Rabu, 15 Mei 2013

EKSISTENSIALISME MARTIN HEIDEGGER


A.     PENDAHULUAN
Sebagaimana dimaklumi, kehadiran zaman modern dapat dianggap sebagai sebuah pemberontakan terhadap alam pikir abad pertengahan, Renaissance (Abad XV-XVI) ialah periode penemuan manusia dan dunia dan bukan sekedar sebagai kebangkitan kembali yang merupakan permulaan kebangkitan modern. Jadi dapat dikatakan zaman modern filsafat didahului oleh zaman renaissance. Bahkan eksistensialisme juga memiliki akarnya pada masa Enlightenment, abad ke-18 Masehi, hal ini disebabkan karena baik pada masa Renaissance  maupun Enlightenmen, gerakan perlawanan terhadap otoritas dogmatis, pengukuhan terhadap kemanusiaan, keyakinan terhadap individualitas dan gerakan pembebasan (freedom) serta penghormatan yang besar pada individu, banyak diperhatikan. Padahal intisari dari semua gerakan tadi merupakan kondisi yang favourable bagi tumbuhnya eksistensialisme.[1]
Dengan adanya perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan membawa dampak kemajuan yang berarti disatu sisi namun juga berpotensi kepada kehancuran kemanusiaan itu sendiri; dehumanisasi dan depersonalisasi. Filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang kita pelajari sekarang ini sering nampak sukar karena memang mengandung pandangan-pandangan yang dalam dan sukar dimengerti, akan tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa filsafat itu lalu tidak ada artinya bagi kita, justru sebaliknya karena yang dipersoalkan dalam filsafat yakni mengenai diri kita sendiri. Filsafat mempunyai sifat yang “Eksistensial” mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari dengan adanya manusia itu sendiri. Filsafat berdasar dan berpangkal pada diri kita yang konkrit dengan persoalan yang kita hadapi di dunia. Ragamnya teori yang muncul tersebut tidak lain bertujuan untuk menerangkan kenyataan yang konkrit dan pada waktu sekarang makin banyak menitikberatkan pada sifat eksistensialisme.
Pada makalah berjudul “Metafisik (Eksistensialisme) Martin Heidegger” Heidegger sebagai seorang pemikir ekstrim dan kritikus sosial perlu dilakukan perambahan intektual untuk memahami ciri dan sifat pemikiran eksistensialismenya. Merujuk pada uraian latarbelakang tersebut, pada makalah ini perlu ditelaah beberapa rumusan masalah yang memerlukan jawaban eksplorasi yaitu, (1) Apa pengertian eksistensialisme?, (2) Bagaimana karakteristik eksistensialisme?, (3) Bagaimana biografi Martin Heidegger sebagai seorang tokoh eksistensialisme?, (4) Bagaimana eksistensialisme Martin Heidegger?,
 Pemikiran eksistensialisme Martin Heidegger, Sifat eksistensial ini yang dijadikan dasar filsafat abad ke-20. Filsafat Heidegger adalah rangkaian arus berpikir yang tidak hanya mengetengahkan makna dari penjumlahan dalam dan luar belaka, melainkan bagaimana manusia dalam proses menjadi dan mencari arti keberadaaannya mampu memasuki ranah makna hal-hal di luar dirinya sebagai dirinya. Ekternalisasi eksistensialisme Martin Heidegger merupakan salah satu bagian dari filosofi keberadaan yang memberi ruang bagi interaksi manusia dengan hal-hal sekitar. Apa yang dimaknai di luar diri kemudian menjadi salah satu bagian yang tidak bisa dilepaskan dari eksistensi manusia sendiri. Yang di luar manusia harus bisa dicari benang merahnya dengan manusia itu sendiri. Semua yang di luar baru bermakna apabila manusia mendekatinya.

B.     PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang menolak pemutlakan akal budi dan menolak pemikiran-pemikiran abstrak murni. Eksistensialisme berupaya untuk memahami manusia yang berada di dalam dunia, yakni manusia yang berada pada situasi yang khusus dan unik. Beberapa pendapat tentang eksistensialisme ialah sebagai berikut:
1.      Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata exist itu sendiri adalah bahasa Latin yang artinya: ex; keluar dan sistare; berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.[2]
2.      Eksistensi mengandung pengertian ruang dan waktu, eksistensi merupakan keadaan tertentu yang lebih khusus dari sesuatu, dalam arti bahwa apa pun juga yang bereksistensi tentu nyata ada tetapi tidak sebaliknya.[3]
3.      Yang dimaksud dengan eksistensi ialah cara orang berada di dunia.[4]
4.      Menurut Jean Hendrik Repper yang dikutip Blackham mengatakan bahwa eksistensialisme adalah suatu filsafat keberadaan, suatu filsafat pembenaran dan penerimaan dan suatu penolakan terhadap usaha rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang kebenaran.[5]
Dari beberapa perbedaan pandangan tersebut di atas tentang definisi eksistensialisme maka hal ini dapat dikatakan bahwa eksistensialisme adalah filsafat yang mempunyai arti dalam segala (gejala) yang berdasar dan berpangkal pada eksistensinya. Pada umumnya kata “eksistensi” berarti keberadaan, akan tetapi dalam filsafat eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus.[6] Namun demikian ada hal yang dapat disepakati bersama yakni menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral [7] (cara manusia berada di dalam dunia). Cara manusia berada di dunia berbeda dengan cara beradaannya benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya juga yang satu berada disamping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikian dengan cara manusia berada. Manusia berada bersama-sama dengan benda-benda itu, dan benda-benda menjadi berarti karena manusia. Disamping itu manusia berada bersama-sama dengan manusia.[8] Artinya ialah bahwa manusia subyek. Subjek berarti menyadari atau yang sadar, dan benda-benda yang disadarinya disebut objek.
Adapun filsafat eksistensialisme rumusannya lebih sulit dari pada eksistensi. Sejak muncul filsafat eksistensi, cara wujud manusia telah dijadikan tema sentral pembahasan filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara radikal menghadapkan manusia kepada dirinya seperti pada eksistensialisme.[9] Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan bahwa benda-benda “berada” sedangkan manusia “bereksistensi”. Jadi hanya manusialah yang bereksistensi.
Eksistensialisme tidak mencari tidak mencari esensi atau subtansi yang ada dibalik penampakan manusia, melainkan kehendak mengungkap eksistensi manusia sebagaimana  yang dialami oleh manusia itu sendiri. Esensi atau subtansi mengacu pada sesuatu yang umum, abstrak, statis sehingga menafikan sesuatu yang konkret, individual, dan dinamis. Sebaliknya, eksistensi justru mengacu pada sesuatu yang konkret, individual dan dinamis.[10] Oleh karena itu kata eksistensi diartikan: manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya, manusia sadar bahwa dirinya ada. Ia dapat meragukan segala sesuatu disekitarnya dihubungkan dengan dirinya (mejaku, kursiku, temanku dan sebagainya). Di dalam dunia manusia menentukan keadaanya dengan perbuatan-perbuatannya. Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menemukan pribadinya dengan seolah keluar dari dirinya sendiri dan menyibukkan diri dengan apa yang di luar dirinya. Ia menggunakan benda-benda yang di sekitarnya. Dengan kesibukannya itulah ia menemukan diri sendiri. Ia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya dan sibuk dengan dunia di luarnya. Demikianlah ia bereksistensi.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang bersifat antropologi, karena memusatkan perhatiannya pada otonomi dan kebebasan manusia. Maka, sementara ahli memandang eksistensialisme sebagai salah satu bentuk dari humanism.[11] Menurut  Zubaedi yang dikutip dari Horal Titus dalam buku “Living Issues in Philosofhy”, Kalangan eksistensialis membedakan antara eksistensi dengan esensi. Eksistensi adalah keadaan aktual yang terjadi dalam ruang dan waktu. Eksistensi menunjukkan kepada “suatu benda yang ada di sini dan sekarang”. Dengan demikian keberadaan suatu benda terikat dengan waktu, maka setiap benda memiliki waktu dan batasan tersendiri dalam memunculkan keberadaannya. Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya. Sementara esensi adalah kebalikannya, yaitu suatu yang membedakan antara satu benda dan corak-corak benda lainnya. Esensi adalah menjadikan benda itu seperti apa adanya.[12]
Karakteristik eksistensialisme, dari eksistensialisme dalam bentuk atheism sampai theism, dari phenomenalism dan phenomenology sampai bentuk Aristotelianism, merupakan tema pokok atau karakteristik utama eksistensialisme. Ada beberapa hal karakteristik pokok yang dijadikan pedoman dalam pemikiran eksistensialis antara lain:[13]
a.       Eksistensi mendahului esensi (existence comes before essence).
b.      Kebenaran ini subjektif.
c.       Alam tidak menjadikan aturan moral, Prinsip-prisnsip moral dikonstruksi oleh manusia dalam konteks bertanggung jawab atas perbuatan mereka dan perbuatan selainnya.
d.      Perbuatan individu tidak dapat diprekdisi.
e.       Individu mempunyai kebebasan kehendak secara sempurna.
f.       Individu tak dapat membantu melainkan sekedar membuat pilihan.
g.      Individu dapat secara sempurna menjadi selain daripada keberadaanya.
Lebih lanjut Shubhi Rosyad yang mengutip Harold Titus  menambahkan bahwa eksistensialisme:
1)      Menekankan kesadaran “ada” (being) dan eksistensi, realitas atau wujud (being) adalah eksistensi yang terdapat dalam “I” bukan dalam “It”.
2)      Percaya bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subjek yang mengetahui, kita mengalami kebenaran dalam diri kira sendiri. Kebenaran tidak dapat dicapai secara abstrak. Oleh karena itu, eksistensialis menggunakan bentuk-bentuk sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan hati.
3)      Menekankan pada individu, kebebasan, dan pertanggungjawabannya.
4)      Menekankan pada keputusan dan tindakan, sementara pemikiran dan analitis tidaklah mencukupi.
Pada pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang modern, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti halnya kayu dengan batu. Akan tetapi, materialisme bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu atau pohon, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi, pohon atau batu. Dilihat dari keberadaanya juga sama, disinilah bagian ajaran yang dibantah oleh eksistensialisme.
Sifat-sifat umun yang bagi penganut (yang dinamai) orang eksistensialisme yaitu:[14]
a)    Orang yang menyungguhkan dirinya (existere) dalam kesungguhan yang tertentu.
b)      Orang harus berhubungan dengan dunia.
c)      Orang merupakan kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badannya
d)     Orang yang berhubungan dengan ada.
, Abd. Rahman Assegaf mengutip Peter A. Angeles mengklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu: pertama, aksistensi mendahului esensi; kedua, kebenaran itu subjektif; ketiga, alam tidak menyediakan aturan normal. Prinsip moral dikonstruksi oleh manusia dalam konteks bertanggungjawab atas perbuatan mereka dan perbuatan selainnya; keempat, perbuatan individu tidak dapat diprediksi; kelima, individu mempunyai kebebasan berkehendak secara sempurna; keenam, individu tidak dapat membantu melainkan sekedar membuat pilihan; ketujuh, individu dapat secara sempurna menjadi selain dari pada keberadaannya.

C.    BIOGRAFI MARTIN HEIDEGGER
Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota kecil Messkirch Baden, Jerman dan mempunyai pengaruh besar terhadap filosof di Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari Universitas Freiburg dimana dia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (penggagas fenomenologi). Disertasinya berjudul Die Lehre Van Uerteil In Psycologismus (Ajaran tentang Putusan dalam psikologi). Ia adalah anak seorang pastor dari gereja katholik Santo Mortinus.
Sebelumnya dia kuliah di Fakultas Teologi selama empat semester, lalu pindah ke filsafat dibawah bimbingan Heinrich Rickert, penganut Filsafat Neo-Kantinaisme yang juga membawa pengaruh yang banyak baginya. Ia pernah menjabat sebagai guru besar filsafat di Universitas Marburg dan berkenalan dengan teolog Protestan, kemudian kembali ke Freiburg untuk menggantikan Husserl. Di Marburg, ia sempat menyelasaikan karya monumentalnya yang berjudul Sein und Zeit (Being And Time). Karena Husserl orang yahudi, maka sewaktu gerakan Nazi, ia berpisah dengannya. Pada tahun 1933, ia menjadi Rektor pertama Universitas Freiburg yang diangkat oleh gerakan National Sosialist (Nazi), dengan pidato pengukuhannya berjudul “Role of the university in the New Reich” yang menekankan ide tentang timbulnya Jerman Baru yang jaya.  Begitu dia merasa dia hanya dieksplotasi maka setahun kemudian, dia meletakkan jabatan rektornya. Namun dia masih mengajar sampai pension pada tahun 1957. Karya-karyanya antara lain Sein dan Zeit, Einfuhrug in die Methaphisic, What is Being,Why is there something  rather than nothing all”. Demikian judul-judul tentang eksistensi manusia, kegelisahan, keterasingan dan mati.[15]
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologiEdmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Martin Heidegger adalah mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang "Ada" (atau apa artinya "berada"). Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) Introduction to Metaphysics yang dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis.[16]

D.    EKSISTENSIALISME MARTIN HEIDEGGER
Martin Heidegger dianggap sebagai salah satu filsuf terbesar dari abad ke-20 dan merupakan pemikir dan filsuf yang luar biasa kreatif, gagasannya memasuki bidang penelitian yang luas. Karena diskusi Martin Heidegger tentang ontologi maka dia dapat dianggap sebagai salah satu pendiri eksistensialisme. Sasaran dan titik tolak penyelidikan Heidegger pada akhirnya adalah pada eksistensi manusia, pada mengadanya manusia (Dasein). Itulah sebabnya filsafat Heidegger dianggap sebagai bagian dari eksistensialisme.[17]
Ada dua hal yang mendasar yang memecut lahirnya pemikiran eksistensialis Heidegger, yaitu dehumanisasi dan depersonalisasi dimana pasca renaissance enlightenmen atau revolusi industry, manusia telah menjadi alat-alat industri, alat mekanik, zaman mesin sehingga betul-betul membuat manusia menjadi robot, depersonalisasi. Yang kedua adalah adanya detotalization. Gejala ini terlihat dengan jelas, baik pada golongan materialisme atapun idealisme yang mengakui sebagian sebagai keseluruhan juga penempatan manusia sebagai subjek karena menghadapi objek. Manusia hanya sebagai manusia karena bersatu dengan realitas di sekitarnya.[18]
Keprihatinan Martin Heidegger kepada para filosof yang telah menyamakan antara  “berada” manusia dengan  benda, sehingga ketika berbicara mengenai manusia, maka manusia identik dengan benda. Pokok pemikirannya dicurahkannya pada pemecahan yang konkrit terhadap persoalan yang mengenai arti “berada”, menurut dia persoalan tentang “berada” ini belum pernah dikemukakan dengan cara yang benar, karena orang telah mengira bahwa ia telah tahu tentang itu, pada hal sebenarnya pengertian kita tentang “berada” hingga kini hanya samar-samar saja. Menurut Heidegger, persoalan tentang “berada” ini hanya dapat dijawab melalui ontologi, artinya: jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dengan hubungan itu. Agar supaya usaha ini berhasil harus dipergunakan metode fenomenologis.[19] Karena yang terpenting adalah menemukan makna kata “berada” tersebut. Yaitu yang dia maksudkan dengan fenomena adalah sesuatu yang tampak pada kesadaran (karena itu fenomenologi).[20]
Menemukan arti “berada” itu. Satu-satunya berada yang sendiri dapat dimengerti sebagai berada ialah beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil tepat ditengah-tengah dunia sekitarnya. Keberadaan manusia disebut dengan dasein (berada di sana, atau di tempat). Berada artinya menempati atau mengambil tempat. Untuk itu manusia harus keluar dari dirinya dan berada di tengah-tengah segala berada. Dasein manusia juga disebut eksistensi.
Dari uraian tersebut di atas Martin Heidegger memiliki pemikiran dan metode yaitu:
1.      Ditujukan pada pemecahan konkrit masalah "berada". Sebab selama ini pengertian kita tentang itu masih "samar".
2.      "Berada" hanya dapat dijawab lewat "mitologi", artinya jika dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungannya dengan itu. Agar usaha itu berhasil mereka harus gunakan "fenomenologi" sebagai metode. yang penting apa arti "berada".
3.      Satu-satunya "berada" yang dengan sedirinya dapat dimengerti sebagai "berada" adalah beradanya manusia.
4.      Harus dibedakan antara "sein" = barada/manusia dengan "seinde" yang berada/benda. Benda-benda hanya "varhanden"  jika dipandang pada dirinya sendiri, hanya terletak begitu saja didepan orang tanpa adanya hubungan dengan orang itu.
5.      Manusia berdiri sendiri tanpa mengambil tempat di tengah-tengah dunia sekitarnya. Dengan demikian berarti ia "berada" bukan "yang berada", maka:
a.       Keberadaan manusia disebut "dasein"  berada di sana, di tempat. Untuk itu, manusia harus keluar dari dirinya sendiri dan berdiri di tengah-tengah segala yang berada.
b.      Dasein manusia disebut juga eksistensi (benda dalam dunia). Misal: kayu bakar dll.
c.       Secara fenomenologis : hubungan manusia dan dunianya bersifat praktis  ia sibuk dengan dunia/mengerjakan dunia (besargen=menyela-nyelakakan)
d.      Di dunia, manusia berbuat. Berbuat : Praktis & teoritis (manusia diam). Praktis: manusia bertemu benda-benda dan berbuat dengan benda-benda itu. contoh : kayu jadi kursi, dll.
e.       Dalam hidupnya dengan alam sekitar, manusia bersikap praktis. Dengan demikian, manusia sebenarnya terbuka dengan dunianya.[21]
Keberadaan manusia yaitu berada di dalam dunia maka ia dapat memberi tempat kepada benda-benda disekitarnya, ia dapat bertemu dengan benda-benda itu dan dengan manusia-manusia lain, dapat bergaul dan berkomunikasi dengan semuanya. Keberadaan manusia (desein) juga mitsen (berada bersama-sama). Karena itu  manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar pada asasi yang penting, Menurut Harun Hadiwijono, dalam bukunya “Sari Sejarah Filsafat Barat 2” tentang eksistensialisme pemikiran Martin Heidegger dijelaskan yaitu:[22] 
1)      Befindlichkeit atau kepekaan.
Kepekaan ini diungkapkan dalam bentuk perasaan dan emosi. Bahwa manusia merasa senang, takut, sedih, gembira dan lain-lain bukanlah dihasilkan dari pengamatan tapi bentuk dari “berada di dunia”. Dalam kehidupan sehari-hari manusia dapat mendesak kepekaan itu bahkan menaklukannya, namun manusia akan tetap mengalami kepekaan itu. Oleh karena itu, Befindlichkeit atau kepekaan merupakan pengalaman yang elementer yang mengusai realitas.
2)      Verstehen atau mengerti, memahami.
Yang dimaksud disini bukan saja sebagai pengertian atau pemahaman yang biasa namun sebagai dasar segala pengertian. Verstehen dikaitkan dengan kebebasan manusia. Hal ini disangkutpautkan dengan manusia dan kemungkinan-kenungkinannya. Pengertian senantiasa diarahkan kepada kemungkinan akan sesuatu dan syarat-syaratnya untuk mencapai sesuatu itu. Hal ini disebabkan karena ada hal yang tersirat dalam pengertian ini yaitu struktur yang eksistensial, yang disebut dengan Entwurf (rencana). Oleh karena itu, manusia merencanakan dan merealisasikan kemungkinan-kemungkinanannya sendiri dan juga kemungkinan-kemungkinan-kemungkinan dunia. Jadi Verstehen merupakan cara manusia berada dalam dunia.
3)      Rede atau kata-kata, hal berbicara.
Rede atau hal berbicara mewujudkan asas yang eksistensial bagi kemungkinan untuk berbicara dan berkomunikasi serta bagi bahasa. Kata-kata berhubungan dengan arti.  Maksudnya secara apriori manusia telah memiliki “daya untuk berbicara”. Manusia adalah makhluk yang dapat berbicara. Sambil berbicara dia mengungkapkan diri. Pengungkapannya merupakan suatu pemberitahuan bahwa ia ”ada”.
Dalam bereksistensi manusia memiliki dua cara yaitu: bereksistensi yang sebenarnya dan yang tidak sebenarnya. Di dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bereksistensi dengan sebenarnya. Pada pandangan Heidegger, manusia tidak menciptakan dirinya sendiri; ia dilemparkan kedalam keberadaan. Tetapi walau manusia keberadaannya tidak meng-ada-kan sendiri bahkan merupakan keberadaan yang terlempar, manusia tetap harus bertanggung jawab atas keberadaanya itu. Manusia harus merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya, akan tetapi kenyataanya tidak menguasai dirinya sendiri. Inilah fakta keberadaan manusia, yang timbul dari situasi terlemparnya itu.
Kepekaan diungkapkan dalam suasan bathin di dalam perasaan dan emosi. Di antara suasana bathin atau perasaan-perasaan itu yang terpenting ialah rasa cemas. Latar belakang kecemasan ini adalah pengalaman umum yang menjadikan kita tiba-tiba merasa sendirian, dikepung oleh kekosongan hidup, dimana kita merasa bahwa seluruh hidup kita tiada artinya.
Oleh karena itu dalam hidup sehari-hari manusia bereksistensi, tidak yang sebenarnya. Akan tetapi justru karena itu manusia memiliki kemungkinan untuk keluar dari eksistensi yang tidak yang sebenarnya itu. Keluar dari belenggu oleh pendapat orang banyak dan menemukan dirinya sendiri.[23]
Ada dua alasan pokok mengapa Heidegger menjadikan dasar filsafatnya pada “ada” (being) yaitu: Pertama, prihatin terhadap situasi zamannya yang kosong dari nuansa religius dan kesadaran akan adanya Tuhan yang disebabkan oleh kosongnya makna “ada” bagi manusia modern. Hanya dengan mengerti sang “ada” saja, eksistensi hidup manusia akan menjadi sejati. Kedua, kekosongan dari ketidakmampaun manusia memahami Tuhan sehingga tidak mampu menangkap kehadiran-Nya yang juga disebabkan bahasa ucap mengenai ‘ada” tidak didengarkan, tidak diperbaharui, dan tidak dikembalikan lagi, sehingga filosofi harus berusaha menemukan sang Eksistensi, yaitu “ada” untuk dibahaskan kembali dan diberi arti baru.[24]
Heidegger sangat kritis pada manusia pada zaman sekarang. Manusia yang hidup pada zaman modern hidup secara dangkal dan sangat memperhatikan kepada benda, kuantitas, dan kekuasaan personal. Manusia modern tidak mempunyai akar dan kosong oleh karena telah kehilangan rasa hubungan kepada wujud yang sepenuhnya. Benda yang konkrit harus ditingkatkan, sehingga manusia itu terbuka terhadap keseluruhan wujud.[25] Maka dengan demikian jika manusia yang menghadapi hidupnya semu, maka tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya, hidupnya orang banyak. Manusia haruslah memanfaatkan waktunya untuk merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya secara tekun. Dengan ketekunan menghadapi kata hatinya itulah cara bereksistensi yang sebenarnya dengan demikian eksistensi akan menjadi jelas. Inilah cara menemukan dirinya sendiri. Disini orang akan mendapatkan pengertian atau pemikiran yang benar tentang manusia dan dunia.
Untuk memahami filsafat Heidegger, langkah yang paling tepat adalah dengan memahami kata-kata kunci (key words)nya, yaitu:[26]
a)      Dasein (Da-sein, Being-there), yaitu eksistensi manusia di dunia empiris ini.
b)      Siende, yaitu beradanya benda-benda (things) yang keberadaanya terletak begitu saja di depan orang (vorhanden).
c)      Factififity, yaitu suatu fakta bahwa dasein adalah being yang terlempar.
d)     Eksistentiality, yaitu suatu fakat bahwa dasein senantiasa harus mengatasi dirinya sendiri untuk menuju kepada kuasa untuk meng-ada-nya.
e)      Forfeiture (being fallen), yaitu dasein sebagai kesenantiasaan yang harus mengada ketika telah tersedia sebagai “at”.
f)       Geworfen-sein, yaitu situasi keberadaan manusia konkret di dunia ini yang tahu-tahu sudah terlempat dan ada di dunia ini. Ia tidak memilih, tetapi sudah dilahirkan dan ada di jagad ini.
g)      Some, yaitu kecemasan mendalam, cemas akan macam-macam hal yang melekat pada situasiketerlemparan manusia di dunia.
Beberapa kata kunci di atas dipergunakan oleh Heidegger untuk menemukan dan merumuskan makna “ada” (sein, being), karena bagi Heidegger dasarnya dasar untuk menjelaskan “ada” itu adalah (Being and Time). Dua struktur dasar atau kategori “ada” ini dibahas dalam adanya manusia secara fenomeologis.
Namun “ada” itu sendiri tidak bias terlepas oleh “waktu” karena dasein tidak lain adalah waktu itu sendiri. Waktu merupakan masa yang terdiri dari sekarang. Masa mendatang terdiri dari masa sekarang yang belum terjadi dan pada suatu ketika akan terjadi. Akhirnya, masa lampau dipahami sebagai masa sekarang yang dulu pernah ada, tapi kini sudah tidak ada lagi.

E.     EKSISTENSIALISME DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Martin Heidegger sebagai tokoh eksistensialisme, pengaruhnya pada lingkungan akademis sangat besar dan lebih luas dibandingkan Husserl sendiri. Hal itu bisa dipahami, mengingat Heidegger bukan hanya bisa diterima di dalam lingkungan filsafat, tetapi juga dilingkungan ilmu-ilmu manusia[27] demikian pula pengaruh eksistensialismenya terhadap dunia pendidikan terutama pendidikan Islam.
Abdurrahman Assegaf mengutip Bayraktar Bayrakli, dalam “Existencialism in the Islamic and Western Educational Philosophies”, bahwa dalam Bahasa Arab, kata existence berasal dari akar kata wajada yang berarti to find, serta turunannya: wujud (existence), wijdan (conscience), wajd (nirvana) serta wujd. Bila mana digunakan dalam bentuk wajd, wujd dan wijdan maka dapat berarti to have property yang berkonsekuensi indevendence.[28] Dalam Surah At-Thalaq: 6[29], kata wujdikum diartikan sebagai “menurut kemampuan-mu”, dalam Surah At-Taubah: 5[30], kata “haitsu wajatumuhum” diartikan sebagai “kamu jumpai mereka”. Maka menurut Abd. Rahman Assegaf bahwa eksistensialisme atau filsafat wujudiyah, dalam terma Islam, bicara soal ada, kesadaran , kepemilikan, kemampuan dan lain-lain yang terkait dengan kehidupan manusia.[31]
Dalam perspektif Islam, makna existence precedes assence dinisbahkan kepada Allah semata. Menurut Al-Qur’an, satu-satunya zat yang memiliki karakteristik tadi adalah Allah SWT. Pemikiran Islam juga menyatakan bahwa hubungan antara esensi dan gejala (symptom) memiliki tempat yang lebih penting bila dibandingkan dengan hubungan antara eksistensi dan esensi. Hal ini menguatkan argumentasi para pemikir muslim bahwa penisbatan existence precedes essence hanya pada Allah semata, tidak akan menjerumuskan, filsafat wujudiyah atau eksistensialisme versi Islam ke dalam jebakan atheis. Selain itu, jika eksistensialisme hadir dalam bentuk protes dan perlawanan terhadap positivisme, materialisme, pragmatisme, idealisme dan rasionalisme, karena dipandang terlalu ekstrim dan menuduh aliran tersebut merubah jiwa kebudayaan manusia yang esensial, maka Islam memandang bahwa orang yang tidak mendayakan akal pikirannya berarti tidak sempurna agamanya.[32] Dalam konteks pendidikan Islam maka hal ini dapat dikemukakan bahwa tidak ada pertentangan eksistensialime dalam pandangan Islam semisal berpikir dan iman, akal dan wahyu, bahkan mempunyai kecenderungan terjadi konektifitas.
F.     Penutup
1.      Kesimpulan
Eksistensialisme merupakan suatu gerakan proses yang memberontak terhadap filsafat Barat tradisional dan masyarakat modern terhadap pemecahan masalah yang dilakukan oleh para filsuf. Aliran eksistensialis cenderung menolak watak teknologi dan totalitarianisme yang impersonal dan lebih menekankan individual, kebebasan dan pertanggungjawabannya. Eksistensialis percaya bahwa tidak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui. Kita percaya terhadap kebenaran dalam diri kita sendiri dan kebenaran tidak dicapai secara abstrak. Oleh karena itu, eksistensialis menggunakan metode-metode sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan dan suasana hati.
Dalam makalah ini maka motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia yang bersifat humanistic. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan.  Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya. Di dalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih-lebih sesama manusia. Martin Heidegger memulai mencetuskan pemikirannya tentang eksistensi karena keprihatinannya terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan serta zaman modern yang mengerucut pada industrialisasi menyebabkan terjadinya dehumanisasi dan depersonalisasi. Ia memiliki pemikiran bahwa manusia itu bebas dan masing-masing manusia memiliki eksistensinya diantara manusia dan benda lain. Gagasannya yang ia coba jabarkan bahwa antara “ada” dan “waktu” memiliki keterkaitan. Dengan keterkaitan itu manusia harus menyadari bahwa manusia merupakan makhluk yang berdiri sendiri namun terikat dengan benda-benda da manusia lain disekitarnya. Dan berusaha untuk merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya untuk menuju kehidupan yang sejati dan menanggung kepastian yang terakhir, yaitu Kematian. Eksistensialisme pemikiran Martin Heidegger yaitu : Befindlichkeit atau kepekaan, Verstehen atau mengerti, memahami, dan Rede atau kata-kata, atau dalam hal berbicara.



                                                                                    
DAFTAR PUSTAKA


Abidin, Zainal. Filsafat Manusia (Memahami Manusia Melalui Filsafat), Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.

Anggoro, Yusuf, Eksistensialisme Martin Heidegger. Dalam website, http://yusufanggoro.blogspot.com,html

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkamlema, 2009.

Erlita Yustya Rini, “Eksistensialisme Martin Heidegger”, dalam Website, http://pesantrenbudaya.com,

Harun Hadiwijono, Dr, Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid II, Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Inovasi Pendidikan Duta Wacana,1979

------------. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1988

Ihsan, Fuad, H.A., Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta,2010

Jurnal Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem dan Prospek Pendidikan Islam, (Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Vol. 4, No.2 Juli 2003.

Repper, Hendrik, Jean, Pengantar Filsafat.Yogyakarta: Kanisus,1996

Richard Osborne, Filsafat untuk Pemula.Yogyakarta: Kansius, 2001

Soemargono, Soejono, Pengantar Filsafat,Yogyakarta: tp, 1898

Subhi Rosyad, Eksistensi Martin Heidegger, dalam Website, http://inyong-shubhi.blogspot.com

Surani, Prahesti, Filsafat Eksistensialisme Menurut Martin Heidegger, dalam website, http://hezthy.blogspot.com.

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Tales sampai Capra). Bandun: Remaja Rosdakarya Ofset, 2009


Zubaedi, Dr, M.Ag. Filsafat Barat, (Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn).Yogyakarta; Ar-Ruzz Media:1997



[1]Jurnal Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem dan Prospek Pendidikan Islam, (Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Vol. 4, No.2 Juli 2003, hlm. 253.
[2]Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta, 2010, hlm.175-176.
[3]Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat,Yogyakarta: tp, 1898, hlm.50.
[4]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Tales sampai Capra). Bandung: Remaja Rosdakarya Ofset 2009, hlm.219.
[5]Jean Hendrik Repper, Pengantar Filsafat.Yogyakarta: Kanisus,1996, hlm.116.
[6]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid II, Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Inovasi Pendidikan Duta Wacana,1979, hlm.192.
[7]Fuad Ihsan, Filsafat.., hlm.176.
[8]Harun Hadiwijono, Sari..,
[9]Fuad Ihsan, Filsafat..,
[10] Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 33.
[11]Erlita Yustya Rini, Eksistensialisme Martin Heidegger, Dalam Website, http://pesantrenbudaya. com, diakses,  2 Oktober 2012.
[12]Zubaedi, Filsafat Barat, (Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn). Yogyakarta; Ar-Ruzz Media,1997, hlm.155-156.
[13]Subhi Rosyad, Eksistensi Martin Heidegger, Dalam Website, http://inyong-shubhi.blogspot. com,html. diakses, 2 Oktober 2011.
[14] Richard Osborne, Filsafat untuk Pemula.Yogyakarta: Kansius, 2001, hlm. 155
[15]Subhi Rosyad, Eksistensi…
[17] Zainal Abidin, Filsafat., hlm. 169.
[18]Zubaedi, Filsafat.., hlm.153-154
[19] Harun Hadiwijono, Sari…, hlm.195
[20] Richard Osborne, Filsafat…
[21]Yusuf Anggoro, Eksistensialisme Martin Heidegger. Dalam website, http://yusufanggoro.blogspot.com,html, diakses, 2 Oktober 2012
[22] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 152
[23] Fuad Ihsan, Filsafat.., hlm.179-180
[24]Zubaedi, Filsafat.., hlm. 157
[25]Prahesti Surani, Filsafat Eksistensialisme Menurut Martin Heidegger, Dalam website, http://hezthy.blogspot.com.html, diakses, 2 Oktober 2012
[26] Zubaedi, Filsafat.., hlm.158

[27] Zainal Abidin, Filsafat., hlm. 181.
[28] Jurnal Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem dan Prospek Pendidikan Islam, (Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), hlm. 259.
[29]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkamlema, 2009, hlm. 559.
[30] Departemen Agama RI, Al-Qur’an., Ibid, hlm. 187
[31] Jurnal Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem dan Prospek Pendidikan Islam, (Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta),
[32] Jurnal Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem dan Prospek Pendidikan Islam, (Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), hlm. 260.

Tidak ada komentar: