Rabu, 15 Mei 2013


PERPEKTIF ISLAM TERHADAP BUDAYA SIRI' BUGIS MAKASSAR
Oleh: Achmad Darwiz

A. Pendahuluan
Indonesia merupakan suatu negara yang dikenal dan diakui memiliki beragam potensi, baik pada wilayah geografis, pluralis dan keragaman masyarakatnya. Negara Indonesia  yang dikenal negara kepulauan terdiri dari berbagai suku bangsa memiliki bentuk dan corak kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sebagai negara kepulauan yang memiliki karakteristik yang terdiri dari bermacam-macam suku, adat, bahasa, kepercayaan serta agama[1] dengan latar belakang sejarah dan budaya yang berbeda-beda pula, tentunya Indonesia dikenal sangat unik.
Keragaman yang dimaksud dapat disaksikan dengan melihat banyaknya karakteristik dan nilai yang berlaku dalam masyarakat serta lahirnya perilaku yang bervariatif dalam suatu komunitas social.[2] komunitas social tersebut dapat dipandang sebagai simbol keanekaragaman dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Dalam masyarakat tersebut terdapat seperangkat tata nilai sebagai salah satu unsur yang diyakini dan menjadi frame of reference tentang bagaimana seharusnya seseorang berbuat, bersikap dalam kehidupan sosial. Nilai-nilai itulah yang mempengaruhi dan kadang-kadang dapat dikatakan “membentuk” keseluruhan sikap masyarakat terhadap suatu orientasi, dan itulah yang muncul atau terpolakan ke atas permukaan dalam kehidupan social masyarakat.[3]
Dalam aktivitas budaya, manusia tidak bebas nilai, karena kebebasan berprilaku manusia dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dengan melakukan perbuatan atau aktivitas kehidupan, manusia membentuk kebudayaan, dalam hal ini dengan berlandaskan doktrin al-Qur’an.[4] Untuk menghargai perbedaan ini, ada satu cara yang diajarkan sendiri oleh Allah, yaitu terimalah perbedaan itu sebagai suatu nikmat atau rahmat.[5] Sebagai sumber paling utama ajaran Islam, Al-Qur’an berfungsi memberi petunjuk jalan yang paling lurus (Q.S.Al-Isra’[17]:9)[6] bagi segenap umat manusia demi tercapainya kebahagiaan dalam hidup. Hal ini berarti bahwa misi utama (dan terpenting) dari Al-Qur’an adalah memberi tuntunan bagi umat manusia, mengenai apa-apa yang harus diperbuat dan tidak diperbuat dalam hidup keseharian.[7] Indonesia sebagai penganut Islam terbesar dengan budaya yang beragam disisi lain terjadi konfigurasi nilai-nilai Islam dan nilai-nilai tradisi budaya masyarakat yang tampak pada pola tingkah laku dalam relasi-relasi social. Nilai-nilai moral yang menjadi landasan kebudayaan, bukan dataran aplikatifnya yang bersifat plural, yang standard prosedur moral antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda-beda, yang dalam wujud kebudayaan ada pada apa yang disebut dengan adat istiadat.[8]
Dalam suatu tradisi budaya lokal, perangkat nilai tersebut dan pada umumnya tradisi-tradisi itu tercipta dengan landasan agama Islam, maka implementasi dan wujud dalam kehidupan social itu tak dapat terpisahkan dari legitimasi dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis Nabi. Maka jelas dalam implementasinya merupakan petunjuk dalam Al-Qur’an dan hadis tersebut. Nilai-nilai dalam tradisi budaya lokal itu, khusunya dalam pembahasan ini erat hubungannya dalam konteks nilai etika budaya yang terstruktur dalam adat dan istiadat masyarakat. Islam senantiasa memberikan warna yang sempurna dalam setiap tradisi itu sehingga tafsirannya senantiasa tertuju pada landasan Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Pada makalah singkat ini bertemakan “Budaya Siri’ Bugis Makassar dalam Perspektif Islam”. Siri’ sebagai salah satu budaya lokal yang mempunyai hubungan sangat kuat dalam pandangan Islam sebagai kerangka spiritualitas masyarakat yang kokoh. Islam sebagai rahmatan lil alamin dan merupakan kekuatan sejarah sangat mengapresiasi tradisi budaya lokal, kiranya dapat menjadi modal utama bagi umat Islam  dalam memasuki ranah peradaban yang plural dan multikultural sehingga setiap tradisi budaya−kearifal lokal (local wisdom) dalam suatu komunitas atau masyarakat patut untuk selalu dihargai dan diakui keberadaannya. 
Dari latarbelakang tersebut diatas, maka perlu ditelaah lebih jauh beberapa rumusan permasalahan yang perlu diekplorasi dalam makalah ini yaitu, (1) Bagaimana potret sejarah dan makna filosofis budaya Siri’ Bugis Makassar sebagai salah khazanah kearifan lokal?, (2) Bagaimana aspek tradisi budaya lokal Siri’ dalam perspektif Islam?, (3) Kandungan nilai-nilai pendidikan Islam seperti apa yang termuat dalam konteks Siri’ sebagai salah satu kebudayaan Bugis Makassar?
Permasalahan yang muncul tersebut diatas, maka pada makalah ini akan mendeskripsikan budaya Siri’ Bugis Makassar sebagai entitas kultur yang terintegrasi dalam Islam, budaya Siri’ yang sarat dan diyakini memiliki multimakna ditengah-tengah masyarakat sehingga Islam memberikan pandangan ditengah kekaburan. Disisi lain akan diperoleh pengetahuan akan nilai-nilai karakter yang termuat dalam budaya lokal Siri’ Bugis Makassar sehingga kita yang akan menyikapi suatu peristiwa tetap menempatkan secara sejajar antara nilai-nilai budaya suatu kearifan lokal (local wisdom) dan Islam sehingga terwujud masyarakat yang civil society dan bermartabat.
Budaya Siri’ ini tidak hanya dikenal dalam Bugis Makassar namun dikenal pula dikalangan Toraja dan Mandar yang mendiami daratan Sulawesi Selatan.[9] Siri’ sebagai salah satu varian dalam Islam memiliki makna filosofis sehingga perlu dilakukan perambahan intelektual. Kendati demikian, dalam pembahasan ini, dengan tidak mengurangi eksistensi dua suku bangsa lainnya di daerah ini, hanya mengetengahkan suku Bugis MakassarHanya kosakata dan penyebutannya saja yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya memiliki kesamaan dalam berinteraksi dengan sesama.

B.     Sekilas Sejarah dan Makna Budaya Siri’ Bugis Makassar
1.      Ikhtisar umum sejarah kebudayaan Bugis Makassar
Kebudayaan Bugis Makassar adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis-Makassar yang mendiami bagian terbesar dari jazirah selatan dari pulau Sulawesi.[10] Orang Bugis dan Makassar merupakan rumpun yang satu. Orang bugis adalah salah satu dari berbagai suku bangsa di Asia Tenggara dengan populasi lebih dari empat juta orang. Mereka termasuk ke dalam rumpun keluarga besar Austronesia.[11] Suku Bugis adalah suku terbesar yang ada di Sulawesi Selatan. Mereka yang berada di luar Sulawesi Selatan lebih banyak lagi. Mereka mendiami 15 dari 21 kabupaten di Sulawesi Selatan.[12] Dari bahasa, tulisan dan kesusasteraan, orang  Bugis mengucapkan bahasa “Ugi” dan orang Makassar bahasa “Mangkasara”. Kedua bahasa tersebut dipelajari dan diteliti secara mendalam oleh seorang ahli bahasa Belanda B.F.Matthes, dengan mengambil berbagai sumber kesusasteraan tertulis yang sudah dimiliki oleh orang Bugis Makasar berabad-abad lamanya.[13] Kesusasteraan tertulis tersebut yang disebut dengan Lontara.[14]
Asal-usul orang Bugis hingga kini masih tidak jelas dan tidak pasti. Berbeda dengan wilayah Indonesia bagian barat, Sulawesi Selatan sama sekali tidak memiliki monument Hindu atau prasasti, baik dari batu atau pun dari logam yang memungkinkan dibuatnya suatu kerangka acuan yang cukup memadai untuk menelusuri sejarah orang Bugis sejak abad pertama Masehi hingga ke masa ketika sumber-sumber tertulis Barat cukup tersedia.[15] Masa lalu orang Bugis dapat dibagi menjadi tiga periode yaitu:[16] Pertama, Periode Sejarah yang bersumber dari kronik Bugis, ditambah dengan sumber-sumber luar. Kedua, periode Bugis awal dapat diketahui melalui satu-satunya sumber tertulis setempat, yakni siklus La Galigo yang harus dimanfaatkan dengan sangat hati-hati. Ketiga, Periode Prasejarah yang sama sekali tidak memiliki sumber tertulis; hanya mengandalkan bukti-bukti arkeologis. Jika kita merujuk pada sumber tertulis yakni siklus La Galigo[17] tersebut dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio[18] maka hanya dapat dikemukakan pandangan bahwa Bugis  telah ada jauh sebelum abad ke-17 Masehi. Hal ini dikarenakan pendatang Minangkabau dan Melayu yang melakukan perantauan ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga adminstrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi yang juga dikategorikan sebagai orang bugis. Sejak awal abad ke-17 Masehi, setelah menganut agama Islam, orang Bugis−bersama dengan orang Aceh dan Minangkabau di Sumatera, Kalimantan dan Malaysia; orang Moro[19] di Mindanao; orang Banjar di Kalimantan; orang Sunda di Jawa Barat; dan orang Madura di Pulau Madura dan Jawa Timur−dicap sebagai orang Nusantara yang paling kuat identitas keislamannya. Agama orang Bugis adalah agama Islam, tanpa mengeksplisitkan kemayoritasannya, mengingat sejarah orang Bugis sejak masuknya agama Islam sampai sekarang ini, menunjukkan adanya perpaduan antara kebudayaan Bugis dan agama Islam.[20] Orang Bugis malah menjadikan agama Islam sebagai bagian integral dan esensial dari adat istiadat dan budaya mereka.[21]
Orang Bugis Makassar, yang dalam kehidupan sehari-harinya terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adat yang keramat dan sakral yang keseluruhannya disebut Pangngaderreng[22] (Pangngadakkan dalam bahasa Makassar). (Kata Pangngadereng atau Panngadakkang) berasal dari ade’ atau ada’ yang bersumber dari bahasa Arab ‘adah).[23] Unsur pokok dalam Pangngadereng atau Pangngadakkan tersebut terintegrasi satu sama lain sebagai suatu kesatuan organis dalam pikiran orang Bugis Makassar, demikian pula martabat dan harga diri yang terkandung semuanya dalam konsep Siri’. Dalam adat Istiadat, bagi suku-suku lain disekitarnya, orang bugis dikenal sebagai orang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, mempertahankan kehormatan, mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya.[24] Dalam konteks ini Siri’ akan terwujud dalam diri bilamana tidak mampu mempertahankan kehormatannya atau harga dirinya sehingga merasa malu. Sifat dan karakter yang melekat dan merupakan cerminan sekaligus budaya yang tertanam yang salah satunya disebut dengan budaya Siri’ dalam masyarakat Bugis Makassar. Budaya Siri’ inilah yang merupakan ciri khas bagi orang Bugis Makassar yang salah satunya suku terbesar di Indonesia.
2.      Makna Budaya Siri’ Bugis Makassar
Sebelum kita mengkaji tentang Siri’, maka Siri’ sebagai aspek kebudayaan atau aspek Antropologi budaya Bugis maupun Makassar, Toraja dan Mandar. Guna mengkajinya dan menghayatinya, secara mendasar dibutuhkan pengenalan pada pengertian budaya dan kebudayaan tersebut terlebih dahulu.
a.       Pengertian Budaya
Istilah budaya dan kebudayaan  dalam bahasa Indonesia yang biasa dipakai oleh umum dalam pembicaraan sehari-hari mengandung pengertian mengenai bangunan-bangunan indah, candi-candi, tari-tarian, seni-suara, seni rupa dan sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya adalah pikiran, akal budi.[25] Budaya diistilahkan pula adat istiadat. Dalam disiplin keislaman, adat istiadat diistilahkan dengan ʼadah yang oleh banyak pakar yurisprudensi Islam dianggap memiliki kedekatan pengertian dengan ‘urf. ‘Urf secara etimologis berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima akal sehat. Dalam terminologi usul al-fiqh, ‘urf adalah “sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka, baik berupa perbuatan maupun perkataan”. Dengan definisi seperti ini, maka ʼurf sama dengan adat istiadat, yaitu kebebasan seseorang yang kemudian diikuti oleh yang lain sehingga menjadi adat sebuah masyarakat tertentu dijalankan bersama dan dipatuhi bersama.[26] Dalam lingkungan antrophologi, definisi kebudayaan dirumuskan bahwa, kebudayaan ialah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata-kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.[27] Kebudayaan adalah suatu sistem pengetahuan, cara memandang dan merasakan, berfungsi seabagai pedoman dan pengarah bagi perilaku manusia warga komunitas.[28]
Dari beberapa pandangan tersebut di atas maka dalam konteks ini budaya atau adat istiadat dapat disimpulkan bahwa suatu sistem kebiasaan yang termuat dalam tata kelakuan baik perkataan dan perbuatan suatu komunitas masyarakat yang menjadi sebuah ciri khas kehidupan yang dipatuhi dan dijalankan bersama. Budaya yang dijalankan oleh komunitas masyarakat tersebut hendaknya pula bertumpu pada nilai religius, sebagaimana Dr. Abd. Haris mengutip Hamka melihat kebudayaan yang dibangun hendaknya berakar pada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.[29]
b.      Makna Siri’
1)      Menurut Bahasa
Dalam Bugis Makassar nilai-nilai budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam, setidaknya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam seperti menjaga harga diri atau malu[30] yang lebih dikenal dalam Bugis Makassar yang disebut dengan Siri’. Secara harfiah kata Siri’ dalam sistem adat Bugis di Sulawesi Selatan mempunyai makna yang berdimensi ganda, disatu sisi artinya malu, di sisi lain berarti harga diri.[31] Andi Rasdiyanah mengutip Shelly Errington berpendapat bahwa Siri’ pada orang Bugis mengandung unsur penting, yaitu harga diri dan malu.[32] Jadi malu dan harga diri tidak dapat dipisahkan yang terdapat pada diri seseorang.
2)      Menurut Istilah
Istilah (terminologi) Siri’ dapat didekati dari sudut makna menurut bahasa namun dapat pula dicermati menurut kultural. Dari hasil penelitian ahli-ahli ilmu sosial dapat diketahui bahwa konsep Siri’ itu telah diberi interpretasi yang bermacam-macam menurut lapangan keahlian dari para ahli masing-masing.[33] Manakala kita ingin mendalami pengertian Siri’ dengan segenap masalahnya antara lain dapat diketahui dari buku La Toa.[34] Buku ini berisi pesan-pesan dan nasehat-nasehat yang merupakan kumpulan petuah untuk dijadikan suri teladan. Contohnya seperti; Siri’ sebagai harga diri atau kehormatan, Passampo Siri’ (penutup malu), Mappakasiri’ (dinodai kehormatannya), Ritaroang Siri’ (ditegakkan kehormatannya), dan Siri’ sebagai perwujudan sikap tegas demi kehormatan tersebut.
Dari makna ganda tersebut di atas, maka Siri’ dapat dipahami sebagai berikut yaitu:
a)      Menurut Koentjaraningrat mengutip Salam Basjah memberi tiga pengertian kepada konsep Siri’ itu ialah; malu, daya pendorong untuk membinasakan siapa saja yang telah menyinggung rasa kehormatan seseorang, atau daya pendorong untuk bekerja atau berusaha sebanyak mungkin.[35]
b)      Christian Pelras mengutip Hamid Abdullah dalam bukunya “Manusia Bugis−Makassar” bahwa dalam kehidupan manusia Bugis−Makassar, Siri’ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu pun nilai yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain dari pada Siri’. Bagi manusia Bugis−Makassar, Siri’ adalah jiwa mereka, harga diri dan martabat mereka. Sebab itu untuk menegakkan dan membela Siri’ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis−Makassar akan bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwa yang paling berharga demi tegakknya Siri’ dalam kehidupan mereka.[36]
c)      Siri’ adalah rasa malu yang mendorong sifat untuk memberi hukuman moril atau membinasakan bagi yang melakukan pelanggaran adat terutama dalam soal atau masalah perkawinan.
Hal ini dapat pula dikatakan bahwa Siri’ juga ada dalam konteks malu, Siri’-siri’ atau tau passiri’-siri’seng (bahasa Bugis), tau passiriang (Bahasa Makassar dan Mandar) yang artinya orang pemalu. Istilah siri’-siri’ yang sangat dikenal dalam suku tertentu di Sulawesi Selatan merupakan penamaan bagi seseorang yang berada dalam keadaan sangat malu, sehingga digambarkan ibarat helai daun pinang yang berkerut karena dijemur dibawah terik sinar matahari.[37]
Siri’ dapat pula dikonotasikan sebagai sikap segan serta takut. Contoh ungkapan seperti; Masiri’ka mewaki situdangang, nasaba engka onrotta (bahasa Bugis), artinya, “aku takut duduk bersama tuan, karena tuan memiliki kedudukan terpandang”. De’ga mumasiri’ri nabitta, nade muturusiwi penggajaranna, artinya “tidakkah engkau takut kepada Nabi kita sehingga tidak mematuhi ajarannya”.[38]
3)      Makna Kultural
Makna kultural dalam seminar tentang Siri’ yang diselegarakan oleh Universitas Hasanuddin tahun 1977 telah dirumuskan definisi Siri’ yaitu sebagai sistem nilai sosio-kultural dan  kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.[39] Makna kultural kata Siri’ baru dapat dihayati secara komprehensif manakala diamati dari sisi keberadannya sebagai sistem nilai budaya pada empat sistem adat suku yang ada di Sulawesi Selatan[40] yaitu Bugis, Makassar, Tator dan Mandar.
Menurut Abu Hamid orang Bugis Makassar di pedesaaan menekankan sikap moral yang sangat tinggi, perilaku seseorang dinilai mengandung moral bilamana memiliki enam sifat, seperti, Malempu (jujur), ada tongeng (berkata benar), getteng (keteguhan hati), Siri’ (rasa malu), amaccang (kepintaran), dan makkareso (berusaha). Sikap kehendak yang merupakan etos dibarengi dengan sikap mental dan prilaku yang baik menjadi jembatan bagi anugerah Tuhan.[41]

Nilai-nilai tersebut terangkum dalam adat-istiadat yang dianggapnya luhur dan suci mempengaruhi keseluruhan perilakunya. Apabila ada diantaranya yang mencoba melanggar salah satu adat, maka ia akan memperoleh sangksi sosial yaitu berupa pemencilan.[42]
Dari berbagai pandangan tersebut di atas tentang makna Siri’ maka dapat disimpulkan bahwa Siri’ adalah etos kultur, prinsip hidup atau pendirian masyarakat yang melekat pada system nilai yang berimplikasi dalam system budaya, sosial dan kepribadian seseorang atau suatu masyarakat khususnya Bugis MakassarBagi masyarakat Bugis-MakassarSiri' mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya.

C.    Siri’ Bugis Makassar dalam Perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits

1.      Budaya Siri’ dalam perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits
Siri’ merupakan salah satu sifat kepribadian manusia. Siri, sebagai akhlak yang relevansinya banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW. Al-qur’an menjelaskan kepribadian manusia dan ciri-ciri umum yang membedakannya dengan makhluk lain. Al-qur’an juga menyebutkan sebagian pola dan model umum kepribadian yang banyak terdapat pada suatu masyarakat,[43] salah satunya Siri’ dalam Bugis Makassar. Mengenai kepribadian manusia tersebut dalam Al-Qur’an diisyaratkan:
ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  
Artinya:“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syams [91]:9-10.[44]

Konsep tentang Siri’ mendapat tambahan yang terkait dengan istilah Arab sir berarti rahasia. Kata rahasia mengandung pengertian tentang sesuatu yang tersembunyi, yakni sesuatu yang bersifat fundamental dalam diri manusia yakni jati diri atau kepribadian. Makna Siri’ mendapat tambahan disamping bermakna rasa malu yang mendalam dan harga diri, juga bermakna rahasia tersembunyi dalam diri manusia.[45] Karena Siri’ adalah sesuatu hal yang abstrak dan hanya akibatnya yang berwujud konkrit saja yang dapat diamati dan diobservasi.[46]
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Mujadalah ayat 11, potongan ayat dibawah ini ditemukan kata ,  در جت yang artinya “derajat”.
Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×ŽÎ7yz ÇÊÊÈ  
Artinya: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(Q.S.Al-Mujadalah [58):11)[47]

Berdasarkan ayat ini, Allah hanya memberikan  derajat kemuliaan kepada orang-orang yang berilmu namun bertakwa dan beriman. Jika sekiranya mengidentikkan Siri’ dan darajat sebagaimana yang disebutkan Allah dalam ayat ini, maka seolah-olah Allah berkata “yang memiliki Siri’ hanyalah orang-orang yang berilmu dan menggunakan akalnya”.[48]
Relevansi etimologi Siri’ (malu dan harga diri) sangat erat kaitannya dalam Islam, maka akan ditemukan sebuah istilah seperti hayaa’ (malu) berasal dari kata al-hayaa’  (hidup) dan ada pula yang mengartikan hayaa’  (hujan) dan ghirah (harga diri).[49] Malu adalah sifat atau perasaan yang menimbulkan kerengganan melakukan sesuatu yang rendah atau tidak baik.[50] Malu dan harga diri inilah yang perlu dimiliki oleh setiap orang. Al-hayaa’ atau rasa malu ialah suatu sifat yang ada dalam hati dan jiwa manusia, yang mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan ketaatan, serta mencegahnya dari prilaku buruk, tercela dan yang memalukan.[51] Ibnu Hajar Al Asqalani mengutip Ar-Raghib, malu adalah menahan diri dari perbuatan buruk.[52]
Sifat rasa malu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari iman, karena ia merupakan salah satu buah dan konsekuensi utamanya.
Rasulullah SAW bersabda:
.“وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Artinya:“Dan rasa malu adalah satu bagian dari iman” (H.R. Abu Hurairah R.A).

Menurut Ibnu Qutaibah yang dikutip Ibnu Hajar Al Asqalani, bahwa sifat malu dapat menghalangi dan menghindarkan seseorang untuk melakukan kemaksiatan  sebagaimana iman. Maka sifat malu disebut sebagai iman, seperti sesuatu dapat diberi nama dengan nama lainnya yang dapat menggantikan posisinya.[53]
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ.

Artinya:“Sesungguhnya diantara kata-kata kenabian terdahulu yang masih diingat oleh masyarakat adalah: “Jika kamu sudah tidak punya rasa malu lagi, maka berbuatlah sekehendakmu” (HR. Al-Bukhari).

Terdapat beberapa penjelasan ulama mengenai hadis tersebut, diantaranya:
a.       Bentuk hadits di atas adalah perintah tapi maksudnya adalah pemberitaan. Hal ini di karenakan sebagai pencegah utama agar manusia tidak terjerumus ke dalam kejahatan adalah sifat malunya. Maka jika ia meninggalkan sifat malunya, ia seakan-akan di perintahkan untuk mengerjakan semua larangan.
b.      Hadits di atas merupakan ancaman, artinya lakukan apa saja yang kau inginkan karena sesungguhnya Allah akan membalas semua perbuatanmu.
c.       Lihatlah kepada apa yang ingin engkau lakukan. Jika tidak termasuk yang membuat malu maka lakukanlah, jika termasuk yang membuat malu, maka tinggalkanlah.
d.      Hadits di atas mendorong pada sifat malu dan memuji keutamaannya. Artinya karena seseorang tidak boleh berprilaku semata-mata mengikuti kehendak hatinya, maka ia tidak boleh meninggalkan sifat malunya.[54]
         Sifat malu merupakan akhlak terpuji yang menjadi keistimewaan ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda:

إنَّ الِكُلِّ دِ يْنِ خَلُقُا وُخُلقُ ا لٍاسْلَامِ الْحَيَاءُ. رواه.ما لك

Artinya:“Sesungguhnya semua agama itu mempunyai akhlak, dan akhlak Islam itu adalah sifat malu”.(HR. Malik)

Malu terbagi atas tiga jenis yaitu, pertama, malu kepada Allah, kedua, malu kepada diri sendiri dan ketiga, malu kepada sesama manusia. Rasa malu berfungsi mengontrol dan mengendalikan seseorang dari segala sifat dan perbuatan yang dilarang oleh agama. Tanpa kontrol rasa malu seseorang akan bebas melakukan apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya.[55] Muhammad Al-Gazali mengemukakan bahwa jika tanda-tanda rasa malu sudah tidak ada lagi pada wajah seseorang, seperti kayu yang sudah terkelupas dari kulitnya yang hijau, itu merupakan suatu isyarat bahwa keutamaan pada diri seseorang itu telah pudar.[56]
Sifat malu merupakan bagian dari akhlak yang diajarkan dalam Agama Islam. Oleh karena itu akhlak dan perilaku utama merupakan bagian penting dari eksistensi masyarakat Islam. Mereka adalah masyarakat yang mengenal persamaan dan keadilan, kebajikan dan kasih sayang, kejujuran dan kepercayaan, sabar dan kesetiaan, rasa malu dan harga diri, kewibawaan dan kerendahatian, kedermawanan dan keberanian, perjuangan dan pengorbanan, kebersihan dan keindahan, kesederhanaan dan keseimbangan, kepemaafan dan kepenyantunan, serta saling menasehati dan bekerja sama.[57] Akhlak atau prilaku dalam Islam adalah yang terwujud melalui proses aplikasi system nilai/norma yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis.
Seperti firman Allah SWT dalam (Q.S.Ali Imran: 159-160),
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $ˆàsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ÍöDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(Q.S. Al Imran: [3]:159).[58]

Hadis Nabi seperti yang diriwayatkan Ahmad dari Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ (رواه أحمد)
Artinya:“Dari Abu Hurairah R.A, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya saya diutus (kepada manusia hanyalah) untuk menyempurnakan akhlak.”. (HR. Ahmad).
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW tersebut maka dalam hal ini dapat ditelaah bahwa dalam adat-istiadat Bugis Makassar, Siri’ (hayaa> dan ghirah), atau malu dan harga diri adalah dua sifat yang tidak hanya dijunjung tinggi dalam tradisi Islam akan tetapi juga diyakini sebagai bagian terpenting dari struktur keimanan seorang muslim sehingga sering kali ditegaskan bahwa konsep Siri’ dalam tradisi adat Sulawesi Selatan adalah sumber inspirasi dan inti dari bangunan kebudayaan mereka yang bersifat Islami.[59] Siri’ sebagai akhlak dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, karena pada hakekatnya akhlak adalah buah dari iman dan ibadah seseorang.[60] Siri’ sebagai bentuk kepribadian dan kepribadian seseorang atau manusia secara umum dalam suatu komunitas social menjadi salah satu bentuk adat istiadat yang banyak dijelaskan  dalam Al-Qur’an sebagaimana yang telah dicontohkan di atas karena inti budaya Siri’ tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat terutama pada Bugis Makassar.
Etika sosial dan budaya yang bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sifat jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa. Sejalan dengan itu, perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.[61]
2.      Nilai-Nilai pendidikan Islam dalam konteks budaya Siri’ Bugis Makassar
Berangkat dari definisi Siri’ sebagai konteks budaya lokal dan penjelasan ayat Al-Qur’an serta Hadis Nabi tersebut di atas, maka nilai-nilai pendidikan Islam budaya Siri’ Bugis Makassar dikategorikan sebagai berikut:
a.       Nilai Malu
Nilai malu berkait erat dengan perasaan malu. Perasaan malu merupakan salah satu pandangan nilai dalam kehidupan budaya Bugis Makassar, mengingat perasan malu menjadi bagian konsep, gagasan, ide, yang menempati sistem budaya (culture system). Nilai malu adalah bagian dari sistem nilai budaya Siri’.
Semua makna kata malu dimaksud belum sepenuhnya mengenai bagi pengertian nilai malu dalam kaitan sistem nilai budaya Siri’. Nilai malu dalam sistem nilai budaya Siri’mengandung ungkapan psikis yang dilandasi perasaan malu yang dalam guna berbuat sesuatu hal yang tercela serta dilarang oleh kaidah adat. Nilai malu dalam Siri’ adalah terutama berfungsi sebagai upaya pengekangan bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang tercela,[62] dan sebagai kontrol terhadap terhadap dorongan-dorongan sikap yang dapat yang menjurus pada hal yang negati dipandang bertentangan dengan nilai-nilai moral dalam kehidupan budaya masyarakat. Karena dalam pandangan Islam malu terkait erat dengan iman. Iman bertambah dengan bertambahnya rasa malu dan berkurang dengan berkurangnya rasa malu.[63] Hal tersebut sebagaimana hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Al-Hakim yang artinya: “Rasa malu dan iman dua-duanya adalah sejalan, bila yang satu hilang maka hilanglah yang lain”.[64]
b.      Nilai Harga Diri (Martabat)
Harga diri  berarti kehormatan, disebut pula martabat. Nilai harga diri (martabat) merupakan pkisis terhadap perbuatan tercela serta dilarang oleh kaidah adat (ade’). Nilai harga diri (martabat) menjadikan individu tidak mau melakukan perbuatan yang dipandang tercela serta dilarang oleh kaidah hukum (ade’) Karena hal dimaksud berkaitan dengan harkat kehormatan dirinya sebagai individu (pribadi), dan sebagai anggota masyarakat.[65] Jadi jelas bahwa tidak ada alasan untuk bagi individu dan masyarakat untuk tidak mempertahankan harga dirinya atau martabatnya.
Dari nilai utama tersebut diatas terdapat pula nilai-nilai relative (nisbi) yang dibatasi oleh waktu dan tempat. nilai-nilai ini terimplikasi pada budaya Siri’ seperti:
c.       Pacce atau Pesse
Pacce atau pesse mangandung makna belas kasih, setia kawan dan solidaritas social. Kata pacce atau pesse sering digandengkan dengan kata Siri’ sehingga menjadi siri na pace (Makassar) atau siri na pesse (Bugis) sehingga bermakna rasa malu atau harga diri dan belas kasih. Siri’ lebih menekankan pada implikasi individual tanpa mengabaikan implikasi sosialnya, sementara pacce atau pesse lebih menekankan implikasi social tanpa mengabaikan implikasi individualnya.[66] Kendati pacce atau pesse sebagai aspek hakiki dari makna siri’ namun hal ini menjadi salah satu indikator yang amat penting sebagai konsep yang menekankan pada pendidikan akhlak. Siri’ na Pacce atau Pesse yang merupakan nilai etis terdapat nilai yang meliputi:
1)      Ada tongeng,
Ada tongeng atau lempu’, artinya ungkapan benar atau kejujuran. Kata ini ditutupi oleh kebiasaan berkata bohong dan dusta. Betapa pun sulit dan rumitnya suatu urusan, harus selalu berkata benar. Berbohong merupakan awal dari perbuatan maksiat. Sekali berbohong diucapkan dan didengar oleh orang lain, akan beredar kebohongan, sampai terbukti kita tidak percaya lagi.
2)      Amaccang atau acca,
Amaccang atau acca artinya kepintaran atau cendikiawan. Hal yang menutup kepintaran adalah kemarahan atau suka marah. Ciri orang yang pintar selalu manyameng ininnawa (tenang hati dan pikiran) memandang segala sesuatu dengan sikap madeceng kalawing ati (baik kandungan hatinya). Orang pintar itu orang yang memikirkan lebih dahulu semua akibat dan dampak suatu perbuatan, barulah dilaksanakan.[67]
3)      Getteng,
Getteng artinya taat asas atau konsisten dan keteguhan. Sikap ini harus ditegakkan, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan. Hal yang menutupi sikap ini adalah ucapan dan pendiriannya yang berubah-ubah sehingga bingung. Sikap ini memang situasional, namun dasar kejujuran menjadi tujuannya.
4)      Awaraningen,
Awaraningen, artinya (keberanian), sikap ini berkaitan dengan sikap magetteng, yaitu berani melakukan keputusan hasil kesepakatan.  
5)      Sipakatau
Sipakatau, artinya humanis (Saling Memanusiakan). Budaya sipakatau sudah dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan sejak lama, terpaut dalam kesadaran mereka, digunakan untuk pergaulan sehari-hari. Sikap ini terwujud dalam sopan santun dan bertutur kata berbudi bahasa, mulia dalam komunikasi dalam tatap muka.
6)      Madeceng kalawing ati
Madeceng kalawing ati, artinya baik kandungan hati. Sikap mental ini kurang lebih sebangung dengan ajaran agama, yaitu husnu dzam (baik sangka). Lebih dari itu, sikap ini harus diwarnai keikhlasan dalam bertindak, bahwa semua itu untuk pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa[68]−(Allah SWT).

D.    Penutup
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bugis Makassar adalah dua suku yang merupakan rumpun yang sama yang mendiami wilayah Sulawesi bagian selatan, orang Bugis Makassar dalam kehidupan sehari-harinya terikat sistem norma dan adat istiadat. Sistem norma dan adat-istiadat orang Bugis Makassar itu berdasarkan atas lima unsur pokok ialah: (1) Ade’ (ada’ dalam Makassar); (2) Bicara; (3) Rapang; (4) Wari’ dan (5) Sara’ (Sara’ dalam bahasa Arab Syariah adalah unsur pokok dalam Pangngadereng atau Pangadakkang yang berasal dari agama Islam). Dalam sistem adat tersebut, konsep Siri’ selalu dihayati oleh orang-orang yang berpegang teguh pada ade’ serta sistim Pengadereng. Siri’ adalah etos kultur, prinsip hidup atau pendirian masyarakat yang melekat pada system nilai yang berimplikasi dalam system budaya, social dan kepribadian seseorang atau suatu masyarakat. Bagi masyarakat Bugis-MakassarSiri' mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya karena seseorang yang tidak memiliki Siri’ adalah lepas dari konteks moralitas ade’ serta kesepakatan adat.
Ciri khas budaya Siri’ adalah kecenderungan orang Bugis Makassar selalu mempertahankan Siri’ kapan dan dimanapun mereka berada, sehingga terkadang dapat dikatakan bahwa orang Bugis Makassar rela mati demi mempertahankan Siri’ yang dimilikinya, sifat dan karakter yang melekat dan merupakan cerminan sekaligus budaya yang tertanam dalam diri orang Bugis Makassar.  Esensi Siri’ adalah harga diri dan kehormatan yang secara implisit membawa serta rasa malu yang mendalam yakni suatu rasa yang timbul akibat penodaan terhadap harga diri dan kehormatan. Siri’ mempunyai filosofi yang sangat mendalam, sehingga selalu nampak dalam kepribadian orang Bugis Makassar.  Berdasarkan pesan dan penjelasan dalam Lontarak bahwa “Siri’ emmi na totau”, (Bugis), “Siri’emmi na rikana tau” (Makassar), artinya karena dengan “Siri’-lah sehingga kita dinamakan manusia”. “Siri’ emmi rionroang rilino”, (bugis) “Hanya dengan Siri’ kita hidup didunia”.
Siri’ merupakan salah satu sifat kepribadian manusia, dalam kepribadian manusia tersebut dikatakan sebagai akhlak dalam konteks ini yang relevansinya banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW. Islam sangat menekankan betapa pentingnya sebuah akhlak dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep Siri’ tersebut adalah bagian tata nilai yang sangat urgen dan merupakan sebuah tradisi budaya lokal yang perlu dilestarikan yang tentunya harus senantiasa sesuai dengan asas-asas ajaran agama Islam sebagai landasannya. Siri’ (hayaa’ dan ghirah), atau malu dan harga merupakan dua sifat yang tidak hanya dijunjung tinggi dalam tradisi Islam akan tetapi juga diyakini sebagai bagian terpenting dari struktur keimanan seorang muslim. Siri’ dalam konteks malu dan harga diri, orang Bugis Makassar akan merasa malu jika harga dirinya dihina, dan disisi lain orang Bugis Makassar akan merasa malu jika tidak menegakkan martabat (harga diri) demikian pula akan merasa malu jika tidak gagal dalam berusaha dan tidak berbuat yang lebih baik.
Tradisi budaya lokal Siri’ dalam masyarakat utamanya Bugis Makassar mengandung nilai-nilai etika hukum dan sekaligus nilai-nilai pendidikan yang juga sangat menekankan pada pada aspek kehidupan sehari. Adapaun nilai-nilai tersebut adalah, Nilai malu dan nilai harga diri sebagai nilai utama dalam konteks budaya Siri’. Disisi lain nilai-nilai yang bersifa nisbi yang dibatasi oleh waktu dan tempat. nilai-nilai ini terimplikasi pada budaya Siri’ seperti atau Pacce atau Pesse, Ada Tongeng (Kejujuran), Amaccang (Kepintaran), Getteng (Keteguhan), Awaraningen (Keberanian), Sipakatau (Memanusiakan) dan, Madeceng kalawing ati (Baik kandungan hati).
Penghayatan akan nilai-nilai etika kandungan Siri’ yang didalamnya memuat nilai-nilai malu serta harga diri (martabat) seyogyanya harus bermula ditanamkan dalam kehidupan keluarga. Anak-anak dibiasakan merasa malu melakukan perbuatan tercela dan terlarang, serta pada saat yang sama ditanamkan perasaan harga diri guna selalu melukakan hal yang baik dan terpuji.








DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Kamri, Budaya Siri’ Bugis Makassar Sebagai Langkah Prevensi Delik, Suatu Kajian Delik Pembunuhan dan Pencemaran Nama Baik Orang Lain, Semarang: Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 1997.

Ana Retnoningsih, Suhartono, dan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Lux), Semarang: Widya Karya, 2011.

Anshoriy, Nasruddin, Anregurutta Ambo Dalle Maha Guru daru Bumi Bugis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009.

Al-Asqalani, Hajar, Ibnu, Fathul Baari (Penjelasan Kitab Shaih Al Bukhari)  terj. Ghazirah Abdi Ummah, edt. Abu Rania, Lc dan Titi Tartila, S.Ag, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.

Al-Gazali, Muhammad, , Khuluqul Muslim,  Akhlak Seorang Muslim,, terj. Abu Laila dan Muhammad Tahir, Bandung: PT. Alma’arif Bandung, 1995.

Baki, Nasir, Pola Pengasuhan Anak dalam Keluarga Bugis (Studi tentang Perubahan Sosial dalam Keluarga Rappang di Sulawesi Selatan, Disertasi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005.

Banuamandar, Siri dan Pengaruhnya dalam Masyarakat, dalam website http://banuamandar.blogspot.com /2012/05.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan TerjemahNya, Bandung: PT Sygma Examedia Arkalema, 2009.

Faruq, Umar, Kebudayaan dan Agama dalam Konteks Indonesia Menurut Musa Asy’arie, Yogyakarta: Skripsi, Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2007.

Hamid, Abu, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.

Haris, Abd., Etika Hamka, Kontruksi Etik Berbasis Rasional Religius, Yogyakarta: LKiS, 2010.

Hilali, 'Ied, Salim, bin, alMalu Menurut al-Quran dan as-Sunnah yang Shahih, dalam Website http://ebook.mw.lt/jowo2/txtmalu.txt.


Huda, Miftahul, Al-Qur’an dalam Perspektif  Etika dan Hukum, Yogyakarta: Teras, 2009.

Huzain, Muhammad, Etika Budaya “Sipakatau” masyarakat Bone. Yogyakarta: Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2006.

Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LLPI), 2011

Imdadun, Rahmat, M., Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Sayed Mahdi, Singih Agung, (ed), Jakarta: Erlangga, 2003.
Indah, Mawaddah, Al-Hayaa’ atau Rasa Malu, dalam website http://mawaddahindah. wordpress.com/2012/04/07/.

Karim, Abdul, Konsep Kesadaran Harkat Siri’, dalam website, http://abdulkarim8284. blogspot.com/2012/04/.html.

Khaled, Amr, Akhlak Al-Mu’min, Buku Pinta Malu (Memandu anda Berkepribadian Muslim dengan Lebih Asyik, Lebih Otentik, terj. Fauzi Faisal Bahreisy. Jakarta: Zaman, 2010.

Koentjaraningrat, Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.

_____________, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2010.

Kurniawan, Bhimo, Menggali Nilai Nilai Budaya Bugis Makassar, dalam Website http://id.scribd.com/doc.

Mappangara, Supriadi, Bugis Makassar di Lintasan Sejarah, dalam Website, http://ila-galigo. blogspot.com/2009/05/.html.

Mattulada, Latoa: Suatu Tulisan Analisis Terhadap Antropologi-Politik Orang Bugis. Jakarta: Universitas Indonesia, 1975.

Nawawi, Syauki, Rif’at, Kepribadian Qur’ani, Jakarta: Amzah, 2011.

Pelras, Christian, Manusia Bugis, Oxford Inggris: Blackwell Publisher Limited, terj. Abdul Rahman Abu, et.al., Jakarta: Penerbit Nalar, 2006.
Portal Bugis, Manusia Bugis Rantau, Budayanya Siri’ Bugis Makassar,   dalam website, https://portalbugis.wordpress.com.

Tim PUSPAR UGM, Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan, Wawasan Budaya untuk Pembangunan: Menoleh Kearifan Lokal, Yogyakarta: Pilar Politika, 2004.
Rasdiyanah, Andi, Integrasi Sistem Pangngadereng (Adat) dengan Sistem Syari’at sebagai Pandangan hidup orang Bugis dalam Lontarak Latoa, Yogyakarta: Disertasi IAIN Sunan Kalijaga,1995.

Ratna Susanti, Yusuf Qardhawy, , Masyarakat Berbasis Syariat Islam, Akidah, Ibadah, Akhlak. Edt, Surakarta: Era Intermedia, 2003.

Said, Nurman, Masyarakat Muslim Makassar: Studi Pola-Pola Integrasi Sosial antara Muslim Pagama dengan Muslim Sossorang, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009.

Setiawan, Nur Kholis, M., Pribumisasi Al-Qur’an Tafsir Berwawasan Keindonesiaan, Yogyakarta: Kakubata Dipantara, 2012.

Suraji, Imam, Etika dalam Perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits,  Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2006.



[1]Pengertian dalam konteks ini adalah pengertian yang biasa digunakan untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi oleh negera Indonesia yakni: Islam, Protestan, Katolik, Hindu-Dharma, Buddha-Dharma. Koentjaraningrat, Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm.149.
[2]Muhammad Huzain, Etika Budaya “Sipakatau” masyarakat Bone. (Yogyakarta: Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm 2.
[3]Tim PUSPAR UGM, Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan, Wawasan Budaya untuk Pembangunan: Menoleh Kearifan Lokal,  (Yogyakarta: Pilar Politika, 2004), hlm.326.
[4]Umar Faruq, Kebudayaan dan Agama dalam Konteks Indonesia Menurut Musa Asy’arie, (Yogyakarta: Skripsi, Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2007), hlm. 99.
[5]Hal ini dapat berarti perbedaan itu dipandang sebagai berkah. Karena dengan perbedaan itu, kita bisa saling dialog, kenal mengenal, menguji argument, mempertajam pemikiran dan mengembangkan kehidupan. Tanpa keragaman itu, kehidupan akan berjalan di tempat, akan statis. Rahmat, M. Imdadun, Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas, (edt), Sayed Mahdi, Singih Agung, (Jakarta: Erlangga,2003),hlm.118.
[6]Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah-Nya, (Bandung: PT Sygma Examedia Arkalema, 2009), hlm. 283.
[7]Miftahul Huda, Al-Qur’an dalam Perspektif  Etika dan Hukum, (Yogyakarta: Teras, 2009),hlm.105.
[8]Abdul Karim, Konsep Kesadaran Harkat Siri’, dalam website,  http://abdulkarim8284. blogspot.com /2012/04/.html, diakses, 20 Oktober 2012.
[9]Portal Bugis, Manusia Bugis Rantau, Budayanya Siri’ Bugis Makassar, dalam website, https://portalbugis.wordpress.com, diakses, 20 Oktober 2012.
[10]Penduduk propinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku bangsa ialah: Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2010), hlm.266.
[11]Evolusi internal serta interaksi mereka dengan berbagai peradaban luar (Cina, India, Islam, dan Eropa). Christian Pelras, Manusia Bugis, Oxford Inggris: Blackwell Publisher Limited, terj. Abdul Rahman Abu, et,al.,(Jakarta: Penerbit Nalar,2006), hlm.1.
[12]yaitu Bone, Soppeng, Wajo, Luwu, Luwu Timur, Luwu Utara, Sidenreng Rappang, Bulukumba, Sinjai, Pinrang, Barru, Enrekang, Pare-Pare, Pangkajenne Kepulauan, dan Maros. Dua kabupaten terakhir merupakan daerah-daerah peralihan yang penduduknya berbahasa Bugis maupun Makassar. Supriadi Mappangara, Bugis Makassar di Lintasan Sejarah, dalam Website, http://ila-galigo.blogspot.com /2009/05/. html, diakses, 30 Oktober 2012.
[13]Koentjaraningrat, Manusia., hlm.268.
[14]Dalam kaitan ini Lontara dapat berarti tulisan atau buku. Lontara yang dimaksud disini ialah buku yang memuat catatan hasil-hasil intelektual leluhur Bugis Makassar yang sudah dalam bentuk tulisan tangan atau cetak di atas kertas. Mattulada, Latoa: Suatu Tulisan Analisis Terhadap Antropologi-Politik Orang Bugis. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1975), hlm. 37.
[15]Christian Pelras, Manusia, hlm.23
[16] Christian Pelras, Manusia.,  Ibid., hlm. 39
[17]Perpaduan antara tradisi lisan dan sastra tulis kemudian menghasilkan salah satu epos sastra terbesar di dunia yang lebih panjang dari Mahabhrata, Christian, Manusia.,Ibid., hlm.4
[18] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis.
[19]“Moro”,istilah dari bahasa Spanyol yang merujuk pada orang-orang muslim di Filipina Selatan, Christian Pelras, Manusia.,
[20]Andi Rasdiyanah, Integrasi Sistem Pangngadereng (Adat) dengan Sistem Syari’at sebagai pandangan hidup orang Bugis dalam Lontarak Latoa, (Yogyakarta: Disertasi IAIN Sunan Kalijaga,1995), hlm. 106.
[21]Christian Pelras, Manusia.,
[22] Sistem norma dan adat –istiadat orang Bugis Makassar itu berdasarkan atas lima unsur pokok ialah: (1) Ade’ (ada’ dalam Makassar); (2) Bicara; (3) Rapang; (4) Wari’ dan (5) Sara’ (Sara’ dalam bahasa Arab Syariah adalah unsur pokok dalam Pangngadereng/Pangadakkang yang berasal dari agama Islam). Koentjaraningrat, Manusia.,hlm.277.
[23]Kata ini masuk dalam perbendaharaan kata Bugis melalui bahasa Melayu sebagai bahasa utama rumpun Melayu di samping sebagai bahasa komunikasi berbagai etnis di Nusantara sejak awal sejarah kehidupan masyarakat di wilayah ini hingga sekarang. Panngadereng atau Panngadakkan berarti perihal, hal ikhwal atau persoalan yang berkaitan dengan ade’ atau ada’. Nurman Said, Masyarakat Muslim Makassar: Studi Pola-Pola Integrasi Sosial antara Muslim Pagama dengan Muslim Sossorang, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hlm. 47.
[24]Christian Pelras, Manusia.,  Ibid.,
[25]Suhartono dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Lux), Semarang: Widya Karya, 2011, hlm.94
[26]M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi Al-Qur’an, Tafsir Berwawasan Keindonesiaan, (Yogyakarta: Kakubata Dipantara, 2012), hlm. 126-127.
[27]Bhimokurniawan, Menggali Nilai Nilai Budaya Bugis Makassar, dalam Website http://id.scribd.com/doc.  diakses, 30 Oktober 2012
[28]Tim PUSPAR UGM, Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan ,  Wawasan., hlm.249.
[29]Abd. Haris, Etika Hamka, Kontruksi Etik Berbasis Rasional Religius, (Yogyakarta: LKiS,2010), hlm.206.
[30]Nasir Baki, Pola Pengasuhan Anak dalam Keluarga Bugis (Studi tentang Perubahan Sosial dalam Keluarga Rappang di Sulawesi Selatan, Disertasi. (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm.5-6.
[31]Sampai disini maka Siri’ itu adalah suatu yang universal dan fitrah, artinya semua manusia memilikinya. Namun yang membedakan dengan orang Bugis atau Makassar adalah terletak pada kelembagaan siri’ ke dalam system cultural dan system pranata social mereka, sehingga penghayatan dan pengamalannya sangat intens. Nasruddin Anshoriy, Anregurutta Ambo Dalle Maha Guru daru Bumi Bugis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), hlm. xxi.
[32] Andi Rasdiyanah, Integrasi., hlm.147.
[33] Koentjaraningrat, Manusia.,Hlm.279
[34]Artinya YANG TUA”. Tetapi, arti sebenarnya ialah “Petuah-Petuah”berisi sekitar seribu jenis petuah-petuah. Hampir semua isi La Toa ini erat hubungannya dengan peranan Siri’ dalam pola hidup atau adat istiadat Bugis-Makassar (merupakan falsafah hidup).
[35]Demikian pula mengutip M.Natzir Said dengan pendapatnya yang berbeda mengemukakan bahwa Siri’ adalah perasaan malu yang memberi kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat, terutama dalam soal-soal perkawinan. Koentjaraningrat, Manusia., Hlm.280.
[36] Christian Pelras, Manusia., hlm.251
[37]Hal ini juga sering digambarkan dengan sebuah keadaan dimana seseorang yang sangat ingin menikmati hidangan yang tersaji di perjamuan namun tertekan rasa malu karena merasa diperhatikan oleh tetamu yang lain.Banuamandar, Siri dan Pengaruhnya dalam Masyarakat, dalam website http://banuamandar. blogspot.com /2012/05, diakses, 29 Oktober 2012.
[38] Banuamandar, Siri’. Ibid.,
[39] Nasruddin, Anregurutta.,hlm. XXII
[40] Banuamandar, Siri’.
[41]Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), hlm. 260-261.
[42]Pemencilan dalam artian ini yaitu tidak ada orang bergaul atau membantunya jika ditimpa kesusahan atau berupa pengusiran keluar kampung. Sanksi pembunuhan sering terjadi kalau orang yang melanggar itu berkisar pada masalah Siri’. Abu Hamid, Syekh., Ibid, hlm.30.
[43] Rif’at Syauki Nawawi, Kepribadian Qur’ani, (Jakarta: Amzah,2011), hlm.28.
[44] Departemen Agama RI. Al-Qur’an, hlm.595.
[45]Nurman Said, Masyarakat., hlm. 63-64.
[46] Koentjaraningrat, Manusia., hlm.280.
[47] Departemen Agama RI. Al-Qur’an, hlm.543.
[48] Kamri Ahmad, Budaya Siri’ Bugis Makassar Sebagai Langkah Prevensi Delik, Suatu Kajian Delik Pembunuhan dan Pencemaran Nama Baik Orang Lain, (Semarang: Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 1997), hlm. 27.
[49] Banuamandar, Siri.,
[50]Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LLPI), 2011), hlm. 128.
[51]Mawaddah indah, Al-Hayaa’ atau Rasa Malu, dalam website http://mawaddahindah.wordpress. com/2012/04/07/ diakses, 2 November 2012.
[52]Sifat tersebut merupakan salah satu ciri khusus manusia yang dapat mencegah dari perbuatan yang memalukan dan membedakannya dengan binatang. Sifat tersebut merupakan gabungan dari sifat takut dan iffah (menjaga kesucian diri). Oleh karena itu orang yang malu bukan orang yang fasik, meskipun jarang sekali kita temukan seorang pemberani yang pemalu. Terkadang sifat malu juga berarti menahan diri secara mutlak. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari (Penjelasan Kitab Shaih Al Bukhari)  terj. Ghazirah Abdi Ummah, edt. Abu Rania, Lc dan Titi Tartila, S.Ag, (Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2002), hlm. 130.
[53] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul., Ibid,
                [54]Dari penjelasan di atas diketahui bahwa malu membatasi antara seorang hamba dengan semua larangan atau kemaksiatan. Maka dengan kuatnya rasa malu makin lemahlah kecenderungan seseorang untuk terjerumus dalam kemaksiatan. Sebaliknya dengan lemahnya rasa malu makin kuatlah keinginan seseorang untuk melakukan kemaksiatan. Salim bin 'Ied al-HilaliMalu Menurut al-Quran dan as-Sunnah yang Shahih, dalam Website http://ebook.mw.lt/jowo2/txtmalu.txt, diakses, 2 November 2012.
[55] Yunahar Ilyas, Kuliah,. hlm.131.
[56]Muhammad Al-Gazali, Khuluqul Muslim, Akhlak Seorang Muslim, terj. Abu Laila dan Muhammad Tahir, Bandung: PT. Alma’arif Bandung, 1995), hlm. 314.
[57]Yusuf Qardhawy, Ratna Susanti, Masyarakat Berbasis Syariat Islam, Akidah, Ibadah, Akhlak. Edt, (Surakarta: Era Intermedia, 2003), hlm.145.
[58] Departemen Agama RI. Al-Qur’an., hlm.71.
[59]Banuamandar, Siri.,
[60]Imam Suraji, Etika dalam Perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits, (Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2006), hlm. 33.
[61]Abd. Haris, Etika., hlm.205.
[62]Abdul Karim, Konsep.,
[63]Amr Khaled, Akhlak Al-Mu’min, Buku Pintar Malu (Memandu anda Berkepribadian Muslim dengan Lebih Asyik, Lebih Otentik, terj. Fauzi Faisal Bahreisy. (Jakarta: Zaman, 2010), hlm. 168.
[64]Muhammad Al-Gazali, Khuluqul.,  hlm.304.
[65]Abdul Karim, Konsep.,
[66]Artinya, Siri’ tanpa dibarengi pace bisa menimbulkan kesan egoisme yang berlebihan. Dengan demikian, pace menjadi faktor penyeimbang terhadap siri’ dan sebaliknya siri’ menjadi penyeimbang terhadap pacce. Nurman Said, Masyarakat., hlm. 67.
[67] Tim PUSPAR UGM, Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan, Wawasan., hlm. 258.
[68] Ibid., hlm. 260.

Tidak ada komentar: