Sabtu, 14 September 2013

ANALISIS COST DAN BENEFIT (Tinjauan Strategi dan Efisiensi dalam Pendidikan)

ANALISIS COST DAN BENEFIT
(Tinjauan Strategi dan Efisiensi dalam Pendidikan)
Oleh: Achmad Darwiz


Abstrak
Dalam pendidikan, pembiayaan (anggaran) pendidikan sangat penting dan dibutuhkan karena memberikan kemudahan dalam pengelolaan pendidikan. Pembiayaan pendidikan baik yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat serta orang tua peserta didik perlu evaluasi dan perhitungan guna mengefisienkan pengelolaannya sehingga keuntungan dari pendidikan tersebut dapat maksimal. Mengevaluasi sumber pembiayaan pendidikan dilakukan dengan cara analisis cost dan benefit (biaya dan manfaat). Analisis cost dan benefit ini digunakan untuk menganalisis investasi pendidikan, hal ini dimaksudkan memberikan informasi dan keputusan terhadap berbagai pilihan alokasi sumber biaya pendidikan yang terbatas tetapi diharapkan memberikan keuntungan maksimal, keuntungan ini dapat berupa keuntungan nilai ekonomi (financial), keterampilan, pengalaman, kesempatan kerja serta keuntungan dalam sosial masyarakat.
Kata Kunci: Analisis Cost-benefit, Efisiensi, Pendidikan

Pendahuluan
Guna meningkatkan kwalitas sumber daya manusia Indonesia, pendidikan dianggap sebagai strategi pencapaian baik dalam hal keilmuan maupun manfaat secara ekonomis maka dituntut upaya perencanaan, manajemen, strategi serta aplikasi dalam pengelolaan pendidikan secara matang. Oleh karena itu pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat baik dalam penyediaan sarana prasarana, tenaga pengajar, fasilitas pembelajaran maupun dari segi pembiyaaan guna pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Biaya pendidikan sebagai factor utama yang turut menunjang proses pendidikan dengan demikian untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, salah satunya aspek yang harus terpenuhi adalah persoalan anggaran atau pembiayaan pendidikan tersebut, hal ini perlu dukungan dana yang cukup memadai sehingga pendidikan dapat mencapai tujuan sesuai dengan harapan. Rahmah Setyawati mengutip al-Zarnuji mengatakan dalam kitabnya “ta’lim al-muta’allim” tidak akan diperoleh suatu ilmu kecuali dengan enam syarat, salah satu diantaranya adalah “biaya”.[1] Pembiayaan pendidikan sebagai salah satu faktor pelengkap sangat memberikan peranan besar dalam pengelolaan pendidikan baik di Indonesia sebagai negara berkembang maupun negara-negara maju lainnya sehingga pendidikan dapat memberikan nilai ekonomis serta membentuk modal bagi manusia tersebut. Hasan Laggulung[2] memberikan pandangan bahwa peranan ekonomi dalam meningkatkan pencapaian dalam pendidikan dan selanjutnya pengaruh pendidikan dalam perkembangan ekonomi suatu negara, terutama dalam pembentukan modal manusia (human capital).
Pembiayaan pendidikan adalah komponen terpenting dalam penyelenggaraan pendidikan, menyiapkan sumber daya manusia, masyarakat dengan pemerintah memiliki peran yang sangat mendasar dalam membiayai pendidikan sehingga tujuan pendidikan yang diharapkan dapat maksimal. Biaya pendidikan merupakan pengeluaran untuk pendidikan yang memang tidak dapat dihindarkan hal ini untuk mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas sehingga bangsa Indonesia dapat mempunyai level yang sama dengan negara-negara maju atau setidaknya sejajar dengan negara-negara berkembang lainnya dalam kualitas pendidikannya. Investasi pendidikan yang dilakukan membutuhkan pembiayaan yang memang perlu mencukupi hingga final dalam pendidikan.
Segala sesuatu dalam kegiatan manusia selalu menginginkan keuntungan dan berupaya meminimalkan bentuk kerugian, hal ini seiring dengan prinsip dalam ajaran Islam bahwa kegiatan dalam bentuk apapun yang bersifat mubazir sudah pasti harus dihindari, demikian halnya dalam pendidikan sangat penting untuk dioptimalkan sebab pembiayaan sebagai suatu strategi untuk mendapatkan keuntungan dan nilai lebih, umumnya menjadi syarat mutlak dan prioritas yang utama. Dalam pembiayaan pendidikan bagi orang tua dan siswa menjadi kewenangan tersendiri untuk memilih satuan pendidikan mana yang menjadi sebuah pilihan pendidikan yang akan memberikan profit terutama dalam realitas sosial, namun mayoritas dalam pendidikan terutama masyarakat yang mempunyai ekonomi menengah kebawah dominannya pengurangan biaya tetapi besar tingkat yang dihasilkannya. Demikian pula pengambil kebijakan dan dalam satuan pendidikan bagaimana pengurangan biaya tetapi lebih mengarah peningkatan efisiensi.
Untuk mengetahui tingkat efisiensinya pembiayaan dalam pendidikan maka digunakan analisis cost dan benefit (analisis biaya dan manfaat). Analisis cost dan benefit ini pada dasarnya untuk mengevaluasi penggunaan sumber ekonomi dalam pembangunan yang banyak diprogramkan oleh pemerintah. Banyaknya proyek yang harus dilaksanakan membutuhkan kejelian untuk dilaksanakan sedangkan dari segi ketersediaan pembiayaan sangat terbatas. Maka melalui analisis ini pemerintah dapat mengefisienkan program-programnya sesuai kriteria dan menjamin sumber-sumber ekonomi secara efisien. Dalam bidang pendidikan analisis cost dan benefit digunakan dalam mengevaluasi penggunaan sumber pembiayaan dalam pendidikan, hal ini dimaksudkan agar sumber pembiayaan tersebut dapat digunakan secara efisien serta dapat memberikan keuntungan yang maksimal.
Nanang Fattah mengemukakan bahwa analisis cost penting dipelajari bagi perencana pendidikan hal ini disebabkan semakin tingginya tekanan dari pengambil kebijakan dalam hal pengurangan biaya dan peningkatan efisiensi.[3] Sedangkan Dedi Supriadi menjelaskan, pentingnya pembahasan ini adalah tingginya peranan keluarga dalam pembiayaan pendidikan, bahkan bila dihitung dari biaya total per siswa, sumbangan keluarga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan subsidi pemerintah[4]. Alasan lain pentingnya pembahasan tema ini adalah tentunya memberikan informasi terkait pembiayaan dalam pendidikan dengan manfaatnya. Hal ini menyebabkan besarnya tingkat pembiayaan pendidikan yang dikeluarkan terkadang tidak terukur dengan manfaat.
Berangkat dari latarbelakang tersebut  maka berikut ini penulis mengemukakan beberapa rumusan permasalahan yang perlu dieksplorasi yaitu (1) ) Bagaimana definisi pembiayaan pendidikan?, (2) Bagaimana landasan yuridis pembiayaan pendidikan?, (3) Bagaimana Potret problematika pembiayaan dan pendidikan di Indonesia, (4), Bagaimana analisis cost dan benefit dalam pendidikan?, (5 Bagaimana langkah efisiensi pembiayaan pendidikan?), (6) Bagaimana tinjauan pendidikan berbasis cost benefit analisis pada lembaga pendidikan Islam?, Penulisan makalah ini tentunya diharapkan dapat memberi informasi kepada unsur-unsur yang terlibat dalam pendidikan sehingga peranannya terhadap peningkatan mutu pendidikan dapat dimaksimalkan melalui analisis pemanfaatan biaya yang dikelolah.

Definisi Pembiayaan Pendidikan
Ditinjau dari sudut human capital (Sumber Daya Manusia sebagai unsur modal), pendidikan diperhitungkan sebagai factor penentu keberhasilan seseorang, baik secara sosial maupun ekonomi. Nilai pendidikan merupakan asset moral, dimana pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam pendidikan dianggap sebagian investasi. Untuk memperoleh hal tersebut secara maksimal tentunya harus ditunjang oleh biaya pendidikan. Pengertian biaya pendidikan adalah upaya pengumpulan dana untuk membiayai operasional dan pengembangan sektor pendidikan.[5] Beberapa para ahli juga memberikan definisi pembiayaan pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Dedi Supriadi bahwa biaya pendidikan adalah semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan dengan uang). Dalam pengertian ini iuran siswa, sarana fisik berupa buku sekolah, dan guru adalah masuk kategori biaya. Bagian-bagian biaya itu direncanakan, diperoleh, dialokasikan, dan dikelolah merupakan persoalan pembiayaan atau pendanaan pendidikan (educational finance).[6] Nanang Fattah menjelaskan bahwa biaya pendidikan diartikan sebagai jumlah uang yang dihasilkan dan dibelanjakan untuk berbagai keperluan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Hal ini mencakup gaji guru, peningkatan kemampuan professional guru, pengadaan sarana ruang belajar, perbaikan ruang belajar, pengadaan perabot/mobeler, pengadaan alat-alat pelajaran, pengadaan buku-buku pelajaran, alat tulis kantor (ATK), kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan pengelolaan pendidikan dan supervise pendidikan pembinaan pendidikan serta ketatausahaan sekolah.[7] Ara Hidayat dan Imam Machali[8] memberikan definisi pembiayaan atau pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyediakan anggaran pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Sedangkan menurut Harsono, biaya pendidikan adalah semua pengeluaran yang memiliki kaitan langsung dengan penyelenggaraan pendidikan.[9]
Dari beberapa definisi tersebut di atas maka disimpulkan bahwa pembiayaan pendidikan adalah bagian dari manajemen dalam pendidikan yang terkelolah secara terperinci dan terprogram terkait pemanfaatan barang, perolehan biaya pendidikan, pengalokasian, penetapan biaya pengeluaran untuk penggunaan dalam membiayai proses pendidikan dan sekaligus merupakan tanggung bersama antar stakeholder dan pengelolah pendidikan.
Pembiayaan pendidikan sebagai salah satu komponen terpenting untuk tercapai tujuan pendidikan dari aktivitas pendidikan, oleh karena itu dalam melakukan pembiayaan pendidikan tersebut perlu keterlibatan berbagai pihak sebagai mitra dalam melakukan pembiayaan, baik pemerintah−pemerintah daerah, masyarakat, dan orang tua peserta didik.

Landasan Yuridis Pembiayaan Pendidikan
Landasan yuridis pembiayaan pendidikan termuat dalam amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  pasal 31 Ayat 4[10] dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49 ayat (1), cukup menegaskan[11] 20% anggaran untuk pendidikan. Demikian pula pentingnya ditunjang oleh kerjasama pemerintah baik pusat hingga daerah dan masyarakat tentang pendanaan pendidikan tersebut hal ini termuat pada Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan pasal 2 ayat 1[12]. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut cukup mengamanahkan terkait alokasi pembiayaan pendidikan di tanah air sebagai bagian dari strategi peningkatan mutu pendidikan sebagai mana tujuan pendidikan nasional.

Potret Problematika Pembiayaan dan Pendidikan di Indonesia
1.     Problematika Makro: Dilema antara keinginan dan kemampuan pemerintah.
Muhammad Abduhzen mengutip Prof. Dr. Boediono, wakil Presiden RI dan yang (konon) juga pemimpin komite pendidikan, pada tulisannya, dalam Edukasi Kompas edisi 29 Agustus 2012 menyoal subtansi pendidikan yang hingga kini belum jelas konsepsinya. Namun, tulisan itu−biarpun mengakui pendidikan sebagai kunci pembangunan−secara keseluruhan mengesankan bahwa pembangunan ekonomi dan politik lebih utama. Usulan mengenai pendidikan umum dan pendidikan khusus guna membekali murid soft skill dan hard skill terasa simplistik. Kurang mendasar dibandingkan ide Boediono ketika jadi Menteri Keuangan. Saat itu ia menekankan ”revolusi pendidikan” dalam strategi pembangunan baru, dalam (Kompas, 23 Oktober 2003).[13]
Dari pandangan di atas dapat ditelaah bahwa salah satu penyebab kaburnya substansi pendidikan sehingga menjadi problem serius dalam pendidikan kita pada masa kini yang belum terselesaikan dengan tepat salah satunya adalah persoalan anggaran pendidikan.
Masalah anggaran pendidikan di Indonesia memang sangat kompleks. Di dalam sejarahnya, semenjak republik ini dipimpin oleh Presiden Soekarno, kemudian berturut-turut digantikan Presiden Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, belum pernah pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai[14]. Untuk mengukur keseriusan pemerintah dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia pada sektor pendidikan yang berkelanjutan, hal ini dapat dilihat dari segi anggaran pendidikan yang ditargetkan 20% dari APBN sesuai amanah Undang-Undang, bandingkan dengan Malaysia misalnya, yang sejak merdeka menyediakan anggaran pendidikan yang tak pernah kurang dari 20 persen APBN-nya. Pemerintah hanya mampu melakukannya sesuai dengan prinsip bertahap. Hal tersebut disisi lain bidang pembangunan menuntut anggaran pada sektor ekonomi, kesehatan, infrastruktur dan lain-lain.
Anggaran pendidikan ini baru dapat terpenuhi ketika mulai tahun 2009 silam dan telah menjadi catatan penting dalam APBN 2009 melalui kebijakan fiskal pemerintah, jika menelusuri sejarah pendidikan di Indonesia sebelum tahun 2009 potret kebijakan pembiayaan pendidikan sama sekali belum dapat memuaskan semua pihak, dan bahkan ironisnya masa pemerintahan orde baru pernah ditetapkan untuk pengalokasian anggaran pendidikan mencapai 25 % melalui Tap MPRS No.VI/MPRS/1966, namun beragam hal hingga tujuan itu belum terpenuhi. Memasuki pemerintahan era reformasi potret pembiayaan pendidikan  masih menunjukkan grafik yang naik turun, kendati kenaikannya tidak menunjukkan grafik yang belum memuaskan sesuai dengan tuntutan Undang-Undang. Pasca reformasi (era pemerintahan SB hingga sekarang) pembiayaan pendidikan telah mencapai target dari Undang-Undang dan menunjukkan bukti keseriusan pemerintah, meskipun APBN diatas seribu triliyun lebih namun pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen tidak hanya dibagikan pada Kemendikbud dan Kemenag, kementerian lain pun turut menikmati anggaran pendidikan tersebut.
Jika ditelaah mendalam sejarah dan kebijakan pembiayaan pendidikan di tanah air yang belum memenuhi harapan dan pemerataan pendidikan sehingga dinilai sebagai bentuk polemiknya pendidikan hal ini berdampak pada mutu dan sulitnya pendidikan bagi peserta didik terutama dikalangan berekonomi menengah kebawah yang melalui kebijakan disatuan pendidikan didaerah karena pembiayaan pendidikan.
Dengan diterapkannya otonomi daerah sekiranya dapat memberikan kemudahan dalam pendidikan terutama dalam hal pembiayaan. Hal ini mengindikasikan bahwa pola pikir pemerintah yang hendak memaksimalkan pendidikan untuk bangsa telah mengalami transisi untuk memajukan bangsa melalui pendidikan. Eko Susilo mengutip Hasbullah dalam Otonomi Pendidikan, mengemukakan bahwa lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah yaitu Undang-Undang No.22 dan No. 25 1999, kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No.32 dan 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang diikuti dengan peraturan perundang-undangan, mempunyai dampak yang besar bagi sistem manajemen pembiayaan pendidikan di Indonesia. Sumber anggaran pendidikan semakin menjadi kompleks, sistem pengalokasiannya juga berbagai jalur, bahkan sampai pada rincian pengelolaan, penggunaan dan pertanggungjawabannya.[15]
Otonomi daerah atau desentralisasi yang merupakan pelimpahan wewenang kepada daerah untuk mengurusi sistem pemerintahan dalam upaya kemajuan sesuai cita-cita masyarakat yang lebih baik, adil dan sejahtera. Dalam kaitan ini adanya otonomi membawa konsekwensi pembiayaan pendidikan, baik mengenai sumber pendanaan, sarana-prasarana dan kepegawaian.
2.     Problematika Mikro
Seperti pola pendidikan masa kini, tanpa biaya yang mencukupi maka pendidikan tidak dapat diraih dengan baik. Menurut Paulo Freira[16] system pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) dimana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi, anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditas ekonomi lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak.
Pendidikan gaya bank seperti ini adalah kecenderungan pada bentuk pendidikan ekonomi kapitalistis dimana anak didik sama dengan komoditas ekonomi. Pembiayaan pendidikan sebagai instrument penyelenggaraan pendidikan dan anak didik (orang tua peserta didik) sebagai salah satu sumber keuangan dalam pembiayaan pendidikan ini adalah fakta yang seolah-olah cenderung bahwa pendidikan yang ditempuh oleh peserta didik berimplikasi pada hasil yang menjanjikan dikemudian hari. Baik peserta didik yang menempuh pendidikan pada satuan pendidikan dasar, menengah, atas hingga universitas. Penyelenggaraan pendidikan yang memiliki prinsip, hakikat dan makna sosial mengalami pergeseran menjadi makna bisnis. Bisnis adalah bagian terbesar dari kapitalisme, dan konsep pendidikan masa kini adalah system kapital. Menurut Harsono, konsekwensi kapitalisme pendidikan bila ada pihak yang menyelenggarakan pendidikan berarti dia menanamkan modal dan berharap akan sejumlah keuntungan pada waktu yang akan datang.[17]
Dedi Supriadi menjelaskan bahwa biaya pendidikan ditingkat sekolah berasal dari tiga sumber, yaitu pemerintah (termasuk dalam hibah dan pinjaman luar negeri), keluarga siswa (baik disalurkan melalui sekolah maupun dibelanjakan sendiri), dan masyarakat (selain keluarga siswa).[18] Namun dari manapun sumber pembiayaan pendidikan yang dikelolah oleh satuan pendidikan akan tetap dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Setiap kebijakan pemerintah terkait pembiayaan pendidikan memunculkan polemik skala mikro (dalam hal ini satuan-satuan pendidikan). Kebijakan yang berimplikasi pada pendidikan−ekonomi kapital sehingga satuan-satuan pendidikan tidak dapat keluar dari lingkaran pengelolaan pendidikan yang berciri ekonomi kapital tersebut. Jadi masyarakat (peserta didik dan orang tua) tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti ritme kebijakan pasar, pemegang kebijakan pendidikan dengan mengeluarkan biaya pendidikan sebagai investasi untuk kelancaran proses pendidikan.
Pendidikan masa kini memiliki orientasi tiga arah dengan adanya pembiayaan pendidikan yaitu; Pertama, pendidikan yang ditunjang pembiayaannya oleh pasar, maka pasar akan menentukan warna pendidikan tersebut yang memiliki indikasi pada kapitalistis−liberal. Kedua, Pendidikan yang ditunjang pembiayaannya oleh penguasa (pemerintah/pemegang kebijakan pendidikan), maka penguasa pula yang akan mengarahkan dan memberikan warna pada pendidikan tersebut,−dalam bentuk untuk menunjang kepentingan penguasa/negara. Ketiga, Pendidikan yang pembiayaannya ditunjang oleh masyarakat−orang tua peserta, maka pendidikan ini menginginkan kecenderungan pada penciptaan manusia yang sebaik-baiknya atau dengan kata lain menghasilkan manusia yang memanusiakan manusia, memiliki nilai spiritual dan kecerdasan dan tidak mengesampingkan pencapaian financial dari hasil pendidikannya.
Hal tersebut diatas ditunjang pula oleh beberapa factor jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah, diantaranya, bahwa pemerintah dalam mengeluarkan anggaran pendidikan, antara satuan pendidikan swasta dan negeri terkadang pula pilih kasih dalam penganggaran pendidikan, dan disisi lain orang tua peserta didik juga masih bermurah hati mengeluarkan biaya untuk lembaga (satuan pendidikan) dimana anak didiknya menuntut pendidikan.
Beragam asumsi terkait peranan pemerintah dan masyarakat (orang tua siswa) dalam hal pembiayaan pendidikan yaitu;
Pertama, adanya kecenderungan yang mengarah pada aspek pengakuan yang berlebihan kepada pemerintah dibanding peranan orang tua dan masyarakat yang lebih besar peranannya dalam hal pembiyaan pendidikan. Padahal dalam perhitungan ini tak hanya pada pembiayaan yang secara financial atau dengan kata lain pembiayaan langsung (direct cost) yang dikeluarkan oleh orang tua siswa, akan tetapi lebih didalamnya termuat keputusan untuk mengorbankan kesempatan kerja dalam artian harga kesempatan (opportunity) yang hilang. Hal diatas mengindikasikan bahwa hanya pemerintahlah yang lebih berperan dalam hal pembiayaan. Namun demikian asumsi implisit tetap dalam skala normatifnya bahwa pemerintahlah yang lebih berperan besar.
Kedua, adanya kecenderungan monopolitis dalam pengelolaan pendidikan terkait pembiayaan semisal orang tua siswa yang telah mengeluarkan pembiayaan pendidikan baik dalam standar ketentuan (Dana Bantuan Opersional, dll), namun ketika siswa dihadapkan pada persoalan yang mengancam pada putus sekolah (mogok sekolah) dengan kata lain orang tua siswa tak mampu membiayai pendidikan maka seolah pemerintah menutup mata, tidak ingin tahu dan tidak dapat berbuat banyak.
Ketiga, ketidakjelasan administrasi pembiayaan yang dikelolah oleh pihak satuan pendidikan baik pemasukan maupun pengeluaran yang ditarik dari orang tua siswa (masyarakat) yang cukup besar, jika dibandingkan dengan biaya yang disubsidi pemerintah. Persoalan administrasi yang tidak terkolah dengan baik dalam hal pembiayaan pendidikan di sekolah seolah menutupi segala transparansi dan kemungkinan politisasi dalam pembiayaan. Pembiayaan yang tercatat dalam RAPBS menggambarkan sumber dana dari pemerintah dan iuran penting siswa yang pengeluarannya hanya pada biaya operasional rutin dan bagian-bagian pokok secara resmi dari tahun ke tahun. Hal ini seolah hanya menjerumuskan paradigma akan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam hal pembiayaan, jadi seberapa pun biaya pendidikan yang disumbangkan oleh orangtua atau masyarakat tetap tidak lebih penting artinya daripada subsidi biaya pendidikan dari pemerintah.
Keempat. Adanya anggapan pemerintah terhadap masyarakat itu perlu pendidikan dan perlu dididik untuk kepentingan nasional, regional, apalagi internasional. Hingga segala bentuk kebijakan termasuk pembiayaan dalam pendidikan dominannya diatur pemerintah atau masih berciri sentralisasi.
Kelima, menurut Suharno, kisah ekonomi orang tua peserta didik adalah sekaligus kisah kasih yang pedih. Kasih karena pendidikan adalah menyangkut masa depan dan harkat anaknya, pedih karena pendidikan yang sudah tidak murah itu ketika telah dilewati menghantar anak pada kesulitan mencari pekerjaan dan rendahnya upah/gaji yang ditawarkan.[19]
Problematika lain dari output pendidikan ini terkait sulitnya seseorang menemukan pekerjaan dan upah rendah banyak menunjukkan realita ditengah masyarakat merupakan implikasi dari pemahaman masyarakat yang masih dangkal akan makna dari sebuah pendidikan dan pembiayaan pendidikan yang seolah tidak terukur dengan baik, sehingga masih sulit mengoptimalkan peranannya.
Oleh karena itu dalam penyelenggaraan pendidikan, keuangan dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan-kegiatan proses belajar-mengajar di sekolah bersama dengan komponen-komponen lain. Dengan kata lain setiap kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan, baik itu disadari maupun yang tidak disadari. Komponen keuangan dan pembiayaan ini perlu dikelolah sebaik-baiknya, agar dana-dana yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan.[20]

Analisis Cost dan Benefit dalam Pendidikan
1.     Klasifikasi dan Konsep Biaya Pendidikan
Lembaga pendidikan adalah semua unsur yang menyelenggarakan adanya pendidikan; orang tua, penyelenggara lembaga termasuk guru, dan peserta didik. Dalam penyelenggaraan pendidikan, orang tua berperan dalam hal investasi financial dan non financial. Infestasi financial diwujudkan dalam bentuk iuran orang tua murid dalam berbagai macam bentuk. Investasi financial diwujudkan antara lain dalam pendidikan dan pekerjaan. Lembaga dalam kemampuannya menyelenggarakan kependidikan dapat diukur dari daya tampung sekolah/universitasnya dan dari kemampuan mengantarkan alumni mendapatkan tingkat gaji atau upah tertentu. akhirnya peran peserta didik dalam ikut menyelenggarakan kependidikan dapat diukur dari seberapa besar peserta didik dan orang tuanya harus menanggung pembebanan lembaga yang pada gilirannya dipergunakan untuk berbagai macam pos pembiayaan lembaga tersebut.[21]
Biaya dalam pendidikan meliputi dua klasifikasi, yaitu biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksananaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pengajaran, sarana, belajar, biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua, maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar.[22]
Anggaran pendidikan ini (disekolah) terbagi atas anggaran penerimaan (biaya masuk) dan anggaran pengeluaran (biaya keluar). Anggaran penerimaan atau biaya masuk adalah bentuk pendapatan yang masuk ke satuan pendidikan secara teratur diperoleh dari berbagai sumber penerimaan baik melalui orang tua siswa, donator dari komponen masyarakat maupun pemerintah sebagai penyalur utama. Anggaran pengeluaran (biaya keluar) adalah segala pembiayaan yang berkaitan dan dibelanjakan secara rutin (setiap tahun) atau biasanya termuat dalam RAPBS disatuan pendidikan untuk menunjang keperluan pelaksanaan dan proses pendidikan baik meliputi keperluan dalam pengajaran, administrasi sekolah, perbaikan sarana pendidikan, kesejahteraan guru dan pegawai dll.
Biaya pemasukan dan biaya pengeluaran disekolah sangat dipengaruhi oleh situasi dan keadaan sekolah−satuan pendidikan misalnya disebabkan setiap satuan pendidikan disetiap daerah memiliki variasi, karakteristik, dan kebutuhan yang berbeda-beda, demikian pula proporsi jumlah siswa, kemampuan orang tua serta perhatian masyarakat maupun kebijakan politik pemerintah dalam pembiayaan pendidikan pada masa kini.
Dalam konsep pembiayaan pendidikan khususnya pada pendidikan dasar ada dua hal penting yang perlu dikaji  atau dianalisis yaitu, biaya pendidikan secara keseluruhan (total cost) dan biaya satuan persiswa (unit cost).[23] Biaya keseluruhan ini meliputi biaya total yang ada pada satuan pendidikan yang memiliki sumber tetap yang pengeluarannya untuk penyelenggaraan pendidikan sesuai RAPBS disatuan pendidikan. Biaya satuan persiswa biaya yang dinvestasikan kesatuan pendidikan dan dikelolah untuk kepentingan siswa tersebut dalam mengikuti pendidikan.
Menurut Mulyono adapun dilihat dari sifat cara perhitungannya, biaya pendidikan dapat dibedakan menjadi dua kajian, yaitu biaya yang bersifat budgeting dan nonbugeting. Biaya nonbugeting meliputi biaya-biaya pendidikan yang dibelanjakan oleh murid atau orang tua siswa. Sedangkan biaya budgeting adalah biaya yang diperoleh dan dibelanjakan oleh sekolah sebagai satuan pendidikan. Biaya budgeting lembaga pendidikan meliputi tiga bidang, yaitu biaya rutin, biaya operasional, dan biaya investasi. Biaya rutin adalah biaya yang harus dikeluarkan dari tahun-ketahun, seperti gaji pegawai (guru dan non guru). Biaya operasional yaitu biaya untuk memelihara gedung, fasilitas, dan alat-alat pengajaran. Biaya investasi yaitu meliputi biaya pembelian dan pengembangan tanah, pembangunan gedung, rehab gedung serta biaya untuk pengeluaran lain yang tidak habis pakai.[24]
Investasi pada umumnya banyak orang yang memberikan perspektif sama dengan membungakan uang,[25] namun dalam konteks ini investasi−biaya investasi adalah biaya dari siswa (orang tua siswa) yang diperuntukkan untuk pembiayaan dalam rangka mengikuti proses pendidikan yang dikelolah oleh lembaga pendidikan untuk keperluan dan pengembangan sarana dan prasarana pendidikan.
2.     Cost Benefi Analisis (Analisis Biaya Manfaat)
Dalam teori human capital, proses pengetahuan dan keterampilan dengan melalui pendidikan yang bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, tetapi suatu investasi, ini membawa kecenderungan bahwa pendidikan merupakan suatu modal atau nilai modal manusia (human capital) oleh sejumlah populasi penduduk (bangsa) yang diukur dari kadar intelektual dan tenaga kerjanya. Hubungannya cost dan benefit, pendidikan dipandang sebagai salah satu bentuk investasi (human investment). Cost and Benefit (Biaya dan manfaat) sering dikonotasikan manfaat atau keuntungan terkait financial sebagai hasil dari infestasi pendidikan, dengan mengukur antara penghasilan dan jumlah (total) biaya yang dipergunakan dalam mendidikan. Nilai balik dari perencanaan pendidikan ini didasarkan pada pendekatan rate of retun (tingkat pengembalian).
Analisis biaya dan manfaat (cost benefit analisys) merupakan metodologi yang banyak digunakan dalam melakukan analisis investasi pendidikan. Metode ini dapat membantu para pengambil keputusan dalam menentukan pilihan diantara alternative alokasi sumber-sumber pendidikan yang terbatas, tetapi memberikan keuntungan yang tinggi.[26]
Menurut Endang Soenarya, pendekatan ini digunakan untuk memungkinkan mengadakannya perbandingan secara ekonomis antara investasi yang diberikan kepada sektor-sektor ekonomi lainnya. Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk menjamin bahwa alokasi sumber-sumber daya antara sektor-sektor ekonomi yang berbeda disesuaikan dengan manfaat yang diharapkan. Pendekatan ini mempunyai beberapa kesulitan yaitu tingkat maksimal keuntungan sosial yang diperoleh dari pendidikan di universitas atau jenis pendidikan lainnya pada saat ini dan yang akan datang tidak selalu sama. Proses pendidikan berlangsung dalam jangka panjang, bertujuan non profit, memiliki struktur system, dan system terkait yang berubah-ubah. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam penyesuaian aplikasi syarat-syarat yang bersifat kaku dalam suatu periode panjang yang bersifat dinamis.[27]
Para ahli pendidikan dapat menerima walaupun tidak keseluruhan prinsip rate of retun, bahwa investasi dalam pendidikan disusun berdasarkan suatu keuntungan, baik keuntungan yang diperoleh dalam masyarakat maupun keuntungan yang diperoleh seseorang, dalam bentuk peningkatan produktifitas yang tercermin dalam peningkatan  pendapatan.
Pentingnya analisis pembiayaan ini sebagai salah satu langkah pembenahan manajemen pendidikan guna penerapannya yang maksimal baik secara makro maupun mikro, dari pusat kebijakan pendidikan hingga satuan pendidikan untuk mencapai benefit yang secara maksimal.  
a.      Analisis Biaya Pendidikan (Analysis Cost of Education)
Konsep biaya pendidikan sifatnya lebih kompleks dari keuntungan, karena komponen biaya terdiri lembaga jenis dan sifatnya. Biaya pendidikan tidak hanya berbentuk uang atau rupiah, tetapi juga dalam bentuk biaya kesempatan (opportunity cost). Biaya kesempatan ini sering disebut “imcome forgone” yaitu potensi pendapatan bagi seorang siswa selama ia mengikuti pelajaran atau menyelesaikan studi. Biaya pendidikan akan terdiri dari biaya langsung dan biaya tidak langsung atau biaya kesempatan (opportunity cost), untuk mengukur biaya pendidikan dapat diketahui rumus bahwa Biaya Keseluruhan (C) terdiri dari biaya langsung (L), dan biaya tidak langsung (K) atau pendapatan lulusan.[28] Mengutip teori Nanang Fattah tersebut, maka penulis dapat menganalisisnya seperti:

C     = L    +   K
   (S1)        (S1)         (S1)

 


                                         
Keterangan:

  (S1)              

C       = Biaya Pendidikan


  (S1)              

            L          = Biaya langsung dibayarkan untuk melanjutkan pendidikan S1


  (S1)              

            K          = Jumlah rata-rata penghasilan tamatan SMA
                                                     
Sebagai contoh lulusan SMA yang tidak diterima untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi (S1), jika ia bekerja dan memperoleh penghasilan, penghasilannya Rp. 1.000.000 per bulan, dan jika ia melanjutkan pendidikan ke S1, besarnya pendapatan (upah, gaji) selama 4 tahun belajar di S1 harus diperhitungkan. Semisal penghasilannya Rp.1.000.000 perbulan x 4 tahun atau 48 bulan jadi totalnya adalah Rp.48.000.000., (C)=sebagai keseluruhan biaya baik langsung maupun tidak langsung, (L)=adalah biaya langsung ditambahkan dengan (K)=sebagai biaya tidak langsung (kesempatan yang hilang). Hal ini dapat disimpulkan bahwa jika seorang yang tidak bekerja karena melanjutkan pendidikan maka kesempatan itu hilang untuk mendapatkan uang (financial), demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu biaya yang dikeluarkan harus diperhitungkan.

Analisis seperti diatas merupakan analisis standar dan dapat berubah diluar dugaan. Hal ini disebabkan karna perhitungannya lulusan SMA bisa jadi tidak diterima pada universitas A, terapi diterima pada universitas B dengan karakter yang memiliki jumlah pembiayaan masuk yang berbeda, demikian pula jika bekerja penghasilannya (gaji) tidak menutup kemungkinan bisa dibawah atau diatas rata-rata (Ex. di atas Rp.1000.000/bulan). Jika ia melanjutkan studi ke universitas dengan program S1 juga tidak dapat ditebak kalau seseorang itu dapat menyelesaikannya dalam kurun waktu 4 tahun atau bahkan kurang dari itu.
Dari potret tersebut ada beberapa hal yang turut mempengaruhi, Pertama, adanya tingkat kemampuan pembiayaan untuk pendidikan dari diri siswa atau orang tua, Kedua, Kebijakan pembiayaan pendidikan yang ditawarkan oleh lembaga atau satuan pendidikan baik pada tingkat dasar, menengah, atas, hingga universitas terkadang mengalami perubahan dari waktu-kewaktu. Ketiga, tingkat dan prestasi pekerjaan yang diembang oleh seseorang ketika tidak belajar−menuntut pendidikan, terkadang mengalami pasang surut, baik kemajuan bidang pekerjaannya, berkembang tidaknya lembaga (industry, perusahaannya). Keempat, adanya target perhitungan untuk manfaat yang dapat diterima setelah menanamkan investasi melalui pendidikan atau dengan kata lain “kembali modal”. Namun yang perlu disadari oleh para siswa atau orang tua/wali, bahwa investasi yang ditanamkan pada lembaga pendidikan tidak memberikan jamiman pada lulusannya untuk sukses bekerja dan memiliki penghasilan sebagaimana mestinya (meskipun ada beberapa lembaga pendidikan yang masih tidak sadar diri dan mengumumkan janji).
Lembaga atau satuan pendidikan yang mengorganisir aspek pembiayaan disini adalah komponen pokok yang menerima biaya investasi siswa. Demikian pula bagi siswa atau orang tua/wali yang mengeluarkan biaya investasi dengan memiliki paradigma “kembali modal”, keduanya disini yang penulis maksudkan sebagai bentuk “system akumulasi ekonomi capital” dalam pendidikan, dan seperti inilah yang berlaku pada umum dan khususnya pendidikan di Indonesia, dengan mengasumsikan bahwa biaya investasi yang dikeluarkan oleh siswa atau orang tua/wali, bagaimana biaya yang diinvestasikan relatif tetap kecil tetapi memiliki hasil dan keuntungan yang besar−(baik keuntungan pekerjaan, keterampilan lain, dan derajat), demikian pula pada lembaga pendidikan atau satuan pendidikan, bagaimana pengelolaan pembiayaan pendidikan yang sumbernya dari pemerintah, donator lain, masyarakat dan terutama dari siswa atau orang tua/wali dapat ditekan pengeluaran tetapi menghasilkan out put siswa yang berkualitas.
Biaya pendidikan sebagai unsur terpenting dalam manajemen keuangan sekolah. Pemanfaatan sumber-sumber keuangan dengan hasil (out put) dapat pula dilakukan dengan cara menganalisis biaya satuan (unit cost) per siswa. Biaya satuan persiswa adalah biaya rata-rata per siswa yang dihitung dari total pengeluaran sekolah bagi seluruh siswa yang ada di sekolah (enrollment) dalam kurun waktu tertentu. Di dalam menentukan biaya satuan terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan makro dan mikro.[29] Dengan mengetahui besarnya biaya satuan per siswa menurut jenjang dan jenis pendidikan demikian pula pendekatan untuk menemukan biaya satuan maka hal ini sangat berguna dalam menilai berbagai alternatif dan bentuk-bentuk kebijakan dan manajemen sebagai upaya peningkatan kualitas mutu pendidikan.
b.     Analisis Manfaat Pendidikan (Educational benefit analysis)
Keuntungan pendidikan tidak selalu dapat diukur dengan standar nilai ekonomi atau uang. Hal ini disebabkan manfaat pendidikan, disamping memiliki nilai ekonomi, juga memiliki nilai sosial. Dalam pengukuran dampak pendidikan terhadap keuntungan ekonomi atau pendapat seseorang dari produktivitas yang dimilikinya, memerlukan asumsi-asumsi. Asumsi-asumsi bahwa produktivitas seseorang dapat dianggap merupakan fungsi dari keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari pendidikan. Ukuran hasil pendidikan kita gabungkan dengan data biaya pendidikan dapat menjadi efisiensi eksternal. Ada empat kategori yang dapat dijadikan kategori dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan, yaitu: (a), Dapat tidaknya seorang lulusan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. (b), Dapat tidaknya memperoleh pekerjaan, (c), Besarnya penghasilan (gaji) yang diterima. (d), Sikap prilaku dalam konteks social, budaya dan politik. Untuk mengukur keuntungan pendidikan menurut nilai ekonomi (penghasilan) yang dibandingkan dengan biaya cost. Keuntungan tersebut dapat diukur dengan menggunakan pola penghasilan seumur hidup. Untuk memperoleh penghasilan seumur hidup dilakukan dengan dua cara yaitu: Pertama, Cross sectional, dengan jalan mengukur penghasilan dalam waktu yang bersamaan kepada sejumlah orang yang bervariasi umumnya, kemudian dicari rata-rata penghasilan dari orang-orang yang usianya sama. Kedua, Longitudinal, dengan jalan mengikuti sejumlah orang yang seusia dan penghasilannya dan diukur pada kedua tingkat usianya.[30]
Mengukur manfaat pendidikan melalui pola penghasilan seumur hidup, dapat melalui perhitungan dengan melihat jumlah biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh seseorang yang jenjang waktu tempuh pendidikannya yang berbeda-beda dengan penghasilannya yang relatif masih rendah ketika masih muda atau diawal bekerja setelah sekolah, kemudian mengalami peningkatan pada masa selanjutnya, dan menurun pada usia lanjut. Namun disini penting dipahami pula bahwa pengukuran ini relative karena disebabkan oleh bentuk dan jenis pekerjaan yang dilakukan dan status pekerjaannya. Akumulasi dari hasil perhitungan itu dipengaruhi pula oleh keterampilan lainnya dan bisa jadi memiliki pekerjaan dan penghasilan tambahan diluar pekerjaan utamanya.
Hal ini menurut E. Mulyasa, bahwa dalam analisis keuntungan biaya, dapat ditemukan masalah-masalah rationing capital (rasionalisasi modal, pilihan suatu discount rate, (angka rabat), resiko dan ketidakpastian, distribusi income, serta ex post ex ante information. Dalam hal ini diasumsikan bahwa tidak ada kesulitan-kesulitan, masalah-masalah dalam pengukuran biaya dan keuntungan tersebut perlu dianalisis sedemikian rupa agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa masalah umum yang ditemukan dalam pengukuran biaya dan keuntungan, pada umumnya berkaitan dengan aspek-aspek biaya-biaya eksternal, efek-efek sekunder dan perhitungan yang berlebihan, efek-efek lapangan  kerja  (employment effects), serta masalah-masalah lainnya (seperti ketidaksinambungan, interdependensi, indivisibilitas).[31]
Tujuan dari analisis biaya adalah untuk memberikan kemudahan, memberikan infomasi kepada para pengambil keputusan untuk menentukan langkah/cara dalam pembuatan kebijakan sekolah guna mencapai efektifitas dan efisiensi pengelolaan dana pendidikan serta peningkatan mutu pendidikan. Secara khusus analisis manfaat pendidikan bagi pemerintah menjadi acuan untuk menetapkan anggaran pendidikan dalam RAPBN, juga sebagai dasar untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Adapun bagi masyarakat, analisis manfaat biaya pendidikan ini berguna sebagai dasar/pijakan dalam melakukan “investasi” di dunia pendidikan.[32]

Langkah Efisiensi Pembiayaan Pendidikan
Menurut Nanang Fattah untuk mengetahui efisiensi biaya pendidikan biasanya digunakan metode analisis keefektifan biaya. Efisiensi ini dikelompokkan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan eksternal. Efisiensi internal dapat dilakukan; Pertama, untuk mengetahui berapa lama seorang lulusan menggunakan waktu belajar dapat dilakukan dengan metode mencari statistik  kohor (kelompok belajar), untuk itu dapat dihitung dengan cara jumlah waktu yang dihabiskan lulusan dalam satu kohor dibagi dengan jumlah lulusan dalam kohor tersebut. Disini dapat dipahami bahwa seseorang yang semakin besar rata-rata waktu belajarnya, waktunya semakin tidak efisien. Kedua, dengan Input-outpu ratio, adalah perbandingan antara murid yang lulus dengan murid yang masuk dengan memperhatikan waktu yang seharusnya ditentukan untuk lulus. Artinya, disini dibandingkan antara tingkat masukan dengan tingkat keluaran.[33]

 Net Profil
RO1 =  ­­­­
Total Asset
Efisiensi eksternal, analisis tingkat balik dari suatu investasi (return of investmen) sangat berharga untuk menentukan suatu keputusan investasi. Untuk menentukan keputusan apakah suatu program pendidikan yang telah dibiayai itu memberikan tingkat balik dpat dihitung dengan menggunakan formula:

 



Net Profit merupakan keuntungan bersih dari suatu kegiatan usaha yang diperoleh dari pendapatan kotor setelah dikurangi pajak dan biaya-biaya operasional. Sedangkan total asset merupakan biaya investas keseluruhan yang dikorbankan untuk membiayai suatu kegiata. Apabila RO1 rata-rata sepanjang masa kegiatan atau proyek diperoleh lebih rendah dari tingkat balik yang dibutuhkan berarti investasi tersebut tidak layak. RO1 lebih rendah dari rate of return akan tercermin dari hasil bersih saat ini atau net present value (NPV) yang negative atau internal rate of return  (IRR).[34]
Sebagai suatu investasi produktif, pembangunan pendidikan harus diperhitungkan dua konsep penting, yaitu biaya (cost) dan manfaat (benefit) pendidikan. Berkaitan dengan biaya pendidikan itu sendiri terdapat empat agenda kebijaksanaan yang perlu mendapat perhatian serius, yaitu (1) besarnya anggaran pendidikan yang dialokasikan (revenue), (2) aspek keadilan dalam alokasi anggaran, (3) aspek efesiensi dalam dalam pendayagunaan anggaran, serta (4) anggaran pendidikan dan desentralisasi pengelolaan. Efisiensi pendayagunaan anggaran pendidikan; walaupun biaya pendidikan bukan satu-satunya factor yang menentukan berhasilnya pengembangan kualitas SDM, besarnya anggaran pendidikan pasti bermanfaat untuk mempercepat upaya peningkatan mutu pendidikan jika didayagunakan secara efisien. Agenda pembiayaan pendidikan berkaitan erat dengan dua konsep efisiensi tekhnis, yaitu (1) efisiensi internal, penggunaan dana yang efektif atas dasar komposisi item-item pengeluaran yang paling tepat (misalnya ketenagaan, sarana-prasarana, biaya operasional, pengelolaan, untuk mencapai produktifitas yang paling tinggi; dan (2) efisiensi eksternal, yaitu penggunaan anggaran menurut komposisi jenis atau jenjang pendidikan (dasar, menengah, tinggi, pendidikan umum vs kejuruan, pendidikan akademis dan profesional yang paling memberikan dampak positif terhadap kehidupan social, ekonomi masyarakat.[35]
Berangkat dari efisiensi internal dan eksternal tersebut maka penulis dapat menguraikan pandangan efisiensi penggunaan yaitu:
a.      Efisiensi Internal:
1)     Pengelolaan biaya pendidikan didasarkan pada aspek riil dengan melibatkan unsur-unsur yang terkait dalam pengelolaan pendidikan (kepala sekolah/pimpinan, pegawai, guru dan masyarakat serta pemerintah.
2)     Penggunaan biaya operasional perlu tetap mengacu pada program perencanaan sesuai target yang tertuang dalam RAPBS di satuan pendidikan hingga universitas.
3)     Penggunaan biaya pendidikan disesuaikan dalam bentuk skala prioritas.
4)     Pentingnya manajemen administrasi yang baik serta instrument pendukung yang lengkap dan memadai.
5)     Pembuatan laporan pertanggungjawaban dengan melibatkan unsur terkait sebagai hasil penggunaan biaya operasional, sarana-prasarana, biaya ketenagaan untuk mengukur keefektifan penggunaan biaya.
6)     Dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan diperlukan orang-orang yang memiliki keahlian dibidangnya dan terbukti kualitas maupun dedikasinya.
b.     Efisiensi Eksternal
1)     Efisiensi pembiayaan pendidikan disini diperlukan penggunaan biaya dalam skala kebutuhan pada satuan dan jenis pendidikan yang memberikan keuntungan lebih dalam kehidupan social masyarakat seperti pengadaan labolatorium keahlian, pusat olah raga dan kesehatan, koperasi lembaga pendidikan dan lain-lain. Langkah efisiennya adalah penggunaan dengan standar kebutuhan dengan melihat kondisi profit yang besar pada aspek wilayah tertentu dilingkungan masyarakat sekitar lembaga pendidikan.
Dari aspek pembiayaan pendidikan dengan analisis cost dan benefit maka dapat ditelaah beberapa implikasi sekaligus pengaruh yang mendasari kebijakan pembiayaan pendidikan yaitu: Pertama, Adanya pembiayaan pendidikan yang dikeluarkan oleh siswa atau orang tua/wali siswa adalah investasi dan hubungannnya dengan kebijakan pemerintah dapat dipandang sebagai bentuk mahalnya pendidikan. Kedua, Tantangan pemerintah dalam pembiayaan pendidikan kedepan adalah pentingnya memberikan pelayanan yang betul-betul memadai dan memenuhi tuntutan masyarakat akan pendidikan yang berkualitas, bermutu dan mudah dijangkau terutama kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah (pendidikah murah), maka untuk mewujudkannya adalah sinergi yang kuat dan positif antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua siswa. Ketiga, Upaya efisiensi dan ketidakefisiensian dalam pembiayaan pendidikan dipengaruhi keadaan lingkungan meliputi kondisi geografis, sarana transportasi, komunikasi dan kordinasi antar pengelolah pendidikan, pemerintah dan orang tua/wali siswa (masyarakat). Demikian pula kemampuan ekonomi dan tingkat penggunaan tekhnologi. Keempat, Secara umum antara kontribusi pendidikan dengan peningkatan produktifitas dan pendapatan, hal ini akan sulit ditentukan karena peranan pendidikan itu sendiri dengan keuntungan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dari waktu kewaktu. Kelima, Obyek pendidikan yang akan ditempuh siswa dominannya yang menjadi pilihan banyak orang, apalagi jika hal tersebut sangat bergensi dan populer dikalangan masyarakat demikian pula ketika ouput put yang dihasilkannya itu tentu mudah terserap dalam dunia kerja. Ini berarti hasil dari proses pendidikan memiliki peranan yang sangat diperhitungkan sehingga profit pun semakin besar. Keenam, dalam pembiayaan pendidikan, jika pilihan pada minimum kisaran biaya pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas yang ditawarkan demikian pula profit yang dihasilkan. begitu pula jika pilihan pada tingginya kisaran biaya pendidikan akan sangat berpengaruh pada kualitas yang diberikan pun semakin baik. Ketujuh, system pendidikan yang efisien tidak dapat menghasilkan out put pendidikan sesuai yang diharapkan dengan cost pendidikan yang minimum.                                                                                                                                                          Tinjauan pendidikan berbasis cost benefit analisis pada lembaga pendidikan Islam.
Inti dari Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Rencana Strategi (Renstra) pendidikan nasional sebagai bentuk kebijakan adalah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan baik dari tingkat rendah hingga pendidikan tinggi. Hal ini disisi lain tentunya bertujuan demi peningkatan kesejahteraan dan ekonomi masyakarat melalui pendidikan.
Dalam pendidikan Islam dipahami bahwa hakikat dari pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pendidikan Islam adalah kegiatan atau usaha sadar yang sistematis serta berkelanjutan dalam rangka mengembangkan potensi yang dimiliki seseorang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Lembaga pendidikan dalam islam pada prinsipnya hampir sama dengan lembaga pendidikan pada umumnya, selain lembaga non formal pondok pesantren ada lembaga formal pendidikan dasar (MI), menengah (MTs) dan atas (MA) serta lembaga pendidikan tinggi yang kesemuanya dibawah naungan kementerian agama. Tentu yang membedakan dengan lembaga pendidikan pada umumnya adalah orientasi disamping tujuan dari pada lembaga pendidikan tersebut, lembaga pendidikan Islam lebih bertujuan menanamkan nilai nilai moral dan spiritualitas Islam sedangkan dalam pendidikan umum lebih bercorak pada penguasaan ilmu pengetahuan dan memiliki spesialisasi dibidangnya yang siap pakai dalam dunia kerja.
Pendidikan pada perguruan tinggi (Universitas, Sekolah Tinggi, Akademi,dll) merupakan langkah akhir dari status akademik pendidikan seseorang untuk mencapai tahap pekerjaan yang diinginkan, baik pada perguruan tinggi Islam terlebih pada perguruan  tinggi umum. Disisi lain tentunya diharapkan dapat memberikan output berkualitas yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan pada perguruan tinggi dipandang sebagai basis dengan luaran individu yang siap pakai dan menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang kian kompleks.
Manajemen yang baik terutama dalam lembaga pendidikan Islam yang terkait dengan biaya pendidikan tentu sangat urgen dengan mempertimbangkan antara asas cost dan benefit ekonomisnya. Dengan demikian untuk mengoptimalkan peranannya lembaga pendidikan melalui biaya pendidikan maka hal ini perlu dipahami:
Pertama,  analisis cost benefit dinilai bahkan lebih menyentuh dan banyak diterapkan pada evaluasi sumber dan pemanfaatan biaya pada pendidikan tinggi tersebut. Hal ini dikarenakan tidak semua orang yang ditujukan dan dapat masuk keperguruan tinggi, disisi lain bukan berarti menafikan yang berada pada pendidikan dasar dan menengah akan tetapi melalui pendekatan analisis cost benefit semua orang dapat memahami (dalam pendidikan dasar) bahwa upaya pendidikan yang dilaluinya dengan dukungan biaya pendidikan yang dikeluarkan waktunya masih sangat panjang untuk mencapai keuntungan ekonomis yang diharapkan. Jadi dalam pendidikan dasar dan menengah analisis cost benefit dinilai agak sulit untuk diterapkan terkecuali jika hanya menghitung biayanya (cost) saja. Apabila konsep analisis benefit banyak diterapkan maka tidak sedikit lembaga pendidikan yang akan berhenti beroperasi sebab sulit menunjukkan nilai ekonomisnya. Dalam lembaga pendidikan tinggi Islam dikembangkan tanpa memperhatikan nilai ekonomis atau perguruan tinggi yang semisalnya membuka program fakultas atau jurusan yang tidak memiliki kejelasan orientasinya hal ini tentunya dapat membawa dampak kerugian bagi mahasiswa dan alumninya, sebab nantinya juga tidak dapat terpakai dalam lapangan pekerjaan. Oleh karena itu pengembangan dalam pendidikan tinggi Islam penting mempertimbangan asas benefit (nilai) ekonomis dan mengurangi konsekuensi dari paradigma yang muncul bahwa sulitnya terlihat nilai ekonomis karena masyarakat pada umumnya lebih memperhatikan lembaga pendidikan yang memiliki nilai ekonomis dikemudian hari. Hasan Langgulung[36] mengemukakan bahwa salah satu aspek dari investmen ini juga adalah pendidikan sebagai salah satu factor produksi.
Pendidikan memang harus menjadi investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat material maupun non materi. Manfaat non materi dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang baik, kepuasan kerja, efisiensi, komsumsi, kepuasan menikmati masa pension dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat materi adalah manfaat ekonomis yaitu berupa kecukupan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan dibawahnya.[37]
Kedua, disisi lain dari pentingnya nilai ekonomis pengembangan lembaga pendidikan, beberapa pengembangan program yang telah lama ada dan dipertahankan sehingga dipertimbangkan dengan dasar politik, budaya, serta tuntutan zaman. Optimalisasi lembaga pendidikan Islam tidak serta merta hanya diukur dari segi benefit ekonomis, hasil dari pendidikan terkait pengetahuan−ilmu dan nilai ekonomis keduanya merupakan kebutuhan yang terpadu dalam kehidupan sehingga sangat diperlukan.
Kesimpulan dari uraian tersebut bahwa lembaga pendidikan Islam penting melakukan pengembangan dengan mempertimbangkan pendekatan analisis cost dan analsis benefit secara ekonomis yang berkelanjutan dengan tanpa mereduksi nilai-nilai fundamental serta cita dan tujuan pendidikan Islam.

Simpulan
Dari uraian pembahasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa salah satu instrument terpenting dalam penyelenggaraan pendidikan adalah pembiayaan, meski dikatakan biaya dalam pendidikan bukan suatu ukuran dalam menghasilkan kualitas pendidikan namun urgensinya menunjang pelaksanaan pendidikan sehingga proses suatu pendidikan dapat berjalan lancer. Dalam era pendidikan masa kini pembiayaan pendidikan merupakan hal yang mutlak di sediakan baik oleh pemerintah, masyarakat, hingga orang tua siswa.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah No.48 tahun 2008 telah mengisyaratkan pentingnya pembiayaan pendidikan ini sebagai landasan yuridisnya. Pembiayaan pendidikan merupakan bagian dari manajemen dan aktivitas pendidikan yang terkait penggunaan barang, perolehan biaya pendidikan, pengalokasian, penetapan biaya pengeluaran untuk penggunaan dalam membiayai proses pendidikan yang secara terperinci dan terprogram dan sekaligus merupakan tanggung bersama antar stakeholder dan pengelolah pendidikan. Dalam pembiayaan pendidikan ini kendati ditunjang oleh pemerintah dan masyarakat, namun jika ditinjau sejarah pendidikan di Indonesia sejak era orde lama hingga pasca reformasi pendidikan kian masih di anggap mahal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, pengalokasian anggarana pendidikan masih belum dapat memuaskan seluruh pihak, meskipun dalam amanah Undang-undang telah dapat dipenuhi oleh pemerintah sejak beberapa tahun terakhir sebagai bukti keseriusan pemerintah.
Problematika tersebut mempengaruhi pengelolaan pembiayaan pada satuan-satuan pendidikan terutama di daerah-daerah, ketidakefisienan manajemen pembiayaan ini menimbulkan kerancuan dan mutu pendidikan yang rendah sehingga pembiayaan pendidikan yang asalnya dari berbagai sumber membawa pada paradigma orang tua siswa (masyarakat) bahwa hanya pembiayaan yang diutamakan, sehingga dalam hal pembiayaan sebagai sebuah investasi dalam pengelolaannya memerlukan konsep yang lebih mengarahkan pembiayaan pendidikan.
Dalam konsep pembiayaan pendidikan ini ada dua hal penting yang perlu dikaji  yaitu, biaya pendidikan secara keseluruhan (total cost) dan biaya satuan persiswa (unit cost). Dalam perhitungannya perlu dibedakan yaitu biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksananaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa. Sedangkan biaya tidak langsung (indirect cost) berupa keuntungan yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar.
Dalam teori human capital, proses pengetahuan dan keterampilan dengan melalui pendidikan yang bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, tetapi suatu investasi, investasi ini penting dianalisis baik dari segi biaya maupun manfaatnya. Analisis biaya dan manfaat adalah sebuah metodologi yang digunakan dalam melakukan analisis investasi pendidikan sehingga dapat membantu para pemegang kebijakan dan orang tua siswa dalam memahami proses pembiayaan pendidikan. Analisis biaya dan manfaat disini memiliki implikasi dan pengaruh baik kemampuan pembiayaan siswa dan pemerintah, kebijakan pemerintah itu sendiri dan tuntutan kebutuhan-kebutuhan pembiayaan pendidikan lainnya. Oleh karenanya dalam memaksimalkan pelaksanaan dan pengelolaan pembiayaan tersebut baik dalam bentuk analisis biaya hingga manfaatnya, maka diperlukan beberapa telaah langkah efisiensi dengan tetap mempertimbangkan hal-hal yang mempengaruhinya. Demikian pula halnya dalam lembaga pendidikan Islam khususnya lembaga pendidikan tinggi penting melakukan pengembangan dengan mempertimbangkan pendekatan analisis cost dan analsis benefit secara ekonomis dengan tanpa kehilangan ruh dan tujuan utama pendidikan Islam.

DAFTAR RUJUKAN


Abdul Wahid, dan Bushori Muchsin, Pendidikan Islam Kontemporer, Bandung: Reflika Aditama, 2009.

Bastian, Indra, Akuntansi Pendidikan, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.

Fattah, Nanang, Pembiayaan Pendidikan: Landasan Teori dan Studi Empiris, dalam  Jurnal Pendidikan Dasar, Nomor 9, April 2008.

­­­­­______Nanang, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung:  Remaja Rosdakarya, 2009.

Freira, Paulo, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, Yogyakarta: Researc, Education and Dialogue kerjasama Pustaka Pelajar, 2002.

Harsono, Pengelolaan Biaya Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.

Hidayat, Ara, dan Machali, Imam, Pengelolaan Pendidikan, Konsep, Prinsip dan Aplikasi dalam Mengelolah Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta: Kaukaba, 2012.

Irianto, Agus, Pendidikan Sebagai Investasi dalam Pembangunan Suatu Bangsa, Jakarta: Kencana, 2011.

Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000.

Muliono, Konsep Penbiayaan Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.

Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi), Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pendanaan Pendidikan, (dalam pdf), (dindangkan di Jakarta pada tanggal p8 Juli 2008), Lembaran Negara Republik Indonesai Tahun 2008, nomor.91.

Rifai, Muhammad, Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: AR-RUZZ Media,2011.

Setyawati, Rahmah, Pembiayaan Pendidikan (Jurnal Pendidikan Islam), Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Kerjasama Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI denga PPs Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 2 No. 1 Januari-April 2009.

Soenarya, Endang, Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem, Yogyakarta: Adicita Karya Nusantara, 2000.

Suharno, Manajemen Pendidikan (Sebuah Pengantar Bagi Para Calon Guru), Surakarta, Lembaga Pengembagan Pendidikan UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan, 2008.
Supriyadi, Dedi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Susilo, Eko, dkk. Politik Pendidikan Nasional, edt. Syahridlo dan Sutarman, Yogyakarta: Kopertais Wilayah III Daerah Istimewa Yogyakarta UIN Sunan Kalijaga, 2011.

Suwiknyo, Dwi, Tarbiyah Finansial, Yogyakarta: Diva Press, 2009.

Tim Penyusun Mahasiswa Pacasarjana Program Studi S-2 PGMI UIN Sunan Kalijaga, Edt. Didik Supriyatno,dkk. dalam Bunga Rampai Pendidikan Islam (Analisis Kebijakan Pendidikan Guru MI), Yogyakarta: kerjasama Taruna Media Pustaka Surabaya, 2011.

Tim Redaksi, Standar Nasional Pendidikan (SNP) PP No. 19 Tahun 2005 dilengkapi dengan UU No. 20 Tahun 2003 dan Permendiknas No. 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran, Bandung: Fokus Media, 2005.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (dalam pdf), (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301), diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003.

Undang-Undang Negera Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen IV Tahun 2002.    

Wahono, Francis, Kapitalisme Pendidikan, Antara Kompetisi dan Keadilan, Yogyakarta: Insist Press, Cindelaras kerjasama Pustaka Pelajar, 2001.




[1]Rahmah Setyawati, Pembiayaan Pendidikan, Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Kerjasama Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI dengan PPs Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, “Jurnal Pendidikan Islam”, 2 (1) Januari-April 2009: 174
[2] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000), hlm. 432.
[3]Nanang Fattah, Pembiayaan Pendidikan: Landasan Teori dan Studi Empiris,  Jurnal “Pendidikan Dasar”, Nomor 9, April 2008:2
[4]Dedi Supriyadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. v.
[5] Indra Bastian, Akuntansi Pendidikan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 160.
[6] Dedi Supriyadi,Satuan.,hlm.3-4.
[7]Nanang Fattah. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), Hlm.112.
[8] Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan, Konsep, Prinsip dan Aplikasi dalam Mengelolah Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), hlm. 153.
[9] Harsono, Pengelolaan Biaya Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,2007), hlm. 9.
[10]Negara mempriotitaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnnya 20% persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaran pendidikan nasional. Undang-Undang Negera Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen IV Tahun 2002.
[11]Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan sektor pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (dalam pdf), (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301), diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003, hlm.23.
[12]Pendanaan Pendidikan ditanggung bersama, antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pendanaan Pendidikan, (dalam pdf), (dindangkan di Jakarta pada tanggal p8 Juli 2008), Lembaran Negara Republik Indonesai Tahun 2008, nomor.91. hlm. 1.
[13]Mohammad Abduhzen, dalam website, http://suryowati.guru-indonesia.net/artikel_detail-30199.html, Diakses, [5 Februari 2012].
[14] Muhammad Rifai, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2011),  hlm. 101.
[15] Eko Susilo, dkk. Politik Pendidikan Nasional, edt. Syahridlo dan Sutarman, (Yogyakarta, Kopertais Wilayah III Daerah Istimewa Yogyakarta UIN Sunan Kalijaga,2011), hlm.65.
[16] Paulo Freira, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, (Yogyakarta: Researc, Education and Dialogue kerjasama Pustaka Pelajar, 2002), hlm. x.
[17] Harsono, Pengelolaan., hlm. 37.
[18] Dedi Supriyadi, Satuan., hlm. 26.
[19] Suharno, Manajemen Pendidikan (Sebuah Pengantar Bagi Para Calon Guru), (Surakarta, Lembaga Pengembagan Pendidikan UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan, 2008), hlm. 66.
[20] Suharno, Manajemen., Ibid,  hlm. 28.
[21]Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan, Antara Kompetisi dan Keadilan, (Yogyakarta: Insist Press, Cindelaras kerjasama Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 41-42.
[22]Nanang Fattah. Ekonomi., hlm. 23.
[23] Nanang Fattah. Ekonomi., Ibid,  hlm. 24.
[24] Muliono, Konsep Penbiayaan Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010) hlm. 24-25.
[25] Perbedaannya disini adalah, Investasi merupakan kegiatan usaha yang mengandung resiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian. Jadi, perolehan kembaliannya (retun) tidak pasti dan tidak tetap. Sedangkan membungakan uang merupakan kegiatan usaha yang kurang mengandung resiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relative pasti dan tetap. Dwi Suwiknyo, Tarbiyah Finansial, (Yogyakarta: Diva Press, 2009), hlm. 339.
[26] Muliono, Konsep., hlm. 28
[27] Endang Soenarya, Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusantara, 2000), hlm. 79.
[28] Lihat Nanang Fattah. Ekonomi., hlm. 25.
[29] Pendekatan makro berdasarkan perhitungan pada keseluruhan jumlah pengeluaran pendidikan yang diterima dari berbagai sumber dana kemudian dibagi jumlah murid. Pendekatan mikro berdasarkan perhitungan biaya berdasarkan alokasi pengeluaran per komponen pendidikan yang digunakan oleh murid. Lihat Nanang Fattah. Ekonomi., Ibid,  hlm. 26., Pendekatan makro disini adalah mengenai perhitungan biaya satuan dalam satuan pendidikan terkait pengalokasian anggaran pendidikan ditiap negara. Pada pendekatan mikro menganalisis biaya pendidikan berdasarkan biaya satuan pendidikan (unit cost) menurut jenis dan tingkat pendidikan.
[30] Nanang Fattah. Ekonomi., Ibid,  hlm. 28.
[31]E. Mulyasa. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 170.
[32] Agus Irianto, Pendidikan Sebagai Investasi dalam Pembangunan Suatu Bangsa, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 163.
[33] Nanang Fattah. Ekonomi.,  hlm. 36-37.
[34] Nanang Fattah. Ekonomi., Ibid, hlm. 39-40
[35] Tim Penyusun Mahasiswa Pacasarjana Program Studi S-2 PGMI UIN Sunan Kalijaga, Edt. Didik Supriyatno,dkk. dalam Bunga Rampai Pendidikan Islam (Analisis Kebijakan Pendidikan Guru MI), (Yogyakarta: kerjasama Taruna Media Pustaka Surabaya, 2011), hlm. 29.
[36] Hasan Langgulung, Asas-Asas., hlm. 154.
[37] Bushori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, (Bandung: Reflika Aditama, 2009), hlm. 49-50.

Tidak ada komentar: