A.
PENDAHULUAN
Sebagaimana
dimaklumi, kehadiran zaman modern dapat dianggap sebagai sebuah pemberontakan
terhadap alam pikir abad pertengahan, Renaissance (Abad
XV-XVI) ialah periode penemuan manusia dan dunia dan bukan sekedar sebagai
kebangkitan kembali yang merupakan permulaan kebangkitan modern. Jadi dapat
dikatakan zaman modern filsafat didahului oleh zaman renaissance. Bahkan
eksistensialisme juga memiliki akarnya pada masa Enlightenment, abad ke-18
Masehi, hal ini disebabkan karena baik pada masa Renaissance maupun Enlightenmen, gerakan perlawanan
terhadap otoritas dogmatis, pengukuhan terhadap kemanusiaan, keyakinan terhadap
individualitas dan gerakan pembebasan (freedom) serta penghormatan yang
besar pada individu, banyak diperhatikan. Padahal intisari dari semua gerakan
tadi merupakan kondisi yang favourable bagi tumbuhnya eksistensialisme.[1]
Dengan
adanya perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan membawa dampak kemajuan
yang berarti disatu sisi namun juga berpotensi kepada kehancuran kemanusiaan
itu sendiri; dehumanisasi dan depersonalisasi. Filsafat sebagai ilmu pengetahuan
yang kita pelajari sekarang ini sering nampak sukar karena memang mengandung
pandangan-pandangan yang dalam dan sukar dimengerti, akan tetapi hal ini
tidaklah berarti bahwa filsafat itu lalu tidak ada artinya bagi kita, justru
sebaliknya karena yang dipersoalkan dalam filsafat yakni mengenai diri kita
sendiri. Filsafat mempunyai sifat yang “Eksistensial” mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari dengan adanya manusia itu
sendiri. Filsafat berdasar dan berpangkal pada diri kita yang konkrit dengan
persoalan yang kita hadapi di dunia. Ragamnya teori yang muncul tersebut tidak
lain bertujuan untuk menerangkan kenyataan yang konkrit dan pada waktu sekarang
makin banyak menitikberatkan pada sifat eksistensialisme.
Pada
makalah berjudul “Metafisik (Eksistensialisme) Martin Heidegger” Heidegger
sebagai seorang pemikir ekstrim dan kritikus sosial perlu dilakukan perambahan
intektual untuk memahami ciri dan sifat pemikiran eksistensialismenya. Merujuk
pada uraian latarbelakang tersebut, pada makalah ini perlu ditelaah beberapa
rumusan masalah yang memerlukan jawaban eksplorasi yaitu, (1) Apa pengertian
eksistensialisme?, (2) Bagaimana karakteristik eksistensialisme?, (3) Bagaimana
biografi Martin Heidegger sebagai seorang tokoh eksistensialisme?, (4)
Bagaimana eksistensialisme Martin Heidegger?,
Pemikiran eksistensialisme Martin Heidegger, Sifat eksistensial ini
yang dijadikan dasar filsafat abad ke-20. Filsafat
Heidegger adalah rangkaian arus berpikir yang tidak hanya mengetengahkan makna
dari penjumlahan dalam dan luar belaka, melainkan bagaimana manusia dalam
proses menjadi dan mencari arti keberadaaannya mampu memasuki ranah makna
hal-hal di luar dirinya sebagai dirinya. Ekternalisasi eksistensialisme Martin
Heidegger merupakan salah satu bagian dari filosofi keberadaan yang memberi
ruang bagi interaksi manusia dengan hal-hal sekitar. Apa yang dimaknai di luar
diri kemudian menjadi salah satu bagian yang tidak bisa dilepaskan dari
eksistensi manusia sendiri. Yang di luar manusia harus bisa dicari benang
merahnya dengan manusia itu sendiri. Semua yang di luar baru bermakna apabila
manusia mendekatinya.
B.
PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme adalah suatu
filsafat yang menolak pemutlakan akal budi dan menolak pemikiran-pemikiran
abstrak murni. Eksistensialisme berupaya untuk memahami manusia yang berada di
dalam dunia, yakni manusia yang berada pada situasi yang khusus dan unik.
Beberapa pendapat tentang eksistensialisme ialah sebagai berikut:
1.
Eksistensialisme
berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata exist
itu sendiri adalah bahasa Latin yang artinya: ex; keluar dan sistare;
berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.[2]
2.
Eksistensi
mengandung pengertian ruang dan waktu, eksistensi merupakan keadaan tertentu
yang lebih khusus dari sesuatu, dalam arti bahwa apa pun juga yang
bereksistensi tentu nyata ada tetapi tidak sebaliknya.[3]
3.
Yang
dimaksud dengan eksistensi ialah cara orang berada di dunia.[4]
4.
Menurut
Jean Hendrik Repper yang dikutip Blackham mengatakan bahwa eksistensialisme
adalah suatu filsafat keberadaan, suatu filsafat pembenaran dan penerimaan dan
suatu penolakan terhadap usaha rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang
kebenaran.[5]
Dari beberapa perbedaan pandangan
tersebut di atas tentang definisi eksistensialisme maka hal ini dapat dikatakan
bahwa eksistensialisme adalah filsafat yang mempunyai arti dalam segala
(gejala) yang berdasar dan berpangkal pada eksistensinya. Pada umumnya kata
“eksistensi” berarti keberadaan, akan tetapi dalam filsafat eksistensialisme
ungkapan eksistensi mempunyai arti yang khusus.[6]
Namun demikian ada hal yang dapat disepakati bersama yakni menempatkan cara
wujud manusia sebagai tema sentral.
Yang dimaksud dengan filsafat
eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu filsafat yang
menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral [7] (cara
manusia berada di dalam dunia). Cara manusia berada di dunia berbeda
dengan cara beradaannya benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya
juga yang satu berada disamping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikian
dengan cara manusia berada. Manusia berada bersama-sama dengan benda-benda itu,
dan benda-benda menjadi berarti karena manusia. Disamping itu manusia berada
bersama-sama dengan manusia.[8] Artinya
ialah bahwa manusia subyek. Subjek berarti menyadari atau yang sadar, dan
benda-benda yang disadarinya disebut objek.
Adapun filsafat eksistensialisme
rumusannya lebih sulit dari pada eksistensi. Sejak muncul filsafat eksistensi,
cara wujud manusia telah dijadikan tema sentral pembahasan filsafat, tetapi
belum pernah ada eksistensi yang secara radikal menghadapkan manusia kepada dirinya
seperti pada eksistensialisme.[9] Untuk
membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan
bahwa benda-benda “berada” sedangkan manusia “bereksistensi”. Jadi hanya
manusialah yang bereksistensi.
Eksistensialisme tidak mencari tidak
mencari esensi atau subtansi yang ada dibalik penampakan manusia, melainkan
kehendak mengungkap eksistensi manusia sebagaimana yang dialami oleh manusia itu sendiri. Esensi
atau subtansi mengacu pada sesuatu yang umum, abstrak, statis sehingga
menafikan sesuatu yang konkret, individual, dan dinamis. Sebaliknya, eksistensi
justru mengacu pada sesuatu yang konkret, individual dan dinamis.[10] Oleh
karena itu kata eksistensi diartikan: manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan
keluar dari dirinya, manusia sadar bahwa dirinya ada. Ia dapat meragukan segala
sesuatu disekitarnya dihubungkan dengan dirinya (mejaku, kursiku, temanku
dan sebagainya). Di dalam dunia manusia menentukan keadaanya dengan
perbuatan-perbuatannya. Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menemukan
pribadinya dengan seolah keluar dari dirinya sendiri dan menyibukkan diri
dengan apa yang di luar dirinya. Ia menggunakan benda-benda yang di sekitarnya.
Dengan kesibukannya itulah ia menemukan diri sendiri. Ia berdiri sebagai diri
sendiri dengan keluar dari dirinya dan sibuk dengan dunia di luarnya.
Demikianlah ia bereksistensi.
Eksistensialisme merupakan filsafat
yang bersifat antropologi, karena memusatkan perhatiannya pada otonomi dan
kebebasan manusia. Maka, sementara ahli memandang eksistensialisme sebagai
salah satu bentuk dari humanism.[11] Menurut Zubaedi yang dikutip dari Horal Titus dalam
buku “Living Issues in Philosofhy”, Kalangan eksistensialis membedakan antara
eksistensi dengan esensi. Eksistensi adalah keadaan aktual yang terjadi dalam
ruang dan waktu. Eksistensi menunjukkan kepada “suatu benda yang ada di sini
dan sekarang”. Dengan demikian keberadaan suatu benda terikat dengan waktu, maka setiap benda
memiliki waktu dan batasan tersendiri dalam memunculkan keberadaannya. Eksistensi
berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya. Sementara esensi
adalah kebalikannya, yaitu suatu yang membedakan antara satu benda dan
corak-corak benda lainnya. Esensi adalah menjadikan benda itu seperti apa
adanya.[12]
Karakteristik eksistensialisme, dari
eksistensialisme dalam bentuk atheism sampai theism, dari phenomenalism
dan phenomenology sampai bentuk Aristotelianism, merupakan tema
pokok atau karakteristik utama eksistensialisme. Ada beberapa hal karakteristik pokok yang
dijadikan pedoman dalam pemikiran eksistensialis antara lain:[13]
a. Eksistensi mendahului
esensi (existence comes before essence).
b. Kebenaran ini
subjektif.
c.
Alam tidak menjadikan aturan moral,
Prinsip-prisnsip moral dikonstruksi oleh manusia dalam konteks bertanggung
jawab atas perbuatan mereka dan perbuatan selainnya.
d. Perbuatan individu
tidak dapat diprekdisi.
e. Individu mempunyai
kebebasan kehendak secara sempurna.
f. Individu tak dapat
membantu melainkan sekedar membuat pilihan.
g. Individu dapat secara
sempurna menjadi selain daripada keberadaanya.
Lebih lanjut Shubhi Rosyad yang mengutip Harold Titus menambahkan bahwa eksistensialisme:
1) Menekankan kesadaran
“ada” (being) dan eksistensi, realitas atau wujud (being) adalah
eksistensi yang terdapat dalam “I” bukan dalam “It”.
2) Percaya bahwa tak ada
pengetahuan yang terpisah dari subjek yang mengetahui, kita mengalami kebenaran
dalam diri kira sendiri. Kebenaran tidak dapat dicapai secara abstrak. Oleh
karena itu, eksistensialis menggunakan bentuk-bentuk sastra dan seni untuk
mengekspresikan perasaan hati.
3) Menekankan pada
individu, kebebasan, dan pertanggungjawabannya.
4) Menekankan pada
keputusan dan tindakan, sementara pemikiran dan analitis tidaklah mencukupi.
Pada pandangan materialisme, baik yang
kolot maupun yang modern, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya
kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama
dengan benda seperti halnya kayu dengan batu. Akan tetapi, materialisme bahwa
pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya manusia hanyalah sesuatu
yang material; dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya
manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu atau pohon, tetapi pada eksistensinya
manusia sama saja dengan sapi, pohon atau batu. Dilihat dari keberadaanya juga
sama, disinilah bagian ajaran yang dibantah oleh eksistensialisme.
Sifat-sifat umun yang bagi penganut
(yang dinamai) orang eksistensialisme yaitu:[14]
a)
Orang yang menyungguhkan dirinya (existere)
dalam kesungguhan yang tertentu.
b)
Orang
harus berhubungan dengan dunia.
c)
Orang
merupakan kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan badannya
d)
Orang
yang berhubungan dengan ada.
, Abd. Rahman Assegaf mengutip Peter A. Angeles mengklasifikasikan
menjadi beberapa bagian, yaitu: pertama, aksistensi mendahului esensi; kedua,
kebenaran itu subjektif; ketiga, alam tidak menyediakan aturan normal.
Prinsip moral dikonstruksi oleh manusia dalam konteks bertanggungjawab atas
perbuatan mereka dan perbuatan selainnya; keempat, perbuatan individu
tidak dapat diprediksi; kelima, individu mempunyai kebebasan berkehendak
secara sempurna; keenam, individu tidak dapat membantu melainkan sekedar
membuat pilihan; ketujuh, individu dapat secara sempurna menjadi selain
dari pada keberadaannya.
C.
BIOGRAFI MARTIN HEIDEGGER
Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota
kecil Messkirch Baden, Jerman dan mempunyai pengaruh besar terhadap filosof di
Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari
Universitas Freiburg dimana dia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl
(penggagas fenomenologi). Disertasinya berjudul Die Lehre Van Uerteil
In Psycologismus (Ajaran tentang Putusan dalam psikologi). Ia adalah
anak seorang pastor dari gereja katholik Santo Mortinus.
Sebelumnya dia kuliah di Fakultas Teologi selama empat semester,
lalu pindah ke filsafat dibawah bimbingan Heinrich Rickert, penganut Filsafat
Neo-Kantinaisme yang juga membawa pengaruh yang banyak baginya. Ia pernah
menjabat sebagai guru besar filsafat di Universitas Marburg dan berkenalan
dengan teolog Protestan, kemudian kembali ke Freiburg untuk menggantikan
Husserl. Di Marburg, ia sempat menyelasaikan karya monumentalnya yang berjudul
Sein und Zeit (Being And Time). Karena Husserl orang yahudi, maka
sewaktu gerakan Nazi, ia berpisah dengannya. Pada tahun 1933, ia menjadi Rektor
pertama Universitas Freiburg yang diangkat oleh gerakan National Sosialist
(Nazi), dengan pidato pengukuhannya berjudul “Role of the university in
the New Reich” yang menekankan ide tentang timbulnya Jerman Baru yang
jaya. Begitu dia merasa dia hanya dieksplotasi maka setahun
kemudian, dia meletakkan jabatan rektornya. Namun dia masih mengajar sampai
pension pada tahun 1957. Karya-karyanya antara lain Sein dan Zeit, Einfuhrug in
die Methaphisic, What is Being,Why is there something rather than nothing
all”. Demikian judul-judul tentang eksistensi manusia, kegelisahan,
keterasingan dan mati.[15]
Heidegger
mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara
Martin
Heidegger adalah mahasiswanya dan hal inilah yang
meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang fenomenolog. Heidegger menjadi
tertarik akan pertanyaan tentang "Ada" (atau apa artinya
"berada"). Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada
dan Waktu) Introduction to Metaphysics yang
dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis.[16]
D.
EKSISTENSIALISME MARTIN HEIDEGGER
Martin
Heidegger dianggap sebagai salah satu filsuf terbesar dari abad ke-20 dan
merupakan pemikir dan filsuf yang luar biasa kreatif, gagasannya memasuki
bidang penelitian yang luas. Karena diskusi Martin Heidegger tentang ontologi
maka dia dapat dianggap sebagai salah satu pendiri eksistensialisme. Sasaran
dan titik tolak penyelidikan Heidegger pada akhirnya adalah pada eksistensi
manusia, pada mengadanya manusia (Dasein). Itulah sebabnya filsafat Heidegger
dianggap sebagai bagian dari eksistensialisme.[17]
Ada dua hal yang mendasar yang memecut
lahirnya pemikiran eksistensialis Heidegger, yaitu dehumanisasi dan depersonalisasi
dimana pasca renaissance enlightenmen atau revolusi industry,
manusia telah menjadi alat-alat industri, alat mekanik, zaman mesin sehingga
betul-betul membuat manusia menjadi robot, depersonalisasi. Yang kedua
adalah adanya detotalization. Gejala ini terlihat dengan jelas, baik
pada golongan materialisme atapun idealisme yang mengakui
sebagian sebagai keseluruhan juga penempatan manusia sebagai subjek karena
menghadapi objek. Manusia hanya sebagai manusia karena bersatu dengan realitas
di sekitarnya.[18]
Keprihatinan Martin Heidegger kepada para
filosof yang telah menyamakan antara “berada” manusia dengan benda,
sehingga ketika berbicara mengenai manusia, maka manusia identik dengan benda. Pokok pemikirannya dicurahkannya pada pemecahan yang konkrit
terhadap persoalan yang mengenai arti “berada”, menurut dia persoalan tentang
“berada” ini belum pernah dikemukakan dengan cara yang benar, karena orang
telah mengira bahwa ia telah tahu tentang itu, pada hal sebenarnya pengertian
kita tentang “berada” hingga kini hanya samar-samar saja. Menurut Heidegger,
persoalan tentang “berada” ini hanya dapat dijawab melalui ontologi, artinya:
jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dengan
hubungan itu. Agar supaya usaha ini berhasil harus dipergunakan metode
fenomenologis.[19]
Karena yang terpenting adalah menemukan makna kata “berada” tersebut. Yaitu
yang dia maksudkan dengan fenomena adalah sesuatu yang tampak pada kesadaran
(karena itu fenomenologi).[20]
Menemukan
arti “berada” itu. Satu-satunya berada yang sendiri dapat dimengerti sebagai
berada ialah beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang
lain, sedang beradanya manusia, mengambil tepat ditengah-tengah dunia
sekitarnya. Keberadaan manusia disebut dengan dasein (berada di sana,
atau di tempat). Berada artinya menempati atau mengambil tempat. Untuk itu
manusia harus keluar dari dirinya dan berada di tengah-tengah segala berada. Dasein
manusia juga disebut eksistensi.
Dari uraian tersebut di atas
Martin Heidegger memiliki pemikiran dan metode yaitu:
1.
Ditujukan pada pemecahan konkrit
masalah "berada". Sebab selama ini pengertian kita tentang itu masih
"samar".
2.
"Berada" hanya dapat
dijawab lewat "mitologi", artinya jika dihubungkan dengan manusia dan
dicari artinya dalam hubungannya dengan itu. Agar usaha itu berhasil mereka
harus gunakan "fenomenologi" sebagai metode. yang penting apa arti
"berada".
3.
Satu-satunya "berada"
yang dengan sedirinya dapat dimengerti sebagai "berada" adalah
beradanya manusia.
4.
Harus dibedakan antara "sein"
= barada/manusia dengan "seinde" yang berada/benda. Benda-benda hanya
"varhanden" jika dipandang
pada dirinya sendiri, hanya terletak begitu saja didepan orang tanpa adanya
hubungan dengan orang itu.
5.
Manusia berdiri sendiri tanpa
mengambil tempat di tengah-tengah dunia sekitarnya. Dengan demikian berarti ia
"berada" bukan "yang berada", maka:
a.
Keberadaan manusia disebut
"dasein" berada di sana, di
tempat. Untuk itu, manusia harus keluar dari dirinya sendiri dan berdiri di
tengah-tengah segala yang berada.
b.
Dasein manusia disebut juga
eksistensi (benda dalam dunia). Misal: kayu bakar dll.
c.
Secara fenomenologis : hubungan
manusia dan dunianya bersifat praktis ia
sibuk dengan dunia/mengerjakan dunia (besargen=menyela-nyelakakan)
d.
Di dunia, manusia berbuat.
Berbuat : Praktis & teoritis (manusia diam). Praktis: manusia bertemu
benda-benda dan berbuat dengan benda-benda itu. contoh : kayu jadi kursi, dll.
e.
Dalam hidupnya dengan alam
sekitar, manusia bersikap praktis. Dengan demikian, manusia sebenarnya terbuka
dengan dunianya.[21]
Keberadaan manusia yaitu berada di dalam dunia maka ia dapat
memberi tempat kepada benda-benda disekitarnya, ia dapat bertemu dengan
benda-benda itu dan dengan manusia-manusia lain, dapat bergaul dan
berkomunikasi dengan semuanya. Keberadaan manusia (desein) juga mitsen
(berada bersama-sama). Karena itu manusia
terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar pada asasi
yang penting, Menurut Harun Hadiwijono, dalam bukunya “Sari Sejarah Filsafat
Barat 2” tentang eksistensialisme pemikiran Martin Heidegger dijelaskan
yaitu:[22]
1) Befindlichkeit atau kepekaan.
Kepekaan ini diungkapkan dalam bentuk perasaan dan emosi. Bahwa
manusia merasa senang, takut, sedih, gembira dan lain-lain bukanlah dihasilkan
dari pengamatan tapi bentuk dari “berada di dunia”. Dalam kehidupan sehari-hari
manusia dapat mendesak kepekaan itu bahkan menaklukannya, namun manusia akan
tetap mengalami kepekaan itu. Oleh karena itu, Befindlichkeit atau
kepekaan merupakan pengalaman yang elementer yang mengusai realitas.
2) Verstehen atau mengerti,
memahami.
Yang dimaksud disini bukan saja sebagai pengertian atau
pemahaman yang biasa namun sebagai dasar segala pengertian. Verstehen dikaitkan
dengan kebebasan manusia. Hal ini disangkutpautkan dengan manusia dan
kemungkinan-kenungkinannya. Pengertian senantiasa diarahkan kepada kemungkinan
akan sesuatu dan syarat-syaratnya untuk mencapai sesuatu itu. Hal ini
disebabkan karena ada hal yang tersirat dalam pengertian ini yaitu struktur
yang eksistensial, yang disebut dengan Entwurf (rencana). Oleh
karena itu, manusia merencanakan dan merealisasikan
kemungkinan-kemungkinanannya sendiri dan juga
kemungkinan-kemungkinan-kemungkinan dunia. Jadi Verstehen merupakan
cara manusia berada dalam dunia.
3) Rede atau kata-kata, hal
berbicara.
Rede atau hal berbicara mewujudkan asas yang eksistensial bagi
kemungkinan untuk berbicara dan berkomunikasi serta bagi bahasa. Kata-kata
berhubungan dengan arti. Maksudnya secara apriori manusia
telah memiliki “daya untuk berbicara”. Manusia adalah makhluk yang dapat
berbicara. Sambil berbicara dia mengungkapkan diri. Pengungkapannya merupakan
suatu pemberitahuan bahwa ia ”ada”.
Dalam bereksistensi manusia memiliki dua cara yaitu:
bereksistensi yang sebenarnya dan yang tidak sebenarnya. Di dalam kehidupan
sehari-hari manusia tidak bereksistensi dengan sebenarnya. Pada pandangan Heidegger,
manusia tidak menciptakan dirinya sendiri; ia dilemparkan kedalam keberadaan.
Tetapi walau manusia keberadaannya tidak meng-ada-kan sendiri bahkan merupakan
keberadaan yang terlempar, manusia tetap harus bertanggung jawab atas
keberadaanya itu. Manusia harus merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya, akan
tetapi kenyataanya tidak menguasai dirinya sendiri. Inilah fakta keberadaan
manusia, yang timbul dari situasi terlemparnya itu.
Kepekaan
diungkapkan dalam suasan bathin di dalam perasaan dan emosi. Di antara suasana
bathin atau perasaan-perasaan itu yang terpenting ialah rasa cemas. Latar
belakang kecemasan ini adalah pengalaman umum yang menjadikan kita tiba-tiba
merasa sendirian, dikepung oleh kekosongan hidup, dimana kita merasa bahwa
seluruh hidup kita tiada artinya.
Oleh
karena itu dalam hidup sehari-hari manusia bereksistensi, tidak yang
sebenarnya. Akan tetapi justru karena itu manusia memiliki kemungkinan untuk
keluar dari eksistensi yang tidak yang sebenarnya itu. Keluar dari belenggu
oleh pendapat orang banyak dan menemukan dirinya sendiri.[23]
Ada dua alasan pokok mengapa Heidegger
menjadikan dasar filsafatnya pada “ada” (being) yaitu: Pertama, prihatin terhadap situasi zamannya yang kosong dari
nuansa religius dan kesadaran akan adanya Tuhan yang disebabkan oleh kosongnya
makna “ada” bagi manusia modern. Hanya dengan mengerti sang “ada” saja,
eksistensi hidup manusia akan menjadi sejati. Kedua, kekosongan dari
ketidakmampaun manusia memahami Tuhan sehingga tidak mampu menangkap
kehadiran-Nya yang juga disebabkan bahasa ucap mengenai ‘ada” tidak
didengarkan, tidak diperbaharui, dan tidak dikembalikan lagi, sehingga filosofi
harus berusaha menemukan sang Eksistensi, yaitu “ada” untuk dibahaskan kembali
dan diberi arti baru.[24]
Heidegger sangat kritis pada manusia pada zaman sekarang.
Manusia yang hidup pada zaman modern hidup secara dangkal dan sangat
memperhatikan kepada benda, kuantitas, dan kekuasaan personal. Manusia modern
tidak mempunyai akar dan kosong oleh karena telah kehilangan rasa hubungan
kepada wujud yang sepenuhnya. Benda yang konkrit harus ditingkatkan, sehingga
manusia itu terbuka terhadap keseluruhan wujud.[25] Maka dengan
demikian jika manusia yang menghadapi hidupnya semu, maka tidak memiliki
eksistensi yang sebenarnya, hidupnya orang banyak. Manusia haruslah
memanfaatkan waktunya untuk merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya secara
tekun. Dengan
ketekunan menghadapi kata hatinya itulah cara bereksistensi yang sebenarnya dengan
demikian eksistensi
akan menjadi jelas. Inilah cara menemukan dirinya sendiri. Disini
orang akan mendapatkan pengertian atau pemikiran yang benar tentang manusia dan
dunia.
Untuk
memahami filsafat Heidegger, langkah yang paling tepat adalah dengan memahami
kata-kata kunci (key words)nya, yaitu:[26]
a)
Dasein (Da-sein, Being-there), yaitu
eksistensi manusia di dunia empiris ini.
b)
Siende, yaitu beradanya
benda-benda (things) yang keberadaanya terletak begitu saja di depan
orang (vorhanden).
c)
Factififity, yaitu suatu fakta bahwa dasein adalah being
yang terlempar.
d)
Eksistentiality, yaitu suatu
fakat bahwa dasein senantiasa harus mengatasi dirinya sendiri untuk
menuju kepada kuasa untuk meng-ada-nya.
e)
Forfeiture (being fallen), yaitu dasein
sebagai kesenantiasaan yang harus mengada ketika telah tersedia sebagai “at”.
f)
Geworfen-sein, yaitu situasi keberadaan manusia konkret di
dunia ini yang tahu-tahu sudah terlempat dan ada di dunia ini. Ia tidak
memilih, tetapi sudah dilahirkan dan ada di jagad ini.
g)
Some, yaitu kecemasan
mendalam, cemas akan macam-macam hal yang melekat pada
situasiketerlemparan manusia di dunia.
Beberapa
kata kunci di atas dipergunakan oleh Heidegger untuk menemukan dan merumuskan
makna “ada” (sein, being), karena bagi Heidegger dasarnya dasar untuk
menjelaskan “ada” itu adalah (Being and Time). Dua struktur dasar atau
kategori “ada” ini dibahas dalam adanya manusia secara fenomeologis.
Namun
“ada” itu sendiri tidak bias terlepas oleh “waktu” karena dasein tidak
lain adalah waktu itu sendiri. Waktu merupakan masa yang terdiri dari sekarang.
Masa mendatang terdiri dari masa sekarang yang belum terjadi dan pada suatu
ketika akan terjadi. Akhirnya, masa lampau dipahami sebagai masa sekarang yang
dulu pernah ada, tapi kini sudah tidak ada lagi.
E.
EKSISTENSIALISME DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
ISLAM
Martin Heidegger sebagai tokoh
eksistensialisme, pengaruhnya pada lingkungan akademis sangat besar dan lebih
luas dibandingkan Husserl sendiri. Hal itu bisa dipahami, mengingat Heidegger
bukan hanya bisa diterima di dalam lingkungan filsafat, tetapi juga
dilingkungan ilmu-ilmu manusia[27]
demikian pula pengaruh eksistensialismenya terhadap dunia pendidikan terutama
pendidikan Islam.
Abdurrahman Assegaf mengutip Bayraktar
Bayrakli, dalam “Existencialism in the Islamic and Western Educational
Philosophies”, bahwa dalam Bahasa Arab, kata existence berasal dari akar
kata wajada yang berarti to find, serta turunannya: wujud (existence),
wijdan (conscience), wajd (nirvana) serta wujd. Bila
mana digunakan dalam bentuk wajd, wujd dan wijdan maka dapat
berarti to have property yang berkonsekuensi indevendence.[28]
Dalam Surah At-Thalaq: 6[29],
kata wujdikum diartikan sebagai “menurut kemampuan-mu”, dalam Surah
At-Taubah: 5[30],
kata “haitsu wajatumuhum” diartikan sebagai “kamu jumpai mereka”. Maka
menurut Abd. Rahman Assegaf bahwa eksistensialisme atau filsafat wujudiyah,
dalam terma Islam, bicara soal ada, kesadaran , kepemilikan, kemampuan dan
lain-lain yang terkait dengan kehidupan manusia.[31]
Dalam perspektif Islam, makna existence
precedes assence dinisbahkan kepada Allah semata. Menurut Al-Qur’an,
satu-satunya zat yang memiliki karakteristik tadi adalah Allah SWT. Pemikiran
Islam juga menyatakan bahwa hubungan antara esensi dan gejala (symptom)
memiliki tempat yang lebih penting bila dibandingkan dengan hubungan antara
eksistensi dan esensi. Hal ini menguatkan argumentasi para pemikir muslim bahwa
penisbatan existence precedes essence hanya pada Allah semata, tidak
akan menjerumuskan, filsafat wujudiyah atau eksistensialisme versi Islam
ke dalam jebakan atheis. Selain itu, jika eksistensialisme hadir dalam
bentuk protes dan perlawanan terhadap positivisme, materialisme, pragmatisme,
idealisme dan rasionalisme, karena dipandang terlalu ekstrim dan menuduh aliran
tersebut merubah jiwa kebudayaan manusia yang esensial, maka Islam memandang
bahwa orang yang tidak mendayakan akal pikirannya berarti tidak sempurna
agamanya.[32]
Dalam konteks pendidikan Islam maka hal ini dapat dikemukakan bahwa tidak ada
pertentangan eksistensialime dalam pandangan Islam semisal berpikir dan iman,
akal dan wahyu, bahkan mempunyai kecenderungan terjadi konektifitas.
F.
Penutup
1.
Kesimpulan
Eksistensialisme merupakan suatu gerakan proses yang
memberontak terhadap filsafat Barat tradisional dan masyarakat modern terhadap
pemecahan masalah yang dilakukan oleh para filsuf. Aliran eksistensialis cenderung
menolak watak teknologi dan totalitarianisme yang impersonal dan lebih
menekankan individual, kebebasan dan pertanggungjawabannya. Eksistensialis
percaya bahwa tidak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui.
Kita percaya terhadap kebenaran dalam diri kita sendiri dan kebenaran tidak
dicapai secara abstrak. Oleh karena itu, eksistensialis menggunakan
metode-metode sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan dan suasana hati.
Dalam makalah ini maka motif pokok adalah apa yang
disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang
bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini
ada pada manusia yang bersifat humanistic. Bereksistensi harus diartikan secara
dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi
berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih
atau kurang dari keadaannya. Di dalam eksistensialisme manusia dipandang
sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus
dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih-lebih
sesama manusia. Martin Heidegger
memulai mencetuskan pemikirannya tentang eksistensi karena keprihatinannya
terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan serta zaman modern yang
mengerucut pada industrialisasi menyebabkan terjadinya dehumanisasi dan
depersonalisasi. Ia memiliki pemikiran bahwa manusia itu bebas dan
masing-masing manusia memiliki eksistensinya diantara manusia dan benda lain. Gagasannya
yang ia coba jabarkan bahwa antara “ada” dan “waktu” memiliki keterkaitan.
Dengan keterkaitan itu manusia harus menyadari bahwa manusia merupakan makhluk
yang berdiri sendiri namun terikat dengan benda-benda da manusia lain
disekitarnya. Dan berusaha untuk merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya
untuk menuju kehidupan yang sejati dan menanggung kepastian yang terakhir,
yaitu Kematian. Eksistensialisme pemikiran Martin Heidegger yaitu : Befindlichkeit atau
kepekaan, Verstehen atau mengerti, memahami, dan Rede atau kata-kata,
atau dalam hal berbicara.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin, Zainal.
Filsafat Manusia (Memahami Manusia Melalui Filsafat), Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006.
Anggoro, Yusuf, Eksistensialisme Martin Heidegger. Dalam
website, http://yusufanggoro.blogspot.com,html
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT.
Sygma Examedia Arkamlema, 2009.
Harun Hadiwijono, Dr, Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid II, Yogyakarta:
Pusat Penelitian dan Inovasi Pendidikan Duta Wacana,1979
------------. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:
Kanisius, 1988
Ihsan, Fuad, H.A., Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta,2010
Jurnal Pendidikan Islam, Kajian
Tentang Konsep, Problem dan Prospek Pendidikan Islam, (Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Vol. 4, No.2
Juli 2003.
Repper, Hendrik, Jean, Pengantar Filsafat.Yogyakarta: Kanisus,1996
Richard Osborne, Filsafat untuk Pemula.Yogyakarta: Kansius, 2001
Soemargono, Soejono, Pengantar Filsafat,Yogyakarta: tp, 1898
Surani,
Prahesti, Filsafat Eksistensialisme Menurut Martin Heidegger, dalam
website, http://hezthy.blogspot.com.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum
(Akal dan Hati Sejak Tales sampai Capra). Bandun: Remaja Rosdakarya Ofset,
2009
Zubaedi, Dr, M.Ag. Filsafat Barat, (Dari Logika Baru Rene
Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn).Yogyakarta; Ar-Ruzz
Media:1997
[1]Jurnal
Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem dan Prospek Pendidikan Islam, (Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Vol. 4, No.2 Juli 2003, hlm. 253.
[2]Fuad Ihsan, Filsafat
Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta, 2010, hlm.175-176.
[3]Soejono
Soemargono, Pengantar Filsafat,Yogyakarta: tp, 1898, hlm.50.
[4]Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum (Akal dan Hati Sejak Tales sampai Capra). Bandung: Remaja Rosdakarya
Ofset 2009, hlm.219.
[5]Jean Hendrik
Repper, Pengantar Filsafat.Yogyakarta: Kanisus,1996, hlm.116.
[6]Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid II, Yogyakarta: Pusat
Penelitian dan Inovasi Pendidikan Duta Wacana,1979, hlm.192.
[7]Fuad Ihsan, Filsafat..,
hlm.176.
[8]Harun
Hadiwijono, Sari..,
[9]Fuad Ihsan, Filsafat..,
[10] Zainal Abidin,
Filsafat Manusia (Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2006), hlm. 33.
[11]Erlita Yustya Rini, Eksistensialisme Martin
Heidegger, Dalam Website,
http://pesantrenbudaya. com, diakses, 2 Oktober 2012.
[12]Zubaedi, Filsafat
Barat, (Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn).
Yogyakarta; Ar-Ruzz Media,1997, hlm.155-156.
[13]Subhi Rosyad, Eksistensi Martin Heidegger, Dalam Website, http://inyong-shubhi.blogspot.
com,html. diakses, 2
Oktober 2011.
[14]
Richard
Osborne, Filsafat untuk Pemula.Yogyakarta: Kansius, 2001, hlm. 155
[15]Subhi
Rosyad, Eksistensi…
[17] Zainal Abidin,
Filsafat., hlm. 169.
[18]Zubaedi, Filsafat..,
hlm.153-154
[19]
Harun
Hadiwijono, Sari…, hlm.195
[20]
Richard
Osborne, Filsafat…
[21]Yusuf Anggoro, Eksistensialisme
Martin Heidegger. Dalam website, http://yusufanggoro.blogspot.com,html, diakses, 2
Oktober 2012
[22]
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 152
[23]
Fuad Ihsan, Filsafat..,
hlm.179-180
[24]Zubaedi, Filsafat..,
hlm. 157
[25]Prahesti Surani, Filsafat Eksistensialisme
Menurut Martin Heidegger, Dalam website, http://hezthy.blogspot.com.html,
diakses, 2 Oktober 2012
[26] Zubaedi, Filsafat..,
hlm.158
[27] Zainal Abidin,
Filsafat., hlm. 181.
[28] Jurnal
Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem dan Prospek Pendidikan Islam,
(Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), hlm. 259.
[29]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT. Sygma Examedia
Arkamlema, 2009, hlm. 559.
[30] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an., Ibid, hlm. 187
[31] Jurnal
Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem dan Prospek Pendidikan Islam,
(Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta),
[32] Jurnal
Pendidikan Islam, Kajian Tentang Konsep, Problem dan Prospek Pendidikan Islam,
(Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), hlm. 260.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar