ANALISIS COST
DAN BENEFIT
(Tinjauan Strategi
dan Efisiensi dalam Pendidikan)
Oleh:
Achmad Darwiz
Abstrak
Dalam pendidikan,
pembiayaan (anggaran) pendidikan sangat penting dan dibutuhkan karena
memberikan kemudahan dalam pengelolaan pendidikan. Pembiayaan pendidikan baik
yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat serta orang tua peserta didik
perlu evaluasi dan perhitungan guna mengefisienkan pengelolaannya sehingga
keuntungan dari pendidikan tersebut dapat maksimal. Mengevaluasi sumber
pembiayaan pendidikan dilakukan dengan cara analisis cost dan benefit
(biaya dan manfaat). Analisis cost dan benefit ini digunakan untuk menganalisis
investasi pendidikan, hal ini dimaksudkan memberikan informasi dan keputusan
terhadap berbagai pilihan alokasi sumber biaya pendidikan yang terbatas tetapi
diharapkan memberikan keuntungan maksimal, keuntungan ini dapat berupa
keuntungan nilai ekonomi (financial), keterampilan, pengalaman, kesempatan
kerja serta keuntungan dalam sosial masyarakat.
Kata Kunci: Analisis Cost-benefit,
Efisiensi, Pendidikan
Pendahuluan
Guna meningkatkan kwalitas sumber
daya manusia Indonesia, pendidikan dianggap sebagai strategi pencapaian baik
dalam hal keilmuan maupun manfaat secara ekonomis maka dituntut upaya
perencanaan, manajemen, strategi serta aplikasi dalam pengelolaan pendidikan
secara matang. Oleh karena itu pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah
dan masyarakat baik dalam penyediaan sarana prasarana, tenaga pengajar,
fasilitas pembelajaran maupun dari segi pembiyaaan guna pemerataan dan
peningkatan mutu pendidikan. Biaya pendidikan sebagai factor utama yang turut
menunjang proses pendidikan dengan demikian untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, salah
satunya aspek yang harus terpenuhi adalah persoalan anggaran atau pembiayaan
pendidikan tersebut, hal ini perlu dukungan dana yang cukup memadai sehingga
pendidikan dapat mencapai tujuan sesuai dengan harapan. Rahmah Setyawati
mengutip al-Zarnuji mengatakan dalam kitabnya “ta’lim al-muta’allim” tidak akan
diperoleh suatu ilmu kecuali dengan enam syarat, salah satu diantaranya adalah “biaya”.[1]
Pembiayaan pendidikan sebagai salah satu faktor pelengkap sangat
memberikan peranan besar dalam pengelolaan pendidikan baik di Indonesia sebagai
negara berkembang maupun negara-negara maju lainnya sehingga pendidikan dapat
memberikan nilai ekonomis serta membentuk modal bagi manusia tersebut. Hasan
Laggulung[2]
memberikan pandangan bahwa peranan ekonomi dalam meningkatkan pencapaian dalam
pendidikan dan selanjutnya pengaruh pendidikan dalam perkembangan ekonomi suatu
negara, terutama dalam pembentukan modal manusia (human capital).
Pembiayaan pendidikan adalah komponen terpenting
dalam penyelenggaraan pendidikan, menyiapkan sumber daya manusia, masyarakat dengan
pemerintah memiliki peran yang sangat mendasar dalam membiayai pendidikan
sehingga tujuan pendidikan yang diharapkan dapat maksimal. Biaya pendidikan merupakan pengeluaran untuk pendidikan yang memang
tidak dapat dihindarkan hal ini untuk mendapatkan pendidikan yang lebih
berkualitas sehingga bangsa Indonesia dapat mempunyai level
yang sama dengan negara-negara maju atau setidaknya sejajar dengan
negara-negara berkembang lainnya dalam kualitas pendidikannya. Investasi
pendidikan yang dilakukan membutuhkan pembiayaan yang memang perlu mencukupi
hingga final dalam pendidikan.
Segala sesuatu dalam kegiatan manusia selalu
menginginkan keuntungan dan berupaya meminimalkan bentuk kerugian, hal ini
seiring dengan prinsip dalam ajaran Islam bahwa kegiatan dalam bentuk apapun
yang bersifat mubazir sudah pasti harus dihindari, demikian halnya dalam
pendidikan sangat penting untuk dioptimalkan sebab pembiayaan sebagai suatu
strategi untuk mendapatkan keuntungan dan nilai lebih, umumnya menjadi syarat
mutlak dan prioritas yang utama. Dalam pembiayaan pendidikan bagi orang tua dan
siswa menjadi kewenangan tersendiri untuk memilih satuan pendidikan mana yang
menjadi sebuah pilihan pendidikan yang akan memberikan profit terutama
dalam realitas sosial, namun mayoritas dalam pendidikan terutama masyarakat
yang mempunyai ekonomi menengah kebawah dominannya pengurangan biaya tetapi besar
tingkat yang dihasilkannya. Demikian pula pengambil kebijakan dan dalam satuan pendidikan
bagaimana pengurangan biaya tetapi lebih mengarah peningkatan efisiensi.
Untuk mengetahui tingkat efisiensinya pembiayaan
dalam pendidikan maka digunakan analisis cost dan benefit
(analisis biaya dan manfaat). Analisis cost dan benefit ini pada
dasarnya untuk mengevaluasi penggunaan sumber ekonomi dalam pembangunan yang
banyak diprogramkan oleh pemerintah. Banyaknya proyek yang harus dilaksanakan
membutuhkan kejelian untuk dilaksanakan sedangkan dari segi ketersediaan pembiayaan
sangat terbatas. Maka melalui analisis ini pemerintah dapat mengefisienkan
program-programnya sesuai kriteria dan menjamin sumber-sumber ekonomi secara
efisien. Dalam bidang pendidikan analisis cost dan benefit digunakan
dalam mengevaluasi penggunaan sumber pembiayaan dalam pendidikan, hal ini
dimaksudkan agar sumber pembiayaan tersebut dapat digunakan secara efisien
serta dapat memberikan keuntungan yang maksimal.
Nanang Fattah mengemukakan bahwa analisis
cost penting dipelajari bagi perencana pendidikan hal ini disebabkan
semakin tingginya tekanan dari pengambil kebijakan dalam hal pengurangan biaya
dan peningkatan efisiensi.[3] Sedangkan Dedi
Supriadi menjelaskan, pentingnya pembahasan ini adalah tingginya peranan
keluarga dalam pembiayaan pendidikan, bahkan bila dihitung dari biaya total per
siswa, sumbangan keluarga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan subsidi
pemerintah[4].
Alasan lain pentingnya
pembahasan tema ini adalah tentunya memberikan informasi terkait pembiayaan
dalam pendidikan dengan manfaatnya. Hal ini menyebabkan besarnya tingkat
pembiayaan pendidikan yang dikeluarkan terkadang tidak terukur dengan manfaat.
Berangkat dari latarbelakang tersebut maka berikut ini penulis mengemukakan
beberapa rumusan permasalahan yang perlu dieksplorasi yaitu (1) ) Bagaimana definisi pembiayaan pendidikan?, (2) Bagaimana landasan yuridis pembiayaan
pendidikan?, (3) Bagaimana Potret
problematika pembiayaan dan pendidikan di Indonesia, (4), Bagaimana analisis cost dan benefit
dalam pendidikan?, (5 Bagaimana langkah efisiensi pembiayaan pendidikan?), (6)
Bagaimana tinjauan
pendidikan berbasis cost benefit analisis pada lembaga pendidikan Islam?, Penulisan makalah ini tentunya diharapkan
dapat memberi informasi kepada unsur-unsur yang terlibat dalam pendidikan
sehingga peranannya terhadap peningkatan mutu pendidikan dapat dimaksimalkan
melalui analisis pemanfaatan biaya yang dikelolah.
Definisi Pembiayaan Pendidikan
Ditinjau dari sudut human capital (Sumber Daya Manusia
sebagai unsur modal), pendidikan diperhitungkan sebagai factor penentu keberhasilan
seseorang, baik secara sosial maupun ekonomi. Nilai pendidikan merupakan asset
moral, dimana pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam pendidikan
dianggap sebagian investasi. Untuk memperoleh hal tersebut secara maksimal
tentunya harus ditunjang oleh biaya pendidikan. Pengertian biaya pendidikan
adalah upaya pengumpulan dana untuk membiayai operasional dan pengembangan sektor
pendidikan.[5]
Beberapa para ahli juga memberikan definisi pembiayaan pendidikan sebagaimana
yang dikemukakan oleh Dedi Supriadi bahwa biaya pendidikan adalah semua jenis
pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan baik dalam bentuk
uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan dengan uang). Dalam
pengertian ini iuran siswa, sarana fisik berupa buku sekolah, dan guru adalah
masuk kategori biaya. Bagian-bagian biaya itu direncanakan, diperoleh,
dialokasikan, dan dikelolah merupakan persoalan pembiayaan atau pendanaan
pendidikan (educational finance).[6] Nanang
Fattah menjelaskan bahwa biaya pendidikan diartikan sebagai jumlah uang yang
dihasilkan dan dibelanjakan untuk berbagai keperluan penyelenggaraan pendidikan
di sekolah. Hal ini mencakup gaji guru, peningkatan kemampuan professional
guru, pengadaan sarana ruang belajar, perbaikan ruang belajar, pengadaan
perabot/mobeler, pengadaan alat-alat pelajaran, pengadaan buku-buku pelajaran,
alat tulis kantor (ATK), kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan pengelolaan
pendidikan dan supervise pendidikan pembinaan pendidikan serta ketatausahaan
sekolah.[7]
Ara Hidayat dan Imam Machali[8]
memberikan definisi pembiayaan atau pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab
bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Tanggung jawab
pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyediakan anggaran pendidikan
berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Sedangkan menurut
Harsono, biaya pendidikan adalah semua pengeluaran yang memiliki kaitan
langsung dengan penyelenggaraan pendidikan.[9]
Dari beberapa definisi tersebut di atas maka disimpulkan bahwa
pembiayaan pendidikan adalah bagian dari manajemen dalam pendidikan yang terkelolah
secara terperinci dan terprogram terkait pemanfaatan barang, perolehan biaya
pendidikan, pengalokasian, penetapan biaya pengeluaran untuk penggunaan dalam
membiayai proses pendidikan dan sekaligus merupakan tanggung bersama antar
stakeholder dan pengelolah pendidikan.
Pembiayaan pendidikan sebagai salah satu komponen terpenting untuk
tercapai tujuan pendidikan dari aktivitas pendidikan, oleh karena itu dalam
melakukan pembiayaan pendidikan tersebut perlu keterlibatan berbagai pihak
sebagai mitra dalam melakukan pembiayaan, baik pemerintah−pemerintah daerah, masyarakat,
dan orang tua peserta didik.
Landasan Yuridis Pembiayaan Pendidikan
Landasan yuridis
pembiayaan pendidikan termuat dalam amandemen Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31
Ayat 4[10]
dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49 ayat (1), cukup
menegaskan[11] 20%
anggaran untuk pendidikan. Demikian pula pentingnya ditunjang oleh kerjasama
pemerintah baik pusat hingga daerah dan masyarakat tentang pendanaan pendidikan
tersebut hal ini termuat pada Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2008 tentang
pendanaan pendidikan pasal 2 ayat 1[12].
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut cukup mengamanahkan terkait
alokasi pembiayaan pendidikan di tanah air sebagai bagian dari strategi
peningkatan mutu pendidikan sebagai mana tujuan pendidikan nasional.
Potret Problematika Pembiayaan dan Pendidikan di Indonesia
1. Problematika Makro: Dilema antara keinginan dan kemampuan
pemerintah.
Muhammad Abduhzen
mengutip Prof. Dr. Boediono, wakil Presiden RI dan yang (konon) juga pemimpin
komite pendidikan, pada tulisannya, dalam Edukasi Kompas edisi 29 Agustus 2012 menyoal subtansi pendidikan yang hingga kini
belum jelas konsepsinya. Namun, tulisan itu−biarpun mengakui pendidikan sebagai
kunci pembangunan−secara keseluruhan mengesankan bahwa pembangunan ekonomi dan
politik lebih utama. Usulan mengenai pendidikan umum dan pendidikan khusus guna membekali
murid soft skill dan hard skill terasa simplistik. Kurang mendasar dibandingkan ide Boediono ketika jadi Menteri
Keuangan. Saat itu ia menekankan ”revolusi pendidikan” dalam strategi
pembangunan baru, dalam (Kompas, 23 Oktober 2003).[13]
Dari pandangan di atas dapat ditelaah bahwa salah satu penyebab kaburnya
substansi pendidikan sehingga menjadi problem serius dalam pendidikan kita pada
masa kini yang belum terselesaikan dengan tepat salah satunya adalah persoalan anggaran
pendidikan.
Masalah anggaran
pendidikan di Indonesia memang sangat kompleks. Di dalam sejarahnya, semenjak
republik ini dipimpin oleh Presiden Soekarno, kemudian berturut-turut
digantikan Presiden Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, dan Susilo Bambang
Yudhoyono, belum pernah pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan yang
memadai[14].
Untuk mengukur keseriusan pemerintah dalam
meningkatkan Sumber Daya Manusia pada sektor pendidikan yang berkelanjutan, hal
ini dapat dilihat dari segi anggaran pendidikan yang ditargetkan 20% dari APBN
sesuai amanah Undang-Undang, bandingkan dengan Malaysia misalnya, yang sejak
merdeka menyediakan anggaran pendidikan yang tak pernah kurang dari 20 persen
APBN-nya. Pemerintah hanya mampu melakukannya sesuai dengan prinsip bertahap.
Hal tersebut disisi lain bidang pembangunan menuntut anggaran pada sektor
ekonomi, kesehatan, infrastruktur dan lain-lain.
Anggaran pendidikan ini baru dapat terpenuhi ketika mulai tahun
2009 silam dan telah menjadi catatan penting dalam APBN 2009 melalui kebijakan
fiskal pemerintah, jika menelusuri sejarah pendidikan di Indonesia sebelum
tahun 2009 potret kebijakan pembiayaan pendidikan sama sekali belum dapat
memuaskan semua pihak, dan bahkan ironisnya masa pemerintahan orde baru pernah
ditetapkan untuk pengalokasian anggaran pendidikan mencapai 25 % melalui Tap
MPRS No.VI/MPRS/1966, namun beragam hal hingga tujuan itu belum terpenuhi.
Memasuki pemerintahan era reformasi potret pembiayaan pendidikan masih menunjukkan grafik yang naik turun,
kendati kenaikannya tidak menunjukkan grafik yang belum memuaskan sesuai dengan
tuntutan Undang-Undang. Pasca reformasi (era pemerintahan SB hingga sekarang)
pembiayaan pendidikan telah mencapai target dari Undang-Undang dan menunjukkan
bukti keseriusan pemerintah, meskipun APBN diatas seribu triliyun lebih namun
pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen tidak hanya dibagikan pada
Kemendikbud dan Kemenag, kementerian lain pun turut menikmati anggaran
pendidikan tersebut.
Jika ditelaah mendalam sejarah dan kebijakan pembiayaan pendidikan
di tanah air yang belum memenuhi harapan dan pemerataan pendidikan sehingga
dinilai sebagai bentuk polemiknya pendidikan hal ini berdampak pada mutu dan
sulitnya pendidikan bagi peserta didik terutama dikalangan berekonomi menengah
kebawah yang melalui kebijakan disatuan pendidikan didaerah karena pembiayaan
pendidikan.
Dengan diterapkannya otonomi daerah sekiranya dapat memberikan
kemudahan dalam pendidikan terutama dalam hal pembiayaan. Hal ini
mengindikasikan bahwa pola pikir pemerintah yang hendak memaksimalkan
pendidikan untuk bangsa telah mengalami transisi untuk memajukan bangsa melalui
pendidikan. Eko Susilo mengutip Hasbullah dalam Otonomi Pendidikan, mengemukakan
bahwa lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah yaitu Undang-Undang No.22 dan No.
25 1999, kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No.32 dan 33 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah yang diikuti dengan peraturan perundang-undangan,
mempunyai dampak yang besar bagi sistem manajemen pembiayaan pendidikan di
Indonesia. Sumber anggaran pendidikan semakin menjadi kompleks, sistem
pengalokasiannya juga berbagai jalur, bahkan sampai pada rincian pengelolaan,
penggunaan dan pertanggungjawabannya.[15]
Otonomi daerah atau desentralisasi yang
merupakan pelimpahan wewenang kepada daerah untuk mengurusi sistem pemerintahan
dalam upaya kemajuan sesuai cita-cita masyarakat yang lebih baik, adil dan
sejahtera. Dalam kaitan ini adanya otonomi membawa konsekwensi pembiayaan
pendidikan, baik mengenai sumber pendanaan, sarana-prasarana dan kepegawaian.
2.
Problematika
Mikro
Seperti pola pendidikan masa kini, tanpa biaya yang mencukupi maka
pendidikan tidak dapat diraih dengan baik. Menurut Paulo Freira[16]
system pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebagai
sebuah “bank” (banking concept of education) dimana pelajar diberi ilmu
pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi,
anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak
berbeda dengan komoditas ekonomi lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau
investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan
dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang
diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai “bejana
kosong” yang akan diisi sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal
ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak.
Pendidikan gaya bank seperti ini adalah kecenderungan pada bentuk pendidikan
ekonomi kapitalistis dimana anak didik sama dengan komoditas ekonomi.
Pembiayaan pendidikan sebagai instrument penyelenggaraan pendidikan dan anak
didik (orang tua peserta didik) sebagai salah satu sumber keuangan dalam
pembiayaan pendidikan ini adalah fakta yang seolah-olah cenderung bahwa
pendidikan yang ditempuh oleh peserta didik berimplikasi pada hasil yang
menjanjikan dikemudian hari. Baik peserta didik yang menempuh pendidikan pada
satuan pendidikan dasar, menengah, atas hingga universitas. Penyelenggaraan
pendidikan yang memiliki prinsip, hakikat dan makna sosial mengalami pergeseran
menjadi makna bisnis. Bisnis adalah bagian terbesar dari kapitalisme, dan
konsep pendidikan masa kini adalah system kapital. Menurut Harsono, konsekwensi
kapitalisme pendidikan bila ada pihak yang menyelenggarakan pendidikan berarti
dia menanamkan modal dan berharap akan sejumlah keuntungan pada waktu yang akan
datang.[17]
Dedi Supriadi menjelaskan bahwa biaya pendidikan ditingkat sekolah
berasal dari tiga sumber, yaitu pemerintah (termasuk dalam hibah dan pinjaman
luar negeri), keluarga siswa (baik disalurkan melalui sekolah maupun
dibelanjakan sendiri), dan masyarakat (selain keluarga siswa).[18]
Namun dari manapun sumber pembiayaan pendidikan yang dikelolah oleh satuan
pendidikan akan tetap dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Setiap kebijakan
pemerintah terkait pembiayaan pendidikan memunculkan polemik skala mikro (dalam
hal ini satuan-satuan pendidikan). Kebijakan yang berimplikasi pada
pendidikan−ekonomi kapital sehingga satuan-satuan pendidikan tidak dapat keluar
dari lingkaran pengelolaan pendidikan yang berciri ekonomi kapital tersebut.
Jadi masyarakat (peserta didik dan orang tua) tidak memiliki pilihan
lain kecuali mengikuti ritme kebijakan pasar, pemegang kebijakan pendidikan
dengan mengeluarkan biaya pendidikan sebagai investasi untuk kelancaran proses
pendidikan.
Pendidikan masa kini memiliki orientasi tiga arah dengan adanya pembiayaan
pendidikan yaitu; Pertama, pendidikan yang ditunjang pembiayaannya oleh
pasar, maka pasar akan menentukan warna pendidikan tersebut yang memiliki
indikasi pada kapitalistis−liberal. Kedua, Pendidikan yang ditunjang
pembiayaannya oleh penguasa (pemerintah/pemegang kebijakan pendidikan), maka
penguasa pula yang akan mengarahkan dan memberikan warna pada pendidikan
tersebut,−dalam bentuk untuk menunjang kepentingan penguasa/negara. Ketiga,
Pendidikan yang pembiayaannya ditunjang oleh masyarakat−orang tua peserta, maka
pendidikan ini menginginkan kecenderungan pada penciptaan manusia yang
sebaik-baiknya atau dengan kata lain menghasilkan manusia yang memanusiakan
manusia, memiliki nilai spiritual dan kecerdasan dan tidak mengesampingkan
pencapaian financial dari hasil pendidikannya.
Hal tersebut diatas ditunjang pula oleh beberapa factor jika
dikaitkan dengan kebijakan pemerintah, diantaranya, bahwa pemerintah dalam
mengeluarkan anggaran pendidikan, antara satuan pendidikan swasta dan negeri
terkadang pula pilih kasih dalam penganggaran pendidikan, dan disisi lain orang
tua peserta didik juga masih bermurah hati mengeluarkan biaya untuk lembaga
(satuan pendidikan) dimana anak didiknya menuntut pendidikan.
Beragam asumsi terkait peranan pemerintah dan masyarakat (orang tua
siswa) dalam hal pembiayaan pendidikan yaitu;
Pertama, adanya kecenderungan
yang mengarah pada aspek pengakuan yang berlebihan kepada pemerintah dibanding
peranan orang tua dan masyarakat yang lebih besar peranannya dalam hal
pembiyaan pendidikan. Padahal dalam perhitungan ini tak hanya pada pembiayaan
yang secara financial atau dengan kata lain pembiayaan langsung (direct
cost) yang dikeluarkan oleh orang tua siswa, akan tetapi lebih didalamnya
termuat keputusan untuk mengorbankan kesempatan kerja dalam artian harga
kesempatan (opportunity) yang hilang. Hal diatas mengindikasikan bahwa
hanya pemerintahlah yang lebih berperan dalam hal pembiayaan. Namun demikian
asumsi implisit tetap dalam skala normatifnya bahwa pemerintahlah yang lebih
berperan besar.
Kedua, adanya
kecenderungan monopolitis dalam pengelolaan pendidikan terkait pembiayaan
semisal orang tua siswa yang telah mengeluarkan pembiayaan pendidikan baik
dalam standar ketentuan (Dana Bantuan Opersional, dll), namun ketika siswa
dihadapkan pada persoalan yang mengancam pada putus sekolah (mogok sekolah)
dengan kata lain orang tua siswa tak mampu membiayai pendidikan maka seolah
pemerintah menutup mata, tidak ingin tahu dan tidak dapat berbuat banyak.
Ketiga, ketidakjelasan
administrasi pembiayaan yang dikelolah oleh pihak satuan pendidikan baik
pemasukan maupun pengeluaran yang ditarik dari orang tua siswa (masyarakat)
yang cukup besar, jika dibandingkan dengan biaya yang disubsidi pemerintah. Persoalan
administrasi yang tidak terkolah dengan baik dalam hal pembiayaan pendidikan di
sekolah seolah menutupi segala transparansi dan kemungkinan politisasi dalam
pembiayaan. Pembiayaan yang tercatat dalam RAPBS menggambarkan sumber dana dari
pemerintah dan iuran penting siswa yang pengeluarannya hanya pada biaya
operasional rutin dan bagian-bagian pokok secara resmi dari tahun ke tahun. Hal
ini seolah hanya menjerumuskan paradigma akan partisipasi orang tua dan
masyarakat dalam hal pembiayaan, jadi seberapa pun biaya pendidikan yang
disumbangkan oleh orangtua atau masyarakat tetap tidak lebih penting artinya
daripada subsidi biaya pendidikan dari pemerintah.
Keempat. Adanya
anggapan pemerintah terhadap masyarakat itu perlu pendidikan dan perlu dididik
untuk kepentingan nasional, regional, apalagi internasional. Hingga segala
bentuk kebijakan termasuk pembiayaan dalam pendidikan dominannya diatur
pemerintah atau masih berciri sentralisasi.
Kelima, menurut Suharno,
kisah ekonomi orang tua peserta didik adalah sekaligus kisah kasih yang pedih.
Kasih karena pendidikan adalah menyangkut masa depan dan harkat anaknya, pedih
karena pendidikan yang sudah tidak murah itu ketika telah dilewati menghantar
anak pada kesulitan mencari pekerjaan dan rendahnya upah/gaji yang ditawarkan.[19]
Problematika lain dari output pendidikan ini terkait sulitnya seseorang
menemukan pekerjaan dan upah rendah banyak menunjukkan realita ditengah
masyarakat merupakan implikasi dari pemahaman masyarakat yang masih dangkal
akan makna dari sebuah pendidikan dan pembiayaan pendidikan yang seolah tidak
terukur dengan baik, sehingga masih sulit mengoptimalkan peranannya.
Oleh karena itu dalam penyelenggaraan pendidikan, keuangan dan
pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang
tak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen keuangan dan
pembiayaan pada suatu sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan
terlaksananya kegiatan-kegiatan proses belajar-mengajar di sekolah bersama
dengan komponen-komponen lain. Dengan kata lain setiap kegiatan yang dilakukan
sekolah memerlukan, baik itu disadari maupun yang tidak disadari. Komponen
keuangan dan pembiayaan ini perlu dikelolah sebaik-baiknya, agar dana-dana yang
ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang tercapainya tujuan
pendidikan.[20]
Analisis Cost dan Benefit dalam Pendidikan
1.
Klasifikasi dan Konsep Biaya Pendidikan
Lembaga pendidikan adalah semua unsur yang menyelenggarakan adanya
pendidikan; orang tua, penyelenggara lembaga termasuk guru, dan peserta didik.
Dalam penyelenggaraan pendidikan, orang tua berperan dalam hal investasi
financial dan non financial. Infestasi financial diwujudkan dalam
bentuk iuran orang tua murid dalam berbagai macam bentuk. Investasi financial
diwujudkan antara lain dalam pendidikan dan pekerjaan. Lembaga dalam
kemampuannya menyelenggarakan kependidikan dapat diukur dari daya tampung
sekolah/universitasnya dan dari kemampuan mengantarkan alumni mendapatkan
tingkat gaji atau upah tertentu. akhirnya peran peserta didik dalam ikut
menyelenggarakan kependidikan dapat diukur dari seberapa besar peserta didik
dan orang tuanya harus menanggung pembebanan lembaga yang pada gilirannya
dipergunakan untuk berbagai macam pos pembiayaan lembaga tersebut.[21]
Biaya dalam pendidikan meliputi dua klasifikasi, yaitu biaya
langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost).
Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
pelaksananaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat
pengajaran, sarana, belajar, biaya transportasi, gaji guru, baik yang
dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua, maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya
tidak langsung berupa keuntungan yang hilang (opportunity cost) yang
dikorbankan oleh siswa selama belajar.[22]
Anggaran pendidikan ini (disekolah) terbagi atas anggaran
penerimaan (biaya masuk) dan anggaran pengeluaran (biaya keluar). Anggaran
penerimaan atau biaya masuk adalah bentuk pendapatan yang masuk ke satuan
pendidikan secara teratur diperoleh dari berbagai sumber penerimaan baik
melalui orang tua siswa, donator dari komponen masyarakat maupun pemerintah
sebagai penyalur utama. Anggaran pengeluaran (biaya keluar) adalah segala
pembiayaan yang berkaitan dan dibelanjakan secara rutin (setiap tahun) atau
biasanya termuat dalam RAPBS disatuan pendidikan untuk menunjang keperluan
pelaksanaan dan proses pendidikan baik meliputi keperluan dalam pengajaran,
administrasi sekolah, perbaikan sarana pendidikan, kesejahteraan guru dan
pegawai dll.
Biaya pemasukan dan biaya pengeluaran disekolah sangat dipengaruhi
oleh situasi dan keadaan sekolah−satuan pendidikan misalnya disebabkan setiap
satuan pendidikan disetiap daerah memiliki variasi, karakteristik, dan
kebutuhan yang berbeda-beda, demikian pula proporsi jumlah siswa, kemampuan
orang tua serta perhatian masyarakat maupun kebijakan politik pemerintah dalam
pembiayaan pendidikan pada masa kini.
Dalam konsep pembiayaan pendidikan khususnya pada pendidikan dasar
ada dua hal penting yang perlu dikaji
atau dianalisis yaitu, biaya pendidikan secara keseluruhan (total
cost) dan biaya satuan persiswa (unit cost).[23]
Biaya keseluruhan ini meliputi biaya total yang ada pada satuan pendidikan yang
memiliki sumber tetap yang pengeluarannya untuk penyelenggaraan pendidikan
sesuai RAPBS disatuan pendidikan. Biaya satuan persiswa biaya yang
dinvestasikan kesatuan pendidikan dan dikelolah untuk kepentingan siswa
tersebut dalam mengikuti pendidikan.
Menurut Mulyono adapun dilihat dari sifat cara perhitungannya,
biaya pendidikan dapat dibedakan menjadi dua kajian, yaitu biaya yang bersifat
budgeting dan nonbugeting. Biaya nonbugeting meliputi
biaya-biaya pendidikan yang dibelanjakan oleh murid atau orang tua siswa.
Sedangkan biaya budgeting adalah biaya yang diperoleh dan dibelanjakan
oleh sekolah sebagai satuan pendidikan. Biaya budgeting lembaga pendidikan
meliputi tiga bidang, yaitu biaya rutin, biaya operasional, dan biaya investasi.
Biaya rutin adalah biaya yang harus dikeluarkan dari tahun-ketahun, seperti
gaji pegawai (guru dan non guru). Biaya operasional yaitu biaya untuk
memelihara gedung, fasilitas, dan alat-alat pengajaran. Biaya investasi yaitu
meliputi biaya pembelian dan pengembangan tanah, pembangunan gedung, rehab
gedung serta biaya untuk pengeluaran lain yang tidak habis pakai.[24]
Investasi pada umumnya banyak orang yang memberikan perspektif sama
dengan membungakan uang,[25]
namun dalam konteks ini investasi−biaya investasi adalah biaya dari siswa
(orang tua siswa) yang diperuntukkan untuk pembiayaan dalam rangka mengikuti
proses pendidikan yang dikelolah oleh lembaga pendidikan untuk keperluan dan
pengembangan sarana dan prasarana pendidikan.
2.
Cost Benefi Analisis (Analisis Biaya Manfaat)
Dalam teori human capital, proses pengetahuan dan
keterampilan dengan melalui pendidikan yang bukan merupakan suatu bentuk
konsumsi semata-mata, tetapi suatu investasi, ini membawa kecenderungan bahwa
pendidikan merupakan suatu modal atau nilai modal manusia (human capital)
oleh sejumlah populasi penduduk (bangsa) yang diukur dari kadar intelektual dan
tenaga kerjanya. Hubungannya cost dan benefit, pendidikan
dipandang sebagai salah satu bentuk investasi (human investment). Cost
and Benefit (Biaya dan manfaat) sering dikonotasikan manfaat atau
keuntungan terkait financial sebagai hasil dari infestasi pendidikan, dengan
mengukur antara penghasilan dan jumlah (total) biaya yang dipergunakan dalam
mendidikan. Nilai balik dari perencanaan pendidikan ini didasarkan pada
pendekatan rate of retun (tingkat pengembalian).
Analisis biaya dan manfaat (cost benefit analisys) merupakan
metodologi yang banyak digunakan dalam melakukan analisis investasi pendidikan.
Metode ini dapat membantu para pengambil keputusan dalam menentukan pilihan diantara
alternative alokasi sumber-sumber pendidikan yang terbatas, tetapi memberikan
keuntungan yang tinggi.[26]
Menurut Endang Soenarya, pendekatan ini digunakan untuk
memungkinkan mengadakannya perbandingan secara ekonomis antara investasi yang
diberikan kepada sektor-sektor ekonomi lainnya. Tujuan utama pendekatan ini
adalah untuk menjamin bahwa alokasi sumber-sumber daya antara sektor-sektor
ekonomi yang berbeda disesuaikan dengan manfaat yang diharapkan. Pendekatan ini
mempunyai beberapa kesulitan yaitu tingkat maksimal keuntungan sosial yang
diperoleh dari pendidikan di universitas atau jenis pendidikan lainnya pada
saat ini dan yang akan datang tidak selalu sama. Proses pendidikan berlangsung
dalam jangka panjang, bertujuan non profit, memiliki struktur system, dan
system terkait yang berubah-ubah. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam
penyesuaian aplikasi syarat-syarat yang bersifat kaku dalam suatu periode
panjang yang bersifat dinamis.[27]
Para ahli pendidikan dapat menerima walaupun tidak keseluruhan
prinsip rate of retun, bahwa investasi dalam pendidikan disusun
berdasarkan suatu keuntungan, baik keuntungan yang diperoleh dalam masyarakat
maupun keuntungan yang diperoleh seseorang, dalam bentuk peningkatan
produktifitas yang tercermin dalam peningkatan
pendapatan.
Pentingnya analisis pembiayaan ini sebagai salah satu langkah
pembenahan manajemen pendidikan guna penerapannya yang maksimal baik secara
makro maupun mikro, dari pusat kebijakan pendidikan hingga satuan pendidikan untuk
mencapai benefit yang secara maksimal.
a.
Analisis
Biaya Pendidikan (Analysis Cost of Education)
Konsep
biaya pendidikan sifatnya lebih kompleks dari keuntungan, karena komponen biaya
terdiri lembaga jenis dan sifatnya. Biaya pendidikan tidak hanya berbentuk uang
atau rupiah, tetapi juga dalam bentuk biaya kesempatan (opportunity cost).
Biaya kesempatan ini sering disebut “imcome forgone” yaitu potensi
pendapatan bagi seorang siswa selama ia mengikuti pelajaran atau menyelesaikan
studi. Biaya pendidikan akan terdiri dari biaya langsung dan biaya tidak
langsung atau biaya kesempatan (opportunity cost), untuk mengukur biaya
pendidikan dapat diketahui rumus bahwa Biaya Keseluruhan (C) terdiri dari biaya
langsung (L), dan biaya tidak langsung (K) atau pendapatan lulusan.[28]
Mengutip teori Nanang Fattah tersebut, maka penulis dapat menganalisisnya
seperti:
C = L
+ K
(S1)
(S1) (S1)
|
Keterangan:
(S1)
|
(S1)
|
(S1)
|
Sebagai
contoh lulusan SMA yang tidak diterima untuk melanjutkan pendidikan di
perguruan tinggi (S1), jika ia bekerja dan memperoleh penghasilan, penghasilannya
Rp. 1.000.000 per bulan, dan jika ia melanjutkan pendidikan ke S1, besarnya
pendapatan (upah, gaji) selama 4 tahun belajar di S1 harus diperhitungkan.
Semisal penghasilannya Rp.1.000.000 perbulan x 4 tahun atau 48 bulan jadi
totalnya adalah Rp.48.000.000., (C)=sebagai keseluruhan biaya baik langsung
maupun tidak langsung, (L)=adalah biaya langsung ditambahkan dengan (K)=sebagai
biaya tidak langsung (kesempatan yang hilang). Hal ini dapat disimpulkan
bahwa jika seorang yang tidak bekerja karena melanjutkan pendidikan maka
kesempatan itu hilang untuk mendapatkan uang (financial), demikian pula
sebaliknya. Oleh karena itu biaya yang dikeluarkan harus diperhitungkan.
Analisis
seperti diatas merupakan analisis standar dan dapat berubah diluar dugaan. Hal
ini disebabkan karna perhitungannya lulusan SMA bisa jadi tidak diterima pada
universitas A, terapi diterima pada universitas B dengan karakter yang memiliki
jumlah pembiayaan masuk yang berbeda, demikian pula jika bekerja penghasilannya
(gaji) tidak menutup kemungkinan bisa dibawah atau diatas rata-rata (Ex. di
atas Rp.1000.000/bulan). Jika ia melanjutkan studi ke universitas dengan
program S1 juga tidak dapat ditebak kalau seseorang itu dapat menyelesaikannya dalam
kurun waktu 4 tahun atau bahkan kurang dari itu.
Dari
potret tersebut ada beberapa hal yang turut mempengaruhi, Pertama,
adanya tingkat kemampuan pembiayaan untuk pendidikan dari diri siswa atau orang
tua, Kedua, Kebijakan pembiayaan pendidikan yang ditawarkan oleh lembaga
atau satuan pendidikan baik pada tingkat dasar, menengah, atas, hingga
universitas terkadang mengalami perubahan dari waktu-kewaktu. Ketiga,
tingkat dan prestasi pekerjaan yang diembang oleh seseorang ketika tidak
belajar−menuntut pendidikan, terkadang mengalami pasang surut, baik kemajuan bidang
pekerjaannya, berkembang tidaknya lembaga (industry, perusahaannya). Keempat,
adanya target perhitungan untuk manfaat yang dapat diterima setelah menanamkan
investasi melalui pendidikan atau dengan kata lain “kembali modal”.
Namun yang perlu disadari oleh para siswa atau orang tua/wali, bahwa investasi
yang ditanamkan pada lembaga pendidikan tidak memberikan jamiman pada
lulusannya untuk sukses bekerja dan memiliki penghasilan sebagaimana mestinya (meskipun
ada beberapa lembaga pendidikan yang masih tidak sadar diri dan mengumumkan
janji).
Lembaga
atau satuan pendidikan yang mengorganisir aspek pembiayaan disini adalah
komponen pokok yang menerima biaya investasi siswa. Demikian pula bagi siswa
atau orang tua/wali yang mengeluarkan biaya investasi dengan memiliki paradigma
“kembali modal”, keduanya disini yang penulis maksudkan sebagai bentuk “system
akumulasi ekonomi capital” dalam pendidikan, dan seperti inilah yang
berlaku pada umum dan khususnya pendidikan di Indonesia, dengan mengasumsikan
bahwa biaya investasi yang dikeluarkan oleh siswa atau orang tua/wali,
bagaimana biaya yang diinvestasikan relatif tetap kecil tetapi memiliki hasil
dan keuntungan yang besar−(baik keuntungan pekerjaan, keterampilan lain, dan
derajat), demikian pula pada lembaga pendidikan atau satuan pendidikan,
bagaimana pengelolaan pembiayaan pendidikan yang sumbernya dari pemerintah,
donator lain, masyarakat dan terutama dari siswa atau orang tua/wali dapat
ditekan pengeluaran tetapi menghasilkan out put siswa yang berkualitas.
Biaya
pendidikan sebagai unsur terpenting dalam manajemen keuangan sekolah.
Pemanfaatan sumber-sumber keuangan dengan hasil (out put) dapat pula
dilakukan dengan cara menganalisis biaya satuan (unit cost) per siswa.
Biaya satuan persiswa adalah biaya rata-rata per siswa yang dihitung dari total
pengeluaran sekolah bagi seluruh siswa yang ada di sekolah (enrollment)
dalam kurun waktu tertentu. Di dalam menentukan biaya satuan terdapat dua
pendekatan, yaitu pendekatan makro dan mikro.[29] Dengan
mengetahui besarnya biaya satuan per siswa menurut jenjang dan jenis pendidikan
demikian pula pendekatan untuk menemukan biaya satuan maka hal ini sangat
berguna dalam menilai berbagai alternatif dan bentuk-bentuk kebijakan dan
manajemen sebagai upaya peningkatan kualitas mutu pendidikan.
b.
Analisis
Manfaat Pendidikan (Educational benefit analysis)
Keuntungan
pendidikan tidak selalu dapat diukur dengan standar nilai ekonomi atau uang.
Hal ini disebabkan manfaat pendidikan, disamping memiliki nilai ekonomi, juga
memiliki nilai sosial. Dalam pengukuran dampak pendidikan terhadap keuntungan
ekonomi atau pendapat seseorang dari produktivitas yang dimilikinya, memerlukan
asumsi-asumsi. Asumsi-asumsi bahwa produktivitas seseorang dapat dianggap
merupakan fungsi dari keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari pendidikan.
Ukuran hasil pendidikan kita gabungkan dengan data biaya pendidikan dapat
menjadi efisiensi eksternal. Ada empat kategori yang dapat dijadikan kategori
dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan, yaitu: (a), Dapat tidaknya
seorang lulusan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. (b), Dapat tidaknya
memperoleh pekerjaan, (c), Besarnya penghasilan (gaji) yang diterima. (d), Sikap
prilaku dalam konteks social, budaya dan politik. Untuk mengukur keuntungan
pendidikan menurut nilai ekonomi (penghasilan) yang dibandingkan dengan biaya
cost. Keuntungan tersebut dapat diukur dengan menggunakan pola penghasilan
seumur hidup. Untuk memperoleh penghasilan seumur hidup dilakukan dengan dua
cara yaitu: Pertama, Cross sectional, dengan jalan mengukur
penghasilan dalam waktu yang bersamaan kepada sejumlah orang yang bervariasi
umumnya, kemudian dicari rata-rata penghasilan dari orang-orang yang usianya
sama. Kedua, Longitudinal, dengan jalan mengikuti sejumlah orang
yang seusia dan penghasilannya dan diukur pada kedua tingkat usianya.[30]
Mengukur
manfaat pendidikan melalui pola penghasilan seumur hidup, dapat melalui
perhitungan dengan melihat jumlah biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh
seseorang yang jenjang waktu tempuh pendidikannya yang berbeda-beda dengan
penghasilannya yang relatif masih rendah ketika masih muda atau diawal bekerja
setelah sekolah, kemudian mengalami peningkatan pada masa selanjutnya, dan
menurun pada usia lanjut. Namun disini penting dipahami pula bahwa pengukuran
ini relative karena disebabkan oleh bentuk dan jenis pekerjaan yang
dilakukan dan status pekerjaannya. Akumulasi dari hasil perhitungan itu
dipengaruhi pula oleh keterampilan lainnya dan bisa jadi memiliki pekerjaan dan
penghasilan tambahan diluar pekerjaan utamanya.
Hal
ini menurut E. Mulyasa, bahwa dalam analisis keuntungan biaya, dapat ditemukan
masalah-masalah rationing capital (rasionalisasi modal, pilihan suatu
discount rate, (angka rabat), resiko dan ketidakpastian, distribusi income,
serta ex post ex ante information. Dalam hal ini diasumsikan bahwa tidak ada
kesulitan-kesulitan, masalah-masalah dalam pengukuran biaya dan keuntungan
tersebut perlu dianalisis sedemikian rupa agar hasilnya sesuai dengan yang
diharapkan. Beberapa masalah umum yang ditemukan dalam pengukuran biaya dan
keuntungan, pada umumnya berkaitan dengan aspek-aspek biaya-biaya eksternal,
efek-efek sekunder dan perhitungan yang berlebihan, efek-efek lapangan kerja
(employment effects), serta masalah-masalah lainnya (seperti
ketidaksinambungan, interdependensi, indivisibilitas).[31]
Tujuan
dari analisis biaya adalah untuk memberikan kemudahan, memberikan infomasi
kepada para pengambil keputusan untuk menentukan langkah/cara dalam pembuatan
kebijakan sekolah guna mencapai efektifitas dan efisiensi pengelolaan dana
pendidikan serta peningkatan mutu pendidikan. Secara khusus analisis manfaat
pendidikan bagi pemerintah menjadi acuan untuk menetapkan anggaran pendidikan
dalam RAPBN, juga sebagai dasar untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Adapun bagi masyarakat, analisis manfaat biaya pendidikan ini berguna sebagai
dasar/pijakan dalam melakukan “investasi” di dunia pendidikan.[32]
Langkah
Efisiensi Pembiayaan Pendidikan
Menurut Nanang Fattah untuk mengetahui efisiensi biaya pendidikan
biasanya digunakan metode analisis keefektifan biaya. Efisiensi ini
dikelompokkan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan eksternal. Efisiensi internal
dapat dilakukan; Pertama, untuk mengetahui berapa lama seorang lulusan
menggunakan waktu belajar dapat dilakukan dengan metode mencari statistik kohor (kelompok belajar), untuk itu dapat
dihitung dengan cara jumlah waktu yang dihabiskan lulusan dalam satu kohor
dibagi dengan jumlah lulusan dalam kohor tersebut. Disini dapat dipahami bahwa
seseorang yang semakin besar rata-rata waktu belajarnya, waktunya semakin tidak
efisien. Kedua, dengan Input-outpu ratio, adalah perbandingan antara
murid yang lulus dengan murid yang masuk dengan memperhatikan waktu yang
seharusnya ditentukan untuk lulus. Artinya, disini dibandingkan antara tingkat
masukan dengan tingkat keluaran.[33]
Net Profil
RO1 =
Total Asset
|
Net Profit merupakan
keuntungan bersih dari suatu kegiatan usaha yang diperoleh dari pendapatan
kotor setelah dikurangi pajak dan biaya-biaya operasional. Sedangkan total
asset merupakan biaya investas keseluruhan yang dikorbankan untuk membiayai
suatu kegiata. Apabila RO1 rata-rata sepanjang masa kegiatan atau proyek
diperoleh lebih rendah dari tingkat balik yang dibutuhkan berarti investasi
tersebut tidak layak. RO1 lebih rendah dari rate of return akan
tercermin dari hasil bersih saat ini atau net present value (NPV) yang
negative atau internal rate of return
(IRR).[34]
Sebagai suatu investasi produktif, pembangunan pendidikan harus
diperhitungkan dua konsep penting, yaitu biaya (cost) dan manfaat (benefit)
pendidikan. Berkaitan dengan biaya pendidikan itu sendiri terdapat empat agenda
kebijaksanaan yang perlu mendapat perhatian serius, yaitu (1) besarnya anggaran
pendidikan yang dialokasikan (revenue), (2) aspek keadilan dalam alokasi
anggaran, (3) aspek efesiensi dalam dalam pendayagunaan anggaran, serta (4)
anggaran pendidikan dan desentralisasi pengelolaan. Efisiensi pendayagunaan
anggaran pendidikan; walaupun biaya pendidikan bukan satu-satunya factor yang
menentukan berhasilnya pengembangan kualitas SDM, besarnya anggaran pendidikan
pasti bermanfaat untuk mempercepat upaya peningkatan mutu pendidikan jika
didayagunakan secara efisien. Agenda pembiayaan pendidikan berkaitan erat
dengan dua konsep efisiensi tekhnis, yaitu (1) efisiensi internal, penggunaan
dana yang efektif atas dasar komposisi item-item pengeluaran yang paling tepat
(misalnya ketenagaan, sarana-prasarana, biaya operasional, pengelolaan, untuk
mencapai produktifitas yang paling tinggi; dan (2) efisiensi eksternal, yaitu
penggunaan anggaran menurut komposisi jenis atau jenjang pendidikan (dasar,
menengah, tinggi, pendidikan umum vs kejuruan, pendidikan akademis dan
profesional yang paling memberikan dampak positif terhadap kehidupan social,
ekonomi masyarakat.[35]
Berangkat dari efisiensi internal dan eksternal tersebut maka penulis
dapat menguraikan pandangan efisiensi penggunaan yaitu:
a.
Efisiensi
Internal:
1)
Pengelolaan
biaya pendidikan didasarkan pada aspek riil dengan melibatkan unsur-unsur yang
terkait dalam pengelolaan pendidikan (kepala sekolah/pimpinan, pegawai, guru
dan masyarakat serta pemerintah.
2)
Penggunaan
biaya operasional perlu tetap mengacu pada program perencanaan sesuai target
yang tertuang dalam RAPBS di satuan pendidikan hingga universitas.
3)
Penggunaan
biaya pendidikan disesuaikan dalam bentuk skala prioritas.
4)
Pentingnya
manajemen administrasi yang baik serta instrument pendukung yang lengkap dan
memadai.
5)
Pembuatan
laporan pertanggungjawaban dengan melibatkan unsur terkait sebagai hasil penggunaan
biaya operasional, sarana-prasarana, biaya ketenagaan untuk mengukur
keefektifan penggunaan biaya.
6)
Dalam
pengelolaan pembiayaan pendidikan diperlukan orang-orang yang memiliki keahlian
dibidangnya dan terbukti kualitas maupun dedikasinya.
b.
Efisiensi
Eksternal
1)
Efisiensi
pembiayaan pendidikan disini diperlukan penggunaan biaya dalam skala kebutuhan
pada satuan dan jenis pendidikan yang memberikan keuntungan lebih dalam
kehidupan social masyarakat seperti pengadaan labolatorium keahlian, pusat olah
raga dan kesehatan, koperasi lembaga pendidikan dan lain-lain. Langkah
efisiennya adalah penggunaan dengan standar kebutuhan dengan melihat kondisi
profit yang besar pada aspek wilayah tertentu dilingkungan masyarakat sekitar
lembaga pendidikan.
Dari
aspek pembiayaan pendidikan dengan analisis cost dan benefit maka
dapat ditelaah beberapa implikasi sekaligus pengaruh yang mendasari kebijakan
pembiayaan pendidikan yaitu: Pertama, Adanya pembiayaan pendidikan yang
dikeluarkan oleh siswa atau orang tua/wali siswa adalah investasi dan
hubungannnya dengan kebijakan pemerintah dapat dipandang sebagai bentuk
mahalnya pendidikan. Kedua, Tantangan pemerintah dalam pembiayaan
pendidikan kedepan adalah pentingnya memberikan pelayanan yang betul-betul memadai
dan memenuhi tuntutan masyarakat akan pendidikan yang berkualitas, bermutu dan
mudah dijangkau terutama kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah
(pendidikah murah), maka untuk mewujudkannya adalah sinergi yang kuat dan
positif antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua siswa. Ketiga, Upaya
efisiensi dan ketidakefisiensian dalam pembiayaan pendidikan dipengaruhi
keadaan lingkungan meliputi kondisi geografis, sarana transportasi, komunikasi
dan kordinasi antar pengelolah pendidikan, pemerintah dan orang tua/wali siswa
(masyarakat). Demikian pula kemampuan ekonomi dan tingkat penggunaan
tekhnologi. Keempat, Secara umum antara kontribusi pendidikan dengan
peningkatan produktifitas dan pendapatan, hal ini akan sulit ditentukan karena
peranan pendidikan itu sendiri dengan keuntungan sangat dipengaruhi oleh
pertumbuhan ekonomi dari waktu kewaktu. Kelima, Obyek pendidikan
yang akan ditempuh siswa dominannya yang menjadi pilihan banyak orang, apalagi
jika hal tersebut sangat bergensi dan populer dikalangan masyarakat demikian
pula ketika ouput put yang dihasilkannya itu tentu mudah terserap dalam dunia
kerja. Ini berarti hasil dari proses pendidikan memiliki peranan yang sangat
diperhitungkan sehingga profit pun semakin besar. Keenam, dalam
pembiayaan pendidikan, jika pilihan pada minimum kisaran biaya pendidikan akan
sangat berpengaruh terhadap kualitas yang ditawarkan demikian pula profit
yang dihasilkan. begitu pula jika pilihan pada tingginya kisaran biaya
pendidikan akan sangat berpengaruh pada kualitas yang diberikan pun semakin
baik. Ketujuh, system
pendidikan yang efisien tidak dapat menghasilkan out put pendidikan sesuai yang
diharapkan dengan cost pendidikan yang minimum. Tinjauan pendidikan berbasis cost benefit analisis pada
lembaga pendidikan Islam.
Inti
dari Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
Rencana Strategi (Renstra) pendidikan nasional sebagai bentuk kebijakan adalah
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat
untuk mendapatkan pendidikan baik dari tingkat rendah hingga pendidikan tinggi.
Hal ini disisi lain tentunya bertujuan demi peningkatan kesejahteraan dan
ekonomi masyakarat melalui pendidikan.
Dalam
pendidikan Islam dipahami bahwa hakikat dari pendidikan adalah memanusiakan
manusia. Pendidikan Islam adalah kegiatan atau usaha sadar yang sistematis
serta berkelanjutan dalam rangka mengembangkan potensi yang dimiliki seseorang
sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Lembaga pendidikan dalam islam pada
prinsipnya hampir sama dengan lembaga pendidikan pada umumnya, selain lembaga
non formal pondok pesantren ada lembaga formal pendidikan dasar (MI), menengah
(MTs) dan atas (MA) serta lembaga pendidikan tinggi yang kesemuanya dibawah
naungan kementerian agama. Tentu yang membedakan dengan lembaga pendidikan pada
umumnya adalah orientasi disamping tujuan dari pada lembaga pendidikan
tersebut, lembaga pendidikan Islam lebih bertujuan menanamkan nilai nilai moral
dan spiritualitas Islam sedangkan dalam pendidikan umum lebih bercorak pada
penguasaan ilmu pengetahuan dan memiliki spesialisasi dibidangnya yang siap
pakai dalam dunia kerja.
Pendidikan
pada perguruan tinggi (Universitas, Sekolah Tinggi, Akademi,dll) merupakan
langkah akhir dari status akademik pendidikan seseorang untuk mencapai tahap
pekerjaan yang diinginkan, baik pada perguruan tinggi Islam terlebih pada
perguruan tinggi umum. Disisi lain
tentunya diharapkan dapat memberikan output berkualitas yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan pada perguruan tinggi
dipandang sebagai basis dengan luaran individu yang siap pakai dan menjawab
kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang kian kompleks.
Manajemen
yang baik terutama dalam lembaga pendidikan Islam yang terkait dengan biaya
pendidikan tentu sangat urgen dengan mempertimbangkan antara asas cost
dan benefit ekonomisnya. Dengan demikian untuk mengoptimalkan peranannya
lembaga pendidikan melalui biaya pendidikan maka hal ini perlu dipahami:
Pertama, analisis cost benefit
dinilai bahkan lebih menyentuh dan banyak diterapkan pada evaluasi sumber
dan pemanfaatan biaya pada pendidikan tinggi tersebut. Hal ini dikarenakan
tidak semua orang yang ditujukan dan dapat masuk keperguruan tinggi, disisi
lain bukan berarti menafikan yang berada pada pendidikan dasar dan menengah akan
tetapi melalui pendekatan analisis cost benefit semua orang dapat
memahami (dalam pendidikan dasar) bahwa upaya pendidikan yang dilaluinya
dengan dukungan biaya pendidikan yang dikeluarkan waktunya masih sangat panjang
untuk mencapai keuntungan ekonomis yang diharapkan. Jadi dalam pendidikan dasar
dan menengah analisis cost benefit dinilai agak sulit untuk
diterapkan terkecuali jika hanya menghitung biayanya (cost) saja.
Apabila konsep analisis benefit banyak diterapkan maka tidak sedikit
lembaga pendidikan yang akan berhenti beroperasi sebab sulit menunjukkan nilai
ekonomisnya. Dalam lembaga pendidikan tinggi Islam dikembangkan tanpa
memperhatikan nilai ekonomis atau perguruan tinggi yang semisalnya membuka
program fakultas atau jurusan yang tidak memiliki kejelasan orientasinya hal
ini tentunya dapat membawa dampak kerugian bagi mahasiswa dan alumninya, sebab
nantinya juga tidak dapat terpakai dalam lapangan pekerjaan. Oleh karena itu
pengembangan dalam pendidikan tinggi Islam penting mempertimbangan asas benefit
(nilai) ekonomis dan mengurangi konsekuensi dari paradigma yang muncul
bahwa sulitnya terlihat nilai ekonomis karena masyarakat pada umumnya lebih
memperhatikan lembaga pendidikan yang memiliki nilai ekonomis dikemudian hari.
Hasan Langgulung[36]
mengemukakan bahwa salah satu aspek dari investmen ini juga adalah pendidikan
sebagai salah satu factor produksi.
Pendidikan
memang harus menjadi investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat
material maupun non materi. Manfaat non materi dari pendidikan adalah
diperolehnya kondisi kerja yang baik, kepuasan kerja, efisiensi, komsumsi,
kepuasan menikmati masa pension dan manfaat hidup yang lebih lama karena
peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat materi adalah manfaat ekonomis yaitu
berupa kecukupan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat
pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan dibawahnya.[37]
Kedua, disisi lain dari pentingnya nilai ekonomis pengembangan lembaga
pendidikan, beberapa pengembangan program yang telah lama ada dan dipertahankan
sehingga dipertimbangkan dengan dasar politik, budaya, serta tuntutan zaman.
Optimalisasi lembaga pendidikan Islam tidak serta merta hanya diukur dari segi benefit
ekonomis, hasil dari pendidikan terkait pengetahuan−ilmu dan nilai ekonomis
keduanya merupakan kebutuhan yang terpadu dalam kehidupan sehingga sangat
diperlukan.
Kesimpulan
dari uraian tersebut bahwa lembaga pendidikan Islam penting melakukan
pengembangan dengan mempertimbangkan pendekatan analisis cost dan analsis
benefit secara ekonomis yang berkelanjutan dengan tanpa mereduksi
nilai-nilai fundamental serta cita dan tujuan pendidikan Islam.
Simpulan
Dari uraian pembahasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
salah satu instrument terpenting dalam penyelenggaraan pendidikan adalah
pembiayaan, meski dikatakan biaya dalam pendidikan bukan suatu ukuran dalam
menghasilkan kualitas pendidikan namun urgensinya menunjang pelaksanaan
pendidikan sehingga proses suatu pendidikan dapat berjalan lancer. Dalam era
pendidikan masa kini pembiayaan pendidikan merupakan hal yang mutlak di
sediakan baik oleh pemerintah, masyarakat, hingga orang tua siswa.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dan
Peraturan Pemerintah No.48 tahun 2008 telah mengisyaratkan pentingnya
pembiayaan pendidikan ini sebagai landasan yuridisnya. Pembiayaan pendidikan
merupakan bagian dari manajemen dan aktivitas pendidikan yang terkait
penggunaan barang, perolehan biaya pendidikan, pengalokasian, penetapan biaya
pengeluaran untuk penggunaan dalam membiayai proses pendidikan yang secara
terperinci dan terprogram dan sekaligus merupakan tanggung bersama antar
stakeholder dan pengelolah pendidikan. Dalam pembiayaan pendidikan ini kendati
ditunjang oleh pemerintah dan masyarakat, namun jika ditinjau sejarah
pendidikan di Indonesia sejak era orde lama hingga pasca reformasi pendidikan
kian masih di anggap mahal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia,
pengalokasian anggarana pendidikan masih belum dapat memuaskan seluruh pihak,
meskipun dalam amanah Undang-undang telah dapat dipenuhi oleh pemerintah sejak
beberapa tahun terakhir sebagai bukti keseriusan pemerintah.
Problematika tersebut mempengaruhi pengelolaan pembiayaan pada
satuan-satuan pendidikan terutama di daerah-daerah, ketidakefisienan manajemen
pembiayaan ini menimbulkan kerancuan dan mutu pendidikan yang rendah sehingga
pembiayaan pendidikan yang asalnya dari berbagai sumber membawa pada paradigma
orang tua siswa (masyarakat) bahwa hanya pembiayaan yang diutamakan, sehingga
dalam hal pembiayaan sebagai sebuah investasi dalam pengelolaannya memerlukan
konsep yang lebih mengarahkan pembiayaan pendidikan.
Dalam konsep pembiayaan pendidikan ini ada dua hal penting yang
perlu dikaji yaitu, biaya pendidikan
secara keseluruhan (total cost) dan biaya satuan persiswa (unit cost).
Dalam perhitungannya perlu dibedakan yaitu biaya langsung (direct cost) dan
biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri dari
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksananaan pengajaran dan kegiatan
belajar siswa. Sedangkan biaya tidak langsung (indirect cost) berupa
keuntungan yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa
selama belajar.
Dalam teori human capital, proses pengetahuan dan
keterampilan dengan melalui pendidikan yang bukan merupakan suatu bentuk
konsumsi semata-mata, tetapi suatu investasi, investasi ini penting dianalisis
baik dari segi biaya maupun manfaatnya. Analisis biaya dan manfaat adalah sebuah
metodologi yang digunakan dalam melakukan analisis investasi pendidikan
sehingga dapat membantu para pemegang kebijakan dan orang tua siswa dalam
memahami proses pembiayaan pendidikan. Analisis biaya dan manfaat disini memiliki
implikasi dan pengaruh baik kemampuan pembiayaan siswa dan pemerintah,
kebijakan pemerintah itu sendiri dan tuntutan kebutuhan-kebutuhan pembiayaan
pendidikan lainnya. Oleh karenanya dalam memaksimalkan pelaksanaan dan
pengelolaan pembiayaan tersebut baik dalam bentuk analisis biaya hingga
manfaatnya, maka diperlukan beberapa telaah langkah efisiensi dengan tetap
mempertimbangkan hal-hal yang mempengaruhinya. Demikian pula halnya dalam
lembaga pendidikan Islam khususnya lembaga pendidikan tinggi penting melakukan
pengembangan dengan mempertimbangkan pendekatan analisis cost dan analsis
benefit secara ekonomis dengan tanpa kehilangan ruh dan tujuan utama
pendidikan Islam.
DAFTAR RUJUKAN
Abdul Wahid, dan Bushori Muchsin, Pendidikan Islam Kontemporer,
Bandung: Reflika Aditama, 2009.
Bastian, Indra, Akuntansi Pendidikan, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2006.
Fattah, Nanang, Pembiayaan Pendidikan: Landasan Teori dan Studi
Empiris, dalam Jurnal Pendidikan
Dasar, Nomor 9, April 2008.
______Nanang, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
Freira, Paulo, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan
Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, Yogyakarta:
Researc, Education and Dialogue kerjasama Pustaka Pelajar, 2002.
Harsono, Pengelolaan Biaya Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, 2007.
Hidayat, Ara, dan Machali, Imam, Pengelolaan Pendidikan, Konsep,
Prinsip dan Aplikasi dalam Mengelolah Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta:
Kaukaba, 2012.
Irianto,
Agus, Pendidikan Sebagai Investasi dalam Pembangunan Suatu Bangsa,
Jakarta: Kencana, 2011.
Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta:
Al-Husna Zikra, 2000.
Muliono, Konsep Penbiayaan Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2010.
Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan
Implementasi), Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pendanaan
Pendidikan, (dalam pdf), (dindangkan di Jakarta pada tanggal p8 Juli 2008),
Lembaran Negara Republik Indonesai Tahun 2008, nomor.91.
Rifai, Muhammad, Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta:
AR-RUZZ Media,2011.
Setyawati, Rahmah, Pembiayaan
Pendidikan (Jurnal Pendidikan Islam), Ikatan Mahasiswa Pascasarjana
Kerjasama Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI denga PPs Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 2 No. 1 Januari-April 2009.
Soenarya, Endang, Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan
Pendekatan Sistem, Yogyakarta: Adicita Karya Nusantara, 2000.
Suharno,
Manajemen Pendidikan (Sebuah Pengantar Bagi Para Calon Guru), Surakarta,
Lembaga Pengembagan Pendidikan UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan, 2008.
Supriyadi, Dedi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Susilo, Eko, dkk. Politik Pendidikan Nasional, edt.
Syahridlo dan Sutarman, Yogyakarta: Kopertais Wilayah III Daerah Istimewa
Yogyakarta UIN Sunan Kalijaga, 2011.
Suwiknyo, Dwi, Tarbiyah Finansial, Yogyakarta: Diva Press,
2009.
Tim
Penyusun Mahasiswa Pacasarjana Program Studi S-2 PGMI UIN Sunan Kalijaga, Edt.
Didik Supriyatno,dkk. dalam Bunga Rampai Pendidikan Islam (Analisis
Kebijakan Pendidikan Guru MI), Yogyakarta: kerjasama Taruna Media Pustaka
Surabaya, 2011.
Tim Redaksi, Standar
Nasional Pendidikan (SNP) PP No. 19 Tahun 2005 dilengkapi dengan UU No. 20
Tahun 2003 dan Permendiknas No. 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran,
Bandung: Fokus Media, 2005.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, (dalam pdf), (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4301), diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003.
Undang-Undang
Negera Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen IV Tahun 2002.
Wahono,
Francis, Kapitalisme Pendidikan, Antara Kompetisi dan Keadilan, Yogyakarta:
Insist Press, Cindelaras kerjasama Pustaka Pelajar, 2001.
[1]Rahmah Setyawati, Pembiayaan
Pendidikan, Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Kerjasama Dirjen Pendidikan Islam
Departemen Agama RI dengan PPs Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, “Jurnal Pendidikan Islam”, 2 (1) Januari-April 2009: 174
[2] Hasan
Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000),
hlm. 432.
[3]Nanang
Fattah, Pembiayaan Pendidikan: Landasan Teori dan Studi Empiris, Jurnal “Pendidikan Dasar”, Nomor 9,
April 2008:2
[4]Dedi Supriyadi,
Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004), hlm. v.
[5] Indra Bastian,
Akuntansi Pendidikan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 160.
[6] Dedi
Supriyadi,Satuan.,hlm.3-4.
[7]Nanang Fattah.
Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009),
Hlm.112.
[8] Ara Hidayat
dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan, Konsep, Prinsip dan Aplikasi dalam
Mengelolah Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), hlm. 153.
[9] Harsono, Pengelolaan
Biaya Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,2007), hlm. 9.
[10]Negara mempriotitaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnnya 20% persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran
pendidikan nasional. Undang-Undang Negera Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen IV
Tahun 2002.
[11]Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) dan sektor pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD). Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, (dalam pdf), (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4301), diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003, hlm.23.
[12]Pendanaan
Pendidikan ditanggung bersama, antara pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pendanaan
Pendidikan, (dalam pdf), (dindangkan di Jakarta pada tanggal p8 Juli 2008),
Lembaran Negara Republik Indonesai Tahun 2008, nomor.91. hlm. 1.
[13]Mohammad
Abduhzen, dalam website, http://suryowati.guru-indonesia.net/artikel_detail-30199.html, Diakses,
[5 Februari 2012].
[14] Muhammad
Rifai, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: AR-RUZZ Media,
2011), hlm. 101.
[15] Eko Susilo,
dkk. Politik Pendidikan Nasional, edt. Syahridlo dan Sutarman, (Yogyakarta,
Kopertais Wilayah III Daerah Istimewa Yogyakarta UIN Sunan Kalijaga,2011),
hlm.65.
[16] Paulo Freira, Politik
Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro
dan Fuad Arif Fudiyartanto, (Yogyakarta: Researc, Education and Dialogue
kerjasama Pustaka Pelajar, 2002), hlm. x.
[17] Harsono, Pengelolaan.,
hlm. 37.
[18] Dedi
Supriyadi, Satuan., hlm. 26.
[19] Suharno, Manajemen
Pendidikan (Sebuah Pengantar Bagi Para Calon Guru), (Surakarta, Lembaga
Pengembagan Pendidikan UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan, 2008), hlm. 66.
[21]Francis
Wahono, Kapitalisme Pendidikan, Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta:
Insist Press, Cindelaras kerjasama Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 41-42.
[22]Nanang
Fattah. Ekonomi., hlm. 23.
[23] Nanang Fattah.
Ekonomi., Ibid, hlm. 24.
[25] Perbedaannya
disini adalah, Investasi merupakan kegiatan usaha yang mengandung resiko karena
berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Jadi, perolehan kembaliannya (retun)
tidak pasti dan tidak tetap. Sedangkan membungakan uang merupakan kegiatan
usaha yang kurang mengandung resiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga
yang relative pasti dan tetap. Dwi Suwiknyo, Tarbiyah Finansial, (Yogyakarta:
Diva Press, 2009), hlm. 339.
[26] Muliono, Konsep.,
hlm. 28
[27] Endang
Soenarya, Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem,
(Yogyakarta: Adicita Karya Nusantara, 2000), hlm. 79.
[28] Lihat Nanang
Fattah. Ekonomi., hlm. 25.
[29] Pendekatan
makro berdasarkan perhitungan pada keseluruhan jumlah pengeluaran
pendidikan yang diterima dari berbagai sumber dana kemudian dibagi jumlah
murid. Pendekatan mikro berdasarkan perhitungan biaya berdasarkan
alokasi pengeluaran per komponen pendidikan yang digunakan oleh murid. Lihat Nanang
Fattah. Ekonomi., Ibid, hlm. 26.,
Pendekatan makro disini adalah mengenai perhitungan biaya satuan dalam satuan
pendidikan terkait pengalokasian anggaran pendidikan ditiap negara. Pada
pendekatan mikro menganalisis biaya pendidikan berdasarkan biaya satuan
pendidikan (unit cost) menurut jenis dan tingkat pendidikan.
[30] Nanang Fattah.
Ekonomi., Ibid, hlm. 28.
[31]E.
Mulyasa. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi), (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 170.
[32] Agus Irianto, Pendidikan
Sebagai Investasi dalam Pembangunan Suatu Bangsa, (Jakarta: Kencana, 2011),
hlm. 163.
[33] Nanang Fattah.
Ekonomi., hlm. 36-37.
[34] Nanang Fattah.
Ekonomi., Ibid, hlm. 39-40
[35] Tim
Penyusun Mahasiswa Pacasarjana Program Studi S-2 PGMI UIN Sunan Kalijaga, Edt.
Didik Supriyatno,dkk. dalam Bunga Rampai Pendidikan Islam (Analisis
Kebijakan Pendidikan Guru MI), (Yogyakarta: kerjasama Taruna Media Pustaka
Surabaya, 2011), hlm. 29.
[36] Hasan
Langgulung, Asas-Asas., hlm. 154.
[37] Bushori
Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, (Bandung: Reflika
Aditama, 2009), hlm. 49-50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar