Oleh:
Umar Ahmad Darwis
Alumnus
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email: oemar.beksam@yahoo.com
Semarak hari
guru tanggal 25 November tiap tahunnya dan hari pahlawan 10 November 2014 beberapa
hari yang lalu masih terasa hangatnya, kedua hari itu merupakan moment sangat tepat
dalam membangun paradigma yang lebih mencerahkan bagi para guru. Jika momentum sejarah
10 November disebut sebagai hari para pahlawan bangsa Indonesia dimana sejarahnya
menorehkan gagasan dan terobosan yang dijadikan refleksi dan memerlukan adanya
metomorfosis dinamis kearah yang lebih futuristik. Para pahlawan masa lalu
cukup berandil dalam perebutan kemerdekaan, mereka adalah patriot sejati dengan
nasionalisme yang tinggi tak pelak jiwa dan raga sebagai konsekuensi dari
perjuangan itu demi tegaknya tiang kemerdekaan negeri ini. Lalu siapakah yang bisa
disebut pahlawan dimasa sekarang?
Dialah guru, guru
adalah pahlawan. Sebuah kalimat klasik yang tidak asing ditangkap indera
pendengar kita, “Pahlawan tanpa tanda jasa”. Demikianlah ungkapan masa
lalu sering terdengar hingga sekarang sebagai bentuk penghargaan lisan akan
pengabdian guru dalam mencetak pahlawan-pahlawan di negeri ini. Seperti halnya
ungkapan satiris dalam nyanyian seorang Iwan Fals “Guru Oemar Bakri”
sosoknya yang asketisis dalam pengabdian yang tulus tanpa pamrih. Dalam imajinasi
kolektif kita pahlawan selama ini dikenal ialah orang-orang pilihan yang hanya
diberikan penghargaan kepahlawanan membela Negara melawan penjajah dalam
merebut kemerdekaan. Dalam konteks kekinian pahlawan tak hanya disematkan
kepada pejuang kemerdekaan itu, tetapi pahlawan sebetulnya tidak lekang oleh
waktu never ending process
ialah guru-guru. Ia menghasilkan rambahan intelektual pada generasi penerus
sejarah dan pelanjut pembangun bangsa (national building) dimasa
sekarang dan akan datang.
Ungkapan “pahlawan
tanpa tanda jasa” yang disematkan pada guru adalah bukti kehebatannya, walau
dimasa kini kenyataan kepahlawanannya kian tergaransi. Bahkan dimana Nabi
Muhammad SAW pun sangat menghargai peranan dan tugasnya yang mulia dengan
menyandingkan derajat kenabiannya dengan derajat guru. Secara etimologi bahasa
Inggris “guru” disebut teacher, disebut pula trainer, instruktur,
dalam bahasa Arabnya disebut al-muallim, al-murabbi, al-mudarris.
Demikian beberapa padanan kata yang dapat disimpulkan sebagai pelopor dan agen
pembelajar, menandakan luas cakupan edukatif
dan peranan guru sebagai pahlawan.
Guru dan
Gagasan Pembangunan
Meneropong sejarah
dimana pidato Bung Karno pada tahun 1963 menyatakan tiga pilar (Trisakti) pembangunan
yakni “Indonesia berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan
berkepribadaian secara sosial-budaya” (Kompas 10/5/2014). Slogan “Revolusi
Mental” pemerintahan terpilih Jokowi-Jk bukanlah sekedar frase biasa melainkan
cita-cita luhur dan dijadikan agenda pembangunan
serta gerakan nasional yang berasas konsep pada pilar Trisakti Bung Karno tersebut.
Sebelumnya pemerintah telah mencanangkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPMJ) dan program Generasi Indonesia Emas 2045 yang bermuara pada kecerdasan
kehidupan bangsa, adil dan sejahtera.
Mewujudkan
gagasan itu menuntut peranan masyarakat berkesadaran kolektif (conscious
collective). Pembangunan bidang pendidikan, bidang kesehatan adalah agenda
prioritas dengan peningkatan kualitas pendidikan melalui program Indonesia
Pintar, Indonesia Sehat yang bermuara pada Indonesia sejahtera. Sebagai bagian
dari konsep tersebut maka gurulah yang dimandatkan dan pemegang amanah
meletakkan gagasan-gagasan dasar, pengetahuan (knowledge), dan
keterampilan (skill) sebagai asas pembangunan.
Guru mengambil
bagian akselerator dalam pembangunan bangsa yang maju dengan rujukan
historisnya, kita tidak heran jika Kaisar Hirohito mempertanyakan seberapa jumlah
guru yang masih tersisa atau hidup usai pengeboman tentara sekutu terhadap kota
Herosima dan Nagasaki di Jepang. Sikap ekspresif dan semangat juang sang kaisar
yang tak minder patriotisme itu adalah peran kesadaran yang super power meniti
awal pembangunan sumber daya dan kemajuan bangsanya. Dia menginspirasi bagi many
people power dimana pun untuk berjiwa patriotis. Dalam perspektif inilah
membangun kultur kemajuan oleh guru ialah melalui dogma kepahlawanan yang benar
dan meneguhkan konsepsi kemandirian.
Tantangan Kepahlawanan Guru
Tugas guru memberikan
pengetahuan (cognitive), sikap dan nilai (afektif) dan
keterampilan (psikomotorik) kepada anak didiknya (Idris,1982:70).
Pengertian spesifik dalam pembelajaran, Undang-Undang
Guru dan Dosen menyebutkan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik. Profesionalisme guru sangat
dikaitkan dengan kompetensi yang dimiliki yakni kompetensi paedagogik,
kepribadian, professional dan sosial.
Sebagai entitas kepeloporan dan
kepahlawanan guru dikenal memiliki pengetahuan,
kecakapan luas yang berbeda dengan orang pada umumnya. Ia mempunyai
peran yang sangat penting sebagai rule model, sebagai pendidik, dan sebagai
agen pembelajaran. Bertolak dari peran mulianya itu, guru dihadapkan pada
berbagai konsekuensi logis dimana tanggung jawabnya sebagai pahlawan tanpa
tanda jasa itu terus diuji semangat nasionalisme dan patriotisnya dihadapan
pergeseran tata nilai (karakter) generasi bangsa dalam kurun waktu 20 tahun
terakhir.
Realita dilematis tengah terjadi
pada generasi yang kehilangan semangat juang, berkiblat pada modernitas atas
nama pembaratan ditengah terjangan globalisasi. Betapa tidak generasi bangsa
kian dimanjakan budaya tekhnologi yang mengikis rasa nasionalisme dan
patriotisme bahkan kehilangan pemahaman sejarah dan pahlawannya, sejarah
pahlawan dianggap hanya sebagai kesan masa lalu dan tak ada hubungannya dengan trend
modernitas. Cara pandang generasi bangsa yang demikian serba instan dan kerap
tidak ingin hidup sulit adalah peristiwa nyata kehilangan jati diri sifat kepejuangan
dan kepahlawanan.
Refleksi ke Pro Aksi dan Pro Nilai
Selain guru penting mengenalkan
identitas pahlawan sebagaimana tertulis dalam manuskrip-manuskrip, guru
diperlukan lebih membelajarkan arti kepahlawanan yang memerdekakan,
membelajarkan nilai-nilai kepahlawanan yang sesungguhnya, maka dengan itu guru telah
merefleksikan dirinya sebagai again of change yang lebih memerdekakan. Dialah
sosok dalam transfer of values dan pembangun nilai, Nilai dalam konteks kepahlawanan
dapat mencakup profesionalitas, semangat juang (spirit struggle),
kegigihan (tenacity), kedisiplinan (discipline) dan kepekaan (sensitivity).
Demikian diharapkan heroisme
guru yang pro aksi dan pro nilai (baca: karakter). Pro aksi lebih menekankan
pada kesadaran dan keaktifan membangun literasi pembelajaran, sedangkan pro
nilai cenderung kaitannya memenuhi esensi nilai dalam basis edukatif. Sebagaimana
wacana pendidikan budaya dan karakter bangsa maka substansi peranan guru
sebagai pendidik dan rujukan model yang baik adalah sebuah keharusan untuk selalu
dibumikan. Slogan revolusi mental dan jargon politik yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK, didalamnya termasuk
konteks reposisi paradigma guru dan kultur pendidikan yang harus lebih pro aktif
membelajarkan, mencerahkan dan memerdekakan bangsa. Perubahan paradigma itu
sangat penting men-drive tugas pro aksi dan pro nilai dalam peran heroik
guru. Guru berotoritas mengintegrasikan kedua perannya itu sebagai kekuatan
kepahlawanan sehingga tumbuh kesadaran generasi bangsa membangun kemajuan
dengan kekuatan nilai-nilai kepahlawanan tanpa kekaburan pemahaman akar
historisnya.
Transformasi yang lebih pro aktif
dan pro nilai adalah konsep yang lebih menginternalisasikan substansi pendidikan
yang lebih memerdekakan sehingga tumbuh kesadaran social sensitivity dan
social responsibility. Oleh karena itu ditengah krisis nilai dizaman
edan dan jebakan pop cultural ini maka reorientasi kepahlawanan guru
mutlak diperlukan. Idealnya guru ialah suri teladan bagi siapa pun, ia pencipta
pahlawan disemua bidang kehidupan dengan transformasi nilai kemanusiaan dan
nilai ketuhanan, maka sifat kepahlawanannya itu dimanifestasikan oleh
pahlawan-pahlawan baru yakni generasi bangsa dimasa sekarang dan yang akan
datang. Dari transformasi itu maka
wajar jika guru sebagai pahlawan yang tak mengenal lelah dalam interaksi
edukatifnya, Arifuddin menyebut “Pahlawan Tanpa Batas” ia yang dapat
menembus batas teritorial dan primordial, pahlawan yang didasari oleh hari
nurani dialah pahlawan sesungguhnya, (Tribun Opini, 11/11/2014).
Demikian dapat disepadankan guru yang dapat memenuhi panggilan jiwa
kemanusiaan yang memanusiakan manusia menjadi pahlawan sejati. Walaupun bias
pemahaman kita bahwa pahlawan diidentikkan pada seseorang yang membebaskan
orang lain dari penderitaan, tetapi bukankah dalam konteks profesi yang mulia
dan jangka panjang, maka gurulah adanya?, maka sangat pentinglah posisi guru
yang membebaskan itu. Rasulullah SAW
bahkan menyarankan saat menentukan profesi “jadilah kamu seorang guru atau
murid yang baik”. Dari sanalah tunas dan paradigma guru dapat tumbuh sebagai pahlawan yang memerdekakan. Wallahu
a’lam bisshawaab.
Referensi:
Arifuddin, Pahlawan Tanpa Batas, Harian Tribun (Opini),
Edisi 11 Nov. 2014.
Idris Zahara, Dasar-Dasar
Kependidikan, Bandung: Angkasa, 1982.
Joko Widodo, Revolusi Mental, Harian Kompas (Opini), Edisi
10 Mei 2014.
Undang-Undang Guru dan Dosen.
Artikel ini juga telah dimuat di http://edukasi.kompasiana.com/2014/11/26/guru-dan-pahlawan-memerdekakan-693512.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar