakukan pada seluruh
komponen pendidikan, antara lain pengembangan mutu sumber daya manusia
(khususnya guru), pengembangan kurikulum dan materi pelajaran, pengembangan
proses belajar mengajar, pengembangan sarana prasarana dan sebagainya.
Pengembangan madrasah
penting menjadi perhatian serius sehingga tetap eksis dan mengejar
ketertinggalan, namun dari usaha tersebut perlu dipahami bahwa madrasah juga
memiliki faktor penghambat dan pendukung, disinilah para pengelolah lembaga
pendidikan madrasah perlu berjuang maksmal untuk mengembangkannya. Eko Susilo
mengutip A. Fatta Yasin dalam bukunya Dimensi-Dimensi Pendidikan,
mengemukakan faktor penghambat dan factor pendukung perkembangan madrasah
yaitu:
1. Faktor
penghambat:
a. Sistem
manajemen dan etos kerja yang rendah
b. Kualitas
dan kuantitas guru yang kurang memadai
c. Kurikulum
yang tidak efektif
d. Sarana
fisik dan fasilitas yang masih belum cukup
2. Factor
pendukung:
a. Merespon
kebutuhan peserta didik, kemajuan ilmu
dan tekhnologi, kebutuhan pembangunan nasional dan relevan dengan
pandangan hidup bangsa serta ajaran agama masyarakat.
b. Sistem
pendidikan yang dikembangkan adalah mampu menumbuhkan peserta didik sesuai
dengan kecenderungan sehingga dapat bekerja untuk menghidupi dirinya dan
keluarganya tersebut.
c. Pemberian
pedoman moral sesuai dengan keyakinan dan tantangan zamannya sehingga peserta
didik mampu hidup hormat dan disegani dalam tata pergaulan hidup bersama
ditengah-tengah masyarakat.
d. Mampu
mengembangkan keterampilan dan budi pekerti luhur peserta didik sesui dengan
agama, kepercayaan dan budayanya. Sehingga dapat menghadirkan peserta didik
untuk dapat hidup ditengah masyarakat yang dapat mendatangkan manfaat, rasa
aman, dan kepercayaan serta memberikan harapan-harapan baru bagi masyarakatnya.
Prinsip pengembangan
madrasah tidak hanya terkait pada persoalan mutu, kurikulum dan sarana
prasarana, jika esensi SKB tiga Menteri disisi lain memberikan penyetaraan
derajat kelulusan dan persamaan kurikulum dengan sekolah umum yang telah
diberlakukan selama ini (baik materi maupun jumlah jam), maka hingga kini masih
muncul pertanyaan diberbagai kalangan, mengapa madrasah masih belum begitu
maksimal akan memainkan peranannya secara praksis-aplikatifnya? Apakah
pemerintah masih setengah hati memberikan layanan yang memadai, baik dari segi
sarana-prasarana maupun anggaran pendidikan?, maka analisis umum penulis hal
ini terdapat sekurang-kurangnya ada tiga penyebab yaitu:
1)
Lembaga pendidikan madrasah dalam praktek
pengelolaannya sebagian besar (khususnya madrasah swasta) belum tangani
sepenuhnya secara professional oleh orang dibidangnya sehingga hal ini belum
memberikan nilai jual dan nilai tawar bagi masyarakat pada umumnya, kebanyakan
lembaga pendidikan madrasah masih seolah tertutup dengan informasi perkembangan
pendidikan dan globalisasi, hal ini dikarenakan masih adanya asumsi bahwa era
globalisasi (tehnologi informasi) dapat menggeser nilai-nilai historisnya yang
masih kental dengan prinsip-prinsip Islam, disini penting dilakukan
pengintegrasian antara ilmu agama sebagai dasar historisnya dengan teknologi
informasi sebagai langkah memodernisasi kemajuan sebuah lembaga pendidikan
Islam madrasah−swasta yang masih terbelakang.
2)
Perhatian
pemerintah dalam hal pengelolaan pendidikan secara nasional masih terpecah dan
disinyalir tidak fokus karena masih memainkan peran masing-masing baik sekolah
umum di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maupun sekolah
(madrasah) dibawah naungan Kementerian agama. Hingga kini banyak isu yang
berkembang dikalangan akademisi maupun praktisi pendidikan sekaligus tawaran akan
penyamaan hak antara madrasah dan sekolah umum baik dari segi penganggaran
(pembiayaan) yang disalurkan pemerintah maupun system pengelolaan dalam satu kebijakan pusat,
dengan pengertian bahwa yang terkait pendidikan secara keseluruhan perlu
dibawah naungan satu Departemen yakni khusus Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, sedangkan untuk Departemen Agama fokus pada wilayah kebijakannya
yakni keagamaan. Kendati tawaran penyamaan pengelolaan satu kebijakan terpusat
tersebut, melakukannya bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan analisis yang
mendalam dari latarbelakang historisnya hingga kesiapan semua pihak dalam
mengambil peran untuk menyukseskan pendidikan serta konsekwensi yang akan
ditimbulkan.
3)
Hingga kini pada
kenyataannya citra kepercayaan masyarakat mulai menurun, disebabkan karena mutu,
pengelolaan lembaga pendidikan madrasah belum terkelolah secara profesionalisme
baik dari segi administrasi, etos kerja, maupun pembaharuan system manajemen. Disini
diperlukan peranan unsur pengelolah (kepala sekolah dan guru) untuk mengambil
langkah membangun citra kepercayaan masyarakat dengan menetapkan nilai prestasi
yang memadai secara selektif bagi siswa, sehingga kesan yang timbul tidak hanya
pada tingkat pembayaran yang dikeluarkan oleh orang tua siswa melainkan
prestasi yang mampu bersaing dengan sekolah umum lainnya, disisi lain
pemantapan pengelolaan administrasi madrasah dan disiplin etos kerja pegawai
mencerminkan kesungguhan yang patut diapresiasi. Pembaharuan system sebagai
salah satu langkah pengembangan madrasah, jika system pendidikan selama ini
dari sentralistik menuju desentralistik, maka dengan desentralistik yang
membias sehingga melahirkan otonomi sekolah perlu penjabaran detail yang dapat
dipahami lebih mendalam bagi kepala sekolah, pemegang kebijakan pendidikan
khususnya madrasah yaitu Kementerian Agama. Mewujudkan otonomi sekolah tentunya
harus melalui pula dukungan pemerintah daerah.
Landasan yuridis desentralisasi ini termuat dalam
Undang-undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 pada Bab I pasal 1 e dan h. Maka dalam pendidikan desentralisasi disini, menurut Abdul
halim dapat diartikan terjadinya pelimpahan kekuasaan dan kewenangan yang lebih
luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri
dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dibidang pendidikan.
Sedangkan menurut Ali Riyadi, desentralisasi pendidikan sesungguhnya memberikan
keleluasaan kepada lembaga pendidikan dalam setiap aktifitas kelembagaan dan
kependidikannya.
Dari beberapa pendapat tersebut maka dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa
desentralisasi pendidikan khususnya pendidikan madrasah adalah kewenangan yang
diberikan kepada daerah dalam hal ini Kementerian Agama dan pengelolah madrasah
untuk membuat suatu strategi pengembangan (membuat perencanaan dan mengambil
keputusan) terkait system dan manajemen madrasah yang bermutu guna memenuhi
tuntutan dan kebutuhan masyarakat seiring dengan perkembangan globalisasi tanpa
meninggalkan asas-asas keislaman sebagai ciri khas pendidikan madrasah
tersebut.
Beragam paradigma baru yang muncul dibidang
pendidikan hal ini mengindikasikan masyarakat menantikan pentingnya
pengembangan pendidikan khususnya pengembangan madrasah diera kompetisi global,
langkah penting yang dapat menjadi catatan bagi segenap komponen yang terlibat
pengelolaan pengembangan madrasah adalah kebijakan pendidikan yang demokratis.
Pengelolaan pendidikan secara demokratis ini dapat dikatakan sebagai salah satu
strategi yang tepat masa kini. Demokratisasi disini sebagai contoh dapat dimaksudkan
Manajemen Berbasis Madrasah (MBM), melalui MBM pendidikan dimadrasah dapat
dipahami sebagai langkah menjawab kebutuhan masyarakat sesuai kondisi yang
dialami, baik secara kultural, adat-istiadat, terlebih persoalan ilmu keagamaan
dan pengetahuan umum. Said Agil Husin Al-Munawar memberikan pandangan bahwa
dengan MBM ini berarti akan mengembalikan peran madrasah yang sesungguhnya,
sebagaimana visi dan misi pertama madrasah didirikan.
Keberadaan unsur-unsur kebebasan dalam aktivitas
pendidikan merupakan kunci atau fondasi terwujudnya demokratisasi pendidikan
Islam. Demokratisasi pendidikan Islam sendiri merupakan upaya-upaya yang
menciptakan pendidikan Islam yang berbasis dari tekanan-tekanan dan pemaksaan
serta bentuk-bentuk aktivitas pendidikan yang serba sangat birokratis,
hirarkis, sentralistis dan elitis.
Dalam hal ini kebijakan pendidikan dan pengembangan madrasah sangat dipengaruhi
adanya demoraktisasi. format alternatif yang berkenaan dengan kebijakan
demokratisasi patut dijadikan pertimbangan sebagai proses pengembangan
madrasah.
Oleh karena itu menurut analisis penulis, pengembangan
madrasah sebagai strategi reposisi menuju perkembangan mutu diera kompetitif
globalisasi masa kini adalah: Pertama, Dengan adanya undang-Undang
otonomi daerah maka kebijakan utama berada pada Pemerintah Daerah, perlunya
integratif dikalangan pemerintah dengan pengelolah pendidikan di madrasah
sangat berperan dalam upaya menumbuhkan kesadaran untuk kemajuan entitas budaya
lokal madrasah yang bercirikhaskan Islam religius. Pemerintah penting membuka
diri dan memiliki keberanian untuk menumbuhkembangkan pendidikan Islam
khususnya lembaga pendidikan Islam madrasah. Namun kelemahan disisi lainnya
adalah menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan antar daerah. Kedua, Peranan
masyarakat yang sadar pendidikan sangat penting, partisipasi terhadap pendidikan
Islam tak hanya mengarahkan anak didik untuk belajar pada pendidikan formal
khususnya di madrasah, namun bimbingan orang tua sebagai pemeran utama
dikalangan keluarga paling berpengaruh, demikian pula masyarakat Islam
mayoritas patut diperhitungkan dalam mengambil peran baik dari dukungan
financial yang memadai untuk menunjang proses pendidikan di madrasah. Ketiga,
Diera kompetitif ini lembaga pendidikan madrasah khsusnya madrasah swasta penting
membangun system jaringan kerja dan sumber pembiayaan tambahan (networking
and funding) dengan pihak-pihak atau lembaga yang memiliki perhatian terhadap pendidikan,
baik dalam ranah lokal, nasional maupun internasional. Keempat, Pentingnya
pemerintah pusat berlaku lebih adil tanpa mendiskriminasikan lembaga pendidikan
Islam dibawah pengelolaan Kementerian Agama dengan lembaga pendidikan umum yang
berada dibawah pengeloaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kelima,
Lembaga pendidikan madrasah perlu melakukan peningkatan layanan pendidikan yang
mencakup seluruh siswa tanpa adanya perbedaan latar belakang sosial maupun
ekonomi, mempertahankan kualitas pendidikan yang telah tercapai dan melakukan
upaya pencegahan siswa putus sekolah. Keenam, Pengembangan bakat dan
kreatifitas siswa dengan menciptakan lembaga organisasi yang dapat
mengembangkan minat profesionalnya. Ketujuh, Perlunya madrasah merumuskan,
menetapkan serta mensosialisasikan kepada publik mengenai visi dan misi madrasah
yang dimiliki serta jelas yang berorientasi tujuan utama pendidikan Islam dan
mengarah pada nilai kebutuhan masa depan masyarakat yang siap menghadapi
perkembangan globalisasi. Kedelapan, pentingnya
madrasah meningkatkan penguasaan dan keahlian yang berbasis sains dan
tekhnologi. Kesembilan, pendidik adalah pelaku dalam proses pemindahan
ilmu (transfer of knowledge), motifator dan inspirator, maka diperlukan
perekrutan guru−pendidik yang betul-betul siap dan memiliki kompetensi
dibidangnya serta terbukti akan kualitasnya. Kesepuluh, Pentingnya
penerapan dan penekanan terhadap peserta didik dalam penguasaan bahasa dalam
hal bahasa asing, penting menjadi modal sekaligus wawasan global untuk mampu
bersaing dalam percaturan pembangunan nasional. Kesebelas, bagi
pemerintah−pemegang kebijakan pendidikan, penting merumuskan dan menetapkan
kebijakan yang betul-betul berpihak dan menguntungkan semua pihak yang terlibat
baik pengelolah pendidikan, pegawai, guru, peserta serta masyarakat.
Dari beberapa langkah-langkah pengembangan tersebut
sebagai wacana strategi reposisi, tentunya dapat dilihat dari aspek politik, sosial,
ekonomi budaya dan aspek tekhnis. Tawaran pola pengembangan pendidikan Islam
madrasah yang bersifat makro ini menuntut kesadaran, kemauan dan kerja keras
serta komitmen yang tinggi meskipun melakukannya dipengaruhi pasang surutnya
kebijakan politik pemerintah.
Simpulan
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam yang telah lahir sejak abad ke empat hijriyah
membawa misi pendidikan bagi umat Islam pada umumnya, hingga keberadaan
madrasah di Indonesia sebagai embrio yang lahir dari rahim pesantren pada abad
ke-20 sebagai bentuk kebangkitan pendidikan Islam di tanah air. Madrasah
sebagai sekolah yang bercirikan Islam merupakan tahapan dan pengembangan dari
pesantren sejak pra kemerdekaan, kelahirannya yang dilatarbelakangi oleh kurang
memenuhinya kebutuhan masyarakat terkait lembaga pendidikan keislaman
madrasah−persekolahan dan kemampuan pragmatis demikian pula sebagai respon
kebijakan pendidikan terhadap pemerintah Belanda, kekhawatiran tokoh-tokoh
intelektual Islam dan masyarakat akan system pendidikan barat (system
pendidikan Belanda) yang cenderung mengarah pada pendidikan sekuler guna
menyeimbangkan pemikiran sekularisme. Kebijakan pendidikan sekuler yang
dipraktekkan kolonial Belanda tiada lain untuk membina putri-putri Indonesia
untuk menindas kaum pribumi. Meskipun pendidikan Islam (pesantren dan madrasah)
mengalami tekanan dan intervensi dari kalangan penjajah namun madrasah tetap
mengalami perkembangan membawa misi pendidikan Islam hingga pasca kemerdekaan,
baik dari era Orde Lama hingga sekarang.
Pada
era Orde Lama yang kurang mendapatkan ruang dan perhatian pemerintah namun
ketika pada Orde Baru telah melahirkan beberapa kebijakan terkait pengembangan
madrasah ini seperti lahirnya Surat Keputusan Bersama tiga Menteri yang terkait
penyetaraan dan perubahan mendasar strukturalnya. Hingga memasuki era reformasi
peran madrasah dalam membina generasi bangsa Indonesia tetap diperhitungkan dengan
kebijakan pemerintah terkait lahirnya UUSPN No.20 Tahun 2003 tentang system
pendidikan nasional yang memberikan pengakuan tanpa dikriminasi dalam
pendidikan nasional. Kendati hingga sekarang pendidikan madrasah masih menuai
problematika yang tak kian surut dengan kebijakan pemerintah hingga kini.
Eksistensi
madrasah hingga kini walau peranannya yang demikian besar seolah tak sebanding
dengan kebijakan pemerintah terhadap madrasah sebagai bagian dari pendidikan
nasional selalu diwarnai dengan ragam polemiknya baik dari segi mutu,
kurikulum, kebijakan pemerintah dalam hal penganggaran dan sebagainya. Hal ini
menuntut perbaikan dari berbagai pihak untuk mengembangkannya sehingga dapat
menempatkan diri sebagai lembaga pendidikan yang terkemuka baik dalam ciri khas
keislamannya maupun dalam bidang pengetahuan umum di Indonesia. langkah solutif
untuk membawa pendidikan Islam madrasah dalam era kompetitif global kini,
dengan mengambil bagian dari wacana solutif itu maka pada pembahasan di atas beberapa
pola pengembangan madrasah yang sedikit menyentuh sebagai analisis strategis
penulis. Olehnya kebijakan politik pemerintah yang betul-betul berpihak pada
pendidikan sangat berperang dalam mendukung tercapainya pengembangan madrasah
kini dan masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Munawar,
Husin, Agil, Said, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’an dalam Sistem Pendidikan
Islam, edt. Ummi Kalsum dan Syahrini Tambak, Ciputat: PT. Cirutat Press,
2005.
Arif, Mahmud, Panorama Pendidikan Islam di Indonesia. Sejarah,
Pemikiran, dan Kelembagaan,Yogyakarta: Idea Press, 2009.
Arif,
Mahmud, Sketsa Sejarah, Geliat, dan Dinamika Peran Madrasah dalam Merespon
Tantangan Pendidika Islam (Dilema Madrasah dalam Kancah Pendidikan dan Peran
Kontributif Madrasah Berbasis Pesantren). Edt. Prof. Dr. Nizar Ali, M.Ag
dan Dr. H. Sumedi, M.Ag. dalam Ontologi Pendidikan Islam, Yogyakarta,
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga kerjasama Penerbit Idea Press, 2010.
Azra,
Azyumardi, Paradigma Baru Pendidikan
Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta, Kompas Buku, 2002.
Fauzi,
Imron, Manajenen Pendidikan ala Rasulullah, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2012.
Halim,
Abdul, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: YKPN, 2001.
Langgulung,
Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000.
Machali, Imam, dan Hidayat, Ara,
Pengelolaan Pendidikan (Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelolah
Sekolah dan Madrasah), Yogyakarta: Kaukaba, 2012.
Machali,
Imam, Kebijakan Pendidikan
Islam dari Masa Ke Masa, Dari Kebijakan Diskriminatif Menuju Kebijakan
Berkeadilan, dalam Website: http://www.imammachali.com.
Maksum,
Ali, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pada Madrasah, dalam Nizamia, Surabaya,
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 2005, Vol. 8 Nomor 1.
Maksum,
Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
Mas’ud,
Abdurrachman, dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, edt. Ismail SM dkk,
Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo bekerja sama Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002.
Hasyim,
Yusuf, Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Madrasah, dalam Website: http://gurubangsaku.wordpress.com.
Retnoningsih, Ana, dan, Suharso, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Lux, Semarang: CV. Widia Karya, 2011.
Riyadi, Ali, Politik Pendidikan, Menggugat Birokrasi Pendidikan
Nasional, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006.
Steenbrink,
A. Karel, Pesantren Madrasah Sekolah (Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen),
Jakarta: Darma Aksara Perkasa, 1986.
Subagja, Saleh, Gagagsan Liberalisasi Pendidikan Islam, (Konsep
Pembebasan dalam Pembelajaran Pendidikan Islam), Malang, Penerbit Madani,
2010.
Susilo,
Eko, dkk. Politik Pendidikan Nasional, edt. Syahridlo dan Sutarman, Yogyakarta,
Kopertais Wilayah III Daerah Istimewa Yogyakarta UIN Sunan Kalijaga, 2011.
Toto
Suharto, Abdullah Idi, dan, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006.
Tim
Penyusun Mahasiswa Pacasarjana Program Studi S-2 PGMI UIN Sunan Kalijaga, Eds.
Didik Supriyatno dalam Bunga Rampai Pendidikan Islam (Analisis Kebijakan
Pendidikan Guru MI), Yogyakarta: kerjasama Taruna Media Pustaka Surabaya,
2011.
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (dalam pdf),
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301), diundangkan di
Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003.
Yunanto.
S, et.al, Pendidikan Islam di Asia Tenggara dan di Asia Selatan (Keragaman,
Permasalahan dan Strategi), Jakarta:
The RIDEP Institut kerjasama Friedrich Ebert Stiftung, 2005.
Imam
Machali, Kebijakan
Pendidikan Islam dari Masa Ke Masa, Dari Kebijakan Diskriminatif Menuju
Kebijakan Berkeadilan, dalam
Website: http://www.imammachali.com/berita-138-.html, Diakses,
2 Maret 2013, pukul 17.00 WIB.
Ali
Maksum, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pada Madrasah, dalam Nizamia,
(Surabaya, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 2005), Vol. 8 Nomor 1, hlm.38.
Hal
ini dengan harapan, agar setiap lembaga bisa menyesuaikan dirinya dengan
masing-masing situasi dan kondisi atau harapan serta keutuhan masyarakat yang
ada disekitarnya. Konsep ini penting, sebab pendidikan pada dasarnya merupakan
proses untuk membawa rakyak menuju pengembangan diri sehingga mampu menjawab
tuntutan perkembangan zaman dan budayanya. Ali Riyadi, Politik Pendidikan,
Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006),
hlm. 231.
Adapun
demokratisasi pendidikan dalam pandangan para pemikir pendidikan Islam di
Indonesia berawal dari kritik mereka terhadap system pendidikan Islam
tradisional seperti apa yang telah
disampaikan oleh Syafii Maarif. Ia mengatakan bahwa system pendidikan
tradisional yang kurang atau lemah pengalaman berdemokrasi. Demokrasi
pendidikan yang dibangun oleh para pemikir pendidikan Islam merupakan upaya
untuk membangun dasar-dasar persamaan, kebebasan, keadilan, keterbukaan, dan
anti diskriminatif. Saleh Subagja, Gagagsan Liberalisasi Pendidikan Islam,
(Konsep Pembebasan dalam Pembelajaran Pendidikan Islam), (Malang, Penerbit
Madani, 2010), hlm.188-189.