Kamis, 10 Oktober 2013

Cerewet dengan Persoalan "kulit" tapi abai Terhadap perkara "isi".

Ada ahli bahasa terperosok ke dalam sebuah sumur kering. Ia tak bisa naik, lalu lewatlah seorang pemuda di sumur tersebut. Ketika tampak olehnya pemuda melongok ke bawah, ia berteriak minta tolong. "Tolonglah, keluarkan aku dari sini." "Oke," jawab pemuda itu. Ternyata ia seorang pengembara yang bermaksud mencari air minum. "Tunggulah sebentar, aku cari TALI dan TANGGA," kata pemuda itu lagi,... "Huuussss, logika bahasamu salah," teriak si ahli bahasa. "seharusnya kau bilang TANGGA, baru kemudian TALI, "katanya...

Pengembara itu yang biasa berpikir tentang hakikat, tertegung sejenak. Ia menyadari betapa tak mudah berurusan dengan orang yang biasa cerewet mengenai persoalan "kulit" dan abai terhadap perkara "isi". Tetapi kemudian ia menyahut lagi.... "Baiklah Bung, kalau dalam keadaan darurat begitu kau masih lebih mengutamakan kaidah bahasa ketimbang keselamatan jiwamu, tunggulah lima tahun di situ sampai saya kembali sebagai ahli bahasa..." (Dikutip dari Zaim, Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai).

Pertanyaanya, apakah kita merasa pernah berada pada kondisi yang sama?, Bisa jadi kita terkadang berada pada posisi yang sama (si ahli bahasa), menyesali orientasi yang sering kelewat teknis dalam menghadapi persoalan hidup yang kompleks dan penuh warna-warni. Baiknya syukuri, terima apa adanya apapun pertolongan dari orang lain... Heheh... 

Diam adalah emas...?


26-08-2011, 03:17 AM
Ungkapan yang berbunyi bahwa “diam adalah emas” memang tak salamanya tepat. Tetapi ada kalanya justru kita harus berbicara ataupun bersikap tetapi dalam ukuran yang tepat dan dalam keadaan yang tepat pula diam justru merupakan sikap yang paling bijaksana. Lalu kapan harus diam dan kapan harus bicara sangat tergantung pada kearifan kita.



Ada seorang pengembara yang suka banyak bicara. Suatu hari ia harus meneruskan perjalanan yang mengharuskannya menempuh sebuah hutan, tiba–tiba terdengar suara orang berbicara, pengembara kaget dan takut. Akhirnya dia mencari di mana asal suara itu dan ternyata di bawah sebuah pohon yang besar ia menemukan sebuah tulang yang berbicara sendirian. Dengan rasa tidak percaya si pengembara memberanikan diri mendekat dan bertanya

Pengembara : Hai tengkorak, bagaimana kau bisa sampai di hutan ini ?

Tengkorak : Yang membawa aku sampai di hutan adalah mulut yang banyak bicara.

Pada saat keluar dari hutan ia sangat gembira dan memberitahukan hal tersebut kepada banyak orang bahwa di hutan ia menemukan tengkorak yang bisa bicara. Tentu saja tidak ada orang yang percaya, mereka bilang “sinting, mana ada tengkorak yang bisa bicara”. Meskipun tidak ada yang percaya dia pun terus menceritakan tentang pertemuannya dengan tengkorak kepada setiap orang yang di temui nya. Berita ini pun sampai terdengar ke istana, singkat cerita Raja mendengar lalu mengundang si pengembara datang ke Istana. Dalam pertemuan dengan raja, pengembara pun mulai bercerita

“Baginda, hamba telah menemukan sebuah tengkorak yang dapat berbicara. Mungkin baginda dapat menanyakan tentang masa depan raja dan lain sebagainya“

Karena rasa ingin tau, sang Raja pun mengajak para pengawal nya untuk pergi ke hutan untuk menemui tengkorak itu. sesampainya di tempat itu sang pengembara dengan percaya diri berkata

“Hai tengkorak, bagaimana kau bisa sampai di hutan ini ?” Sang raja dan pengawal dengan tidak sabar menunggu jawaban. Tetapi setelah beberapa kali bertanya, tengkorak tidak menjawab dan hanya diam membisu. Para pengawal menatap geli kearah sang raja karena jelas Raja telah di perdaya oleh si pengembara. Dengan marah Raja berbicara kepada si pengembara

“sebenarnya aku tidak pernah percaya dengan omonganmu, kamu pikir aku ini raja yang bodoh ?. Aku kemari justru untuk membongkar kebohonganmu, dan untuk bualanmu itu kamu harus bertanggung jawab dan membayar harganya”

Raja lalu memerintahkan hukuman penggal kepala dan meletakkan kepala si pengembara di dekat tengkorak. Setelah sang Raja dan para pengawal pergi meninggalkan hutan tiba–tiba tengkorak bersuara

Tengkorak : “hai pengembara, bagaimana kau bisa sampai di hutan ini ?

Pengembara : Yang membawa aku sampai di hutan adalah mulut yang banyak bicara.

Sering kali pertengkaran, kesalah pahaman, permusuhan besar muncul gara–gara omongan yang tidak pada tempat nya. Mereka yang suka mengumbar omongan sering kali menjadi kurang waspada sehingga mudah menyinggung, melecehkan atau merendahkan orang lain. Sekilas masalah seperti ini tampak sepele tetapi bisa berakibat fatal. alangkah baiknya jika setiap saat kita bisa mengendalikan diri, tau kapan dan mengapa harus bicara, bahkan terkadang bisa diam adalah sikap yang paling bijak.