PEMIKIRAN POLITIK KLASIK SYI'AH
BAB I
PENDAHULUAN
a. lATAR BELAKANG
Seperti yang telah kita ketahui bersama
dan pada umumnya oleh kalangan umat muslim dunia, bahwa setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW akan banyak sekali golongan-golongan dalam umat muslim, ketika
Islam dalam tahap perkembangan kebeberapa wilayah semasa Khulafa al-Rasyidun
bermunculanlah golongan-golongan itu, salah satunya dari beberapa golongan
tersebut termasuk yang paling menarik untuk dibahas ialah golongan Syi’ah.
Dari beberapa aliran atau kelompok
muslim tersebut telah memiliki banyak
sekali pengikut diberbagai kalangan umat muslim dunia. Masing-masing kelompok
ini memiliki pandangan tersendiri dalam memahami makna dan pedoman dalam
menjalankan agama Islam. Tentunya ini yang menjadikan Islam terbagi-bagi dan
diragukan untuk kesahihannya untuk dicari dan dipelajari. Dari golongan-golongan
tersebut dapat kita maknai dan pelajari untuk memahami dan mempelajari Islam
lebih dalam.
Dalam makalah ini penulis mencoba
memaparkan judul tentang “Pemikiran politik Klasik Syi’ah” dalam lingkup pembahasan ini
kendati memiliki keterkaitan antara golongan-golongan lain akan tetapi penulis
mencoba mengkrucutkan pembahasan mengenai pemikiran Syiah, serta beberapa
sekte-sekte pada tahap perkembangannya, namun sebelum kita merambah lebih jauh pada pembahasan
mengenai pemikiran klasik Syi’ah terasa tidak sah dan tidak nyaman bila kita
tidak mengetahui sejarah lahirnya golongan umat muslim ini. Dalam hal ini pula akan
kita pahami bahwa dalam dunia perpolitikan para sahabat-sahabat setelah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW mengalami dinamika yang pesat sehingga
melahirkan beberapa golongan-golongan muslim dengan beberapa pemikirannya
seperti yang kita rasakan dan saksikan dunia Islam zaman sekarang.
Tentunya dengan berbagai macam
pemikiran politik yang akan kita bahas pada kesempatan ini kita dapat
mengetahui berbagai pandangan masing-masing individu sehingga kita dapat
menemukan intisari dari pemikiran-pemikiran klasik kelompok ini. Maka dari itu
kita harus bisa memilah dan memilih mana yang menurut kita yang paling baik dan
bisa dijadikan pedoman dalam menjalani hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
B.
PENGERTIAN SYI’AH
Semenjak Nabi Muhammad SAW wafat banyak mengalami dinamika
perjuangan dan perpolitikan dalam masyarakat ummat Islam hingga berakibat pada
perpecahan ummat menjadi beberapa kelompok yang diantaranya adalah kelompok Syi’ah. Aliran
Syi’ah adalah salah satu aliran dari beberapa aliran awal dari pemikiran
Islam. Syi’ah yang secara etimologis ini berarti pengikut, kelompok,
golongan dan pendukung. Menurut M. Amin Nurdin yang dikutip dari Harun
Nasution dalam bukunya “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” menyatakan bahwa, Kata Syi’ah adalah akar kata
dari syaa’ atau syayya’a, tasyaya’a, yang berarti pihak, partai,
dan kelompok.[1]
Secara terminologis beberapa pendapat yang mengemukakan yaitu :
1.
Orang yang mengikuti Ali dan
termasuk bagian yang mengagungkan khalifah Ali yang kemudian disebut sebagai Syi’ahtu
Ali (pengikuti Ali) yang dikemudian hari dikenal dengan kelompok Syi’ah.[2]
2.
Pendapat yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. Ikhsan Ilahi Zahir, yang dikutip dari Sayid Muhammad Amin dalam kitabnya
yang disalin dari al-Azhary; bahwa Syi’ah adalah golongan pecinta anak
keturunan Nabi SAW, dan mengakui akan kekuasaan mereka.[3]
3.
Yaitu pengikut suatu aliran yang
mencintai keturunan Nabi Muhammad SAW dan mentaati pemimpin-pemimpin yang
diangkat dari keluarga dan keturunan
Nabi (ahl al-bait).[4]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Syi'ah adalah suatu aliran dalam
pemikiran Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yang mana aliran ini sangat mencintai
Nabi Muhammad dan keturunannya serta setia dan sangat loyal pada Ali bin Abi
Thalib dan lebih mendahulukan Ali sebagai khalifah melebihi dari sahabat-sahabat
lain.
Menurut
catatan sejarah, Nabi SAW berulang kali berbicara, sepanjang hidupnya, dan
terhadap berbagai hal seputar pelbagai keutamaan Ali as. Utamanya tentang
kemuliaannya, juga kualitas kepemimpinannya, yang berada diurutan kedua di
bawah keutamaan yang dimiliki Nabi SAW. Penghormatan dan penghargaan yang
sangat tinggi terhadap Ali, menurut berbagai riwayat yang terbukti
kebenaraannya, membentuk sekelompok orang di sekeliling Ali semasa Nabi SAW
sendiri masih hidup. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai Syi’ah
Ali, para pengikut Ali. Kelompok ini, selepas wafat Nabi SAW tetap
berpegang teguh pada keyakikan awal; tidak menyokong siapa pun melebihi sosok
yang mereka percaya telah ditunjuk Nabi Allah SAW sebagai penerusnya.
Demikianlah, dimasa hidupnya dan selepas wafatnya, sekelompok orang terkenal
sebagai Syi’ah.[5]
Dari beberapa pandangan tersebut di atas
dapat pula dilihat ciri-cirinya bahwa rupanya lebih
menitikberatkan pada adanya sikap dan tindakan-tindakan nyata sebagai pendukung
dan pengikut setia Ali.
C.
LATAR BELAKANG LAHIRNYA SYI’AH
Mengenai lahirnya Syi’ah, tidak terdapat data yang pasti. Yang ada
adalah alasan-alasan logis yang disusun berdasarkan dugaan-dugaan sejarah tentang
awal kelahirannya. Beberapa dugaan mengenai lahirnya Syi’ah atau dukungan
terhadap Ali, kesemuanya dikaitkan dengan peristiwa politik, yaitu:
1.
Wafatnya Nabi dan pertemuan di Bani
Tsaqifah serta keterlambatan Ali dalam membaiat Abu Bakar.
2.
Kekacauan (fitnah) pada masa Utsman
bin Affan yang mencapai puncaknya dengan terbunuhnya Utsman.[6]
3.
Perang Shiffin yang diakhiri dengan
Tahkim (arbitrase) untuk menyelesaikan konflik antara Ali dan Muawiyah.[7]
4.
Setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib
dan karena adanya rivalitas politik dari pihak Khawarij.[8]
Di antara beberapa pendapat berbeda
tentang sebab kemunculan Syi’ah, dan lebih jauh pula dijelaskan oleh sebagian
ahli sejarah menganggap bahwa Syi’ah lahir pada masa akhir khalifah Utsman bin
Affan dan awal kekhalifaan Ali bin Abi Thalib dan diperkuat
dengan pendapat
popular adalah bahwa Syi’ah lahir akibat pertentangan politik antara pengikut
Mu’awiyah dan pengikut Ali dan setelah gagalnya perundingan perdamaian (Majlis
Tahkim) tersebut. atas perseteruan politik itu, pihak Mu’awiyah menolak (menghianati)
keputusan hasil perundingan Majlis Tahkim lalu kemudian menimbulkan perang
besar antara kubu Ali dengan kubu Mu’awiyah ibn Abi Sofyan, perang ini tidak hanya
mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politik, tetapi juga
melahirkan dua aliran pemikiran yang secara ekstrim selalu bertentangan yaitu
Khawarij dan Syi’ah.[9] Misalnya
Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah Ali setelah peristiwa, sementara
Syi’ah belakangan lebih mengkultuskan Ali sebagai manusia yang sah sebagai
khalifah dan tanpa cacat. Kelompok Khawarij muncul dari barisan Ali atau
pecahan Syi’ah yang pada saat itu yang menolak perundingan Tahkim pada perang
dengan pihak Mu’awiyah dengan alasan bahwa dengan demikian itu merupakan tipu
muslihat dari pihak Mu’awiyah.
Pendapat yang dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa, mekipun Syi’ah dan
al-Khawarij bermusuhan, namun mereka sama-sama menentang Bani Umayyah dengan
motif yang berlainan, al-Khawarij menentang Bani Umayyah karena mereka
menganggap Bani Umayyah telah menyeleweng dari ajaran Islam, sedangkan Syi’ah
menentang dinasti Bani Umayyah karena memandang mereka telah merampas kekuasaan
dari Ali dan keturunannya.[10]
Kelompok Khawarij sebagai reaksi
atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap
orang yang melakukan dosa besar (kelompok Ali dan Mu’awiyah) yang membuat
keputusan tanpa landasan Al-Quran. Sekalipun demikian aliran-aliran tersebut
bersifat politik tapi kemudian untuk mendukung pandangan dan pendirian politik
masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama.
Kemunculan Syi’ah bertolak belakang
oleh sebagian ummat Islam penganut demokrasi yaitu kebebasan memilih pemimpin
melalui musyawarah, dan mereka tak mengenal kekuasaan warisan misalnya dari
seorang raja yang telah meninggal akan diwariskan kepada anaknya dan seterusnya.
Hal inilah yang menjadi keyakinan dan pandangan bahwa aliran Syi’ah adalah
gerakan politik dan pemikiran yang setia terhadap Ali bin Abi Thalib, yang
memiliki pandangan teologis bahwa ”yang berhak menggantikan kursi kekhalifahan
setelah Rasul wafat adalah Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya”.[11] Selain Ali mempunyai hubungan nasab juga mempunyai
sifat-sifat kepemimpinan seperti tawaddu, istiqamah, jiwa pemimpin dan
pemberani, demikian pula Ali telah dibaiat oleh umat Islam sebagai khalifah. Sebagai
landasan pokok pikiran Syi’ah tentang keberlansungan kepemimpinan setelah Nabi
Muhammad SAW wafat yang akan membawa ummat Islam menuju kejayaan selanjutnya
maka aqidah Syi’ah berporos pada imamah
(imam) pemimpin yang harus diikuti oleh umat Islam yang memegang jabatan
pemerintahan, penanggung jawab ummat untuk agama yang perlu diikuti dan dapat
diteladani oleh seluruh ummat Islam.
Hal ini berkaitan pada penjelasan
dalam Al-Quran bahwa yang dikatakan pemimpin bertujuan sebagai pengarah dan
pengayom untuk membawa masyarakat pada tatanan yang adil dan sejahtera, dalam Surah
An-Nisa’: 59 yang berbunyi :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB (
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa’[4]: 59)[12]
Dalam kaitan dengan pembahasan ini,
makna ayat tersebut di atas dipahami bahwa hal yang utama bagi umat yang
beriman adalah ketaatan kepada sang
khalik penciptanya (Allah SWT), Rasul
yang diutusnya (Nabi Muhammad SAW), demikian pula para ulil amri (pemimpin,
imamah) yang taat pula kepada Allah SWT dan Rasul tersebut. Dari pandangan
sejarahnya kendati Syi’ah sebagai aliran
yang lebih dominan dan mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap keturunan Nabi
dan mempunyai ajaran politik sendiri sehingga berbeda dengan ummat muslim
lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa hal ini menjadi salah satu landasan Syi’ah mencintai Nabi dan khalifah
Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya.
Kecintaannya terhadap para imam
yang membawa petunjuk, bersifat ma’shum dan suci. Mereka adalah manusia-manusia
yang diberi kepercayaan untuk mengembang “makna tersebunyi” dari ayat-ayat
al-Qur’an. Makna bathin ini mula-mula diamanatkan Nabi SAW kepada Ali. Imam
menetapkan dalam wasiatnya-penggantinya, yang mesti dari keturunan Ali.
Pewarisan dan wasiat yang pewarisan ini kemudian menjadi obyek perdebatan,
pertikaian dan perselisihan dari masa kemasa. Kelompok Zaidiyah mensyaratkan
bahwa imam yang dipilih dari kelompok masyarakat haruslah seorang ‘Alawy
(keturunan Ali bin Abi Thalib)[13]. Mereka
juga berkeyakinan jika sistem imamah tersebut merupakan kehendak nabi
sendiri, hal itu mereka buktikan dengan menunjukkan wasiat sebelum beliau
wafat.[14]
Pada mulanya penggunaan istilah
imam lebih popular dikalangan umat Islam Syi’ah, imam dalam keyakinan mereka
adalah sesuatu yang sakral (ma’shum) sebagai salah satu dasar agama. Kedudukan
imam dalam pendangan Syi’ah disamping sebagai pemimpin spiritual yang sakral
juga berfungsi sebagai pemimpin politik.[15] Dapat
dikatakan bahwa bahwa imam adalah gelar kekhalifahan, pemimpin spiritual,
pemimpin pemerintahan yang dapat dijadikan teladan dalam kehidupan beragama,
berbangsa dan bermasyarakat bagi ummat Islam.
Dengan demikian dapat kita
simpulkan bahwa kelahiran Syi’ah dan beberapa penyebab yang mewarna peristiwa
sejarah dan dinamika timbul dan berkembangnya serta pemikiran kelompok ummat Islam bermula pada
masa terpilihnya Abu Bakar As Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan menjadi
khalifah seluruh kaum muslimin sepakat dan tidak segolongan pun yang menolak. Namun
ketika Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah seluruh kaum muslimin
mendukungnya kecuali Bani Umawiyyah yang menuntut Ali untuk mengadakan
investigasi pembunuhan Utsman tetapi Ali menolak sehingga terpecahlah shaf kaum
muslimin pada saat itu menjadi dua golongan. Golongan yang mendukung Ali
disebut dengan Syi’ah dan golongan yang mendukung Mu’awiyah. Baru setelah
peristiwa Tahkim terjadi muncullah golongan yang ketiga yang tidak menyetujui
Majlis Tahkim tersebut yang dinamai Khawarij yang asalnya merupakan golongan
Ali. Jadi sebenarnya kalau dilihat rentetan kejadiannya seperti itu jelaslah
bahwa Khawarij merupakan golongan ketiga setelah golongan Ali (syi’ah) dan
golongan Mu’awiyah.
Dari penjabaran itu dapat kita
pahami bahwa yang menjadi sebab timbulnya perpecahan di kalangan umat islam
pertama kali bukan dikarenakan perbedaan keyakinan dan pemikiran mengenai pokok
agama tetapi melainkan dikarenakan persoalan politik semata. Tetapi karena
Syi’ah sebagai aliran politik Islam, maka tentu tidak akan bisa terlepas dari
hubungannya dengan agama Islam, baik itu dari segi aqidah, keimanan maupun
fiqihnya sekalipun.
Oleh karena itu mereka membangun
prinsip-prinsip dan landasan pemikiran mereka dengan menjadikan agama sebagai
penopangnya. Sehingga tidak aneh kalau ada diantara ajaran-ajaran agama yang
disalahtafsirkan atau dengan kata lainnya diselewengkan supaya bisa sejalan dan
selaras dengan pemikiran mereka. Dan itulah yang terjadi juga pada
aliran-aliran lainnya selain Syi’ah.
Kendati demikian perpecahan
dikalangan ummat Islam terjadi sejak dari peristiwa tersebut diatas sangat
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap dunia muslim.
Diisyaratkan dalam al-Qur’an
surah Al-Imran yang menyatakan :
(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ wur (#qè%§xÿs? 4.
“Dan berpegang teguhlah kalian
semua pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai
(berkelompok-kelompok)”.(QS. Ali-Imran [3]:103)[16]
Allah SWT memberikan gambaran
betapa pentingnya membangun peradaban dalam bingkai persatuan untuk membangun
prinsip dan pemikiran dengan mengesampingkan sisi perpecahan.
D.
PEMIKIRAN POLITIK DAN SEKTE-SEKTE
DALAM ISLAM SYI’AH
1.
Pemikiran Politik Islam Syi’ah
Syi’ah merupakan kelompok minoritas kalangan Sunni (ahlu al-sunnah wa al-jama’ah) yang memiliki pandangan politik
yang berbeda dengan yang lainnya. Pemikiran politik Islam Syi’ah yang
paling mendominasi adalah tentang imamah-khilafah (politik)
sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya. Syi’ah penganut teori
hak legitimasi berdasarkan hak suci Tuhan (the Devine Right of God).[17] Kaum Syi’ah berpendapat
bahwa kekhalifahan, imamahnya berdasarkan pengangkatan atas kesepakatan ummat
Islam baik secara terbuka maupun tersembunyi. Orang Syi’ah mengakui bahwa
Muhammad sebagai Rasul dan al-Qur’an adalah benar-benar wahyu dari Allah SWT,
Imam itu jabatan sakral yang ditentukan oleh Allah dan memiliki tujuan untuk
kesejahteraan umat manusia.[18]
Manusia
yang menerima wahyu adalah Nabi Muhammad SAW yang merupakan imam dari segala
imam dalam ummat Islam, imam merupakan subyek yang sangat vital dalam sistem
imamah maupun dan Syi’ah sebagai sebuah gerakan. Karena sistem imamah sendiri
merupakan sistem kepemimpinan yang dilegitimasi Allah SWT, maka tidak sembarang
manusia bisa disebut sebagai imam. Ada kualifikasi-kualifikasi yang harus
dipenuhi untuk menjadi imam. Bagi orang Syi’ah, imam itu adalah orang yang
pandai dalam segala macam cabang ilmu pengetahuan, khususnya dilapangan cabang
ilmu pengetahuan agama. Dia juga seorang yang berkualitas luhur dan mulia dan
tidak ternodai dengan dosa seperti juga halnya para Nabi.[19] Dalam keyakinan sekaligus sebagai syariah,
manusia yang layak menempati posisi imam hanya dua belas orang itu. Selain
karena keturunan Nabi Muhammad SAW (ahl al-Bayt) mereka juga memiliki
beberapa sifat dan karakteristik yang tidak mungkin dimiliki oleh manusia
secara umum. Diantara sifat dan karakteristik tersebut:
a.
Imam bersifat Ma’shum (Bebas dari dosa),
b.
Imam mempunyai sifatnya dapat dicontoh (teladan
moralitas)
c.
Imam berpengetahuan luas, (Berilmu)
d.
Imam sangat berkompeten dibidang pemerintahan,
(Ahli pemerintah)
e.
Imam sebagai symbol revolusi atau pembela agama
Para partisan dan simptisan Syi’ah memang tidak
pernah menyepakati secara aklamasi dalam memahami sosok dan kuantitas imam.
Namun mayoritas Syi’ah berpegang pada perspektif bahwa imam berjumlah dua belas
dengan keagungan sosoknya.
Kedua belas imam tersebut sejajar dengan fungsi
dan tugasnya dengan Rasulullah, dengan minus wahyu tertentunya. Diantara tugas
imam yang paling pokok adalah menjadi pemimpin spiritual umat Islam (Mursyid)
sekaligus pemimpin sosial (waliy al-amr) mereka, sebagaimana yang
dipraktikkan Rasulullah sebelumnya.[20] Meskipun persoalan imam adalah hal yang terpenting
dalam Syi’ah, jika ditinjau dari peristiwa sejarah Syi’ah bahwa imam erat
kaitannya dengan politik agama. Menurut
M. Amin Nurdin, yang dikutip dari Abu al-Fazl Ezzati dalam bukunya “The
Revolutionary Islam and the Islamic Revolution” bahwa Syi’ah Istna
'Asyariyah, keimanannya adalah suatu lembaga yang tak terpisahkan dari masalah
politik dan agama (walayat-dinayah).[21]
Imam atau khalifah adalah satu kepentingan agama, bukan hanya kelayakan politik
semata.[22]
Syi’ah sebagai penganut politik dan berporos pada konsep imamah adalah sebuah
keharusan dalam gerakan Syi’ah. Keyakinan demikian itu berdampak luas bagi
sikap sosial dan persepsi keagamaan yang sangat eksklusif bagi pengikut Syi’ah.
Secara sosiologis, sikap Syi’ah yang eksklusif dan tampak ekstrim itu,
disamping pemujaan yang begitu tinggi terhadap “imam”, dapat dimengerti jika
kita telaah latar belakang kehidupan kulturalnya, antara lain:
1)
Pengalaman traumatis akibat kedzaliman yang
terus menerus dilakukan kepada ahlul bait (pemimpin Syi’ah) oleh penguasa
Umayyah dan Abbasyiyah, telah membentuk sikap kepribadian yang anti pati
terhadap pihak luar (out group), akibat luka yang begitu mendalam.
2)
Kultus yang mendalam terhadap keluarga raja,
umumnya terwarisi dari budaya parsi. Mereka menganggap darah raja tidak seperti
darah rakyat, dan keturunan Raja bagaimanapun lebih dianggap paling tepat
menduduki jabatan penting dari pada yang lain. Budaya kuat diatas terbawa
kedalam kehidupan mereka setelah mereka menjadi Islam.
3)
Pendukung syi’ah sebagai kekuatan politik
partai, tidak jauh beda umumnya dengan para pendukung partai politik dimanapun.
Ada yang bergabung dengan alasan ideologi dan ada juga karena kepentingan yang
ingin diraih.
Dari pandangan sosiologis itu yang telah dilatarbelakangi oleh
kehidupan kultur menjadikan aliran Syi’ah sebagai aliran yang menganut agama
dan politik yang ekstrim, disisi lain Syi’ah mempunyai prinsip keyakinan dalam
pemikiran dan ajarannya. Keimanan tersebut sebagai bagian dari rukun iman
mereka. Syi’ah mempunyai 5 (lima) prinsip keyakinan utama dalam pemikiran dan
ajarannya yaitu:
a)
Tauhid,
yaitu percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b)
Al-Nubuwwah, yaitu percaya
kepada kenabian Nabi Muhammad SAW.
c)
Al-Ma’ad,
yaitu keimanan kepada hari kebangkitan, percaya bahwa setiap orang yang akan hidup
dalam alam yang akan datang (kiamat). Di sana perbuatan masing-masing manusia
akan ditimbang dan diganjar sesuai dengan amalnya.
d)
Al-‘Adl,
yaitu keimanan kepada keadilan Allah. Allah itu adil dalam membimbing semua
makhluk di atas bumi ini kearah kesempurnaan dengan cara-cara tertentu,
sehingga segala sesuatu itu adalah baik pada tempat masing-masing. Akal manusia
akan menjangkau keadilan Tuhan dan karena itu kelompok ini juga kerap disebut ahl
al-‘adl.
Latar
belakang pemikiran dan dasar-dasar konseptualnya berbasis politik itu kemudian
dikerangkakan dalam formulasi teologis dan dijabarkan dalam sikap-sikap
sosialnya. Gerakan syi’ah dapat dilihat sampai sekarang, sebagai wujud dari
pengalaman historisnya yang traumatis, motivasi ideologisnya yang diwarnai
bermacam sentimen sosial akibat rasa ketidakadilan yang dialaminya dalam kurun
waktu yang lama, dan rasa pembelaannya yang berkobar-kobar dalam merebut
kembali kehormatan cosmosnya yang ternodai.
2.
Sekte-Sekte Dalam Islam Syi’ah
Pada perkembangan selanjutnya,
aliran Syi’ah terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, Kendati Syi'ah telah terbagi-terbagi dalam sekte yang
jumlahnya hampir tidak terhitung, secara umum mereka terbagi menjadi empat
sekte dan masing-masing dari keempat sekte tersebut terbagi pula menjadi
beberapa sekte kecil. dua sekte di antara mereka itu yang dapat dimasukkan ke
dalam golongan umat Islam, yaitu sekte Zaidiyah dan Imamiyah.
Adapaun
sekte itu adalah:
a. Syi’ah Ghulat (akstremis)
Syi,ah kelompok ini hampir dikatakan telah hampir punah.
Mereka antara lain:
1) As Sabaiyah
Menurut Asy Syahrastany,
mereka adalah pengikut-pengikut Abdullah bin Saba’ yang konon pernah bekata
kepada Sayyidina Ali: “Anta Anta”, yakni engkau adalah tuhan. Dia juga
menyatakan dan mempopulerkan keyakinan bahwaAli ra, memiliki tetesan ketuhanan.
2) Al Khaththabiyah
Mereka adalah penganut aliran Abu al Khathtab
al Asady, yang menyatakan bahwa imam Ja'far ash Shadiq dan leluhurnya adalah
tuhan.
3)
Al Ghurabiyah
Cabang kelompok ini, antara lain percaya bahwa
sebenarnya Allah mengutus malaikat Jibril as kepada Ali bin Abi Thalib ra,
tetapi malaikat itu keliru atau bahkan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu
kepada Nabi.
4)
Al Qaramithah
Kelompok ini dinisbahkan kepada seseorang yang
bermukim di Kufah, Irak, yang bernama Hamdan Ibn al Asy'at, dan dikenal luas
dengan gelar Qirmith (si pendek), karena perawakan dan kakinya sangat menonjol
pendeknya. Kelompok ini pada mulanya kelompok yang terpengaruh oleh aliran
Syi’ah Ismailiyah.
b.
Syi’ah Ismailiyah.
Syi’ah ini tersebar
dalam kelompok minoritas di sekian banyak Negara, antara lain Afganistan,
India, Pakistan, Syi’ah Suriah dan Yaman, serta beberapa negara Barat seperti
Inggris dan Amerika Utara. Kelompok ini meyakini bahwa Ismail, putra Imam
Ja’far ash Shadiq, adalah imam yang menggantikan ayahnya Jafar ash shadiq yang
merupakan imam yang keenam dari aliran Syi’ah secara umum.
c.
Syi’ah Zaidiyah
Golongan ini
adalah pengikut Zaid ibn Hasan ibn Ali ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib.
Madzhab golongan inilah yang paling moderat dan paling dekat kepada ahli
sunnah. Mungkin hal ini disebabkan karena Zaid
adalah murid Washil bin Atha'. Pandangan
golongan ini terhadap diri imam juga moderat, tak ada imam yang ditentukan Tuhan,
dan tak ada wahyu untuk menetapkan imam-imam; tetapi
semua keluarga Fatimah yang tidak suka kepada dunia, pemberani, murah hati, pandai berperang untuk kebenaran dunia
mau berperang menutut khilafah maka sah menjadi imam.
Golongan ini mensyaratkan seorang imam harus berani berperang menentang
para amir dan penguasa menuntut khilafah. Oleh sebab itu jabatan khalifah
menurut mereka dapat diusahakan bukan penetapan demikian saja. Sebagaimana pula pada golongan Imamia, imam pada
golongan ini berakhir dengan imam yang bersembunyi. Mereka
tidak percaya kepada tahayul-tahayul yang melekat pada diri-diri imam sehingga
mendekatkannya pada sifat-sifat ketuhanan.[24]
d.
Syi’ah Imamiyah (Istna 'Asyariyah)
Syi’ah Imamiyah
(Istna 'Asyariyah) inilah yang paling mendominasi atau penganut mayoritas
Syi’ah. Itsna ‘Asyariah berarti dua belas, arti dua belas yang terbentuk
sesudah pertengahan abad ke-3 H/10 M
dikaitkan dengan pengakuan bahwa mereka imam yang sah adalah keturunan dari Ali
yang berjumlah 12 orang. Sehabis imam ke-12, jabatan imamah yakni jabatan
tertinggi yang bersifat sentral menjadi terhenti. Dan dengan terhentinya imam
yang ke-12 ini, muncullah pendapat bahwa al-Mahdi al-Muntazar telah menghilang
pada tahun 265 H/878 M.[25] Biasa
juga dikenal dengan nama Asyariyah atau Ja’fariyah, adalah kelompok kelompok
mayoritas dalam Syi’ah yang mempercayai adanya dua belas Imam yang yang wajib
diingat namanya oleh setiap mukmin.[26] Mereka
itu adalah Imam Ali bin Abi Thalib, dan keturunannya yaitu:
1)
Imam Hasan ibn
Ali,
2)
Imam Husein ibn
Ali,
3)
Imam Ali bin
Husein (Zaenal Abidin),
4)
Imam Muhammad
al – Baqir bin Ali,
5)
Imam Ja’far al –
Shadiq bin Muhammad,
6)
Imam Musa al –
Kadzim bin Jafar,
7)
Imam Ali al –
Ridho bin Musa,
8)
Imam Muhammad
al - Taqi’ bin Ali,
9)
Imam Ali al –
Hadi bin Muhammad,
10)Imam Hasan al - Askari, bin Ali dan
11)Imam Muhammad al – Mahdi bin Hasan .
Kesebelas
orang tersebut adalah merupakan dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Pada
pandangan Syi’ah merekalah para penguasa yang sah menurut syari’at dan
memperoleh hak dari Allah untuk memimpin ummat Islam.
Dari
beberapa sekte yang lahir tersebut, kelompok Syi’ah Ismailiyah yang masih
memperlihatkan gerakan-gerakan politik ekstrem sampai jatuhnya dinasti
Abbasiya, sedang yang lainnya lebih banyak memusatkan perhatian mereka pada
bidang karya tulis.[27]
Dari pandangan tentang sekte-sekte yang lahir dalam aliran Syi’ah maka dapat disimpulkan bahwa penyebab lahirnya sekte-sekte tersebut
dipengaruhi pandangan politik yang berbeda dan saling mempertahankan garis
keturunan menurut keyakinan mereka tentang imam.
maka dari itu bermunculan
pula paham-paham ekstrem yang menyesatkan terutama dalam bidang aqidah,
filsafat dan tasawuf. Aliran Syi’ah yang
mulanya hanya bergerak dalam bidang politik, lama-kelamaan mempunyai mazhab (hukum), pendapat dalam
filsafat, ajaran dalam tawawuf, dan keyakinan dalam aqidah. Dari perkembangan
tersebut dari tahun ke tahun, pengaruhnya meliputi seluruh dunia Islam, sampai
ke Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Syi'ah adalah suatu aliran dalam
pemikiran Islam yang lahir setelah Nabi Muhammad SAW wafat, aliran ini sangat
mencintai Nabi Muhammad dan keturunannya serta setia dan sangat loyal pada Ali
bin Abi Thalib dan lebih mendahulukan Ali sebagai khalifah melebihi dari sahabat-sahabat
lain. Memperlakukan Ali secara berlebihan dan memusuhi kelompok lainnya.
2.
Aliran Syiah sebagai aliran yang ekstrem dalam
Islam juga sebagai aliran politik.
3.
Ditinjau dari teropong sejarah lahirnya
golongan Syi’ah ini berawal dari akhir khalifah Utsman bin Affan dan diawal
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dan adanya sengketa politik yang tajam dan
bertolak belakang antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah dan pengikutnya
terkait kepemimpinan yang akan meneruskan perjuangan Islam setelah Nabi
Muhammad SAW wafat.
4.
Pemikiran Islam Syi’ah yaitu aliran Syi’ah
sebagai aliran teokrasi kecuali Syi’ah Zaidiyah. Jika disarikan,
pemikiran-pemikiran Syi’ah, paling tidak ada tiga poin :
a.
Yang berhak menjadi imam, yakni
pemimpin masyarakat Islam baik dalam urusan keagamaan maupun urusan kenegaraan,
harus menjadi hak waris bagi keluarga Nabi yakni Ali bin Abi Thalib dan anak
cucunya.
b.
Imam itu hanya sah apabila mendapat nash atau
diangkat oleh Nabi sendiri dan kemudian oleh imam-imam sesudahnya secara
berurutan.
c.
Setiap imam yang diangkat itu
adalah ma’shum, akan terpelihara dari dosa serta menerima
anugerah keistimewaan-keistimewaan.
5.
Sekte-sekte dalam aliran Syi’ah yaitu : Syi'ah
Gulat (Yang telah terbagi beberapa sekte-sekte kecil), Syi'ah Zaidiyyah, Syi'ah Ismailliyyah, dan Syi'ah
Imamiyyah (Isna 'Asyariyyah),
6.
Yang mendominasi kaum Syi’ah adalah Syi’ah Imamiyyah (Isna 'Asyariyyah), yang mempercayai
dua belas imam Syi’ah yang dipundak mereka terletak martabat Islam. Merekalah
para penguasa yang sah menurut syariat pada pandangan Syi’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Jauhar “Pemikiran Islam Klasik Khawarij, Syi’ah”
(online) http://joebukan.blogspot.com/2011/06/.html
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Bandung: Sygma
Examedia Arkamleema,2009.
Gardet Arkoun Lous, M. Islam Kemarin dan Hari Esok. Bandung:
Pustaka,1997.
Hamda Hasbullah Hanung, Sejarah Politik Islam, Panggung
Pergulatan Politik Kekuasaan dari Timur Tengah Hingga Asia, Jogyakarta:
Nusantara Press,2011.
Ibrahim Iskandar, “Mengenal Khawarij, Syi’ah dan Murjiah”
(online) http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/05/.html.
Karim Abdul M., Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher,2007.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI Press,1972,
Nurdin Amin M.,M. Sejarah Pemikiran Islam, Teologi-Ilmu Kalam.
Jakarta: Amzah,2012.
Pulungan Suyuthi, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Shiddiqi Nourouzzaman, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif
Sejarah. Yogyakarta: Bidang Penerbitan PLP2M,1985.
Subhani Ja’far, Syi’ah Ajaran dan Prakteknya, Jakarta; Nur
Al-Huda, 2012
Thohari Aris, Pemikiran
Klasik Syiah dan Khawarij. (Online) http://arieslailiyah.blogspot.com,
html
Tritton AS., Muslim Teology. London: Ll ac & Goy,1974.
Zhahir Ilahi Ikhsan, Syiah Berbohong atas Nama Ahlul Bait. Surabay:
PT Bina Ilmu,1987
[1]Amin Nurdin, Sejarah
Pemikiran Islam, Teologi-Ilmu Kalam. (Jakarta; Amzah, 2012) hlm. 176
[2]Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta; Pustaka Book Publisher, 2011),
hlm.109
[3]Ikhsan Ilahi
Zhahir, Syiah Berbohong atas Nama Ahlul Bait. (Surabaya; PT Bina Ilmu,1987),
hlm.14
[4]Nurdin, Sejarah...,
hlm. 176
[5] Ja’far
Subhani, Syi’ah Ajaran dan Prakteknya, (Jakarta; Nur Al-Huda, 2012).
hlm.144-145
[6] Nurdin, Sejarah...,.
hlm. 163
[7]Suyuthi
Pulungan. Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. (Jakarta; PT
RajaGrafindo Persada, 2002). hlm.195
[8]
Karim, Sejarah...,
hlm.109
[9]Iskandar
Ibrahim, Mengenal Khawarij, Syi’ah dan Murjiah. Dalam Website http://makalahmajannaii.blogspot.com, html. (online)
diakses, 19 Sept. 2012
[10]Harun Nasution,
Teologi Islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI
Press,1972), hlm.22
[11]Jauhar
Ali Pemikiran Islam Klasik Khawarij, Syi’ah. Dalam Website http://joebukan.blogspot.com,.html
(online), diakses, 18 Sept. 2012
[12]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Sygma Examedia
Arkamleema,2009), hlm.87
[13]Arkoun Lous
Gardet. Islam Kemarin dan Hari Esok. Bandung; Pustaka,1997, hlm. 32
[14]Hanung
Hasbullah Hamda, Sejarah Politik Islam, Panggung Pergulatan Politik
Kekuasaan dari Timur Tengah Hingga Asia, Jogyakarta: Nusantara Press,2011,
hlm.144
[15]Pulungan. Fiqh...,
hlm.62
[17]Nourouzzaman
Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta; Bidang
Penerbitan PLP2M,1985, hlm.62
[18] Karim Sejarah...,
hlm.109-110
[19] Shiddiqi, Syi’ah...,
hlm.64
[20]
Hamda, Sejarah...,
hlm.168
[21]
Nurdin, Sejarah....,
hlm.181
[22] AS. Tritton, Muslim
Teology.(London: Ll ac & Goy:1974),hlm.62
[23]
Nurdin, Sejarah....,
hlm.182
[24]Aris Thohari, Pemikiran Klasik Syiah dan Khawarij. Dalam
Website http://arieslailiyah.blogspot.com, html, Diakses, 19 Sept. 2012
[25]
Nurdin, Sejarah....,
hlm.180
[26]
Gardet. Islam...,
hlm.32
[27]
Shiddiqi, Syi’ah...,
hlm.20-21