POLITIK ANGGARAN PENDIDIKAN
DALAM BINGKAI PENDIDIKAN DI INDONESIA
DALAM BINGKAI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh: Achmad Darwis
A. Pendahuluan
Dalam
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
1 ayat 1, dikemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.[1] Pada
pasal 5 ayat 1 Setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.[2]
Untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional banyak aspek yang harus terpenuhi, salah satunya adalah
persoalan anggaran atau pembiayaan pendidikan tersebut. Rahmah Setyawati
mengutip al-Zarnuji mengatakan dalam kitabnya “ta’lim al-muta’allim”
tidak akan diperoleh suatu ilmu kecuali dengan enam syarat, salah satu
diantaranya adalah “biaya”.[3]
Anggaran atau
pembiayaan pendidikan adalah faktor penting dalam menjamin mutu dan kualitas
proses pendidikan. Meskipun pembiayaan pendidikan bukan satu-satunya faktor
keberhasilan, tanpa adanya pembiayaan yang mencukupi, maka pendidikan yang
berkualitas hanya dalam angan-angan.[4]
Hal senada dengan yang
dikemukakan oleh Mastuhu, bahwa penyelenggaraan pendidikan bermutu memang membutuhkan dana, tanpa
adanya dana tidak dapat diselenggarakan pendidikan yang dimaksud (bermutu),
namun dana bukan satu-satunya unsur yang menentukan keberhasilan usaha
penyelenggaraan pendidikan mutu tersebut.[5] Anggaran pendidikan
tersebut menjadi salah satu hal yang terpenting untuk mewujudkan pendidikan
yang berkualitas sehingga bangsa Indonesia dapat mempunyai level yang sama
dengan negara-negara maju atau setidaknya sejajar dengan negara-negara
berkembang lainnya dalam kualitas pendidikannya. Namun ironi ketika tuntutan
Undang-Undang yang mematok anggaran pendidikan di negeri ini pemerintah masih
setengah hati dan belum maksimal memperjuangkannya. Hal ini menjadi salah satu
potret buram pendidikan di Indonesia.
Jumlah anggaran pendidikan di
Indonesia sampai saat ini masih tergolong sangat kecil, bahkan dari beberapa
sumber, anggaran pendidikan di
Indonesia merupakan yang terkecil di negara-negara ASEAN. Meskipun demikian
peningkatan anggaran pendidikan bukanlah perjuangan yang mudah karena menyangkut
berbagai kepentingan politik. Menyangkut anggaran
pendidikan yang sangat kecil tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah
benar-benar menempatkan investasi sumber daya manusia menjadi prioritas utama
dalam meningkatkan daya saing di era global yang sangat kompetitif seperti
sekarang?. Namun, jika anggaran
pendidikan berhasil ditingkatkan, pertanyaan berikutnya akan muncul yaitu
apakah kenaikan anggaran pendidikan yang tiba-tiba tidak melahirkan akses
buruk, terutama dilihat dari efisiensi penggunaannya, ini belum lagi ketika
kita lihat realitas akan masih tingginya angka korupsi yang sangat kronis bagi
bangsa ini.[6]
Dari uraian
latarbelakang tersebut di atas maka dapat ditelaah rumusan permasalahan yang
perlu dieksplorasi dalam makalah ini yaitu, (1) Bagaimana konsep pendidikan nasional
sebagai prioritas pemerintah dalam mewujudkan Sumber Daya Manusia untuk
pembangunan?, (2) Bagaimana potret pendidikan nasional selama ini?, (3)
Bagaimana keinginan dan kemampuan pemerintah dalam membiayai pendidikan?, (4)
Seperti apa potret politisasi anggaran pendidikan dan solusi yang ditawarkan
untuk mengurangi bentuk politisasi−korupsi anggaran pendidikan?
Dengan permasalahan
tersebut maka hal ini bertujuan untuk memberikan informasi dan pemahaman bagi
pemegang kebijakan pendidikan dan unsur-unsur yang terkait dalam pendidikan
dengan skala makro sekaligus sifatnya otokritik yang sedikit produktif dengan
mengambil peran menempatkan diri disela-sela kekosongan ruang terhadap polemik
dan dinamika pendidikan di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan
anggaran pendidikan adalah persoalan politik, maka dalam konteksnya sudah
seharusnya anggaran pendidikan mampu ditempatkan pada standarisasi demi
tercapainya pemerataan dan tujuan pendidikan. Anggaran pendidikan
pada umumnya dan terkhusus di Indonesia menempati posisi yang sangat vital
dalam dimensi pendidikan, kendati posisinya ditentukan oleh kebijakan politik
pemerintah. Oleh karena itu perlunya merumuskan kebijakan politik anggaran
pendidikan tanpa ada dikotomi dan diskriminatif dengan melihat pendidikan
secara utuh dan integratif sehingga wujud pendidikan diperoleh kemajuan dan
mampu bersaing dengan negara-negara maju.
B.
Konsep Umum Pendidikan
Nasional
Sudah jelas dasar diadakan pendidikan nasional
tidak lain sumbernya adalah Pancasila dan UUD 1945. Kedua hal tersebut
merupakan landasan bagi kita untuk hidup bersama dalam suatu wadah negara dan
bangsa bernama Indonesia, sekaligus sebagai dasar utama kita dalam melakukan
dan menyukseskan pendidikan nasional.[7] Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dimana pada bab II disebutkan tentang fungsi[8]
dan tujuan pendidikan nasional.[9] Dari dasar, fungsi dan tujuan
pendidikan nasional tersebut, salah satu
sektor yang perlu mendapatkan prioritas dari pemerintah dalam rangka mempersiapkan
Sumber Daya Manusia (SDM) dalam pembangunan adalah bidang pendidikan. Kebijakan
tersebut disusun dalam sebuah Rencana Strategis Depdiknas 2005-2009 bertemakan
Peningkatan Kapasitas dan Modenisasi; 2010-2015 bertemakan Penguatan Pelayanan;
2015-2020 bertemakan Daya Saing Regional; dan 2015-2025 bertemakan Daya Saing
Internasional. Untuk mencapai hal tersebut, Depdiknas menetapkan tiga kebijakan
nasional yang menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan mulai dari pusat sampai
di daerah, yakni: (1) Kebijakan dalam Pemerataan dan Perluasaan Akses
Pendidikan, (2) Kebijakan dalam Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya Saing, (3)
Kebijakan dalam Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik.
Ketiga kebijakan ini diarahkan pada pembenahan perencanaan jangka menengah
dengan menetapkan kebijakan strategis serta program-program yang didasarkan
pada urutan prioritas. Dalam konteks ini ada dua hal yang perlu dipertimbangkan
oleh pengambil kebijakan, yakni sistem nilai yang berlaku dan faktor-faktor
situasionalnya. Sistem nilai mengarah pada perumusan kebijakan yang tepat
sesuai dengan permasalahan yang dan akan terjadi, sedangkan faktor situasional
mengarah pada kebijakan pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
penggunanya. Oleh karena itu, kedua hal tersebut menjadi dasar pengambilan
keputusan pendidikan dan implementasinya.[10]
C.
Potret Buram
Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan yang ideal adalah suatu sistem yang mampu
menyerap semua anak didik dalam suatu kesempatan untuk memperoleh pendidikan
yang sesuai dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya, tanpa terjadi
diskriminasi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan tersebut.[11] Namun ironi dan banyak yang menilai jika pendidikan nasional yang
dicita-citakan masih jauh dari kenyataan, Menurut Ngainun Nain, potret
pendidikan Indonesia masih sarat dengan wajah-wajah buram, bopeng, dan karena
itu menimbulkan berbagai kekecewaan. Ada jurang yang lebar antara tujuan ideal dengan
realitas di lapangan. Hal ini disebabkan karena potret pendidikan Indonesia,
selain sebagai kontribusi positif yang telah dimainkan, juga sarat dengan
persoalan yang kian hari kian kompleks dan sulit diurai. Potret buram pendidikan
nasional tersebut yaitu: pertama, Sistem pendidikan nasional bersifat
parsial, tidak utuh dan tidak sistematis. Implikasi dari sistem yang semacam
ini adalah dihasilkannya out put yang memiliki karakteristik yang
terpecah.[12]
Kedua, Kurikulum yang kurang mencerdaskan, kelemahan lain dari sistem
pendidikan nasional dapat kita cermati dari kontruksi kurikulum yang
ditawarkan. Karakteristik kurikulum yang dikembangkan nampaknya kurang
progresif. Rumusannya masih berkisar menjawab berbagai persoalan dalam jangka
waktu 5 atau 10 tahun kedepan. Di Negara-negara maju kurikulum bersifat
progresif karena bersifat antisipatif terhadap tantangan kehidupan dalam jangka
panjang.[13]
Pendidikan nasional dapat dikatakan terkesan tidak fokus karena ganti menteri
pendidikan maka ganti pula kurikulum dan sistem pendidikannya. Ketiga,
Akses negatif media, Ngainun Naim mengutip H.A.R Tilaar bahwa salah satu
persoalan yang kini harus dihadapi oleh sistem pendidikan nasional adalah
menurunnya akhlak dan moral siswa (dan mahasiswa) dari media yang negatif.[14] Keempat,
Buruknya infrastruktur pendidikan (sekolah), diberbagai media tiada henti kita
menyaksikan betapa buruknya infrastruktur pendidikan seperti gedung sekolah
terutama di daerah-daerah terisolasi yang jauh dari perkotaan. potret buram mengenai
buruknya infrastruktur pendidikan yang ada diberbagai daerah di Indonesia dalam
aspek ini salah satunya dapat disaksikan dan disimak dalam film dan novel karya
Andrea Hirata yang inspiratif “Laskar Pelangi” sebagai potret sekolahnya
yang demikian buruk.
“Tak usah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah
satu dari ratusan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol
sedikit saja oleh kambing yang seneweng ingin kawin, bisa rubuh berantakan”.[15]
Kelima, Kenakalan Pelajar, selain persoalan pornografi,
menurunnya akhlak dan moralitas siswa ditandai dengan semakin meningkatnya
perilaku dengan sesama mereka. Keenam, nalar egoisme[16],
pemaksaan terhadap pilihan orang tua yang bukan minat dan bakat siswa. Ketujuh,
Masyarakat mabuk gelar.[17]
D. Pembiayaan Pendidikan: Antara Keinginan dan
Kemampuan Pemerintah
Muhammad Abduhzen
mengutip Prof. Dr. Boediono, wakil Presiden RI dan yang (konon) juga pemimpin
komite pendidikan, pada tulisannya, dalam Edukasi Kompas edisi 29 Agustus 2012 menyoal subtansi pendidikan yang hingga kini
belum jelas konsepsinya. Namun, tulisan itu−biarpun mengakui pendidikan sebagai
kunci pembangunan−secara keseluruhan mengesankan bahwa pembangunan ekonomi dan
politik lebih utama. Usulan mengenai pendidikan umum dan pendidikan
khusus guna membekali murid soft skill dan hard skill terasa simplistik. Kurang mendasar dibandingkan ide Boediono ketika jadi Menteri
Keuangan. Saat itu ia menekankan ”revolusi pendidikan” dalam strategi
pembangunan baru, dalam (Kompas,
23 Oktober 2003).[18]
Pada pengalokasian anggaran pendidikan di Indonesia,
Syaukani mengemukakan sebagaimana dikutip Moh.
Muslim, bahwa dalam sejarah bangsa Indonesia tahun 1966, pernah ditetapkan
melalui Tap MPRS No.VI/MPRS/1966 untuk mengalokasikan dana sektor pendidikan 25
persen, karena berbagai hal anggaran tersebut belum pernah terpenuhi hingga
sekarang.[19]
Namun kemampuan dan usaha pemerintah yang bertahap barulah kemudian direalisasikan
pada tahun 2009. Dalam amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 Ayat 4[20]
dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49 ayat (1), cukup menegaskan[21]
20% anggaran untuk pendidikan.
Dana pendidikan yang
dimaksud yang harus dialokasikan sekurang-kurangnnya 20% itu adalah dana diluar
gaji pendidik, dan biaya pendidikan kedinasan. Dengan memisahkan gaji pendidik
dan biaya kedinasan maka Undang-Undang Sisdiknas sebenarnya hanya memberi porsi
biaya yang cukup layak untuk sektor pendidikan. Namun, penegasan pasal 49 ayat
(1) itu dikaburkan dengan penjelasannya sendiri yang menyatakan bahwa pemenuhan
dana pendidikan itu dapat dilakukan secara bertahap. Dengan demikian,
penjelasan pasal 49 ayat (10) ini bukan memperjelas, melainkan justru membuat
kabur dan bahkan cenderung mereduksi amanat konstitusi. Logikanya, jika negara
benar-benar harus memprioritaskan alokasi dana untuk pendidikan, maka tentu
saja pemenuhannya tidak boleh dilakukan dengan cara bertahap. Apalagi
konstitusi menegaskan bahwa alokasi dana sebesar dua puluh persen itu adalah
porsi minimal, atau dapat pula dipahami sebagai batas toleransi yang diberikan
oleh konstitusi.[22] Disisi lain pada UU No. 33
Tahun 2004, ada sedikit menyinggung dana fungsi pendidikan, pada pasal 20 tersebut
bahwa ada penambahan alokasi pendidikan pada dana bagi hasil dari pertambangan
minyak bumi dan gas bumi[23]
untuk (anggaran pendidikan dasar). Belum lagi sumber anggaran lainnya yang dikelolah
oleh pemerintah−daerah.
Berangkat dari hal
tersebut maka dapat dipahami bahwa anggaran pembangunan untuk sektor pendidikan
di Indonesia ini tidaklah sedikit, karena selain dialokasikan dari APBN dan
APBD juga dialokasikan dari hasil pertambangan, namun ironis pula karena hal itu berimplikasi pada
siapa yang berwenang mengawasi dan bertanggung jawab pada Dana Bagi Hasil
tersebut terutama kedalam pengelolaan fungsi pendidikan. Kendati hal ini
wewenang daerah menyikapi anggaran tersebut namun tidak menutup kemungkinan
pengelolaannya tidak maksimal.
Bunyi
perundang-undangan tersebut di atas menggarisbawahi perlunya komitmen
pemerintah terhadap pendidikan di tanah air. Banyak pernyataan pemerintah yang
terang-terangan berlawanan dengan amanat UUD maupun Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, sementara itu pemerintah jalan terus tanpa menghiraukan
keberatan-keberatan dari sejumlah wakil masyarakat (Komisi X DPR),
tanggapan-tanggapan dari para pemerhati dan pelaksana pendidikan. Kurangnya
komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan pendidikan sebagai titik
tolak reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang cerdas
dan demokratis.[24] Kebijakan politik republik
yang menetapkan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD sebetulnya
memiliki orientasi yang sangat jelas, yaitu kemandirian dan dan penyediaan SDM,
namun kebijakan politik itu tidak serta merta berwujud realitas karena beberapa
alasan[25]
yang sangat kompleks.
Masalah anggaran
pendidikan di Indonesia memang sangat kompleks. Di dalam sejarahnya, semenjak
republik ini dipimpin oleh Presiden Soekarno, kemudian berturut-turut
digantikan Presiden Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, dan Susilo Bambang
Yudhoyono, belum pernah pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan yang
memadai[26].
Untuk mengukur keseriusan pemerintah dalam
meningkatkan Sumber Daya Manusia pada sektor pendidikan yang berkelanjutan, hal
ini dapat dilihat dari segi anggaran pendidikan yang ditargetkan 20% dari APBN
sesuai amanah Undang-Undang, bandingkan dengan Malaysia misalnya, yang sejak
merdeka menyediakan anggaran pendidikan yang tak pernah kurang dari 20 persen
APBN-nya. Pemerintah hanya mampu melakukannya sesuai dengan prinsip bertahap.
Hal tersebut disisi lain bidang pembangunan menuntut anggaran pada sektor
ekonomi, kesehatan, infrastruktur dan lain-lain.
Sebagai perbandingan anggaran pendidikan di
Indonesia dengan negara lain menurut Muhammad Rifai mengutip Ki Suprioko dari
hasil penelitiannya 174 negara anggota PBB adanya pengaruh poisitif anggaran
pendidikan terhadap kinerja pendidikan, semakin tinggi anggaran pendidikan yang
disediakan pemerintah, semakin baik kinerja pendidikan di negara bersangkutan.
Sebaliknya, semakin rendah anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah,
semakin buruk kinerja pendidikan di negara yang bersangkutan. Jika diukur dari
GNP (Gross National Product), anggaran
pendidikan tergolong sangat rendah. Indonesia hanya mengalokasikan anggaran
untuk pembiayaan pendidikan sebesar 1,4 persen dari GNP.[27]
Dalam sistem pembiayaan pendidikan, Indonesia
termasuk negara paling tidak kompromis dengan anggaran pendidikannya. Artinya,
anggaran yang disediakan untuk pembiayaan pendidikan di Indonesia tidak pernah
mencapai jumlah yang memadai. Jangankan dibandingkan dengan negara-negara maju
seperti Norwegia, Kanada, AS, dan New Zealand yang mengalokasikan anggaran
pendidikan relatif sangat tinggi dari GNP-nya, sedangkan dibandingkan dengan negara-negara disekitarnya saja,
anggaran pendidikan di Indonesia tidak pernah mencapai angka lebih tinggi.
Malaysia sudah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 5,2 persen dari
GNP-nya, Singapura 3,0 persen, Thailand 4,1 persen, dan Australia, bahkan sudah
5,6 persen. Angka 1,4 persen anggaran pendidikan Indonesia tersebut di atas
juga relatif terlalu rendah karena angka rata-rata pada negara-negara
berkembang 3,8 persen, dan negara-negara maju mencapai 5,1 persen. Jadi,
alokasi anggaran pendidikan di Indonesia angkanya tidak saja lebih rendah dari
rata-rata di negara-negara maju dan negara-negara berkembang, tapi ternyata juga
lebih rendah dari rata-rata angka di negara-negara belum maju atau terbelakang
seperti anggaran pendidikan di Bangladess (2,9), Nepal (3,1), Ethiopia (4,0),
Togo (4,7), Cote d’lvoire (5,0), Malawi (5,5) dan negara-negara terbelakang
lainnya yang ada dibenua Afrika.[28] Kecil anggaran pendidikan tersebut di atas
membawa dua resiko yang untuk memilihnya, cukup berat. Seperti seseorang yang
sedang sakit disodori obat yang pahit. Kalau ingin sembuh, obat pahit mesti
diminum. Tapi kalau tidak mau pahit, orang tersebut harus menerima untuk sakit
terus, paling tidak ia akan terlambat sembuh.[29]
Anggaran pendidikan
nasional atau pembiayaan pendidikan nasional sebenarnya juga memberikan bantuan
kepada kementerian lain, yaitu Kemenag. Misalkan di Kemenag, walaupun populasi
siswanya hanya 10-15% dari keseluruhan siswa peserta pendidikan secara
nasional. Mereka tetap mendapatkan anggaran cukup signifikan. Besarannya
sekitar 40% dari anggaran pendidikan Kemendiknas.[30]
Besarnya anggaran pendidikan di Indonesia yang
pernah mengalami hal yang sangat memprihatinkan dapat dilihat sebagian kecil
data pengalokasian anggaran sebagai berikut:
1.
Sebagaimana yang pernah dikaji Ace Suryadi
yang dikutip oleh Prof. Dr. Agus Irianto dalam Kompas 24 Juni 2002,
bahwa pada tahun 1995/1996 mencapai 13,8 % dari APBN. Mengalami penurunan pada
tahun 2000 menjadi 5,6 % dan turun kembali pada tahun 2001 menjadi 3,8 %[31] atau
sebesar Rp.295,113 triliun. Hal ini berarti anggaran pendidikan pada pada masa
pemerintahan orde baru lebih tinggi bila berbanding dengan kabinet reformasi.
2.
Pada tahun 2002 pemerintah menganggarkan 5,8
persen dari APBN. Anggaran pendidikan pada tahun 2002 mencapai 24,7 % (11,552
triliun) yang diambil dari dana sektor pembangunan (Rp. 47 triliun) atau 5,8 %
dari total APBN, ternyata setelah dilakukan perhitungan secara cermat tidak ada
perubahan atau (kemajuan) bila dibandingkan dengan anggaran sektor pendidikan
pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2000 Rp.11,3 triliun dan pada tahun 2001 11,5
triliun.[32] Pada tahun 2003 sebanyak 19 triliun atau
sekitar 5,4 persen dari total APBN.[33]
3.
Pada tahun 2004 alokasi anggaran hanya 6,6%
dan terealisasinya masih sekitar 5,5%[34] Pada tahun 2005 berjumlah Rp. 33,8 triliun,
atau 20% namun dalam realisasi pada APBN 2005 hanya mengalokasikan anggaran
24,6 triliun atau 6 % total anggaran.[35]
4.
Untuk tahun 2006 anggaran pendidikan kita
baru Rp 41,3 triliun atau sekitar 9,1% dari APBN, bahkan peningkatan anggaran
pendidikan yang diajukan oleh pemerintah untuk RAPBN 2007 sangat tidak
signifikan sekali yakni hanya menjadi Rp.51,3 triliun atau sekitar 10,3 % dari
RAPBN.[36]
5.
Pada tahun 2008 ditetapkan dengan
menganggarkan 11,8% untuk sektor pendidikan atau sekitar 48,3 triliun dengan
total 285,5 triliun APBN. dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan hal ini
menjadi salah satu catatan penting dalam APBN 2009 adalah terpenuhinya amanat
UUD yang menetapkan porsi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp.207,4 triliun untuk
anggaran pendidikan dari total APBN 2009
sejumlah 1.037,1 triliun. Dana pendidikan yang mencapai 20% sebesar 207,4
triliun tersebar pada Departemen Pendidikan Nasional sebesar Rp.61,5 triliun,
Departemen Agama sebesar Rp.23,3 triliun, Kementerian Negara/Lembaga lainnya
sebesar Rp.3 triliun, bagian anggaran 69 sebesar Rp.1,7 triliun dan melalui
transfer ke daerah sebesar 117,9 triliun[37] Namun
anggaran pendidikan 20% yang ditetapkan pemerintah dalam RAPBN
2009, tidak menjamin bahwa seluruh warga negara usia pendidikan dasar bisa
mengikuti pendidikan atas biaya pemerintah sebagaimana amanat konstitusi.[38] Pada
hal keharusan menetapkan alokasi anggaran sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan
APBD adalah amanah UUD 1945 pada beberapa poin yang menyatakan kewajiban
pemerintah membiayai pendidikan. Selain itu UU Sisdiknas menegaskan pentingnya
pendidikan yang bermutu. Sebenarnya kita patut mencurigai bahwa sejak awal,
sebagaimana dirumuskan dalam RPJM 2005-2009, Presiden SBY menggunakan kebijakan
fiskal hanya untuk mendongkrak popularitas semata. Presiden SBY melupakan sama sekali
arti penting mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diamanatkan
Undang-Undang Dasar 1945.[39]
Bentuk detail dapat digambarkan realisasi
anggaran Depdiknas, Menurut Data
Pokok APBN-P 2008 dan APBN 2009, pada tahun 2005 alokasi anggaran Depdiknas ini
mencapai Rp 23.117,4 miliar atau 19,23% dari total APBN. Selanjutnya terus
mengalami kenaikan, pada tahun 2006 mencapai Rp 37.095,1 miliar atau 22,44%
dari total APBN, Rp 40.476,8 miliar atau 18,95% dari total APBN pada tahun
2007, dan pada tahun 2008 mencapai Rp 45.296,7 miliar atau 16,67% dari total
APBN. Pada tahun 2009, alokasi anggaran Depdiknas dalam belanja pemerintah
pusat mencapai Rp 62.098,3 miliar atau 19,76% dari total APBN.[40] Realisasi anggaran Depdiknas dan kementerian lainnya
dapat dilihat grafik dibawah ini[41]:
6.
Pada tahun 2010 anggaran pendidikan hanya
mencapai Rp.195,6 triliun, Muh. Nuh sebagai Menteri Pendidikan Nasional
mengakui bahwasanya rencana anggaran pendidikan 2010 itu mengalami penyusutan
dibandingkan tahun 2009 yang sebanyak Rp.207,4 triliun. Artinya penguasa tidak
bekerja secara signifikan dan efisien untuk tiap tahunnya meningkatkan biaya
untuk kemajuan pendidikan nasional. Terlepas dari persoalan ekonomi dan politik
yang mungkin menyebabkan terjadinya penurunan anggaran tersebut, kiranya
penyusutan angka Rp.207,4 triliun terlalu berlebihan untuk dijadikan alasan.[42]
7.
Pada tahun 2011 dunia pendidikan kembali
mengalami peningkatan anggaran. Anggaran fungsi pendidikan tahun 2011 mencapai
Rp. 225,2 triliun atau 20 persen dari APBN.[43]
Sedangkan total anggaran pendidikan dalam APBN 2012 adalah Rp 289,957 triliun
atau sekitar 20,2% terhadap total belanja negara yang mencapai Rp 1.435,406
triliun. Anggaran pendidikan dialokasikan melalui belanja pemerintah pusat pada
kementerian/lembaga Rp 102,518 triliun dan melalui transfer ke daerah sebesar
Rp 186,439 triliun. Melalui belanja pemerintah pusat, anggaran pendidikan
dialokasikan pada 20 kementerian/lembaga yaitu Kemendikbud Rp. 64,350 triliun,
Kemenag Rp. 32,0 triliun, Kemenkeu Rp. 88,385 miliar, Kementan Rp. 43,600
miliar, Kemenprin Rp. 292,400 miliar, Kemen ESDM Rp. 66,819 miliar, Kemenhub Rp.
1,795 triliun, Kemenkes Rp. 1,350 triliun, Kemenhut Rp. 41,229 miliar, Kemen KP
Rp. 230,500 miliar, Kemenparekraf Rp.
215,970 miliar, BPN Rp. 22,790 miliar, BMKG Rp. 18,800 miliar, Badan Tenaga
Nuklir Nasional Rp. 17,948 miliar, Kemenpora Rp. 933,500 miliar, Kemenhan Rp.
114,193 miliar, Kemenakertrans Rp. 412,0 miliar, Perpustakaan Nasional Rp.
264,492 miliar, Kemenkop dan UKM Rp. 215,0 miliar, dan Kemenkominfo Rp. 36,837
miliar.[44]
Hal senadah pun dikemukakan oleh ketua DPR Marzuki Ali, Pada Diskusi Tokoh
Nasional, dengan tema “Masa Depan Pendidikan Tinggi Di Indonesia, di
Universitas Indonesia, Depok, Senin (7/5/2012) lalu bahwa alokasi anggaran APBN
20 % untuk pendidikan tahun 2012 tidak hanya diberikan kepada Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) saja.
Bukan hanya itu, universitas di Jawa mendapatkan alokasi pendanaan lebih besar
dibanding dengan alokasi pada daerah-daerah lain. “Negeri ini memang sungguh
memprihatinkan. Ini artinya adanya distribusi dana terjadi ketidakadilan.[45]
Dari potret permasalahan yang timbul sehingga
mengakibatkan kerancuan dan ragam politisasi anggaran pendidikan tersebut di
atas secara umum menurut analisis penulis hal ini dapat dikemukakan penyebab bahwa
nampak jelas perbedaan dalam sistem pengelolaan anggaran, khusus anggaran
pendidikan yang dikelolah oleh pusat dapat dilihat antara lain, perencanaan
nominal anggaran terkadang mengalami perbedaan dengan jumlah nominal alokasi
anggaran yang ditetapkan, demikian pula berbeda jumlah yang terealisasi
dilapangan dan bahkan terindikasi berbeda hasil laporan. Kendati demikian yang
terjadi kita hanya seolah diam menyaksikan ragam politisasi anggaran yang
dilakukan pemerintah dan terkadang sulit diangkat kepermukaan publik.
Dari tahap perkembangan anggaran pendidikan
beberapa tahun terakhir ini sudah dapat dikatakan menjadi sebuah bukti
keseriusan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai tuntutan
Undang-Undang, tentunya sebagai warga negara kita akan merasa puas dengan usaha
pemerintah tersebut. kendati demikian,
anggaran pendidikan sekarang ini ternyata belum cukup untuk mensejahterakan
dunia pendidikan karena adanya pihak-pihak tertentu yang tega memangkas
anggaran pendidikan. Peningkatan anggaran pendidikan, menjadi sebuah polemik
dengan besarnya kecenderungan untuk melakukan korupsi besar-besaran, melihat
anggaran pendidikan menjadikan sebuah ladang yang sarat korupsi apabila
penggunaan dana yang sedemikian besar tersebut tidak diawasi dengan baik. Hal
tersebut dapat menjadi potret bahwa pemerintah dalam memperhatikan aspek
pendidikan dalam hal ini masih belum maksimal.
E. Potret Politisasi Anggaran Pendidikan
Gambaran umum pendidikan nasional kita, Abd.
Rachman Assegaf, mengutip Mastuhu menilai bahwa pengelolaan pendidikan kita
masih berorientasi pada kepentingan pemerintah bukan peserta didik, pasar, dan
masyarakat. Pelaksanaan pendidikannya pun masih dilakukan dengan “mental
proyek” bukan panggilan hati.[46]
Disisi lain keperluan untuk penganggaran pendidikan menuntut kemajuan seiring
dengan perkembangan pendidikan guna menjawab tantangan yang global. Pendidikan
yang baik adalah mahal, tenaga yang baik untuk dapat bekerja penuh harus
dibayar cukup untuk hidupnya, gedung dan peralatan diperlukan untuk
melaksanakan pendidikan sekolah yang baik.[47]
Pepatah barat kaum kapitalis menyebutkan “tidak ada sarapan
pagi yang gratis”.
Kecilnya anggaran pendidikan di Indonesia,
Menurut Darmaningtiyas, keluhan tentang kecilnya anggaran itu seakan meniadakan
unsur-unsur lain yang cukup signifikan memberikan kontribusi besar terhadap
buruknya sistem pendidikan nasional; lemahnya kemampuan manajerial dalam bidang
keuangan, sehingga menimbulkan inefesiensi cukup besar; mentalitas korup di
lembaga yang mengurusi pendidikan; makin kerdilnya jiwa pengelolah pendidikan;
kecenderungan kapitalisasi pendidikan; serta hegemoni partai politik atau
penguasa yang mencapai tingkat paling paling bawah.[48] Kendati anggaran pendidikan
bukan satu-satunya faktor masalah dalam pendidikan, akan tetapi dalam wacana
publik anggaran pendidikan inilah yang terkadang mendominasi topik pendidikan
nasional saat sekarang ini disisi lain kecilnya anggaran pendidikan ini. Hal tersebut
sengaja digulirkan oleh para birokrat yang orientasi berpikirnya project
oriented.[49] Wacana itu kemudian
diyakini sebagai kebenaran faktual oleh para pengamat dan pakar pendidikan
tanpa sikap kritis. Hampir semua orang setiap kali berbicara soal pendidikan,
larinya pada kecilnya anggaran sebagai biang keladi bobroknya sistem pendidikan
nasional[50] sehingga faktor yang
terselubung dari anggaran pendidikan tersebut, salah satu faktor yang dianggap dominan adalah faktor korupsi terkait
kebocoran anggaran.
Korupsi
anggaran pendidikan inilah yang seolah menjadi komoditas politik dan mewarnai
dunia pendidikan khususnya di Indonesia yang sudah semestinya dibutuhkan
kebijakan dan jalan keluar dengan memberikan penekanan dan pengawasan terhadap
komponen yang berperan dalam kebijakan pendidikan tersebut. Persoalan
politisasi dan korupsi anggaran pendidikan ditanah air bukan lagi persoalan
yang sederhana yang hanya perlu dibicarakan oleh para akademisi dan praktisi
pendidikan, akan tetapi hal ini perlu diangkat kepermukaaan dalam skala makro
sehingga khalayak publik dapat memahami situasi pendidikan di Indonsia terkait
politisasi anggaran pendidikan (korupsi anggaran pendidikan) yang terjadi, seluruh
komponen masyarakat sudah seharusnya mengambil peran dan mencoba menciptakan
pola strategi untuk menekan yang mengarah pada faktor-faktor yang terselubung
dalam anggaran pendidikan. Lembaga-lembaga riset yang berkecimpung telah banyak
memberikan wacana kasus-kasus korupsi khsusnya anggaran pendidikian.
Berdasarkan
hasil penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW) medio 2004-2011, ada
korelasi antara peningkatan anggaran pendidikan nasional dengan potensi
korupsi. Peningkatan anggaran pendidikan selalu diikuti dengan semakin besarnya
potensi terjadinya korupsi dan penyalahgunaan untuk kepentingan politik.
Pandangan ini dipaparkan ICW menyusul hasil pemantauan praktik korupsi di dunia
pendidikan selama hampir sepuluh tahun. Selama masa pemantauan itu, ICW
menggunakan data dari 2009-2011, hal-hal yang menjadi pantauan khusus adalah
peningkatan anggaran pendidikan tiap tahun, dan pencapaian indikator pendidikan
yang tidak sebanding dengan anggaran yang dibelanjakan. Kemudian, masih
rendahnya tingkat efisiensi, efektifitas, transparansi, akuntabilitas, dan
partisipasi dalam pengelolaan anggaran pendidikan yang rawan korupsi. Serta
lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum atas kasus korupsi.[51]
Hal tersebut dapat kita lihat beberapa kasus
seperti yang diberitakan ICW (Indonesia Corruption Watch) tersebut
tentang: Sektor Pendidikan Paling
Banyak Dikorupsi, (Rabu, 08 Februari 2012), menyatakan bahwa sektor
pendidikan merupakan pos anggaran yang menjadin sasaran empuk para koruptor.
Hasil pantauan ICW menyebutkan dari 436 kasus yang ditangani aparat penegak
hukum, sekitar 12 persen atau sebanyak 54 kasus terjadi pada sektor pendidikan.
Sisanya terjadi di sektor keuangan daerah, sosial kemasyarakatan dan transportasi
serta sektor lainnya.[52]
Berdasarkan catatan ICW tersebut, dari total kasus korupsi yang terjadi pada
2011, negara mengalami kerugian Rp. 2,1 trilliun. Dalam sektor pendidikan
tersebut ada sekitar 63 tersangka mulai dari Direktorat Jenderal (Dirjen) di
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) hingga kepala sekolah, pelaku paling
banyak adalah kepala dinas pendidikan berjumlah 14 orang, anggota (Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah) DPRD, Bupati, Camat masing-masing 1 orang. Kalau
dilihat dari pelaku ini berkaitan dengan kewenangan atas kebijakan pendidikan,
terutama soal anggaran pendidikan.[53] Hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) setiap tahun
terhadap penggunaan anggaran negara di institusi pemerintah, termasuk
Departemen Pendidikan Nasional, selalu memperlihatkan rendahnya kemampuan
pengelolaan anggaran pemerintah, sehingga terjadi tingkat kebocoran dan
inefesiensi yang tinggi.[54] Dari hal tersebut di atas dikatakan bahwa besarnya tingkat
kebocoran tersebut menjadi potret yang cukup mencengangkan terhadap berbagai
bentuk politisasi anggaran pendidikan kendati anggaran pendidikan di Indonesia tergolong
rendah.
Jika
Indonesia merupakan kategori negara terendah anggaran pendidikannya, namun bagi
Darmaningtiyas tidak ingin berkutat pada rendahnya anggaran pendidikan itu,
karena kenyataan di lapangan juga membuktikan bahwa anggaran pendidikan setiap
tahunnya tidak pernah habis, tetapi selalu tersisa mencapai ratusan milyar
rupiah. Kalau memang problemnya
adalah kecilnya anggaran, maka logikanya, semua dana pendidikan yang tersedia
dapat terserap. Anggaran yang tinggi itu penting tapi bukan yang terpenting
untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional.[55] Dengan kata lain, letak permasalahannya bukan pada tinggi
rendahnya alokasi anggaran untuk pendidikan tapi sejauh mana dana yang ada itu
dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk pelaksanaan pendidikan. Kenaikan anggaran pendidikan yang
tinggi itu hanya memiliki makna bagi upaya peningkatan mutu pendidikan
nasional, bila seluruh dana tersebut terserap
untuk pengembangan pendidikan secara efektif dan efisien, tidak terlalu
banyak dikorup dan diselewengkan oleh aparat pendidikan.[56]
Kendati anggaran pendidikan
dari tahun ketahun mengalami peningkatan yang signifikan yang rentang dengan
korupsi, maka beban tanggung jawab seluruh kalangan pun semakin besar,
berangkat dari hal tersebut, maka untuk meminimalisir bentuk-bentuk
penyalahgunaan anggaran pendidikan dan meminimalisir bentuk kecenderungan yang
mengarah pada project oriented para birokrat dan aparat pendidikan,
maka pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan perlu membangun sistem anti korupsi. Hal yang perlu dilakukan sebagai
langkah awal adalah pentingnya membuat perencanaan dan peningkatan kemampuan
kapasitas pengelolahan (manajerial) sampai pada pembuatan laporan yang
transparan dan akuntabilitas.
Sistem anti korupsi tersebut
harus terintegrasi dalam sistem perencanaan dan
penganggaran dan juga sistem pengelolaan keuangan dalam pengelolaan anggaran
pendidikan. Sistem anti korupsi dalam perencanaan itu bisa diatasi dengan
melibatkan masyarakat atau membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
berpartisipasi secara aktif dalam perencanaan pendidikan. masyarakat pun
diharapkan agar turut berperan aktif baik melalui paran serta dalam penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS), maupun dalam hal realisasi atau
penggunaannya. Pentingnya pengawasan atas dana pendidikan agar penerapannya
dapat berlangsung dengan baik dan tepat, serta tidak ada penyelewengan.
Setidaknya, ada tiga ukuran ketepatan yang harus dipatuhi bagi semua pihak
terkait dengan dana pendidikan, yaitu; pertama, Ketepatan dari sisi waktu penyaluran, Kedua, Ketepatan
jumlah dana yang disalurkan, Ketiga, Ketepatan dalam sisi penggunaannya.
Ketepatan besaran dana
pendidikan dan penggunaannya pun harus dilakukan dengan cara mengumumkan secara
transparan kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban pihak
sekolah kepada masyarakat melalaui media massa dan menindak tegas penyelenggara
pendidikan yang melakukan korupsi dari tingkat depdiknas, dinas–dinas
pendidikan sampai sekolah.[57]
Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pendidikan
amat penting dilakukan, sebagai bagian dari bentuk pertanggungjawaban dan upaya
untuk menekan adanya penyelewengan, termasuk di dalamnya adanya tindak pidana
korupsi.
F. Penutup
Dari uraian uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa dalam konteks pendidikan nasional terutama dalam Undang
Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas nampak jelas pentingnya proses
pendidikan yang dapat mewujudkan insan yang memiliki kecerdasan spiritual,
akhlak yang sholeh dan keterampilan bagi seseorang dalam masyarakat. Pendidikan
sebagai sebuah tuntutan dalam perkembangan globalisasi menawarkan konsep
kebijakan pendidikan yang tepat
sesuai dengan permasalahan yang dan akan terjadi dan sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat, kendati konsep pendidikan nasional masih diperlukan
standarisasi lebih dan mengarah pada kebutuhan jangka panjang sehingga mampu
bersaing dan sejajar dengan negara-negara maju.
Sistem pendidikan yang ideal adalah sistem
yang mampu menerima peserta didik dari berbagai kalangan masyarakat dengan latar belakang sosial yang berbeda tanpa ada
diskriminasi, namun hal tersebut menjadi ironi ketika yang diharapkan tidak
sesuai realitas. Hal tersebut melahirkan jurang yang lebar dari tujuan ideal
dengan realitas dilapangan. Adanya bentuk diskriminasi dalam sistem pendidikan
dan ketika pendidikan hanya dipentingkan pada satu pihak maka hanya akan
melahirkan kecemburuan social dalam lapisan masyarakat terhadap system dan
kebijakan pendidikan yang diciptakan pemerintah, disisi lain permasalahan yang
nampak jelas adalah infrastruktur dan fasilitas pendidikan yang tidak
mendukung, perangkat dan setiap instrumen pendidikan terkadang tidak menjangkau
kemampuan dan kepentingan yang diharapkan, akses negativ media dan kenalakan
pelajar yang mewarnai dunia pendidikan sehingga yang menjadi output pendidikan
kini tidak sedikit menjadi generasi yang tidak berkarakter. Dengan demikian
diperlukan segenap komponen bangsa harus
turut mengambil peran dan melakukan pembenahan sistem pendidikan di Indonesia sehingga tercipta
pemeratan pendidikan yang dapat dinikmati
seluruh lapisan masyarakat demikian pula kesadaran
individu dalam rangka kebebasan berpikir dan bertindak dengan mengedepankan
etika dan norma di masyarakat dapat diwujudkan,
Potret
permasalahan yang timbul sehingga rendahnya anggaran pendidikan yang mengakibatkan ketertinggalan
Indonesia dengan negara lain dalam hal pendidikan. Sesuai amanah Undang-Undang
yang mewajibkan 20% dari APBN dan APBD anggaran pendidikan namun dalam
implementasinya tidaklah rapi dan maksimal, pada sisi lain persoalan anggaran
diwarnai bentuk-bentuk politisasi mulai dari pusat hingga daerah. Kendati
ditinjau dari tahun ke tahun mengalami peningkatan anggaran. timbulnya permasalahan yang mengakibatkan kerancuan dan ragam
politisasi anggaran pendidikan tersebut di atas secara umum dapat
dikemukakan penyebab bahwa nampak jelas
perbedaan dalam sistem pengelolaan anggaran, khusus anggaran pendidikan yang
dikelolah oleh pusat dapat dilihat antara lain, perencanaan nominal anggaran terkadang mengalami perbedaan dengan jumlah
nominal alokasi anggaran yang ditetapkan, demikian pula berbeda jumlah yang terealisasi dilapangan dan bahkan terindikasi berbeda
hasil laporan.
Dalam meminimalisir bentuk penyalahgunaan
anggaran pendidikan setidaknya ada
tiga ukuran ketepatan yang harus dipatuhi bagi semua pihak terkait dengan dana
pendidikan, yaitu; pertama, Ketepatan dari sisi waktu
penyaluran, Kedua, Ketepatan jumlah dana yang disalurkan, Ketiga,
Ketepatan dalam sisi penggunaannya. Demikian
pula hal utama diperlukan partisipasi masyarakat untuk mengontrol
pengalokasian, penetapan, penyaluran dan penggunaan serta evaluasi yang
berkelanjutan tentang anggaran pendidikan sangat berperan dalam mewujudkan anggaran
pendidikan yang bersih sesuai tujuan bersama untuk pendidikan yang lebih maju.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, M.S dan
Suyanto, Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa, Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa, 2001.
Achedy,
Penamedia, Anggaran Pendidikan dan
Mahalnya Biaya Pendidikann Tinggi, dalam website, http://achedy.penamedia.com/2010/05/14/20.
Arfad, Suharmin, Politisasi Pendidikan:
Sebuah Telaah Kritis Terhadap Konsep Sekolah Gratis, dalam website, http://suharmin-arfad.blogspot.com.
Assegaf, Rachman,
Abd., Ada Apa Dengan Pendidikan Nasional Kita?,: Resensi Karya Mastuhu,
Kependidikan Islam (Jurnal Pemikiran, Riset dan Pengembangan Pendidikan Islam),
Jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta:
Vol.1, No. 1, Februari-Juli 2003.
Akuntono, Indra, Anggaran
Pendidikan Naik Potensi Korupsi Besar, dalam website http://edukasi.kompas.com/read/2012/01/12/1628220/,
Bali Post, Arah Kebijakan APBN 2012 (5)
Alokasi Anggaran dan Aksesibilitas Pendidikan, dalam website, http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=
detailberita&kid =10&id=58906,
Darmaningtiyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, Yogyakarta:
LKIS Group, 2011.
Daroesman, Ruth, dalam pengantar. Pembiayaan Pendidikan di Indonesia,
Sebuah Studi Tentang Sumber dan Penggunaan Pembiayaan, ttp, PT. Badan
Penerbit Indonesia Raya, 1975.
Elis, Hamidi, Ibnu Purna, Anggaran
Pendidikan Dalam APBN, dalam website, http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3723&Itemid=29,
Harefa, Mandala, Kebijakan dan
Pengelolaan Anggaran Pendidikan, Antara Keinginan dan Keterbatasan, dalam
website, www.dpr.go.id, Kebijakan
dan Pengelolaan Anggaran Pendidikan (Masalah Konstitusi dan Pengelolaan
Anggaran Pendidikan 20 persen Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas SDM Indonesia,
Bab 2, 2009_6.pdf-Adobe Raider,).
Hasbullah, Otonomi Pendidikan, Kebijakan
Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Hirata, Andrea, Laskar Pelangi,
Yogyakarta; Bentang Budaya, 2008.
Irianto, Agus, Pendidikan Sebagai
Investasi dalam Pembangunan Suatu Bangsa, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011.
Irianto, Bahtiar,
Yoyon, Kebijakan Pembaruan Pendidikan, Konsep, Teori, dan Model,
Jakarta: PT. Rajawali Press, 2012.
Kusfiardi,
Politisasi Anggaran Pendidikan, dalam website,
http//.kusfiardi.wordpress.com/ 2009/11/18.
Marlinawati,
Reni, Rumitnya Pengelolaan Anggaran Fungsi Pendidikan, dalam website, http://www.renimarlinawati.com/index.php/artikel/pedidikan/287.
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad
21, Yogyakarta:
Safiria Insani Press, 2003.
Mulyono, Konsep Pembiayaan Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
2010.
Muslim, Moh., Politik
Pendidikan Islam Era Reformasi (1998-2003), Yogyakarta: Tesis UIN Sunan
Kalijaga, 2005.
Naim, Ngainun, Rekonstruksi Pendidikan
Nasional Membangun Paradigma yang Mencerahkan, Yogyakarta: Teras, 2010.
Perpustakaan Bappenas, Target Anggaran
Pendidikan 20 Persen APBN Bisa Tercapai, http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F10687/.htm,
Politisasi Pendidikan Indonesia, dalam website http://id.shvoong.com/society-and-news/environment/2222548.
Ramadhan, Shodiq, Ternyata 19 Kementerian Ikut Nikmati Anggaran Pendidikan dalam website, http://www.suara-islam.com/mobile/index.
Rifai, Muhammad, Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: AR-RUZZ
Media, 2011.
Sektor Pendidikan Paling Banyak Dikorupsi, dalam website http://blog.csoft39.com /2012/02/11/sektor-pendidikan-paling-banyak-dikorupsi/.
Setyawati, Rahmah, Pembiayaan Pendidikan
(Jurnal Pendidikan Islam), Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Kerjasama Dirjen
Pendidikan Islam Departemen Agama RI denga PPs Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Vol. 2 No. 1 Januari-April 2009.
Tilaar, H.A.R,, Standarisasi Pendidikan
Nasional, Suatu Tinjauan Kritis, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006.
Tim Redaksi, Standar
Nasional Pendidikan (SNP) PP No. 19 Tahun 2005 dilengkapi dengan UU No. 20
Tahun 2003 dan Permendiknas No. 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran,
Bandung: Fokus Media, 2005
Undang-Undang Negera Republik Indonesia
Tahun 1945 Amandemen IV Tahun 2002.
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Undang-Undang ini diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 2003.
Undang-Undang RI No
32 & 33 Tahun 2004,Tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah,Yogyakarta: UII Press, 2004.
[1]Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional,2003), hlm.3.
[2]Dijelaskan lebih lanjut pada ayat 2 dan 3 bahwa, Bahkan warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus. Demikian pula warga negara di daerah terpencil
atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh
pendidikan layanan
khusus. Undang-Undang., Ibid, hlm.7.
[3]Rahmah Setyawati, Pembiayaan
Pendidikan (Jurnal Pendidikan Islam), Ikatan Mahasiswa Pascasarjana
Kerjasama Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI denga PPs Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 2 No. 1 Januari-April 2009,
hlm.174
[5]Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad
21,(Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003), hlm.51.
[6]Hasbullah, Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan
Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007), hlm. 45-46.
[7]Muhammad Rifai, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: AR-RUZZ
Media, 2011), hlm. 39.
[8]Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.Tim Redaksi, Standar
Nasional Pendidikan (SNP) PP No. 19 Tahun 2005 dilengkapi dengan UU No. 20
Tahun 2003 dan Permendiknas No. 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran
(Bandung: Fokus Media, 2005), hlm.98
[9]Yaitu untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Undang-Undang., hlm.6.
[10]Suharmin Arfad, Politisasi Pendidikan: Sebuah Telaah Kritis Terhadap
Konsep Sekolah Gratis, dalam website, http://suharmin-arfad.blogspot.com, Diakses, 6 November 2012.
[11]Lihat Politisasi Pendidikan Indonesia, dalam
website http://id.shvoong.com/society-and-news/ environment /2222548, Diaksaes, 6 November 2012.
[12]Ngainun Naim, Rekonstruksi Pendidikan Nasional Membangun Paradigma
yang Mencerahkan, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 25-26.
[13]Ngainun Naim, Rekonstruksi., Ibid, hlm. 34.
[14]Lebih lanjut dijelaskan, Parameter untuk melihat persoalan ini tidaklah
sulit, lihat saja betapa banyak para siswa yang sekarang ini terlibat dalam
tawuran pelajar, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pergaulan seks bebas,
serta tindakan kriminal lain yang cukup berat seperti pencurian dan pembunuhan.
Ngainun Naim, Rekonstruksi., Ibid, hlm. 38.
[15]Andrea Hirata, Laskar Pelangi, (Yogyakarta; Bentang Budaya,2008),
hlm. 17.
[16]Ngainun Naim, Rekonstruksi., hlm.
80.
[17]Ngainun Naim, Rekonstruksi.,Ibid, hlm. 89.
[18]Muhammad Abduhzen, dalam website, http://suryowati.guru-indonesia.net/artikel_detail-30199.html, Diakses,
5 November 2012.
[20]Negara mempriotitaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnnya 20% persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaran pendidikan nasional. Undang-Undang Negera Republik Indonesia
Tahun 1945 Amandemen IV Tahun 2002.
[21]Dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan sektor pendidikan minimal
20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Undang-Undang.,hlm.23.
[22]Reni Marlinawati, Rumitnya Pengelolaan Anggaran Fungsi Pendidikan,
dalam website, http://www. renimarlinawati.com/index.php/artikel/pedidikan/287, Diakses, 5 November 2012,sil
[23]Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf
e angka 2 dan huruf f angka 2 sebesar 0,5 % (setengah persen)
dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Undang-undang RI No
32 &.33 Tahun 2004,Tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah,(Yogyakarta: UII Press, 2004)
hlm. 196.
[24]H.A.R, Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan
Kritis, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,2006), hlm.2-3
[25]Seperti: pertama,
sebagian besar komponen dana dalam struktur APBN 2003 tidak dapat dialokasikan (unallocated),
yaitu 34% untuk pembayaran utang dan 25% untuk dana perimbangan. Kedua,
“komitmen setengah hati” dari wakil-wakil rakyat sendiri secara politis dalam
merumuskan kebijakan. Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan Pendidikan,
Konsep, Teori, dan Model, (Jakarta: PT. Rajawali Press, 2012), hlm.46-47.
[29]Artinya, Kalau ingin
pendidikan dinikmatinya bermutu baik, mesti ikut berpartisipasi membantu
membiayai pendidikan di tempat putra-putrinya bersekolah atau kuliah. Kalau
tidak mau membantu, mesti menerima−dan jangan mengeluhkan−pendidikan yang
kurang bermutu baik. Suyanto dan M.S Abbas, Wajah dan Dinamika Pendidikan
Anak Bangsa, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), hlm.191-192.
[30]Muhammad Rifai, Politik, Ibid, hlm. 90.
[31]Agus Irianto, Pendidikan Sebagai Investasi dalam Pembangunan Suatu
Bangsa, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.84.
[33]Perpustakaan Bappenas, Target Anggaran
Pendidikan 20 Persen APBN Bisa Tercapai, dalam
website,http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F10687/.htm, Diakses, 2 Desember 2012.
[34]Achedy
Penamedia, Anggaran Pendidikan dan Mahalnya Biaya Pendidikann Tinggi,
dalam website, http://achedy.penamedia.com/2010/05/14/20, Diakses,
27 November 2012.
[35]Mandala Harefa, Kebijakan dan Pengelolaan Anggaran Pendidikan, Antara
Keinginan dan Keterbatasan, dalam website, www.dpr.go.id, Kebijakan
dan Pengelolaan Anggaran Pendidikan (Masalah Konstitusi dan Pengelolaan
Anggaran Pendidikan 20 persen Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas SDM Indonesia,
Bab 2, 2009_6.pdf-Adobe Raider,), Diakses, 2 Desember 2012.
[36]Artikel Pendidikan Indonesia, dalam website, http://www.artikelbagus.com/2012/03/.html, Diakses, 6 November 2012.
[37]Mulyono, Konsep., hlm. 64.
[38]Kenaikan anggaran tersebut hanya digunakan antara lain untuk melakukan
rehabilitasi gedung sekolah dan membangun puluhan ribu kelas dan ribuan sekolah
baru. Kemudian memberikan hibah dalam bentuk bantuan operasional langsung ke
sekolah yang dikenal dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan memberikan
bantuan langsung tunai kepada keluarga miskin melalui
Program Keluarga Harapan (PKH). Kemudian
untuk menyediakan beasiswa untuk
lebih dari satu juta siswa SD/MI, lebih dari 600 ribu siswa SMP/MTs, 900 ribu
siswa SMA/SMK/MA, dan lebih dari 200 ribu mahasiswa PT/PTA yang sebagian besar
siswa dan mahasiswa tersebut, berasal dari keluarga tidak mampu. Termasuk untuk
membiayai perbaikan kesejahteraan dan kualitas kompetensi guru, Kusfiardi, Politisasi
Anggaran Pendidikan, dalam website, http//.kusfiardi.wordpress.com
/2009/11/18. Diakses, 6 November 2012.
[40]Ibnu Purna Hamidi Elis, Anggaran Pendidikan Dalam
APBN, dalam website, http://www. setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3723&Itemid=29, Diakses, 27 November 2012.
[43]Alokasi Anggaran Pendidikan 2012, dalam website, http://www.kopertis12.or.id/2011/08/17/html, Diakses, 5 November 2012.
[44]Bali
Post, Arah Kebijakan APBN 2012 (5) Alokasi Anggaran dan Aksesibilitas
Pendidikan, dalam website, http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&id=58906,
Diakses, 24 November 2012.
[45]Shodiq Ramadhan, Ternyata 19 Kementerian Ikut Nikmati Anggaran
Pendidikan dalam website, http://www.suara-islam.com/mobile/index. Diakses, 12 Oktober 2012.
[46]Abd. Rachman
Assegaf, Ada Apa Dengan Pendidikan Nasional Kita?,: Resensi Karya Mastuhu,
Kependidikan Islam (Jurnal Pemikiran, Riset dan Pengembangan Pendidikan Islam),
Jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta:
Vol.1, No. 1, Februari-Juli 2003, hlm.96.
[47]Ruth Daroesman,
dalam pengantar. Pembiayaan Pendidikan di Indonesia, Sebuah Studi Tentang
Sumber dan Penggunaan Pembiayaan, (ttp, PT. Badan Penerbit Indonesia Raya,
1975), hlm.3
[48]Darmaningtiyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, (Yogyakarta: LKIS
Group, 2011), hlm. 3.
[49]Lebih lanjut dijelaskan bahwa, bagi mereka kecilnya
anggaran pendidikan berarti berimplikasi pada sedikinya proyek dan kecilnya
uang yang dapat dikorup. Agar proyek tetap besar dan uang yang dikorup besar,
maka isu mengenai kecilnya anggaran pendidikan harus digulirkan terus-menerus. Darmaningtiyas,
Pendidikan., Ibid, hlm. 4.
[51]Indra Akuntono, Anggaran Pendidikan Naik Potensi Korupsi
Besar, dalam website http://edukasi.kompas.com/read/2012/01/12/1628220/,
Diakses, 5 November 2012.
[52]Korupsi sektor pendidikan banyak dilakukan oleh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Pemerintah Daerah hingga pejabat yang berada di Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan itu. Mereka dengan leluasa menyalahgunakan anggaran
pendidikan seperti dana bantuan operasional sekolah, dana alokasi khusus dan
dana pendidikan lainnya. Lihat, Sektor Pendidikan Paling Banyak
Dikorupsi, dalam website http://blog.csoft39.com/2012/02/11/sektor-pendidikan-paling-banyak-dikorupsi/, Diakses, 4 November 2012.
[54]Dan
sebagai contoh menurut Darmaningtiyas, kebocoran dan inefisiensi itu terbesar terjadi pada
Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, yang secara riil memiliki banyak dan
mengurusi pendidikan dasar (SD-SMP), yang jumlahnya mencapai ratusan ribu unit
dan puluhan juta murid. Alokasi anggaran pendidikan terbesar juga terdapat pada
Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah. Tapi di direktorat ini pula, banyak
terjadi korupsi, dan soal pendirian dan rehabilitasi gedung, penerbitan buku
pelajaran, sampai penyaluran beasiswa. Dan orang tidak begitu peduli terhadap
segala bentuk penyelewengan maupun korupsi tersebut. Darmaningtiyas,
Pendidikan.,hlm.5
[55]Artinya, anggaran setinggi apa pun tidak tidak menjamin akan mampu
memperbaiki system pendidikan nasional, bila para pengelolanya masih tetap
bermental korup, kolusi, dan project oriented, dan kurang memiliki
kemampuan manajerial. Atau bahkan menjadikan pendidikan itu sendiri sebagai
tempat untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, ibarat sekolah sebagai
pasar. Darmaningtiyas, Pendidikan.,Ibid, hlm. 4-5.
[57]. Lihat, Sektor.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar