Selasa, 25 November 2014

Guru dan Pahlawan Memerdekakan

GURU DAN PAHLAWAN MEMERDEKAKAN
Oleh: Umar Ahmad Darwis
Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Semarak hari guru tanggal 25 November tiap tahunnya dan hari pahlawan 10 November 2014 beberapa hari yang lalu masih terasa hangatnya, kedua hari itu merupakan moment sangat tepat dalam membangun paradigma yang lebih mencerahkan bagi para guru. Jika momentum sejarah 10 November disebut sebagai hari para pahlawan bangsa Indonesia dimana sejarahnya menorehkan gagasan dan terobosan yang dijadikan refleksi dan memerlukan adanya metomorfosis dinamis kearah yang lebih futuristik. Para pahlawan masa lalu cukup berandil dalam perebutan kemerdekaan, mereka adalah patriot sejati dengan nasionalisme yang tinggi tak pelak jiwa dan raga sebagai konsekuensi dari perjuangan itu demi tegaknya tiang kemerdekaan negeri ini. Lalu siapakah yang bisa disebut pahlawan dimasa sekarang?
Dialah guru, guru adalah pahlawan. Sebuah kalimat klasik yang tidak asing ditangkap indera pendengar kita, “Pahlawan tanpa tanda jasa”. Demikianlah ungkapan masa lalu sering terdengar hingga sekarang sebagai bentuk penghargaan lisan akan pengabdian guru dalam mencetak pahlawan-pahlawan di negeri ini. Seperti halnya ungkapan satiris dalam nyanyian seorang Iwan Fals “Guru Oemar Bakri” sosoknya yang asketisis dalam pengabdian yang tulus tanpa pamrih. Dalam imajinasi kolektif kita pahlawan selama ini dikenal ialah orang-orang pilihan yang hanya diberikan penghargaan kepahlawanan membela Negara melawan penjajah dalam merebut kemerdekaan. Dalam konteks kekinian pahlawan tak hanya disematkan kepada pejuang kemerdekaan itu, tetapi pahlawan sebetulnya tidak lekang oleh waktu never ending process ialah guru-guru. Ia menghasilkan rambahan intelektual pada generasi penerus sejarah dan pelanjut pembangun bangsa (national building) dimasa sekarang dan akan datang.
Ungkapan “pahlawan tanpa tanda jasa” yang disematkan pada guru adalah bukti kehebatannya, walau dimasa kini kenyataan kepahlawanannya kian tergaransi. Bahkan dimana Nabi Muhammad SAW pun sangat menghargai peranan dan tugasnya yang mulia dengan menyandingkan derajat kenabiannya dengan derajat guru. Secara etimologi bahasa Inggris “guru” disebut teacher, disebut pula trainer, instruktur, dalam bahasa Arabnya disebut al-muallim, al-murabbi, al-mudarris. Demikian beberapa padanan kata yang dapat disimpulkan sebagai pelopor dan agen pembelajar,  menandakan luas cakupan edukatif dan peranan guru sebagai pahlawan.

Guru dan Gagasan Pembangunan
Meneropong sejarah dimana pidato Bung Karno pada tahun 1963 menyatakan tiga pilar (Trisakti) pembangunan yakni “Indonesia berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadaian secara sosial-budaya” (Kompas 10/5/2014). Slogan “Revolusi Mental” pemerintahan terpilih Jokowi-Jk bukanlah sekedar frase biasa melainkan cita-cita luhur dan dijadikan agenda pembangunan serta gerakan nasional yang berasas konsep pada pilar Trisakti Bung Karno tersebut. Sebelumnya pemerintah telah mencanangkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPMJ) dan program Generasi Indonesia Emas 2045 yang bermuara pada kecerdasan kehidupan bangsa, adil dan sejahtera.
Mewujudkan gagasan itu menuntut peranan masyarakat berkesadaran kolektif (conscious collective). Pembangunan bidang pendidikan, bidang kesehatan adalah agenda prioritas dengan peningkatan kualitas pendidikan melalui program Indonesia Pintar, Indonesia Sehat yang bermuara pada Indonesia sejahtera. Sebagai bagian dari konsep tersebut maka gurulah yang dimandatkan dan pemegang amanah meletakkan gagasan-gagasan dasar, pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (skill) sebagai asas pembangunan.
Guru mengambil bagian akselerator dalam pembangunan bangsa yang maju dengan rujukan historisnya, kita tidak heran jika Kaisar Hirohito mempertanyakan seberapa jumlah guru yang masih tersisa atau hidup usai pengeboman tentara sekutu terhadap kota Herosima dan Nagasaki di Jepang. Sikap ekspresif dan semangat juang sang kaisar yang tak minder patriotisme itu adalah peran kesadaran yang super power meniti awal pembangunan sumber daya dan kemajuan bangsanya. Dia menginspirasi bagi many people power dimana pun untuk berjiwa patriotis. Dalam perspektif inilah membangun kultur kemajuan oleh guru ialah melalui dogma kepahlawanan yang benar dan meneguhkan konsepsi kemandirian.

Tantangan Kepahlawanan Guru
Tugas guru memberikan pengetahuan (cognitive), sikap dan nilai (afektif) dan keterampilan (psikomotorik) kepada anak didiknya (Idris,1982:70). Pengertian spesifik dalam pembelajaran, Undang-Undang Guru dan Dosen menyebutkan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Profesionalisme guru sangat dikaitkan dengan kompetensi yang dimiliki yakni kompetensi paedagogik, kepribadian, professional dan sosial.
Sebagai entitas kepeloporan dan kepahlawanan guru dikenal memiliki pengetahuan,  kecakapan luas yang berbeda dengan orang pada umumnya. Ia mempunyai peran yang sangat penting sebagai rule model, sebagai pendidik, dan sebagai agen pembelajaran. Bertolak dari peran mulianya itu, guru dihadapkan pada berbagai konsekuensi logis dimana tanggung jawabnya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa itu terus diuji semangat nasionalisme dan patriotisnya dihadapan pergeseran tata nilai (karakter) generasi bangsa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.
Realita dilematis tengah terjadi pada generasi yang kehilangan semangat juang, berkiblat pada modernitas atas nama pembaratan ditengah terjangan globalisasi. Betapa tidak generasi bangsa kian dimanjakan budaya tekhnologi yang mengikis rasa nasionalisme dan patriotisme bahkan kehilangan pemahaman sejarah dan pahlawannya, sejarah pahlawan dianggap hanya sebagai kesan masa lalu dan tak ada hubungannya dengan trend modernitas. Cara pandang generasi bangsa yang demikian serba instan dan kerap tidak ingin hidup sulit adalah peristiwa nyata kehilangan jati diri sifat kepejuangan dan kepahlawanan.

Refleksi ke Pro Aksi dan Pro Nilai
Selain guru penting mengenalkan identitas pahlawan sebagaimana tertulis dalam manuskrip-manuskrip, guru diperlukan lebih membelajarkan arti kepahlawanan yang memerdekakan, membelajarkan nilai-nilai kepahlawanan yang sesungguhnya, maka dengan itu guru telah merefleksikan dirinya sebagai again of change yang lebih memerdekakan. Dialah sosok dalam transfer of values dan pembangun nilai, Nilai dalam konteks kepahlawanan dapat mencakup profesionalitas, semangat juang (spirit struggle), kegigihan (tenacity), kedisiplinan (discipline) dan kepekaan (sensitivity).
Demikian diharapkan heroisme guru yang pro aksi dan pro nilai (baca: karakter). Pro aksi lebih menekankan pada kesadaran dan keaktifan membangun literasi pembelajaran, sedangkan pro nilai cenderung kaitannya memenuhi esensi nilai dalam basis edukatif. Sebagaimana wacana pendidikan budaya dan karakter bangsa maka substansi peranan guru sebagai pendidik dan rujukan model yang baik adalah sebuah keharusan untuk selalu dibumikan. Slogan revolusi mental dan jargon politik yang dicanangkan  pemerintahan Jokowi-JK, didalamnya termasuk konteks reposisi paradigma guru dan kultur pendidikan yang harus lebih pro aktif membelajarkan, mencerahkan dan memerdekakan bangsa. Perubahan paradigma itu sangat penting men-drive tugas pro aksi dan pro nilai dalam peran heroik guru. Guru berotoritas mengintegrasikan kedua perannya itu sebagai kekuatan kepahlawanan sehingga tumbuh kesadaran generasi bangsa membangun kemajuan dengan kekuatan nilai-nilai kepahlawanan tanpa kekaburan pemahaman akar historisnya.
Transformasi yang lebih pro aktif dan pro nilai adalah konsep yang lebih menginternalisasikan substansi pendidikan yang lebih memerdekakan sehingga tumbuh kesadaran social sensitivity dan social responsibility. Oleh karena itu ditengah krisis nilai dizaman edan dan jebakan pop cultural ini maka reorientasi kepahlawanan guru mutlak diperlukan. Idealnya guru ialah suri teladan bagi siapa pun, ia pencipta pahlawan disemua bidang kehidupan dengan transformasi nilai kemanusiaan dan nilai ketuhanan, maka sifat kepahlawanannya itu dimanifestasikan oleh pahlawan-pahlawan baru yakni generasi bangsa dimasa sekarang dan yang akan datang. Dari transformasi itu maka wajar jika guru sebagai pahlawan yang tak mengenal lelah dalam interaksi edukatifnya, Arifuddin menyebut “Pahlawan Tanpa Batas” ia yang dapat menembus batas teritorial dan primordial, pahlawan yang didasari oleh hari nurani dialah pahlawan sesungguhnya, (Tribun Opini, 11/11/2014).
Demikian dapat disepadankan guru yang dapat memenuhi panggilan jiwa kemanusiaan yang memanusiakan manusia menjadi pahlawan sejati. Walaupun bias pemahaman kita bahwa pahlawan diidentikkan pada seseorang yang membebaskan orang lain dari penderitaan, tetapi bukankah dalam konteks profesi yang mulia dan jangka panjang, maka gurulah adanya?, maka sangat pentinglah posisi guru yang  membebaskan itu. Rasulullah SAW bahkan menyarankan saat menentukan profesi “jadilah kamu seorang guru atau murid yang baik”. Dari sanalah tunas dan paradigma guru dapat  tumbuh sebagai pahlawan yang memerdekakan. Wallahu a’lam bisshawaab.

Referensi:

Arifuddin, Pahlawan Tanpa Batas, Harian Tribun (Opini), Edisi 11 Nov. 2014.
Idris Zahara, Dasar-Dasar Kependidikan, Bandung: Angkasa, 1982.
Joko Widodo, Revolusi Mental, Harian Kompas (Opini), Edisi 10 Mei 2014.
Undang-Undang Guru dan Dosen.


Artikel ini juga telah dimuat di http://edukasi.kompasiana.com/2014/11/26/guru-dan-pahlawan-memerdekakan-693512.html




Tidak ada komentar: