Jumat, 13 September 2013

PEMBELAJARAN PAI DALAM KERANGKA PENDIDIKAN NILAI Sebuah Paradigma dan Analisis Konstruktif

PEMBELAJARAN PAI DALAM KERANGKA PENDIDIKAN NILAI
Sebuah Paradigma dan Analisis Konstruktif
Oleh: Achmad Darwiz

Abstrak
Pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia, membentuk generasi bangsa yang lebih unggul dan berkepribadian humanis, intelektual dan spiritual, namun pada realitasnya kini pendidikan belum dapat dimaksimalkan peranannya dalam membentuk nilai peserta didik tersebut, pengaruh negatif lingkungan ditambah dengan kemajuan globalisasi turut menggeser kadar nilai peserta didik dari waktu kewaktu sehingga degradasi moral pun kian tak terbendung, melahirkan penyakit sosial yang kian hari mewarnai dunia pendidikan dan lingkup suatu masyarakat. Pendidikan nilai disini sangat urgen diperlukan sebagai langkah terdepan dalam membawa kondisi generasi bangsa kearah yang lebih bernilai dan berkarakter. Pendidikan Islam yang didalamnya memuat unsur kegiatan pembelajaran PAI merupakan mata pelajaran yang sangat mendominasi dalam pembentukan nilai ilahiyah. Pembelajaran PAI merupakan kegiatan pembelajaran yang lebih menekankan pada arah pembentukan kepribadian peserta didik melalui ranah psikomotorik, kognitif maupun afektif, sehingga pembelajaran PAI dianggap berpotensi dalam kerangka pendidikan nilai bagi peserta didik.
Kata Kunci: Paradigma, Pembelajaran PAI, Pendidikan Nilai.

Pendahuluan
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3 secara eksplisit menegaskan tujuan[1] pendidikan nasional sebagai target yang akan dicapai dalam melakukan pendidikan. Salah satu titik perhatian dan pengembangan untuk mencapai tujuan inti pendidikan tersebut adalah standar proses[2], seperti yang termuat dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Hal ini diperkuat pula dengan Permendiknas RI Nomor 41 Tahun 2007, Standar Proses tersebut untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. Standar penyelenggaraan pendidikan secara umum berpijak pada perundang-undangan, peraturan pemerintah demikian pula Permendiknas sebagaimana tersebut di atas adalah sebagai landasan yuridisnya.
Pada hakekatnya pendidikan adalah upaya dan proses untuk “memanusiakan manusia” ini mengandung implikasi bahwa tanpa pendidikan maka manusia tidak menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya, yaitu manusia yang utuh dengan segala fungsinya, baik fisik maupun psikis.[3] Dengan demikian tuntutan kualitas (mutu) yang perlu dihasilkan dalam suatu lembaga pendidikan selalu menjadi topik perbincangan serius dalam berbagai kalangan. Upaya yang dilakukan dengan memaksimalkan pola pembelajaran ditiap lembaga pendidikan. Persoalan-persoalan terkait pengelolaan, kebiajakan dan system pendidikan hingga proses pembelajaran seolah tak pernah kering dari sentuhan pemikiran-pemikiran yang mencita-citakan peningkatan dan terciptanya mutu tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan Islam khususnya.
Pada abad ke 21 ini sebagai era globalisasi ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi pada bidang transportasi dan komunikasi. Kemajuan keilmuan dan tekhnologi yang begitu pesat menopang terciptanya kenyamanan dan kemudahan hidup manusia. Kemajuan iptek tidak hanya membawa manusia pada aspek kemudahan, dilain sisi arus deras dan terjangan pengaruh negatif globalisasi yang tak terhindarkan bagi siapa pun terutama generasi bangsa Indonesia hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dari waktu ke waktu, baik nilai adat-istiadat, budaya, bahkan nilai-nilai agama yang nyaris tak mengenal  ruang dan waktu sehingga pendidikan nilai penting mengambil peranan dalam memfilter dan meminimalisir pengaruh negatif tersebut. Oleh karena itu nilai moral sebagai rujukan yang dikembangkan selama ini dalam pendidikan tidak hanya didasarkan pada nilai moral masyarakat, tetapi yang esensial dan terpenting adalah nilai-nilai transendental yakni sumbernya dari agama−agama Islam.
Sebagai salah satu yang melandasi pemikiran pentingnya transformasi pendidikan dalam konteks nilai-nilai moralitas keagamaan, maka menurut Hasan Langgulung, pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga sudut pandang yakni [4], yang pertama, pengembangan potensi, potensi manusia sebagai karunia Tuhan itu harus dikembangkan. Kedua, pendidikan adalah pewarisan budaya, memindahkan (transmission) nilai-nilai budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya. ketiga, interaksi antar potensi dan budaya. 
Pendidikan dengan nilai memiliki relevansi yang sangat erat. Nilai terlibat dalam tiap tindakan pendidikan baik dalam merencanakan suatu proses belajar maupun dalam pengajaran karena dengan nilai guru dapat memberikan tindakan pembelajaran dan evaluasi, demikian pula siswa dapat mengukur hasil proses pembelajaran yang diterima dengan nilai tersebut.
Jika ditinjau nilai-nilai hidup dalam masyarakat sangat banyak jumlahnya sehingga pendidikan berusaha membantu untuk mengenali, memilih, dan menetapkan nilai-nilai tertentu sehingga dapat digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan untuk berprilaku secara konsisten dan menjadi kebiasaan dalam hidup bermasyarakat.[5] Dalam pembelajaran PAI dianggap sebagai salah satu konsep strategis dalam upaya menciptakan peserta didik yang bernilai dan memiliki karakter. Pembelajaran PAI penting sebagai kerangka pendidikan nilai, hal ini disebabkan dalam pembentukan karakter berasas pada nilai dan pendidikan itu sendiri, terkhusus pendidikan agama Islam yang orientasi pembelajarannya adalah upaya pembentukan moral dan kecerdasan peserta didik yang beriman dan bertakwa. Disisi lain dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai menjadi sumber rujukan bagi ukuran dan pertimbangan kelayakan pendidikan peserta didik yang telah didapatkan pada lingkungan sekolah, karena itu dalam setiap tindakan individu baik persepsi, sikap lembut ataupun kritis, dan keyakinan dalam pendidikan yang dialaminya selalu diserta dengan nilai. Demikianlah urgensi pendidikan nilai sebagai muatan dalam pendidikan agama Islam. Sebelum dieksplorasi lebih jauh tentang PAI sebagai kerangka pendidikan nilai, perlu dipahami bahwa dalam konteks ini pendidikan agama Islam adalah pendidikan nilai, dan pendidikan nilai itu sendiri adalah pendidikan agama Islam.
Dari uraian tersebut di atas maka dalam makalah ini dapat ditelaah melalui beberapa rumusan permasalahan yang perlu ditinjau lebih mendalam. Rumusan masalah tersebut yaitu; (1) Bagaimana hakikat dan tujuan pendidikan agama Islam?, (2) Bagaimana pendekatan pembelajaran dan asas-asas pendidikan agama Islam?, (3) Bagaimana ruang lingkup pembelajaran PAI?, (4) Bagaimana pengertian pendidikan nilai dalam PAI?, (5) Mengapa penting pendidikan nilai?, (6) Bagaimana bentuk-bentuk nilai dalam pendidikan agama Islam?, (7) Seperti apa pendekatan dalam pendidikan nilai?, (8) Bagaimana paradigma dan analisis kontruktif pendidikan nilai sebagai kerangka pembelajaran PAI?
Pembahasan makalah ini tentunya bertujuan memberikan informasi dan wawasan pengetahuan terkait urgensi pendidikan nilai dalam kerangka pembelajaran PAI di sekolah/madrasah. Dalam tujuan yang lain tentunya sedikit dapat dijadikan rujukan dalam proses pembinaan bagi peserta didik, pemikiran konstruktif ini yang dituangkan dengan mengambil peran dalam pengembangan khazanah keilmuan dalam pendidikan agama Islam.
Pembahasan
1.     Hakikat dan Tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pendidikan Agama Islam (PAI) dapat diartikan sebagai usaha sadar, systematis, berkelanjutan untuk mengembangkan potensi ras, agama, menanamkan sifat, dan memberikan kecakapan sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Fungsi pendidikan ditinjau dari sudut pandang sosiologis dan antropologis adalah untuk mengembangkan kreatifitas peserta didik. Karena itu tujuan akhir pendidikan Islam adalah untuk mengembangkan potensi kreatif peserta didik untuk menjadi manusia yang baik menurut pandangan manusia dan menurut pandangan agama Islam. Pada hakikatnya pendidikan Islam adalah proses pemeliharaan dan penguatan sifat dan potensi insan menimbulkan kesadaran untuk menemukan kebenaran. Tujuan pendidikan Islam adalah mengembangkan potensi peserta didik serta meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan membentuk karakter siswa yang menghargai dan menjunjung tinggi kebenaran.[6] Menurut Jalaluddin, hakikatnya pendidikan merupakan proses dan kreatifitas pembentukan system nilai yang menitikberatkan pada pembentukan akhlak al-karimah pada diri individu. Dengan demikian, pengembangan potensi individu dalam segala aspeknya harus mengacu pada nilai-nilai akhlak mulia ini. Selanjutnya, system nilai ini melalui aktivitas pendidikan diwariskan kepada generasi muda agar terpelihara secara lestari. Kedua sudut pandang pendidikan dimaksud menyatu dalam kepentingan yang sama, yakni pembentukan dan pewarisan nilai-nilai budaya yang bersumber dari ajaran Islam, yang misi utamanya adalah pencapaian terbentuknya akhlak yang mulia.[7]
Beberapa ahli merumuskan tujuan pendidikan Islam, seperti Al-Abrasyi yang dikutip Ramayulis dan Syamsul Nizar menyimpulkan tujuan umum pendidikan Islam yaitu:[8]
a.      Untuk mengadakan penbentukan akhlak yang mulia, kaum muslimin dahulu kala sampai sekarang setuju bahwa pendidikan akhlak adalah inti pendidikan Islam, dan bahwa mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya.
b.     Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menitikberatkan pada keagamaan saja, tetapi pada kedua-duanya.
c.      Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat, atau yang lebih terkenal sekarang ini dengan tujuan-tujuan vokasional dan professional.
d.     Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan keinginan tahu (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.
e.      Menyiapkan pelajar dari segi professional, tekhnikal dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi dan keterampilan pekerjaan tertentu agar ia dapat mencari rezeki dalam hidup disamping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.

Selanjutnya pada pendapat lain yang dikemukakan oleh Al-Gazali yang dikutip oleh Akmal Hawi mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling utama adalah beribadah dan bertaqarrub kepada Allah, dan kesempurnaan insan yang tujuannya kebahagiaan dunia akhirat.[9] Sedangkan Zakiah Darajat menjelaskan dalam konteks pembelajaran bahwa tujuan pendidikan adalah sesuatu yang hendak dicapai dengan kegiatan atau usaha pendidikan. Bila pendidikan itu berbentuk formal, tujuan pendidikan itu harus tergambar dalam suatu kurikulum.[10]
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terciptanya dan berkembangnya potensi peserta didik dalam kehidupannya sehingga menjadi manusia utuh dan taat (beriman dan bertakwa) kepada Allah SWT, memiliki kecerdasan spiritual, menjunjung tinggi kebenaran dan sebagai salah satu upaya memaksimalkan kelansungan hidupnya dengan jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.
Pendidikan agama Islam sebagai kerangka mata pelajaran yang diterapkan dalam pendidikan Islam di sekolah/madrasah mengambil peranan penting sebagai upaya pencerdasan anak didik yang pada tataran normatifnya adalah terciptanya insan yang saleh beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Dalam menuju pencapaian tujuan pendidikan memuat langkah pembelajaran sebagai proses yang berlangsung yang tidak hanya dalam skala waktu tertentu serta satu bidang pengajaran tertentu, akan tetapi pembelajaran merupakan langkah yang sifatnya umum yang di dalamnya mencakup bentuk mewadahi, menguatkan metode yang digunakan dalam cakupan suatu bidang. Pembelajaran PAI misalnya yang tak hanya penerapan dan transfer pemahaman dari ilmu pengetahuan, sebagaimana pembelajaran ilmu-ilmu lainnya yang hanya memperhitungkan hasil pemahaman akan tetapi pendidikan agama Islam prosesnya melebihi dengan adanya sisi nilai.
2.     Pendekatan dalam Pembelajaran dan Asas-Asas Pendidikan Agama Islam
Dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam, hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran adalah tentunya ditunjang dengan metode dan penguasaan materi pembelajaran oleh pendidik (guru), pelaksanaannya pembelajaran Pendidikan Agama Islam tersebut pada dasarnya dapat melalui kegiatan intrakurikuler maupun kegiatan ekstrakurikuler dengan demikian diperlukan beberapa pendekatan yang perlu saling melengkapi dan terintegrasi antara satu dengan yang lain. Menurut Akmal Hawi, pendekatan tersebut yaitu[11]:
a.      Pendekatan pengalaman, yaitu pemberian pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka menanamkan nilai-nilai keagamaan.
b.     Pendekatan pembiasaan, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya.
c.      Pendekatan emosional, yaitu usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik dengan meyakini, memahami dan menghayati ajaran agamnya.
d.     Pendekatan rasional, yaitu usaha memberikan peranan kepada rasio (akal) dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama.

Dari pendekatan-pendekatan tersebut diatas dapat dikatakan sebagai pendekatan yang pada umumnya dalam pembelajaran banyak digunakan, namun dalam melakukan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tersebut akan sulit tercipta tanpa dengan perencanaan dan metode pembelajaran yang tepat. Menggunakan pendekatan-pendekatan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam maka pendidik diperlukan terlebih dahulu memahami asas-asas pendidikan sebagai kerangka dasar dalam proses pembelajaran yakni terutama pada pembelajaran pendidikan agam Islam. Asas utama pendidikan agama Islam adalah Al-Qur’an dan hadist Nabi, ijtihat ulama, dan adat istiadat masyarakat.
Hasan Langgulung menguraikan asas-asas (dasar) pendidikan sebagai asas operasionalnya tersebut yaitu: Pertama, asas-asas historis yang mempersiapkan sipendidik dengan hasil-hasil pengamalan masa lalu, dengan undang-undang dan peraturan-peraturannya, batas-batas dan kekurangan-kekurangannya. Kedua, asas-asas sosial yang memberinya kerangka budaya dari mana pendidikan itu bertolak dan bergerak; memindah budaya, memilih dan mengembangkannya. Ketiga, asas-asas ekonomi yang memberinya perspektif tentang potensi-potensi manusia dan keuangan, materi dan persiapan yang mengatur sumber-sumbernya dan bertanggung jawab terhadap anggaran belanjanya. Keempat, asas-asas politik dan demokrasi yang memberinya bingkai ideology (aqidah) dari mana ia bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat. Kelima, asas-asas psikologi yang memberinya informasi tentang watak pelajar-pelajar, guru-guru, cara-cara terbaik dalam praktek, pencapaian dan penilaian, dan pengukuran dan bimbingan. Keenam, asas-asas filsafat yang berusaha memberinya kemampuan memilih yang lebih baik, yang memberi arah suatu system, mengontrolnya, dan memberi arah kepada semua asas-asas yang lain.[12]
Jika dicermati asas-asas tersebut dan oleh karenanya untuk mencapai proses pendidikan nilai, maka hal ini sangat urgen bagi pendidik untuk dipahami dalam rangka persiapan pembelajaran. Pendidikan nilai sebagai cakupan penting berada ditiap lini mata pelajaran, terlebih pada pembelajaran PAI. Hal ini dapat dimulai dari aspek penyusunan RPP yang memuat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, Tujuan Intruksional Khusus dan Indikator pembelajaran dan lain-lain.
3.     Ruang Lingkup Pembelajaran PAI
Ruang lingkup PAI meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara hubungan manusia dan Allah, hubungan manusia dengan sesama hubungan manusia dengan makhluk lain dengan lingkungannya. Ruang lingkup pendidikan agama Islam juga identik dengan aspek-aspek pengajaran Islam karena materi yang terkandung di dalamnya merupakan perpaduan yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.
Apabila dilihat dari segi pembahasannya, maka PAI yang diajarkan di sekolah meliputi:
a.      Pengajaran keimanan
Pengajaran keimanan adalah proses belajar mengajar tentang aspek kepercayaan. Yang dimaksud disini tentunya kepercayaan menurut ajaran Islam. Inti pengajaran ini adalah tentang rukun iman.
b.     Pengajaran Akhlak
Pengajaran akhlak adalah bentuk pengajaran yang mengarah pada pembentukan jiwa, cara bersikap individu pada kehidupannya. Pengajaran ini berarti proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan supaya apa yang diajarkan berakhlak baik.
c.      Pengajaran ibadah
Pengajaran ibadah adalah bentuk pengajaran ibadah dan tata cara pelaksanaan. Tujuan dari pengajaran ini agar siswa mampu melaksanakan ibadah dengan baik dan benar. Mengerti segala bentuk ibadah dan memahami arti dan tujuan pelaksanaan ibadah.
d.     Pengajaran Fiqih
Pengajaran fiqih adalah bentuk pengajaran tentang segala bentuk-bentuk hukum yang bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah dan dalil-dalil syar’i lainnya tujuan pengajaran ini agar siswa mengetahui dan mengerti tentang hukum-hukum Islam dan dapat melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
e.      Pengajaran Al-Qur’an
Pengajaran Al-Qur’an adalah pengajaran yang bertujuan agar siswa dapat membaca Al-Qur’an dan mengerti kandungannya yang terdapat disetiap ayat Al-Qur’an.
f.      Pengajaran Sejarah Kebudayaan Islam[13]
Tujuan pengajaran ini adalah agar siswa dapat mengetahui tentang pertumbuhan dan perkembangan Islam dari awalnya sampai zaman sekarang. Hal ini penting untuk dilakukan sehingga siswa dapat lebih mengenal dan mencintai agamanya.
Dalam kaitan pembahasan pendidikan nilai ini maka ruang lingkup pembelajaran PAI tersebut adalah ruang lingkup yang mencakup pendidikan nilai yang diajarkan.
4.     Pengertian Pendidikan Nilai dalam PAI
Pengertian Pendidikan Nilai
Dalam pendidikan nilai terdapat dua kata dasar yakni term “Pendidikan” dan term “Nilai”. Pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe-“ dan akhiran “an” yang mengandung  arti “perbuatan” (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada peserta didik.[14] Seiring dengan perkembangannya secara etimologi diterjemahkan kedalam bahasa Inggris “education” yang akar katanya berasal dari bahasa Latin “educere” berarti memasukkan sesuatu, barangkali memasukkan ilmu kepada seseorang, jadi disini ada tiga hal yang terlibat yakni ilmu, proses memasukkan, dan kepala seseorang.[15] Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah yang  biasa dipergunakan dengan pengertian pendidikan seperti Ta’alim, Tarbiyah, dan Ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut di atas yang biasa dipergunakan dan lebih populer adalah Tarbiyah.
Jika disimpulkan dari beberapa istilah diatas maka pendidikan dapat dikatakan sebagai proses bimbingan atau pertolongan yang dilakukan secara sengaja dan bertanggung jawab oleh seseorang atau kelompok kepada anak didik sehingga memiliki pengetahuan dan menjadi insan yang dewasa. Secara terminologi ini definisi pendidikan termuat pula dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003  Tentang Sistem Pendidikan Nasional.[16]
Pada definisi pendidikan nasional dan tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang telah dijelaskan diawal telah memberikan indikasi bahwa pendidikan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip kesadaran guna pengembangan potensi kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan sehingga wujud pribadi seseorang berada pada kesalehan spiritual, kecerdasan emosional dan intelektual. Dalam melakukan proses dan mencapai  tujuan tersebut termuat komponen-komponen yang tak dapat terpisahkan baik aktivitas pembimbingan, peranan pendidik sebagai pelaku dalam melakukan bimbingan, adanya peserta didik, adanya peranan media pendidikan serta tujuan pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu pada konteks ini antara pendidikan dan nilai memiliki kaitan dan relevansi yang sangat erat.
Nilai secara etimologi berasal dari kata value, dalam bahasa Arab al-Qiyamah, dalam bahasa Indonesia berarti nilai.[17] Chabib Thoha mengutip Sidi Gazalba mendefinisikan nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang membutuhkan pengertian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki disenangi dan tidak disenangi.[18] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai adalah harga dalam arti taksiran harga; harga sesuatu, angka kepandalam; kadar, mutu, banyak sedikitnya isi.[19] Menurut Khoiron Rosyadi nilai adalah ukuran untuk menghukum atau memilih tindakan dan tujuan tertentu. Nilai sesungguhnya tidak terletak pada barang atau peristiwa, tetapi manusia memasukkan nilai kedalamnya, jadi barang mengandung nilai, karena subyek yang tahu dan menghargai nilai itu.[20] Masduki Duryat memberikan definisi bahwa pendidikan nilai ialah mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten.[21] Nilai adalah suatu keyataan ‘tersembunyi’ di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Nilai ada karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan itu merupakan keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila berguna/berharga (nilai kegunaan), benar (nilai kebenaran), baik (nilai moral, dan etika), religius (nilai agama).[22] Persoalan tentang nilai dipelajari pula sebagai salah satu cabang filsafat yakni filsafat nilai (axiology).[23]
Dari beberapa definisi diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan nilai adalah sesuatu tindakan mengarahkan dan membantu peserta didik atau yang berupa bimbingan dan pengajaran yang dilakukan sehingga terbentuk dan memiliki kadar nilai yang sesuai serta menyadari berbagai keadaannya, terbiasa bertindak dan bertanggungjawab dengan penuh pertimbangan sesuai asas nilai yang dipahaminya.
Jika pengertian-pengertian di atas diintegrasikan dalam proses Pendidikan Agama Islam, maka aspek bimbingan nilai yang akan ditanamkan memiliki ruang dan peranan yang cukup dominan dalam membentuk kadar positif peserta didik melalui pendidikan agama Islam yang di dalamnya merupakan inti penanaman nilai. Oleh karena itu pendidikan nilai merupakan inti, hakikat serta tujuan penting dari pendidikan itu sendiri. Abd. Aziz mengutip Jalaluddin dan Abdullah Idi[24] menjelaskan bahwa nilai dan implikasi aksiologi didalam pendidikan adalah pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut didalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak. Karena untuk mengatakan bahwa sesuatu itu bernilai baik, bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi menilai dalam arti mendalam untuk membina dalam kepribadian ideal.
Menurut Zaim Elmubarok mengutip Linda, secara gari besar nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi prilaku serta cara kita memperlakukan orang lain.[25]
Nilai yang diajarakan kepada peserta didik menjadi pokok dalam setiap pembahasan sekaligus inti dari pembelajaran khususnya pendidikan agama Islam. Nilai-nilai tersebut menjadi tertampung dari berbagai topik pembahasan sehingga sikap dan prilaku yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-harinya merupakan cerminan dari nilai-nilai yang telah diajarkan.
5.     Mengapa Penting Pendidikan Nilai?
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa perubahan individu sebagai dari masyarakat Indonesia yang kompleks dan tradisional kearah yang maju dan berkembang, antara lain karena majunya pengembangan iptek yang terselenggara membawa berbagai perubahan pada kehidupan manusia pada umumnya.[26] Perubahan drastis sebagai akibat globalisasi dan watak lingkungan yang berciri sekularisasi sangat berpengaruh terhadap lahirnya individu-individu yang telah jauh dari bingkai nilai-nilai moral spiritual agama, potret dan pola hidup generasi anak-anak bangsa yang kian tak terbendung dengan menabur benih-benih permusuhan, kebencian, dengki dan dendam, terlebih lagi ada sederetan kaum intelektual yang telah melanggar etika profesinya, para siswa dan mahasiswa yang terlibat aksi-aksi kekerasan, pornografi, narkoba, seks bebas serta beberapa penyakit sosial lainnya sehingga jauh dari nilai budaya luhur positif. Jika direnungkan subtansi pendidikan adalah memanusiakan manusia, pendidikan meningkatkan derajat dan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Dalam hal ini jika kita merujuk potongan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Al-Mujadalah: 11:
Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ  
Artinya: ”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadalah [58]:11.[27]

Hilangnya kadar nilai positif pada diri individu seperti yang telah tercermin di atas, senada pula dengan yang dijelaskan oleh Adimassana, bahwa nilai-nilai manusia yang rendah, yaitu pada pemerolehan “semat” (harta kekayaan dan kenikmatannya), “pangkat” (kedudukan dan kenikmatannya) dan “derajat” (kehormatan, gensi, nama baik, popularitas, keagungan dan segala kenikmatannya). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pendidikan kita dalam 35 tahun terakhir ini kurang menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai luhur (aspek rohani), yang menjadi motor penggerak perkembangan peserta didik kearah hidup yang manusiawi dan bahkan kearah hidup yang adil−manusiawi (ilahi). Dengan dihapusnya kegiatan P4 di sekolah-sekolah, belum menjamin bahwa pendidikan nilai di sekolah akan menjadi lebih baik. Justru sampai sekarang tampaknya pihak pemerintah atau sekolah-sekolah belum memikirkan kegiatan penggantinya, yang diharapkan dapat menjadi wahana untuk menumbuhkan kesadaran nilai.[28]
Dalam pendidikan kita kegagalannya yang paling fatal adalah out put dari suatu pendidikan tidak lagi memiliki kepekaan nurani yang pada dasarnya tidak lagi berlandaskan nilai moralitas. Ragamnya fenomena penyakit sosial yang jauh dari tujuan pendidikan dan nilai-nilai pendidikan Islam ikut mewarnai aspek kehidupan terutama dunia pendidikan seolah menjadi potret buram yang hingga kini belum terbuka tabir terang pencapaian yang memuaskan dan akan membawa pada kemaslahatan umat. Jika media negatif sebagai tangan kanan globalisasi telah melahirkan individu-individu yang pragmatis dan cenderung sekularis, jauh dari nilai-nilai agama maka aspek kehidupan yang berketuhanan tak lagi dipandang sebagai sesuatu urgen. Disinilah peran pendidikan Agama Islam sebagai kerangka yang sangat mendasar dalam pendidikan nilai.
Pendidikan agama yang tentunya membawa insan akan dekat dengan Tuhannya dan memiliki landasan nilai transendental dan fundamental Islam maka seseorang akan tampak dalam kehidupannya semakin bermakna, memiliki karakter kuat dan positif sehingga tiap persoalan yang dihadapi dapat dengan mudah mengatasinya, sebaliknya tanpa pendidikan nilai agama−terutama dalam aspek nilai-nilai dalam agama Islam maka seseorang akan memiliki orientasi hidup yang buram, memiliki kekosongan dan kekeringan jiwa dan sulit beradaptasi dengan lingkungan dan keadaan yang serba praktis, kompetitif dalam ranah tekhnologi globalisasi.
6.     Bentuk-Bentuk Nilai dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
            Menurut Abdul Mustakim, nilai-nilai pendidikan dalam  kisah Al-Qur’an ada enam bentuk, namun keenam nilai-nilai tersebut dapat dipandang sebagai dasar nilai pendidikan yang pada hakikatnya sangat penting dan utama diterapkan dalam pembelajaran PAI, nilia-nilai tersebut yaitu: Pertama, Nilai pendidikan tauhid. Kedua, Nilai pendidikan intelektual. Ketiga, Nilai pendidikan akhlak/moral. Keempat, Nilai pendidikan seksual. Kelima, Nilai pendidikan spiritual, Kenam, Nilai pendidikan demokrasi.[29]
Nilai Pendidikan Tauhid, Salah satu tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk memperbaiki aqidah seseorang agar kembali kepada agama tauhid, tidak menyekutukan Tuhan. Oleh sebab itu, ada beberapa kisah yang mengandung dan memperkokoh nilai-nilai pendidikan tauhid.[30] Pendidikan tauhid sejak dini, dan bahkan dalam tahap perkembangan serta pertumbuhan anak didik hingga mencapai tingkat kedewasaan tetap perlu pendidikan ketauhidan untuk memperkokoh sipitualitasnya, dan bahkan pada masa kini sangat menentukan kualitas kehidupan seorang anak di kemudian hari, oleh karenanya pendidikan tauhid ini adalah landasan hidup hal yang sangat urgen dalam pendidikan.
Nilai Pendidikan Intelektual, Allah SWT mengajak manusia untuk mengembangkan akal (daya pikir), pendidikan dan meluaskan wawasan dan cakrawala berpikir. Melalui kisah seseorang bisa mengembangkan dan mendidik akal pikirannya serta meluaskan cakrawala berpikirnya, sehingga setelah mengikuti alur kisah peserta didik  (pembaca/pendengar) dapat mengambil pelajaran yang bermanfaat.[31] Kisah-kisah pendidikan intelektual yang banyak ditampilkan dalam Al-Qur’an memberikan inspirasi bagi pendidik untuk terus berupaya mengantarkan peserta didik pada tingkat kecerdasan yang dibutuhkan guna mengangkat derajat kehidupannya, sehingga dalam proses kehidupan manusia pendidikan intelektual adalah satu tujuan utama.
Nilai Pendidikan Akhlak/Moral, pendidikan moral telah dapat dikategorikan sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral sebagai bentuk penanaman etika secara otonom kepada peserta didik, dalam konteks inilah pendidikan moral dipandang sebagai esensi pendidikan nilai yang terintegratif dengan nilai pendidikan lainnya yang tak dapat terpisahkan.
Nilai Pendidikan Seksual, nilai pendidikan seksual memberikan peranan dan informasi penting bagi peserta didik dalam masalah orientasi seksual, sehingga mereka dapat memandang secara sempurna hakikat seksualitas dan tetap berjalan dalam bingkai moral dan kebenaran. Dengan demikian unsur nilai pendidikan seksual ini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang tabu.
Nilai pendidikan Spiritual, pendidikan spitual sebagai salah satu kerangka perwujudan insan atau peserta didik berakhlakul karimah dan memiliki kesadaran akan ibadah sehingga kehidupannya memiliki makna, orientasi dan tujuan hidup.
Nilai pendidikan demokrasi, nilai pendidikan demokrasi ini dapat menunjukkan sikap lemah lembut, penuh pertimbangan dan memiliki kesadaran akan adanya perbedaan, hak dan kewajiban, baik yang tercermin dalam prilaku pendidik dalam memperlakukan sama (adil) dalam pembelajaran PAI, hingga peserta didik pun memiliki pandangan yang serupa. 
Pendidikan nilai tersebut atas tentunya akan mempunyai implikasi pada peserta didik sehingga memiliki pula nilai budi pekerti. Menurut Nurul Zuriah, Budi pekerti adalah nilai-nilai hidup manusia yang sungguh-sungguh dilaksanakan bukan sekedar karena kebiasaan, tetapi berdasar pemahaman dan kesadaran diri untuk menjadi baik.[32] Selain nilai budi pekerti tersebut peserta didik juga memilki karakter. Nilai karakter adalah nilai yang melekat yang mencerminkan akhlak/prilaku yang luar biasa tercermin pada Nabi Muhammad SAW, yaitu; (1) Siddik, (2) amanah, (3) fatonah, (4) tablig. Keempat nilai tersebut merupakan esensi, bukan seluruhnya, karena Nabi Muhammad SAW juga terkenal dengan karakter kesabarannya, ketangguhannya, dan berbagai karakter lainnya.[33] Nilai moral adalah sesuatu yang melekat dan mencerminkan pada diri seseorang  yang menuntut untuk diyakini, dilaksanakan dalam kehidupan atau dengan kata lain tuntutan prilaku yang sesuai dengan ketentuan baik sumbernya dari hukum negara, adat istiadat, dan dari Allah SAW. 

7.     Pendekatan dalam Pendidikan Nilai Sebagai Kerangka Pembelajaran PAI
Efektifnya pendidikan nilai dapat dilakukan dan ditanamkan pada peserta didik yang usianya masih pada pendidikan dasar, hal ini dalam hal kepekaan masih sangat rentang sikap yang pada dasarnya mempengaruhi tindakan. Pendidikan nilai sebagai salah satu strategi yang banyak pihak menilai sangat efektif dalam upaya pembinaan generasi muda. Hal ini didasarkan dengan ragamnya polemik dan fenomena sosial yang berkembang baik dekadensi moral, kenakalan remaja dan  kejahatan-kejahatan lain dalam masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu terobosan melalui pendidikan agama Islam secara baik dan berkesinambungan. Untuk mewujudkan hal tersebut penting digunakan pendekatan untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan kedalam diri peserta didik.
Menurut Zaim Elmubarok yang mengutip Martorella[34] mengemukakan delapan pendekatan dalam pendidikan nilai atau budi pekerti yaitu Pertama, evocation yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya. Kedua, inculcation, yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondisi siap. Ketiga, moral reseoning yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual taksonomik tinggi dalam mencapai pemecahan suatu masalah. Keempat, value clarification yaitu pendekatan melalui stimulus agar siswa diajak mencari kejelasan ini pesan keharusan nilai moral. Kelima value analisis, yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral. Keenam, moral awareness yaitu pendekatan agar siswa menerima stimulus dan kebangkitan kesadarannya akan nilai tertentu. Ketujuh, commitmen approach yaitu pendekatan agar siswa sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai. Kedepalan, union approach yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil dalam suatu kehidupan.
Namun demikian model pendekatan nilai yang populer sesuai dengan kajian Superka yang dikutip oleh Zain Elmubarok[35] dalam Disertasinya “A typology of valuing theories and values education approaches” delapan pendekatan pendidikan nilai berdasarkan kepada berbagai literatur dalam bidang psikologi, sosial, filosofi, dan pendidikan yang berhubungan dengan nilai, yang kemudian karena alasan tekhnis dalam praktek pendidikan, pendekatan-pendekatan tersebut diringkas menjadi lima yaitu:
a.      Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan pendidikan nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai social dalam diri siswa. Tujuan pendidikan nilai dalam pendekatan ini adalah, pertama, diterimanya nilai-nilai social tertentu oleh siswa. Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai sosial yang diinginkan. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negative, simulasi, permainan peranan dan lain-lain.
b.     Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (cognitive moral development approach)
Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Tujuan yang akan dicapai dalam pendekatan ini ada dua hal utama yaitu; pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan pada nilai yang tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral. Pendekatan ini didasarkan pada dilema moral maka yang digunakan adalah metode kelompok.
c.      Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach)
Pendekatan analisis nilai memberikan penekanan dan perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai social. Pendekatan ini lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai social jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif. Tujuan utama pendidikan nilai menurut pendekatan ini yaitu; pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah social, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Metode pengajaran yang sering digunakan adalah pelajaran yang secara individu atau kelompok tentang masalah-masalah social yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan dan diskusi kelas berdasarkan pada pemikiran rasional.
d.     Pendekatan Klasifikasi Nilai (Values Classification Approach)
Pendekatan klasifikasi nilai memberikan penekanan pada usaha membantu siswa dan mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga; Pertama, membantu siswa untuk menyadari dan mengindentifikasi nilai-nilai mereka serta nilai-nilai orang lain. Kedua, membantu siswa supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilai mereka sendiri. Ketiga, membantu siswa supaya mereka menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional untuk memahami perasaan, nilai-nilai dan pola tingkah laku mereka sendiri. Dalam proses pengajarannya pendekatan ini menggunakan metode dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil dan lain-lain.
e.      Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)
Pendekatan pembelajaran berbuat memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Tujuan utama pendidikan nilai berdasarkan pendekatan ini yaitu; Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai mereka sendiri. Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk social dalam pergaulan sesama yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya melinkan sebagai warga  dari suatu masyarakat yang harus yang mengambil bagian dari suatu proses demokrasi. Metode-metode pengajaran yang digunakan yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Metode-metode yang lain yang digunakan juga adalah projek-projek tertentu yang dilakukan di sekolah atau di masayarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi dan berhubungan antar sesama.
Pendekatan pendidikan nilai diatas dapat dikatakan sebagai pendekatan yang sangat tepat dalam pelaksanaan pendidikan (Pembelajaran PAI). Salah satu alasannya adalah terkait tujuan pendidikan itu sendiri mengenai penanaman nilai-nilai tertentu terhadap peserta didik. Dalam praktek pengajaran PAI, faktor nilai adalah hal yang terpenting, karena pembelajaran PAI tidak hanya menekankan pada proses dan mentransfer ilmu secara kognitif−psikomotorik tetapi lebih pada ranah afektif atau nilai-nilai kandungan tiap pembelajaran pendidikan agama Islam perlu diperhatikan dan sekali gus menjadi sebuah penekanan. Karena muatan pendidikan agama Islam adalah nilai kebenaran yang bersumber dari wahyu Allah SWT dan hadis Nabi SAW.
Pada tahap selanjutnya dalam upaya pembentukan nilai diperlukan beberapa model/strategi pembentukan nilai dalam dalam proses pembelajaran PAI. Abdul Quddus mengutip Una Kertawisastra dalam Strategi Klasifikasi Nilai, mengemukakan bahwa dalam upaya membangun strategi pembentukan nilai dalam proses pembelajaran, ada 4 strategi yaitu: (1) Tradisional, (2) Bebas, (3) Keteladanan, (4) klasifikasi nilai.[36] Sedangkan Noeng Muhadjir yang dikutip oleh Chabib Thoha mengemukakan strategi/model yang berbeda pada poin yang ketiga dan keempat yaitu strategi reflektif dan transinternal. Keempat strategi tersebut diatas dapat ditelaah sebagai berikut:[37]
1)     Strategi Tradisional, ialah dengan jalan memberikan nasihat atau indoktrinasi. Strategi ini ditempuh dengan jalan memberitahukan secara langsung nilai-nilai mana yang baik dan yang kurang baik. Kelemahan strategi ini adalah anak, sekedar tahu atau hafal jenis-jenis nilai tertentu yang baik dan yang kurang baik, tetapi belum tentu melaksanakan. Guru/orang tua/pendidik kadang-kadang hanya belaku sebagai juru bicara nilai tetapi belum tentu melaksanakannya, tekanan dari strategi ini lebih bersifat kognitif, sedangkan afektifnya kurang dikembangkan.
2)     Strategi bebas, strategi ini merupakan kebalikan dari strategi tradisional, yakni guru/pendidik tidak memberitahukan kepada anak nilai-nilai yang baik dan buruk, pembentukan nilai secara bebas ialah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak untuk memilih dan menemukan nilai yang diambilnya. Penggunaan strategi ini dengan alasan bahwa nilai yang baik bagi orang lain belu tentu baik pula bagi anak. Kelemahan strategi ini anak belum tentu mampu memilih nilai-nilai mana yang baik dan kurang baik. Anak masih memerlukan bimbingan dari pendidik untuk memilih nilai yang terbaik bagi dirinya. Strategi ini hanya dapat dikembangkan bagi pendidikan nilai yang diperuntukkan orang-orang dewasa dan pada objek-objek nilai kemanusiaan. Sedangkan untuk nilai-nilai ilahiyah terutama ilahiyah ubudiyah sulit untuk menggunakan strategi bebas ini.
3)     Strategi reflektif, merupakan cara untuk mendidik siswa dalam menggali dan memilih nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan dengan jalan mondar-mandir antara menggunakan pendekatan teoritik ke pendekatan empirik, serta mondar mandir antara menggunakan pendekatan deduktif dengan pendekatan induktif. Bila dalam strategi tradisional guru memiliki peran yang menentukan sebab kebenaran datang dari atas sedangkan siswa tinggal menerima kebenaran itu tanpa harus mempersoalkan hakikatnya, dan dalam pendekata bebas siswa memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk memilih dan menentukan mana nilai-nilai yang benar dan salah, maka dalam strategi reflektif ini peran guru dan siswa sama-sama terlibat secara aktif. Pendekatan ini lebih sesuai dengan tujuan tuntutan perkembangan berpikir siswa dan sesuai dengan tujuan pendidikan nilai untuk menumbuhkan kesadaran rasional dan keluasan wawasan terhadap nilai tersebut.
4)     Strategi transinternal, merupakan cara untuk mengajarkan nilai dengan jalan melakukan transformasi nilai, dilanjutkan dengan transaksi dan transinternalisasi. Dalam strategi ini guru dan siswa sama-sama terlibat dalam proses komunikasi verbal dan komunikasi fisik, melainkan adanya keterlibatan komunikasi bathin  (kepribadian) antara guru dan siswa. Guru berperan sebagai penyaji informasi, pemberi contoh dan teladan serta sebagai sumber nilai yang melekat dalam pribadinya sedangkan siswa menerima informasi dan merespon terhadap stimulus guru secara fisik dan biologis serta memindahkan dan mempolakan pribadinya untuk menerima nilai-nilai kebenaran sesuai dengan kepribadian guru tersebut. Strategi inilah yang sesuai untuk pendidikan nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
8.     Paradigma dan Analisis Konstruktif Pendidikan Nilai Dalam Kerangka Pembelajaran PAI.
Pendidikan agama Islam yang diterapkan dalam system pendidikan Islam, bukan hanya bertujuan untuk mentransfer nilai agama, tetapi juga bertujuan agar penghayatan dan pengamalan ajaran agama berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, pendidikan agama Islam dapat memberikan andil dalam pembentukan jiwa dan kepribadian untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Pendidikan agama Islam yang dapat memberikan andil yang maksimal dalam pembentukan jiwa dan kepribadian adalah pendidikan yang mengacu pada pemahaman ajaran yang baik dan benar, mengacu pada pemikiran yang rasional dan filosofis, pembentukan akhlak yang luhur dan merehabilitasi kehidupan akhlak yang telah rusak.[38]
Nilai-nilai yang hendak dibentuk atau diwujudkan dalam pribadi muslim agar lebih fungsional dan aktual adalah nilai Islam yang melandasi moralitas (akhlak). System nilai atau system moral yang dijadikan rujukan cara berprilaku lahiriah maupun bathiniah manusia muslim ialah nilai dan moralitas yang diajarkan oleh agama Islam sebagai wahyu Allah yang diturungkan kepada utusan-Nya yaitu Nabi Muhammad SAW.[39] Ali Abdul Halim Mahmud, mengemukakan bahwa nilai-nilai akhlak Islam yang harus disebarkan pada hakikatnya yaitu nilai-nilai akhlak ini yang bersumber dari Allah, bukan buatan manusia. Allah telah mewahyukan Qur’an berisi nilai-nilai akhlak yang mulia kepada Nabi SAW,[40] yang dengan  detailnya melalui sunnah Nabi SAW. Hal ini dijadikan dasar acuan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam dalam kerangka pendidikan nilai tersebut.
Nilai moralitas dan etika sebagai faktor dan utama dalam pembelajaran pendidikan agama Islam sangat efektif dalam mengarahkan masa transisi perkembangan jiwa dan mental peserta didik, maka disini diperlukan pembelajaran yang tak hanya menekankan tetapi lebih pada proses interaksi dan keteladanan. Sehingga dalam kepentingan proses belajar, model indoktriner dirasa tidak sesuai lagi. Metode pendidikan lebih menekankan pada pembelajaran (learning), bukan lagi pengajaran (teaching) dan berlangsung dalam suasana demokratis, tidak ada pemaksaan, diberikan kesempatan untuk berpikir kritis dan bebas untuk menanggapi. Guru sebagai fasilitator serta motivator peserta didik.
Dalam konteks melaksanakan pendidikan nilai, maka seharusnya pendidik menemukan dulu visi, misi dan sasarannya yang mengandung muatan yang holistik, karena peserta didik sebagai subyek didik bukan hanya sekedar mengetahui nilai dan sumber nilai, melainkan perlu dibimbing ke arah nilai-nilai luhur yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan pribadinya, di dalam keluarga, masyarakat, negara dan percaturan dunia. Ia juga harus menyadari nilai orang lain, nilai masyarakat, nilai agama orang lain, bangsa lain serta mampu hidup arif dan bijak dalam perbedaan nilai tersebut sehingga tercipta kerukunan hidup dan perdamaian sejati.[41]
Nilai merupakan rujukan inti dan keyakinan dari sebuah pendidikan, oleh karena pendidikan merupakan proses transformasi dan bimbingan secara berkala melalui muatan-muatan keteladanan yang orientasinya pada penanaman nilai-nilai keagamaan dan tradisi budaya etika dan estetika dalam kehidupan sehingga terbentuk pengendalian diri, kecerdasan spiritual, berakhlak dan berkepribadian serta memiliki keterampilan bagi kebutuhan diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Pendidikan nilai sangat identik dengan pendidikan moral, pendidikan akhlak, pendidikan karakter. Namun pendidikan nilai merupakan dasar pembentukan yang termuat secara sistematis melalui akar pendidikan agama Islam. Hal ini merupakan rangkaian yang tidak dapat dihilangkan dari salah satunya, karena dalam upaya pembentukan kepribadian yang berbudi pekerti luhur dan insan kamil ini adalah satu kesatuan yang utuh dan saling mempengaruhi, oleh karenanya pendidikan nilai sebagai inti dan dasar adalah suatu keharusan dalam pembelajaran secara kontinyu.
Dalam analisis penulis upaya pengembangan pendidikan nilai dalam pembelajaran PAI tersebut diperlukan beberapa langkah konstruktif yakni; Pertama, bagi para pendidik dalam melakukan pendidikan nilai dituntut untuk terlebih dahulu melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri sebagai sumber inspirasi dan dan sumber keteladanan bagi peserta didik. Kedua, selain keteladanan yang patut diperlihatkan oleh pendidik (guru), maka orang tua terlebih penting mengambil peran keteladanan sebagai pendidik mutlak yang memiliki banyak waktu dalam berinteraksi dengan peserta didik, demikian pula dengan para pimpinan/pemerintah serta masyarakat. Ketiga, bagi pendidik dalam melakukan pembelajaran nilai melalui PAI penting menggunakan metode cerita yang terkait dengan kisah-kisah teladan dan imajinasi sehingga peserta didik dapat menangkap konsep nilai yang dapat menyentuh emosinya. Keempat, sasaran pendidikan nilai adalah terciptanya insan yang berakhlak memiliki nilai-nilai luhur dan mulia, maka model dan pendekatan yang dilakukan adalah pendidikan penanaman nilai itu sendiri.      Kelima, dalam menghadapi dialektika perubahan maka pentingnya pendidikan yang berbasis masalah dengan mengintegrasikan dalam pendidikan nilai sangat tepat bagi peserta didik dalam beradaptasi serta mengatasi problem-problem yang dihadapinya. Keenam, pentingnya evaluasi secara berkelanjutan untuk menilai peserta didik dalam dimensi kehidupannya sehingga tercipta ukuran yang dimiliki dari proses pendidikan nilai baik aspek kemajuan, kelebihan dan kekurangannya, karena pendidikan nilai tidak hanya berada pada evaluasi tertulis (tes).  Ketujuh, pentingnya pendidik menyusun langkah strategis pendidikan nilai seiring dengan perkembangan globalisasi (ilmu pengetahuan, tekhnologi dan informasi) yang tetap berlandaskan pada nilai-nilai spiritual agama Islam−(Al-Qur’an dan hadis) dan mengacu pada aspek tujuan pendidikan Islam−tujuan pendidikan nasional.
Dengan demikian pembelajaran pendidikan agama Islam menempatkan diri pada posisi terdepan dalam perwujudan moral generasi bangsa dan sebagai pemeran penting dalam upaya penyadaran nilai-nilai yang berbasis agama Islam. Pendidikan agama Islam memiliki muatan yang mengandung nilai-nilai luhur moral dan etika. Maka tugas-tugas gurupendidik PAI merupakan implikasi dari tuntutan akan perannya yang tidak mudah dalam melakukan pembelajaran dan penyadaran nilai-nilai keagamaan.
Penutup
Kesimpulan
Pendidikan Islam pada hakekatnya adalah proses pemeliharaan dan penguatan sifat dan potensi insan menimbulkan kesadaran untuk menemukan kebenaran. Hal ini tentunya bertujuan mengembangkan potensi serta meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan membentuk karakter seseorang (individu) atau kelompok yang menghargai dan menjunjung tinggi kebenaran. Dalam mencapai cita-cita tersebut tentunya dengan melalui pendidikan yang dalam hal ini pendidikan yang berbasis pendidika agama Islam. Dalam proses pembelajaran PAI seorang pendidik harus terlebih dahulu memahami asas-asas pendidikan dan beberapa pendekatan yang akan digunakan untuk mempermudah proses pembelajaran tersebut.
PAI yang diajarkan terhadap peserta didik memiliki ruang lingkup seperti pengajaran keimanan, pengajaran akhlak, pengajaran ibadah, pengajaran fiqih, pengajaran al-qur’an dan pengajaran sejarah kebudayaan islam. Upaya yang hendak dicapai dalam pembelajaran PAI adalah terbentuknya nilai kepribadian terhadap individu (peserta didik) yang sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Pembelajaran PAI dipandang sangat urgen dalam kerangka pendidikan nilai saat ini, hal ini dikarenakan pembelajaran PAI merupakan salah satu langkah tepat dalam merespon benturan dan penyakit-penyakit sosial masa kini. Pendidikan nilai dipandang sebagai sebagai suatu tindakan yang mengarahkan dan membantu seseorang atau peserta didik yang berupa bimbingan dan pengajaran yang dilakukan sehingga terbentuk kepribadian serta menyadari, terbiasa bertindak dan bertanggungjawab dengan penuh pertimbangan sesuai asas nilai yang dipahaminya. Bentuk-bentuk nilai yang hendak diajarkan adalah nilai pendidikan tauhid, nilai pendidikan intelektual, nilai pendidikan akhlak/moral, nilai pendidikan seksual, nilai pendidikan spiritual dan nilai pendidikan demokrasi.
Seorang pendidik dalam melakukan transsmission pembelajaran nilai tersebut, penting memiliki dan mendesain strategi yang digunakan dalam pembelajaran PAI tersebut sehingga inti pendidikan nilai yang hendak diajarkan dapat tercapai pada peserta didik yang betul-betul memiliki pandangan hidup yang berasas nilai sipitual Islam. Dalam konteks kekinian pendidikan nilai mengalami dinamika dan polemik terutama yang dihadapi oleh pendidik itu sendiri, namun hal ini penting dilakukan upaya pengembangan dan mengkonstruk pembelajaran pendidikan agama Islam dalam pendidikan nilai yang seiring dengan dinamika globalisasi. Pada sisi lain, proses pendidikan nilai pada prinsipnya adalah berangkat dari upaya seseorang atau pendidik mempengaruhi melalui asas keikhlasan yang difomulasikan dalam keteladanan pribadi untuk peserta didik dan dimulai dari saat ini, seperti kata pepatah “Kalau bukan kita siapa lagi, dan kalau bukan sekarang kapan lagi”.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abd. Filsafat Pendidikan Islam, Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.

Adimassana, YB., Revitalisasi Pendidikan Nilai di Dalam Sektor Pendidikan Formal, edt. A.Atmadi dan Y.Setiyaningsih dalam Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Darajat, Zakiah, dkk. Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1996.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah-Nya, Bandung: Sigma Examedia Arkanleema, 2009.

Duryat, Masduki, Pendidikan Nilai dalam PAI, dalam website: http://indexilmu.blogspot.com /2009/05/ pendidikan-nilai-dalam-pai.html.
Elmubarok, Zaim, Membumikan Pendidikan Nilai (Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai, Edt. Dudung Rahmat Hidayat, Bandung: Alfabeta, 2009.

Hawi, Akmal, Kompetensi Guru PAI, Palembang, IAIN Raden Fatah Press, 2005.

Ismail, Pendidikan Nilai, dalam Website: http://ismails3ip.staff.fkip.uns.ac.id /2012/01/26/ pendidikan-nilai/,

Jagat, Satria, L. Strategi Pendidikan Nilai (Moral), dalam Suluh Jurnal Pendidikan Islam, Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Kerjasama Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI dengan Mahasiswa PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol.3 No.3 September-Desember 2010.

Jalaluddin, Sistem nilai dan Pembentukannya dalam Perspektif Pendidikan Islam, dalam Jurnal Studi Islam “Medina-Te”, Program Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah Palembang, Vol. 1 Nomor 1, Juni 2005.

Kesuma, Darma, dkk. Pendidikan Karakter, Kajian Teori dan Praktek di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Al-Husan Zikra, 2000.

__________, Hasan,  Pendidikan Islam dalam Abad ke-21, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003.

Mahmud, Halim, Abdul, Ali, Akhlak Mulia, terj. Abdul Hayyie al-Kattani dalam at-Tarbiyah al-Khuluqiyah, Jakarta: Gema Insani, 2004.

Mustaqim, Abdul, Nilai-Nilai Pendidikan dalam Kisah Al-Qur’an, eds. Prof. Dr. H. Nizar Ali, M.Ag dan Dr. H. sumedi, M.Ag dalam Antologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga kerjasama Penerbit Idea Press, 2010.

Nizar, Samsul dan Ramayulis Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (dalam pdf). Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301, (diundangkan di Jakarta, pada tanggal 8 Juli 2003).

Pawestri, Zuni, Pembelajaran PAI dalam Kerangka Pendidikan Nilai, Edt. Khamdan, Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Teori, Metodologi dan Implementasi, Yogyakarta: Idea Press, 2012.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. (dalam pdf), Tambahan Lembaran Negara Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, (diundangkan di Jakarta, pada tanggal 16 Mei 2005).

Quddus, Abdul, Re-Orientasi Pendidikan Moral Islam (Studi Terhadap Internalisasi Nilai dalam Proses Pembelajaran pada Sekolah Menengah Umum di Lingkungan Perguruan Muhammadiyah Kota Yogyakarta), Yogyakarta: Tesis Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2003.

Retnoningsih Ana, dan Suharsono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, Semarang: Widia Karya, 2011.

Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2009.

Semiawan, Conny, Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, Edt. Djony Herfan, Jakarta: PT Grasindo, 2007.

Sudijono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Thoha, Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Wardamayana, Dewi, Pandangan Islam Tentang Nilai (Moral), dalam “SULUH Jurnal Pendidikan Islam”, Ikatan Mahasiswa Pascasarjana, Kerjasama Dirjen Pendidikan Pendidikan Islam Departemen Agama RI dengan PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 3 No. 3 September-Desember 2010.

Zuriah, Nurul, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.




[1] Yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepadaTuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (dalam pdf). Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301, (diundangkan di Jakarta, pada tanggal 8 Juli 2003), hlm. 4.
[2] Yaitu standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. (dalam pdf), Tambahan Lembaran Negara Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, (diundangkan di Jakarta, pada tanggal 16 Mei 2005), hlm.2.
[3]L. Satria Jagat, Strategi Pendidikan Nilai (Moral), dalam Suluh Jurnal Pendidikan Islam, Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Kerjasama Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI dengan Mahasiswa PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol.3 No.3 September-Desember 2010, hlm. 131.
[4]Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru,2003).hlm.73.
[5]Nurul Zuriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 19.
[7]Jalaluddin, Sistem nilai dan Pembentukannya dalam Perspektif Pendidikan Islam, dalam Jurnal Studi Islam “Medina-Te”, Program Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah Palembang, Vol. 1 Nomor 1, Juni 2005, hlm. 57.
[8]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 123-124.       
[9] Akmal Hawi, Kompetensi Guru PAI, (Palembang, IAIN Raden Fatah Press), hlm. 23.
[10]Zakiah Darajat, dkk. Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), hlm.  72.
[11] Ibid,  hlm. 32.
[12] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husan Zikra, 2000), hlm. 4
[13]Zuni Pawestri, Pembelajaran PAI dalam Kerangka Pendidikan Nilai, Edt. Khamdan, Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Teori, Metodologi dan Implementasi, (Yogyakarta: Idea Press, 2012), hlm. 56-57.
[14] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat., hlm. 83.
[15] Hasan Langgulung, Asas., hlm. 3.
[16]Merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.Undang-Undang.,  hlm. 3
[17]Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 1.
[18]Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 61.
[19]Suharsono dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, (Semarang: Widia Karya, 2011), hlm. 337.
[20] Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2009), hlm. 114.
[21]Masduki Duryat, Pendidikan Nilai dalam PAI, dalam website: http://indexilmu.blogspot.com /2009/05/pendidikan-nilai-dalam-pai.html. diakses, 20 Februari 2013, pukul 15.00 WIB.
[22]Ibid,
[23]Suatu pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai-nilai dari Tuhan. Misalnya, nilai norma, nilai agama, nilai keindahan (estetika). Axiologi ini mengandung pengertian luas dari pada etika atau hinger values of life (nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi). Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam, Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 15. Lihat juga, H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 5-7.
[24]Ibid,  hlm. 120-121.
[25]Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, Keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktekkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka tidak egois, baik hati, ramah, adil dan murah hati. Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai (Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai, Edt. Dudung Rahmat Hidayat, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 7.
[26]Conny Semiawan, Perspektif Pendidikan Anak Berbakat , Edt. Djony Herfan, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), hlm. 16. 
[27]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah-Nya, (Bandung: Sigma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 534.
[28]YB. Adimassana, Revitalisasi Pendidikan Nilai di Dalam Sektor Pendidikan Formal, edt. A.Atmadi dan Y.Setiyaningsih dalam Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 31.
[29]Abdul Mustaqim, Nilai-Nilai Pendidikan dalam Kisah Al-Qur’an, eds. Prof. Dr. H. Nizar Ali, M.Ag dan Dr. H. sumedi, M.Ag dalam Antologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga kerjasama Penerbit Idea Press, 2010), hlm. 232.
[30]Ibid,
[31]Ibid.,hlm. 233.
[32]Nurul Zuriah, Pendidikan., hlm. 38.
[33]Darma Kesuma, dkk. Pendidikan Karakter, Kajian Teori dan Praktek di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 11.
[34] Ibid, hlm. 58.
[35] Ibid, hlm. 60-73.
            [36]Abdul Quddus, Re-Orientasi Pendidikan Moral Islam (Studi Terhadap Internalisasi Nilai dalam Proses Pembelajaran pada Sekolah Menengah Umum di Lingkungan Perguruan Muhammadiyah Kota Yogyakarta), (Yogyakarta: Tesis Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 15-16.
[37]Lihat, Chabib Thoha, Kapita., hlm.77-79.
[38]Abd, Aziz, Filsafat., hlm. 143.
[39]Dewi Wardamayana, Pandangan Islam Tentang Nilai (Moral), dalam “SULUH Jurnal Pendidikan Islam”, Ikatan Mahasiswa Pascasarjana, Kerjasama Dirjen Pendidikan Pendidikan Islam Departemen Agama RI dengan PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 3 No. 3 September-Desember 2010, hlm. 15.
[40]Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, terj. Abdul Hayyie al-Kattani dalam at-Tarbiyah al-Khuluqiyah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 46.
[41]Ismail, Pendidikan Nilai, dalam Website: http://ismails3ip.staff.fkip.uns.ac.id /2012/01/26/ pendidikan-nilai/, diakses, 20 Februari 2012. Pukul 15.30 WIB.

Tidak ada komentar: